SURPRISE
Seorang siswi remaja SMA terlihat sangat muram.
Menatap lurus pada buku yang sedang dipegangnya. Membiarkan kesunyian di dalam
kelas beralun.
Dua cowok datang mendekat, sehingga
membuat Megumi kaget.
“Hai Meg, kamu belum pulang?” sapa Kyu sambil
menepuk bahuku, membuatku terpaksa menoleh kearah suara seseorang yang tengah
menatapku.
“Belum nih. Meg sedang membuat tugas Bahasa Indonesia” sahutku
santai. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda. Lalu, tanpa
diminta, Kyu mengambil kursi dan meletakkannya disampingku. Demikian pula Ryu.
Suasana di kelas siang itu
memang sangat sepi karena semua teman-temanku sudah pulang ke rumah
masing-masing sedari tadi.
“Kyu dan Ryu juga belum pulang??” tanyaku
kemudian, tanpa menoleh kearah Kyu dan Ryu, masih tetap tekun menatap buku yang
ku pegang.
“Ntar ah. Kyu malas di rumah, nggak ada
temennya” sahut Kyu murung.
Meg membiarkan Kyu dan Ryu, dua sahabatnya kini
larut dalam keheningan.
“Meg, nanti kamu temenin kita mau nggak?” ajak
Kyu ragu-ragu sambil menatapku dalam-dalam.
Aku masih saja sibuk dengan pekerjaanku
sehingga aku tidak melihat raut wajah Kyu berubah. Tanpa menolehnya, aku
cepat-cepat merespon, “Memangnya Kyu dan Ryu mau kemana sih?” tanyaku
penasaran.
“Ada deh…” balasnya lagi.
Dan seketika raut wajahnya kembali ceria setelah aku mulai tertarik dengan
ajakannya.
“Sorry, Meg nggak bisa, abis
tugasnya banyak banget” protesku halus.
“Kalau githu Kyu
tunggu Meg aja. Lagian, Kyu nggak sibuk kok. Gimana??” tawar Kyu baik hati.
“Emm…ok
deh”. Seketika saja, senyum Kyu mengembang. Sekilas, Kyu dan Ryu saling pandang
penuh arti. Aku tidak menggubrisnya.
***
Cuaca
hari itu sangat panas. Kami melewati teriknya matahari dengan langkah berat.
Tidak terasa, kami telah tiba di sebuah supermarket
yang megah setelah lima
belas menit berjalan kaki di tengah jalan raya.
Toko atau supermarket “SAGA” ini setiap hari dipadati oleh pengunjung.
Tidak jarang pendapatan di supermarket ini lumayan besar dibandingkan dengan
supermarket yang lainnya. Selain bangunannya yang megah dan luas, kebutuhan
yang kita inginkan telah tersedia, mulai dari perlengkapan rumah tangga sampai games
(itu loh yang biasa disebut anak-anak remaja sebagai TIME ZONE) serta ayam
goreng kentaki (KFC). Kebanyakan dari
pengunjung golongan menengah dan golongan atas saja yang berani
berbelanja ke toko tersebut.
“Wah…keren banget ruangannya. Meg bener-bener
nggak nyangka bisa kesini” ujarku lagi tanpa henti-hentinya mengagumi ruangan
yang berada dihadapanku tanpa berkedip. Selain itu, ruangannya dipenuhi oleh AC
sehingga udaranya semakin dingin.
“Kalau githu, Meg mau pesan apa?” tawar Kyu kemudian.
“Terserah Kyu aja deh. Lagian Meg belum pernah nyoba satu pun ayam
goreng kentaki” ujar Meg malu.
“Ok”.
Kyu segera berpaling kepada Ryu “Ryu mau pesan
apa??” tawar Kyu lagi.
“Terserah Kyu aja” sahut Ryu ramah, yang sedari
tadi cuma diam.
“Kalau githu Kyu pesan makanannya dulu ya?”.
Belum sempat kami menjawab pertanyaannya, dia sudah pergi memesan makanan
kepada pelayan yang sedang sibuk melayani pembeli, meninggalkan kami berdua.
“Ngomong-ngomong tugas Meg tadi udah selesai?”
