Taman
batu Jepang (枯山水 Karesansui,
arti harfiah: lanskap kering) atau taman Zen adalah salah satu gaya dalam taman
Jepang. Taman jenis ini tidak menggunakan air. Lanskap alam
dilukiskan dengan batu
dan pasir yang
melambangkan kolam dan aliran air. Orang yang
melihat diminta untuk berimajinasi bahwa hamparan pasir berwarna putih dan kerikil adalah
permukaan air. Jembatan
dibangun untuk memberi kesan ada aliran air di bawahnya. Pola-pola pada
hamparan pasir ditata dengan penggaruk bambu untuk melambangkan
aliran air.
Taman ini bersifat
abstrak, dan terutama berkembang di kuil-kuil Zen pada zaman
Muromachi sehingga juga dikenal sebagai taman Zen. Meskipun demikian, taman
batu sudah merupakan salah satu bagian dari beberapa gaya
taman Jepang dari zaman-zaman sebelumnya, misalnya di taman gaya
kaiyū dan taman gaya
shinden-zukuri yang
dibangun di rumah kediaman resmi daimyo. Setelah meningkatnya kepopuleran taman batu pada zaman
Muromachi, taman batu Jepang diterima sebagai salah satu gaya taman Jepang. Berbeda dari gaya dan model taman
Jepang lainnya, taman batu Jepang sama sekali tidak memerlukan air. Oleh karena
itu, taman batu memungkinkan orang membuat taman Jepang di tempat sulit air.
Taman batu yang mewakili taman gaya ini adalah taman batu Daitoku-ji dan Saihō-ji di Kyoto. Taman batu
Jepang yang paling terkenal berada di Ryōan-ji, Kyoto. Taman
batu di Ryōan-ji hanya terdiri dari 15 buah batu di atas hamparan pasir yang
dikelilingi tembok. Di taman batu Ryōan-ji hanya ada pasir dan batu, tidak ada
pohon atau semak. Dilihat dari sudut mana pun (kecuali dari atas), di taman
batu Ryōan-ji hanya terlihat 14 buah batu.
Sejarah
Menurut sejarah taman batu Jepang yang ditulis oleh
Matsu Yoshikawa[1],
dokumen tertua mengenai taman Jepang yang pertama adalah "pulau" yang
dibangun Soga no Umako di tepi Sungai
Asuka pada masa pemerintahan Maharani Suiko (sekitar 620). Berdasarkan ide
tersebut, di rumah kediamannya, Pangeran Kusakabe membangun taman untuk
menggambarkan lanskap alam yang terdiri dari pulau berukuran sedang, jembatan,
kolam, dan pantai berbatu-batu.
Pada zaman
Nara, Taman Tōin di Istana Heijō dibangun dengan
menggunakan batu-batu untuk menggambarkan pemandangan laut, tepi sungai, tepi
laut, dan air yang mengalir. Sepanjang zaman Heian
populer taman-taman yang dibangun dengan kolam berukuran besar, seperti di Shinsen-en dan vila
kekaisaran di luar kota Kyoto. Sewaktu
menggambarkan lanskap alam, air merupakan elemen dasar dalam taman Jepang waktu
itu. Taman-taman pada zaman Heian umumnya dibangun oleh para biksu. Sepanjang
paruh kedua zaman Heian hingga zaman
Kamakura dikenal biksu-biksu ahli pertamanan (ishitadesō). Sewaktu
biksu membangun kuil Buddha, mereka juga merancang tata letak kuil,
termasuk taman untuk kuil. Pembangunan taman waktu itu didasarkan oleh tradisi
pertamanan Jepang yang dipadukan dengan filsafat Zen, serta seni, budaya,
dan filsafat dari Cina.
Ketika membangun kuil Buddha di kawasan kota-kota
yang sulit air, para biksu juga diharuskan harus membangun taman kuil.
Kesulitan air menjadikan mereka membangun taman dari batu-batu yang disebut karesansui.
Dalam analogi yang ekstrem, lanskap alam seperti sungai dan gunung dapat
dilambangkan hanya dengan sebuah batu. Sebuah batu diimajinasikan sebagai
sebuah gunung, seluruh lanskap, atau seluruh kosmos seperti hanya penggambaran
lanskap alam dalam seni abstrak bonseki dan sumi-e.
Teknik pertamanan berkembang pesat di Jepang pada zaman
Muromachi berkat taman batu Jepang yang dirancang dan dibangun oleh Zenami. Shogun Ashikaga Yoshimasa sangat dipengaruhi
pemikiran dari ahli pertamanan bernama Musō Soseki, dan mempekerjakan
Zenami walaupun ia berasal dari kalangan rendah (kawaramono).
Taman Jepang (日本庭園 Nihon
teien)
adalah taman yang
dibangun dengan gaya
tradisional Jepang.
Prinsip dasar taman Jepang adalah miniaturisasi dari lanskap atau
pemandangan alam empat musim di Jepang. Elemen dasar seperti batu-batu dan kolam dipakai untuk melambangkan
lanskap alam berukuran besar.
Selain taman Jepang yang dibuka untuk umum, taman
Jepang dibangun di hotel,
kuil
Buddha, bekas kediaman resmi daimyo, dan rumah besar milik pejabat atau pengusaha. Taman sempit bergaya Jepang di halaman rumah milik rakyat
biasa disebut tsuboniwa (taman halaman kecil) atau nakaniwa
(halaman dalam).[1] Tiga
taman Jepang yang paling terkenal adalah Kenroku-en di Kanazawa, Kōraku-en di Okayama,
dan Kairaku-en di Mito,
Prefektur Ibaraki.
Model dan gaya
- Taman shinden-zukuri (shinden-zukuri teien)
Taman gaya shinden-zukuri
berasal dari Dinasti Tang, dan diperkenalkan di Jepang pada zaman Heian.
Taman dibangun di halaman tengah rumah kediaman bangsawan yang dibangun dengan gaya arsitektur shinden-zukuri. Taman yang
mewakili gaya shindenzukuri adalah Shinsen-en dan taman di Daikaku-ji di Kyoto.[2]
- Taman gaya jōdo (jōdoshiki teien)
Situasi sosial
yang tidak stabil pada zaman Heian menyebabkan meluasnya pemikiran Buddhisme Jōdo yang membuat orang Jepang
mendambakan hidup di gokuraku. Ciri khas taman
ini adalah kolam yang ditanami seroja. Tata letak taman dibuat menyerupai bentuk mandala dalam
ajaran Jōdokyō. Taman yang mewakili gaya
ini di antaranya taman di Byōdō-in, Jōruri-ji, dan Mōtsū-ji.[2]
- Taman batu Jepang (karesansui)
Di taman
batu Jepang, batu dipakai untuk menggambarkan air terjun,
dan pasir berwarna putih dihamparkan untuk menggambarkan air mengalir. Air sama
sekali tidak digunakan sebagai elemen taman. Taman
batu Jepang hanya dimaksudkan untuk dilihat dari satu sudut pandang. Taman
jenis ini berkembang pada zaman Kamakura, zaman
Muromachi, hingga zaman Sengoku. Daitoku-ji dan Ryōan-ji
di Kyoto adalah dua taman batu yang terkenal.
- Taman gaya shoin (shoinshiki teien)
Taman gaya ini berkembang pada zaman Azuchi-Momoyama, dan
merupakan gaya
taman Jepang yang paling umum. Taman dibangun
menghadap atau mengelilingi shoin (bangunan atau ruangan besar tempat
menerima tamu). Ciri khas berupa batu-batu ukuran besar untuk menggambarkan
pemandangan gunung
di pedalaman.
- Taman teh (chaniwa atau roji)
Taman teh adalah sebutan untuk taman kecil yang
dilengkapi jalan-jalan setapak yang dibangun di sekeliling rumah teh. Taman gaya ini berasal dari zaman Azuchi-Momoyama. Batu pijakan
(tobiishi) adalah elemen penting yang disusun di jalan setapak yang
mengelilingi rumah teh. Susunan batu pijakan dimaksudkan untuk mengatur
kecepatan langkah orang yang menuju ke rumah teh. Penempatan tanaman dan batu
ditentukan oleh masing-masing aliran upacara minum teh. Taman
model ini dilengkapi dengan wadah batu berisi air (tsukubai) dan lentera
batu.
- Taman gaya kaiyū (kaiyūshiki teien atau shisen kaiyū)
Desain taman gaya kaiyū merupakan perpaduan dari taman gaya shoin dan taman teh.
Taman gaya ini berkembang pada zaman Edo.