Ryu bermaksud memulai percakapan.
“Udah kok.”
***
Tiga jam telah berlalu dan hari sudah semakin
sore. Kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing dengan naik angkot.
“Kyu, thanks ya…untuk hari ini” ucapku
senang sekaligus puas.
“Sama-sama” balasnya juga terlihat senang.
Pembicaraan kami berakhir ketika aku sudah
turun dari taksi. Aku melambaikan tangan
ke arah Kyu dan Ryu. Mereka pun membalas lambaian tanganku.
Setelah Kyu mentraktirku dan Ryu, dia tak
pernah kelihatan. Ternyata Kyu bermaksud memberikan kenang-kenangan kepada kami
sebelum dia pergi. Kyu tidak punya pilihan selain mengikuti orang tuanya pindah
tugas. Kyu belum pernah menceritakan hal ini kepadaku sebelumnya. Bahkan, Ryu
yang memberitahuku mengenai kepergiannya.
SURPRISE
Seorang siswi remaja SMA terlihat sangat muram.
Menatap lurus pada buku yang sedang dipegangnya. Membiarkan kesunyian di dalam
kelas beralun.
Dua cowok datang mendekat, sehingga
membuat Megumi kaget.
“Hai Meg, kamu belum pulang?” sapa Kyu sambil
menepuk bahuku, membuatku terpaksa menoleh kearah suara seseorang yang tengah
menatapku.
“Belum nich. Meg sedang membuat tugas Bahasa Indonesia” sahutku
santai. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda. Lalu, tanpa
diminta, Kyu mengambil kursi dan meletakkannya disampingku. Demikian pula Ryu.
Suasana di kelas siang itu memang sangat sepi
karena semua teman-temanku sudah pulang ke rumah masing-masing sedari tadi.
“Kyu dan Ryu juga belum pulang??” tanyaku
kemudian, tanpa menoleh kearah Kyu dan Ryu, masih tetap tekun menatap buku yang
dipegangnya.
“Ntar ah. Kyu malas di rumah, nggak ada
temennya” sahut Kyu murung.
Meg membiarkan Kyu dan Ryu, dua sahabatnya kini
larut dalam keheningan.
“Meg, nanti kamu temenin kita mau nggak?” ajak
Kyu ragu-ragu sambil menatapku dalam-dalam.
Aku masih saja sibuk dengan
pekerjaanku sehingga aku tidak melihat raut wajah Kyu berubah. Tanpa
menolehnya, aku cepat-cepat merespon, “Memangnya Kyu dan Ryu mau kemana sich?”
tanyaku penasaran.
“Ada dech…” balasnya lagi.
Dan seketika raut wajahnya kembali ceria setelah aku mulai tertarik dengan
ajakannya.
“Sorry, Meg nggak bisa, abis
tugasnya banyak banget” protesku halus.
“Kalau githu Kyu tunggu
Meg aja. Lagian, Kyu nggak sibuk kok. Gimana??” tawar Kyu baik hati.
“Emm…ok
deh”. Seketika saja, senyum Kyu mengembang. Sekilas, Kyu dan Ryu saling pandang
penuh arti. Aku tidak menggubrisnya.
Satu jam kemudian, tugas yang aku kerjakan
sudah selesai. Seperti janjiku tadi, aku akan menemani Kyu dan Ryu pergi, entah
kemana mereka akan mengajakku pergi. Aku semakin penasaran. Aku sudah
menanyakan itu kepada Kyu berkali-kali. Tetapi, jawabannya tetap sama “Ada dech…”. Dan langkah
kaki kami meninggalkan sekolah pun dimulai.
*****
Cuaca
hari itu sangat panas. Ditengah perjalanan, Kyu cerita banyak hal, terutama
mengenai kepergiannya.
“Oh ya, sebenernya Kyu mau ngajak Meg kemana
sich?” tanyaku penasaran.
“Liat aja ntar. Kebetulan Kyu sedang mendapat berkah.
Sebenernya sich berkah dari Mum. Tapi, Mum memberikannya kepada
Kyu” katanya menjelaskan.
“Tapi kalau uang Kyu abis, gimana??” tanyaku
bingung sekaligus bercanda.
“Ya nggak lah…. Lagian uang Kyu nggak ada
artinya sama sekali jika dibandingkan dengan persahabatan kita. Kyu mau
memberikan kenang-kenangan ke Meg dan Ryu sebelum Kyu pindah” nada suaranya
terdengar lirih.
“Pindah???? Memangnya Kyu mau pindah ke mana?”.
Aku sangat kaget ketika mendengar ucapannya barusan.
“Kyu… mau pindah ke Bandung ” sahutnya dengan suara terbata-bata.
“Kenapa… Ehm… maksud Meg kenapa Kyu mesti
pindah? Kenapa nggak sekolah disini aja sampe lulus???” mataku mulai
berkaca-kaca.
“Kyu gak bisa nglanjutin sekolah di sini. Kyu
harus ikut Mum dan Dad kerja.”
Tidak terasa, kami telah tiba di sebuah
supermarket yang megah setelah lima
belas menit berjalan kaki di tengah jalan raya.
Toko atau supermarket “SAGA” ini setiap hari dipadati oleh pengunjung.
Tidak jarang pendapatan di supermarket ini lumayan besar dibandingkan dengan
supermarket yang lainnya. Selain bangunannya yang megah dan luas, kebutuhan
yang kita inginkan telah tersedia, mulai dari perlengkapan rumah tangga sampai games
(itu loh yang biasa disebut anak-anak remaja sebagai TIME ZONE) serta ayam
goreng kentaki (KFC). Kebanyakan dari
pengunjung golongan menengah dan golongan atas saja yang berani
berbelanja ke toko tersebut.
“Kyu yakin mau ngajak Meg
kesini?. Apa nggak salah?” tanyaku bingung sambil menatapnya heran, tidak
percaya.
“Salah???. Ya nggak lah. Kyu bener-bener yakin
kok mau ngajak Meg kesini” balas Kyu yakin.
“Masa?!, Meg gak percaya”.
“Yah… dibilangin gak percaya” balas Kyu
meyakinkan.
Sambil berjalan menyusuri tangga yang terletak
di lantai dua, tiba-tiba saja Kyu menawarkan sesuatu, “Meg, kita makan ayam
goreng kentaki combo 6 aja ya…” tawar Kyu kepadaku seraya tersenyum.
Aku yang nggak ngerti apa-apa langsung
menyahut, “Iya dech” sahutku tersenyum geli.
“Aduh… Meg belum pernah coba kentaki aja udah
sok tau lagi” Kyu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ya… abis Kyu nanya sich. He…he…he…”.
“Wah…keren banget ruangannya. Meg bener-bener
nggak nyangka bisa kesini” ujarku lagi tanpa henti-hentinya mengagumi ruangan
yang berada dihadapanku tanpa berkedip. Selain itu, ruangannya dipenuhi oleh AC
sehingga udaranya semakin dingin.
“Halloo…, Meg, kamu nggak papa kan ?” Kyu melambaikan
tangannya di depan wajahku yang belum mau mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Eh, iya kok. Meg nggak papa” sahutku kaget.
“Kalau githu, Meg mau pesan apa?” tawar Kyu cepat.
“Terserah Kyu aja deh. Lagian Meg belom pernah nyoba satu pun ayam
goreng kentaki” ujar Meg malu.
“Ok”.
Kyu segera berpaling kepada Ryu “Ryu mau pesan
apa??” tawar Kyu lagi.
“Terserah Kyu aja” sahut Ryu ramah, yang sedari
tadi cuma diam.
“Kalau githu Kyu pesan makanannya dulu ya?”.
Belum sempat kami menjawab pertanyaannya, dia sudah pergi memesan makanan
kepada pelayan yang sedang sibuk melayani pembeli, meninggalkan kami berdua.
“Ngomong-ngomong tugas Meg tadi udah selesai?”
Ryu bermaksud memulai percakapan.
“Udah kok.”
Aku mengambil posisi tempat duduk di pojok
tembok sambil menunggu pesanan datang. “Nich, pesanannya”. Tanpa aku sadari,
Kyu telah mendaratkan tiga piring dan gelas minuman bersoda. Kami pun melahap
kentaki yang berada di depan kami masing-masing dengan penuh selera. Tentu saja
aku sangat bersemangat melahap makanan yang berada dihadapanku karena baru
pertama kali ini aku ditraktir oleh temanku di toko “SAGA”. Ini benar-benar
sebuah kejutan untukku.