Ciri khas taman adalah ukuran taman yang besar dan dilengkapi kolam dan batu-batu. Di dalam taman
dibangun taman-taman teh berukuran kecil yang tersebar di beberapa tempat dan
dibangun jembatan-jembatan
untuk menghubungkannya. Taman yang mewakili gaya ini adalah taman Vila Kekaisaran
Katsura di Kyoto,
Kōraku-en di Okayama, Kairaku-en di Mito,
Prefektur Ibaraki, Kenroku-en di Kanazawa, Prefektur Ishikawa, dan Suizen-ji Jōju-en di Prefektur Kumamoto.[2]
Kobori Enshū adalah arsitek
lanskap asal zaman Edo yang dikenal dengan desain taman gaya kaiyū.
- Taman daimyo (daimyō niwa)
Taman daimyo
adalah sebutan untuk taman-taman luas yang dibangun daimyo di
daerah-daerah pada zaman Edo, misalnya Taman Koishikawa
Kōrakuen dan Rikugi-en di Tokyo. Lahan datar di
kota sekeliling
istana
dibuat sebagai miniatur pemandangan terkenal di berbagai tempat di Cina dan
Jepang. Di dalam taman jenis ini hampir selalu dibangun kolam. Keindahan taman
dinikmati orang sambil berjalan di jalan-jalan setapak yang dibangun di dalam
taman.
Prinsip dasar
Dalam taman Jepang tidak dikenal garis-garis lurus
atau simetris. Taman Jepang sengaja dirancang asimetris agar tidak ada satu pun
elemen yang menjadi dominan. Bila ada titik fokus, maka titik fokus digeser
agar tidak tepat berada di tengah.
Secara garis besar, taman Jepang mengenal dua
ekstremitas: sakral dan profan. Di halaman bangunan sakral seperti kuil Shinto,
kuil
Buddha, dan istana kaisar hanya disebar pasir dan kerikil. Salah satu
contohnya adalah halaman Kuil Ise. Sebaliknya, taman yang
dilengkapi kolam besar dan ditanami pepohonan, perdu, serta tanaman bunga
dibangun di halaman bangunan yang dimaksudkan sebagai tempat memuaskan estetika
keduniawian, misalnya rumah peristirahatan dan kediaman resmi. Taman seperti ini diperindah dengan dekorasi seperti
batu-batuan, lentera batu, dan gazebo.
Berada di tengah-tengahnya antara sakral dan profan adalah taman yang
menggabungkan nilai-nilai sakral dan estetika profan, misalnya Vila Kekaisaran
Katsura di Kyoto.
Taman Jepang berukuran besar dilengkapi dengan
bangunan kecil seperti rumah teh, gazebo, dan bangunan
pemujaan (kuil). Di antara gedung dan taman kadang-kadang dibangun ruang
transisi berupa beranda sebagai tempat orang duduk-duduk. Dari beranda,
pengunjung dapat menikmati keindahan taman dari kejauhan.
Tidak semua taman Jepang dirancang untuk dimasuki
atau diinjak orang. Sejumlah taman dimaksudkan untuk dipandang dari kejauhan
seperti dari dalam gedung
atau beranda. Di taman yang dibangun
untuk dipandang dari jauh, orang dapat melihat secara sekaligus semua elemen
yang ada di dalam taman.
Taman Jepang mengenal permainan perspektif sebagai
salah satu teknik untuk membuat taman terlihat lebih besar dari luas
sebenarnya. Teknik pertama dari beberapa teknik yang biasa digunakan adalah
penciptaan ilusi jarak. Taman akan terlihat
lebih luas bila di latar depan diletakkan batu-batuan dan pepohonan yang lebih
besar daripada batu-batuan dan pepohonan di latar belakang. Dalam teknik kedua
berupa "tersembunyi dari penglihatan" (miegakure), tidak semua
pemandangan di dalam taman dapat dilihat sekaligus. Tanaman, pagar, dan
bangunan digunakan untuk menghalangi pandangan isi taman seperti air terjun,
lentera batu, dan gazebo. Orang harus berjalan masuk sebelum dapat melihat isi
taman. Dalam teknik ketiga yang disebut lanskap pinjaman (shakkei),
pemandangan taman meminjam pemandangan alam di latar belakang seperti pegunungan,
sungai, atau hutan yang berada di
kejauhan. Bangunan seperti istana di luar taman juga dapat dijadikan bagian
integral dari taman.