“Meg, habisin lho… makanannya” kata Kyu mengingatkan.
“Iya. Tenang aja, Kyu. Meg akan menghabiskan
semua makanannya kok” Meg berkata senang, menjejalkan sepotong ayam goreng
kentaki ke mulut.
“Kyu juga pernah mentraktir temen-temen sekelas
ketika Kyu ulang tahun. Dad kan
kerja disini”.
Meg menatap Kyu dengan bersemangat “Oh ya…,
enak donk” sela Meg senang, disaat sepotong kentaki masuk ke dalam mulutnya.
“Ya… jelas lah. Pendapatan di KFC ini juga
sangat besar tiap harinya. Banyak banget yang datang ke sini. Kadang kalau Dad
pulang selalu dibawain kentaki” ujar Kyu puas.
Seiring berjalannya waktu, pengunjung yang
sedari tadi bersantai ria menikmati hidangannya masing-masing, kini telah
beralih meninggalkan ruangan ber-AC tersebut. Hanya tinggal tiga anak remaja
yang masih asyik mengobrol.
“Yuk cuci tangan. Nanti Kyu ajari Meg bagaimana
menggunakan air kran disini” ajak Kyu setelah selesai makan. Aku menuruti
ajakan Kyu.
Sebelum mencari taksi pulang, kami mampir
sebentar di pusat pembelanjaan pakaian. Kyu juga membelikan aku sebuah kaos dan
beberapa snack.
Tiga jam
telah berlalu dan hari sudah semakin sore. Kami memutuskan untuk pulang ke
rumah masing-masing dengan naik angkot.
“Kyu, thanks ya…untuk hari ini” ucapku
senang sekaligus puas.
“Sama-sama” balasnya juga terlihat senang.
Pembicaraan kami berakhir ketika aku sudah
turun dari taksi. Aku melambaikan tangan
kearah Kyu dan Ryu. Mereka pun membalas lambaian tanganku.
*****
Keesokan harinya, Kyu tiba-tiba mengajakku
pergi.
“Kyu, kamu mau ngajak Meg kemana sich?,
kelihatannya kamu buru- buru” protes Megumi tak henti-hentinya.
“Liat aja ntar” sambung Kyu pendek.
Kami menyusuri sederetan pemuda-pemudi yang
tengah asyik duduk berduaan dengan mesra. Aku langsung membelalakkan mata ke
arah Kyu.
“Kyu, kenapa kita kesini?. Memangnya gak ada
tempat lain ya?” geram Meg marah.
Kyu berpura-pura tidak memperhatikanku. Matanya
melayangkan ke sederetan pemuda-pemudi, mencari bangku yang masih kosong.
“Yuk, kita duduk disebelah sana ” ajak Kyu, sementara itu tangannya
teracung ke sebuah kursi yang berada diujung jendela.
Dengan setengah hati, aku berusaha tersenyum
kepadanya.
“Meg, jangan cemberut terus dunk” bujuk Kyu
lembut, setelah mereka mendaratkan diri ke sebuah bangku yang dipilihkan Kyu.
Aku balas mencibirnya puas. “Abis Kyu ngajak
Meg ke sini. Ini tempat orang yang sedang bermesraan. Apa Kyu gak liat?.”
Ketika kejengkelanku memuncak, Kyu memberikanku
sebuah kejutan yang tak terduga. Kyu membungkuk dihadapanku, terpaku menatapku
dengan raut wajah serius. Dengan malu-malu, Kyu menyatakan perasaan yang selama
ini dipendamnya kepadaku.
Tak kusangka, aku langsung setuju menerima
cintanya, tanpa berpikir panjang.
Sudah sebulan, kami menjalin hubungan. Namun,
tak terpikir oleh kami, bahwa ada seseorang yang tengah memperhatikan hubungan
kami berdua.
“Lho, Ryu belom tidur ya?” sapa Kyu suatu
malam, melihat Ryu tengah asyik menonton TV bersama ibu Kyu.