Tema
Walaupun elemen-elemen dasar dan prinsip yang
mendasari desain taman dapat berbeda-beda, tema-tema tertentu dapat dijumpai di
berbagai jenis taman, misalnya pulau kecil (disebut Hōraijima atau Pulau Hōrai)
yang dibangun di tengah-tengah kolam. Di atas pulau kecil tersebut
kadang-kadang diletakkan sebuah batu besar yang melambangkan Sumeru dalam kosmologi Buddha atau Gunung Hōrai dalam Taoisme. Sebagai
lambang utopia atau "tanah kebahagiaan", pulau kecil di taman tidak
untuk dimasuki orang. Antara pulau dan bagian taman yang lain sengaja tidak
dibangun jembatan.
Tema-tema lain yang umum adalah kombinasi dari
elemen-elemen dasar seperti batu-batu, pulau kecil, dan pepohonan untuk
melambangkan kura-kura
dan burung jenjang yang keduanya merupakan
lambang umur panjang di Jepang. Pulau kecil di tengah kolam dibangun seperti
bentuk kura-kura
atau diletakkan batu yang melambangkan kura-kura di tepian. Tema lain yang
populer adalah Gunung Fuji atau miniatur lanskap-lanskap terkenal di
Jepang.
Elemen dasar
Air
Elemen dasar dalam taman Jepang adalah air, batu, dan tanaman. Selain
sebagai sumber kehidupan, air digunakan untuk menyucikan benda dari dunia
profan sebelum memasuki kawasan sakral. Air dialirkan dari sungai untuk membuat
kolam dan air terjun.
Tanaman
Bertolak belakang dari batu yang melambangkan
keabadian, pohon, perdu, bambu, rumpun bambu, lumut, dan rumput adalah benda
hidup yang tumbuh seiring dengan musim sebelum menjadi tua dan mati. Bertolak
belakang dengan taman gaya
Eropa yang berfokus pada warna-warni semak dan bunga, taman di kuil Zen hanya berupa hamparan
pasir. Taman rumah teh hanya menggunakan tanaman berdaun hijau
dan pohon maple
yang daunnya menjadi merah di musim gugur.
Perbedaan antara lereng gunung, padang
rumput, dan lembah
dinyatakan dalam pemakaian berbagai macam spesies pohon dan perdu yang dipotong
dan dipangkas hingga menyerupai berbagai bentuk. Pohon dan perdu juga dipakai
sebagai penghubung antardua lokasi pemandangan di dalam taman. Bukit-bukit
buatan dibangun dari gundukan tanah.
Batu
Batu-batu disusun untuk menyerupai bentuk-bentuk
alam seperti pegunungan, air terjun,
dan pemandangan laut,
dan dipilih berdasarkan bentuk, ukuran, warna, dan tekstur. Batu adalah elemen
terpenting dalam taman karena dapat dipakai untuk melambangkan pegunungan,
garis pantai, dan air terjun. Di taman yang memiliki pulau kura-kura dan pulau
burung jenjang di tengah kolam, batu-batu diletakkan untuk memberi kesan adanya
kepala dan ekor.
Batu-batu berukuran sedang digunakan sebagai batu
pijakan (tobiishi, arti harfiah batu loncatan) yang dipasang
bersela-sela di jalan setapak. Batu-batu yang menutup jalan setapak disebut
batu ubin (shikiishi). Ketika berjalan di atasnya saat hari hujan, pakaian dan alas kaki
akan terhindar dari percikan air, tanah,
dan lumpur.
Di taman
batu Jepang, hamparan pasir dan kerikil diratakan dengan penggaruk menjadi pola-pola yang
melambangkan benda yang mengalir seperti awan dan arus air. Butiran pasir dan
kerikil yang dipakai tidak berukuran terlalu halus karena mudah diterbangkan
angin atau dihanyutkan oleh air hujan. Sebaliknya, butiran pasir dan kerikil
yang berukuran terlalu besar akan sulit ditata dengan penggaruk. Pemilihan pasir
dan kerikil juga mempertimbangkan warna. Pasir berwarna putih memberi kesan
murni dan cemerlang di bawah sinar matahari, sedangkan pasir berwarna gelap
mengesankan keheningan.
Batu untuk taman berasal dari pegunungan, pinggir
laut, atau pinggir sungai, dan digolongkan menjadi tiga jenis: batuan
sedimen, batuan beku, dan batuan malihan. Batuan
sedimen biasanya memiliki permukaan yang halus dan bulat karena terkikis air.