Pandangan Ryu beralih ke Kyu yang baru saja
menutup pintu dibelakangnya, seraya berkata “Belom ngantuk” sahut Ryu datar.
“Lain waktu, Kyu usahakan jangan pulang terlalu
malam ya?” ibu Kyu memberi nasihat.
“OK”. Kyu menyapu acara TV yang sedang
berlangsung, lalu melanjutkan “Ngantuk nich, Kyu tidur dulu ya?” komentar Kyu
lelah.
Seakan Kyu menghilang dari bumi, Ryu mulai
panik. Ryu bergegas berpamitan kepada ibu Kyu yang masih memandang acara TV,
“Tante, Ryu ke kamar dulu”.
Ibu Kyu hanya menganggukkan kepala pelan.
Sedetik kemudian, Ryu bergegas mengejar Kyu
yang langsung menghambur ke kamar.
“Kyu, gimana hubungan kamu ama Meg?” tanya Ryu
dingin, ketika berhasil mengejar Kyu.
Kyu masih menatap langit-langit, memikirkan
jawaban yang akan diberikannya kepada Ryu.
Lalu, Kyu menoleh “Benar-benar lancar, tak ada
hambatan satu pun” tukas Kyu nyengir.
Ryu bingung dengan jawaban yang diberikan Kyu,
entah apa maksudnya.
Tak lama kemudian, Kyu dan Ryu tertidur pulas,
tidak memusingkan lagi keributan acara TV yang membuat kepala pening.
Esok datang begitu cepat. Kyu merasa letih
begitu beranjak dari tempat tidur. Sementara itu, Ryu sudah bertengger di meja
makan, siap menikmati hidangan pagi itu. Terdengar suara nyaring Ibu Kyu yang
tak bosan memanggil anaknya agar lekas menuju meja makan.
“Kyu, kamu belom bangun juga?!. Ini sudah
siang!” seru Ibu Kyu kesal, mengetuk pintu kamar Kyu.
Kyu menguap lebar-lebar, membukakan pintu untuk
ibunya yang sedang menceramahinya tentang “etika bangun tidur yang baik”.
“Maaf ya bu, Kyu capek banget semalam” timpal
Kyu muram.
Terdengar bunyi mendesis yang dilontarkan Ibu
Kyu kepada anaknya. “Kyu cepat cuci muka lalu mandi, dan setelah itu turun ke
meja makan. Ryu sudah menunggu Kyu dari tadi” omel Ibu Kyu kesal.
“Iya” sahut Kyu malas.
Waktu sarapan pagi hampir lewat, ketika Kyu
sedang menuruni tangga yang tak terhitung jumlahnya.
“Pagi, Ryu” sapa Kyu lemas. Ibu Kyu sudah
beranjak dari kursinya. “Kyu merasa hari ini ada yang aneh” Kyu berkomentar tak
jelas.
“Apa yang aneh, Kyu?” sambung Ryu
lambat-lambat, alisnya terangkat.
“Mum”.
“Ibu Kyu?” lanjut Ryu masih tak mengerti.
“Ya. Mum marah-marah pagi ini. Apa
tidurnya tidak pulas ya semalam?” kata Kyu terus terang, nyengir.
Ryu tak tahu harus tertawa atau simpati,
melihat sahabatnya yang sedang tertimpa kemalangan. “Mungkin Ibu Kyu sedang
banyak pikiran” Ryu menghibur, bangkit dari kursi seraya mengambil piring
dihadapannya.
“Yeah, Ryu benar. Orang dewasa memang banyak
yang dipikirkan” gumam Kyu lirih, sembari mengenyakkan diri ke kursi, tepat
disamping Ryu.
Sisa hidangan pagi itu yang tersaji di meja
cukup banyak. Namun, Kyu tidak bersemangat melahap hidangan tersebut. Hingga
akhirnya, Kyu hanya memasukkan dua potong ayam goreng ke mulutnya dengan
asal-asalan, yang hanya ditemani oleh udara dingin disekitarnya.
Kyu menghabiskan satu jam dengan memandangi
meja di hadapannya dengan tatapan kosong. Ryu telah berbalik membantu Ibu Kyu
mencuci piring. Sebaliknya, Kyu sekali lagi mendapat serangan bertubi-tubi dari
Ibunya sendiri, yang segera dibalas Kyu dengan jawaban “YA” atau “TIDAK”.
Pertemuan Kyu dengan Meg ketika matahari hampir
terbenam, bisa membuat suasana hati Kyu sedikit lebih cerah sehingga pertengkaran
dengan Ibunya pagi itu telah dilupakannya dalam sekejap.
Silaunya matahari membuat wajah Kyu dan Meg
memerah. Mereka menikmati keindahan panorama sore menjelang petang itu dengan
bergairah.
Udara pantai semakin dingin, beberapa orang
yang menikmati keindahan matahari terbenam mulai berhamburan pulang. Ada sepasang kekasih yang
masih duduk-duduk di pasir. Ternyata, masih ada seorang lagi dan tak
menggandeng cewek, memandang tajam ke arah sepasang kekasih tersebut.
“Ryu?!”.
Ryu terlonjak begitu mendengar suara yang
dikenalnya menyapanya. Dia baru menyadari bahwa Kyu dan Meg sudah pergi dan
menemukannya sedang memperhatikan mereka berdua.
Ryu berbalik menghadap Kyu dan Meg yang masih
terpaku, aneh melihatnya berdiri sendirian di pantai..
“Ryu sedang mencari udara segar” sengal Ryu
salah tingkah, berusaha tersenyum semanis mungkin.
“Ryu gak bohong kan ?” tanya Kyu penuh curiga.
“Gak kok. Kyu gak percaya ya?” sahut Ryu masih
gugup.
“Kyu tadi liat Ryu berdiri di bawah pohon ini
sudah lama. Jadi, Ryu jujur aja. Ngapain Ryu memperhatikan kami?. Kyu
sebenarnya sudah tahu bahwa Ryu memperhatikan kami sudah lama. Tapi, Kyu tidak
tahu pasti apakah dugaan Kyu benar” kata Kyu menjelaskan panjang lebar.
Masih tersenyum, Ryu melanjutkan “Kyu ngomong
apa sich?. Ryu gak ngerti?” potong Ryu bertampang polos.
Ryu yang melupakan bahwa Meg juga berada di
dekatnya, langsung menyapanya “Hai, Meg”.
“Eh…ya” sengal Meg kaget.
Kyu yang baru saja mendapat suntikan es
cepat-cepat berpaling kepada Meg yang masih shock. Shock antara takjub dan
heran melihat perubahan suasana antara Kyu dan Ryu.
“Meg, kamu gak papa kan ?” tanya Kyu cemas.
“Eh, gak papa kok” Meg berusaha
tersenyum, masih kaget.
Wajah Ryu yang masih tetap tersenyum,
mendahului Kyu yang akan membuka mulut “Kyu, Meg, Ryu pulang dulu ya. Ada pekerjaan yang belum
Ryu selesaikan. Bye…”. Ryu berbalik memunggungi Kyu dan Meg yang masih
menatapnya tak percaya.
“Sepertinya sikap Ryu tadi sedikit aneh ya,
Kyu?” Meg tiba-tiba saja melontarkan pertanyaan, yang tidak langsung disambut
Kyu dengan jawaban.
Kyu menarik nafas dalam-dalam.
Awan mulai menghilang. Begitu pula matahari
telah kembali ke pangkuan-Nya. Sepasang kekasih telah meninggalkan aroma pantai
yang mulai dingin.
Kepulangan sepasang kekasih tadi, telah
dinantikan oleh keluarganya. Namun, suasana hati Kyu tidak juga membaik.
Di meja makan, suasana hati Kyu maupun Ryu tak
bisa ditebak. Mereka hanya melahap hidangan di depannya dalam diam. Beberapa
kali Ibu Kyu menanyai keadaan mereka berdua, jawabannya selalu sama “BAIK” dan
“TAK ADA MASALAH”.
Setelah mengisi perut, Kyu dan Ryu mengunjungi
kamar. Mereka berdua seakan rindu dengan kasurnya yang empuk. Masih berjalan
dalam diam.