Batuan seperti ini dipasang di pinggir kolam dan sebagai batu pijakan di jalan
setapak. Batuan beku berasal dari gunung
berapi dan biasanya memiliki bentuk dan tekstur yang kasar. Batu seperti
ini dipakai sebagai batu pijakan atau sebagai elemen yang menonjol, misalnya
diletakkan untuk melambangkan puncak gunung. Batuan malihan adalah batu keras
yang biasanya dipasang di sekeliling air terjun atau aliran air. Batu potong
dari batuan sedimen juga populer untuk membangun jembatan, wadah batu berisi
air, dan lentera batu.
Pagar
Di taman rumah teh dan taman Jepang model kolam di
tengah (shisen kaiyū), pagar dan bangunan gerbang merupakan elemen penting
dalam lanskap. Pagar secara garis besar terdiri dari pagar hidup (ikigaki)
dari tanaman perdu
yang dipangkas dan pagar buatan dari kayu atau bambu.[3]
Pagar hidup berfungsi sebagai pembatas, penghalang
pandangan, pelindung dari angin, api, dan debu, serta penghambat suara. Pagar
bambu tembus cahaya (sukashigaki) disusun dari batang-batang bambu yang
lebar-lebar jaraknya hingga pemandangan di balik pagar masih terlihat.
Sebaliknya, pagar pembatas (shaheigaki) dibangun dari susunan bambu yang
rapat dan membatasi pemandangan di baliknya.
Di dalam taman tidak digunakan dinding dari tanah
yang dikeraskan, kayu, atau batu. Dinding hanya dipakai sebagai dinding luar
pembatas taman.[3]
Lentera
Lentera (tōrō) berasal dari tradisi Cina untuk
menyumbangkan lentera ke kuil Buddha. Sejak zaman Heian,
lentera juga disumbangkan ke kuil Shinto untuk penerangan di malam hari dan sebagai
hiasan. Lentera batu mulai dijadikan dekorasi standar di taman rumah teh sejak zaman
Muromachi.[4]
Setelah menjadi mode di taman-taman rumah teh, lentera batu akhirnya dipasang
di berbagai taman Jepang karena keindahan dan kegunaannya.
Wadah air
Wadah batu berisi air (tsukubai) adalah
perlengkapan standar taman rumah teh. Air dari tsukubai dipakai untuk
mencuci tangan tamu sebelum mengikuti upacara minum teh. Tradisi menyediakan
wadah batu berisi air di taman rumah teh berasal dari tradisi menyediakan wadah
batu berisi air dalam agama Buddha dan Shinto. Sebelum berdoa di kuil, orang
berkumur dan membersihkan diri dengan air dari wadah batu yang disebut chōzubachi.
Wadah batu yang diletakkan di tanah disebut tsukubai chōzubachi
(disingkat tsukubai) karena orang yang mengambil air harus berjongkok (tsukubau).[5]Setelah
banyak dipasang di taman-taman, tsukubai akhirnya dijadikan perlengkapan
standar di taman-taman rumah teh.
Selain tsukubai terdapat dua bentuk lain
wadah air dari batu. Wadah batu yang memungkinkan orang mengambil air sambil
berdiri disebut tachi chōzubachi (chōzubachi berdiri). Wadah air
yang diletakkan berdekatan dengan beranda bangunan disebut ensaki
chōzubachi (chōzubachi beranda).
Jembatan
Dalam desain taman dengan air sebagai subjek utama,
jembatan adalah elemen dasar yang menambah harmoni dalam lanskap. Jembatan juga
berfungsi sebagai penghubung bagian-bagian taman yang dipisahkan oleh air. Di taman batu Jepang, jembatan batu
dibangun untuk memberi kesan bahwa di bawah jembatan ada "air" yang
mengalir.
Di taman gaya
Jōdo, jembatan melambangkan jembatan Sungai Sanzu yang harus
diseberangi arwah orang yang meninggal untuk sampai ke akhirat.[6]
Selain itu, jembatan berfungsi sebagai pemisah, seperti halnya fungsi gerbang
tengah (chūmon) di taman teh yang memisahkan taman dalam (kawasan
sakral) dan taman luar (kawasan profan).
Dalam bahasa
Jepang, istilah taman (庭園 teien)
terdiri dari dua aksara kanji, niwa (庭 )
dan sono (園 ).
Istilah niwa mengacu kepada lahan berkerikil untuk melakukan kegiatan
sehari-hari dan upacara keagamaan, dan sono mengacu kepada lahan pertanian dan
sawah
berpengairan. Orang zaman Jōmon menamakan lahan tempat mereka melakukan
kegiatan, upacara keagamaan, dan mengumpulkan makanan sebagai niwa.
Benda-benda yang ada di lahan tersebut, seperti pohon, batu besar, air terjun,
dan kerikil di
pantai sering
kali dipercaya sebagai benda sakral yang dihuni oleh arwah suci. Pasir,
kerikil, atau batu dipakai untuk menandai tanah yang dipercaya sebagai tempat
sakral untuk berdoa. Batu-batu di laut dan gunung dipercaya dihuni atau digunakan
kami ketika
turun dari langit (iwakura). Susunan batu digunakan untuk menandai
tempat suci (altar) yang disebut iwasaka.
Naskah tertua yang menyebutkan tentang niwa
adalah Manyōshū yang mengaitkan niwa dengan laut luas dan tempat
orang memancing.
Setelah orang Jepang mengenal cara bertani, niwa berarti halaman di
depan rumah untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Setelah teknik pertanian
dikenal orang zaman Yayoi, kata sono dipakai untuk menyebut
lahan beririgasi yang ditanami padi.
Elemen dasar, prinsip, dan tema-tema untuk taman
sudah dikenal orang Jepang sejak zaman Heian.
Buku-buku klasik mengenai pertamanan hingga kini masih dijadikan pedoman
sewaktu membangun taman Jepang. Buku pertamanan tertua di Jepang adalah Sakuteiki
(作庭記
,
Catatan Membuat Taman) yang ditulis pada pertengahan zaman Heian.
Pengarangnya diperkirakan bernama Tachibana no Toshitsuna.
Dalam Sakuteiki, prinsip-prinsip pertamanan dari Cina disesuaikan dengan
estetika dan kondisi alam di Jepang. Konsep-konsep dalam Sakuteiki antara lain
diterapkan di taman lumut
Saihō-ji di Kyoto. Tidak
seperti halnya buku pertamanan dari zaman sesudahnya, Sakuteiki hanya berisi
teks dan tidak dilengkapi ilustrasi. Di antara buku pedoman pertamanan dari
zaman yang lebih modern terdapat buku yang diperkirakan ditulis tahun 1466, Sanzui Narabi
ni Nogata no Zu (山水并野形図 ,
Ilustrasi untuk Merancang Lanskap Gunung dan Air) dan Tsukiyama
Teizōden (築山庭造伝
,
Catatan Pembangunan Taman Bukit Buatan) terbitan tahun 1735. Tsukiyama
Teizōden disusun dari buku pertamanan yang lebih awal, termasuk Tsukiyama
Sansuiden (築山山水伝 ,
Catatan Bukit Buatan, Gunung dan Air) dan Sanzui Narabi ni Nogata no
Zu.
Sepanjang zaman Nara,
pengaruh budaya Cina diterima Jepang dari Dinasti
Tang, termasuk di bidang arsitektur dan pertamanan.
Dari ajaran Taoisme, orang Jepang mengenal legenda orang bijak bernama Sennin (Xian). Sennin konon hidup
abadi dan tinggal di seberang lautan di Gunung Hōrai (Gunung Penglai). Sejak zaman
Kamakura, di berbagai tempat di Jepang dibangun taman dengan pulau kecil di
tengah-tengah kolam. Pulau-pulau kecil tersebut dinamakan pulau burung
jenjang (tsurujima) dan pulau kura-kura (kamejima).
Pulau kecil di tengah kolam merupakan lambang pulau tempat tinggal Sennin,
sekaligus bentuk harapan umur panjang dan hidup abadi. Di atas pulau kecil
tersebut ditanam pohon tusam yang melambangkan umur panjang karena daunnya selalu
hijau sepanjang tahun.
Pada zaman
Muromachi, biksu Zen
membangun taman dari batu, pasir, dan kerikil (karesansui) yang
mencerminkan konsep Zen mengenai disiplin, mawas diri, dan pencerahan. Taman batu Zen dimaksudkan untuk meditasi, dan
biasanya dibangun di sebelah selatan kuil. Hamparan pasir dan kerikil diatur
dengan penggaruk bambu untuk membuat
berbagai macam pola air seperti ombak, pusaran air, dan riak air.
Taman dan gedung
mewah yang terlihat agung dan mencolok merupakan ciri khas arsitektur zaman Azuchi-Momoyama. Sebagai
reaksi dari kemewahan tersebut tercipta kesederhanaan dalam seni minum teh dan
taman rumah teh (roji).

Tidak ada komentar:
Posting Komentar