Kyu tidak memandangnya. Ryu juga tidak merasa
perlu dipandang.
“Tidak… Kyu tidak salah kok. Ryu yang
seharusnya minta maaf karena Ryu bersikap tidak sopan kepada Kyu” jelas Ryu
panjang lebar. Tetapi, tergambar dengan jelas di wajah Ryu dia hanya
berpura-pura.
Ryu berbalik memunggungi Kyu, menatap bintang
yang bersinar di langit malam melalui celah jendela.
Kyu menimbang-nimbang sejenak apakah dia akan
memberitahukan hal ini kepada Ryu.
“Ryu?” panggil Kyu berhati-hati, beralih
memandang Ryu yang masih memunggunginya.
Ryu membalikkan tubuhnya hingga telentang,
segera memandang Kyu “Ya”.
“Ryu suka Meg?” tanyanya terbata-bata.
Alis Ryu mulai mengerut. “Apa?. Kyu bicara
apa?. Kyu mungkin mengantuk jadi pikirannya sudah kacau. Kita tidur saja ya?”
kata Ryu membelokkan pembicaraan.
“Kyu sudah tahu kalau Ryu suka Meg sejak kita
makan bersama di KFC. Jadi, Kyu mohon Ryu jujur saja”.
Darah Ryu hampir mau menetes. Akhirnya Ryu
terpaksa menyerah.
“Ryu memang sudah lama menyukai Meg. Tapi, Ryu
sengaja menyembunyikan semua ini dari Kyu” celutuk Ryu gusar, takut Kyu
membentaknya, tapi alih-alih Kyu menyapu Ryu yang sengaja tidak memandangnya.
“Kenapa Ryu tidak mau bilang kepada Kyu?. Kita
sudah lama bersahabat kan ?”
timpal Kyu cepat.
“Karena Ryu tahu Kyu juga menyukai Meg. Ryu gak
pengen hubungan Kyu dan Meg juga berantakan” sengal Ryu, memberanikan diri
mendongak ke arah Kyu.
“Ryu bicara apa sich?. Nggak mungkin kita
bertengkar karena hal kecil seperti ini” bantah Kyu lembut.
Ryu baru saja mendapat suntikan segar dari Kyu.
Dia lega bahwa Kyu tidak akan memutuskan persahabatan dengannya.
Lalu, tanpa disadari, Kyu melompat bangun dari
tempat tidur dan menengadah memandang Ryu. “Ryu, selama ini Kyu tidak pernah
minta apapun dari Ryu. Kyu mohon Ryu mau mengabulkan satu permohonan untuk Kyu”
bisik Kyu memohon, ekspresi wajahnya serius.
“Apa itu, Kyu?”.
“Tolong jaga Meg baik-baik selama Kyu pergi.
Ryu mau kan
memenuhi permohonan Kyu?”.
Ryu menimbang-nimbang sejenak, mengapa Kyu
menyuruhnya menjaga Meg. Ryu pun berkata “Baiklah, untuk Kyu. Ryu akan menjaga
Meg sampai Kyu kembali”.
Kyu langsung memeluk Ryu erat-erat, yang
disambut Ryu dengan pekikan kaget. “Kyu…!”.umpat Ryu kesal.
“Maaf, Ryu. Tapi, Kyu senang sekali. Kyu akan
memberitahu Meg”.
“Jangan. Ryu mohon. Biarkan ini menjadi rahasia
kita berdua. Ryu nggak mau Meg sedih” potong Ryu kemudian, ada nada tegas dalam
suaranya.
“Baiklah” sahut Kyu ringan. Kyu melanjutkan
dengan mantap “Kalau githu, Kyu berjanji kepada Ryu”.
“Apa?”.
“Itu rahasia…” sorak Kyu penuh kemenangan. Ryu
membalasnya dengan seulas senyum
Tiga tahun telah berlalu, aku
tidak pernah lagi melihat Kyu. Sepanjang hari, aku selalu ditemani Ryu. Ryu
menepati janjinya demi Kyu. Janji bahwa mereka berdua tidak akan pernah
berbohong. Dua anak yang memiliki ikatan persahabatan yang dilandasi ketulusan
hati yang kuat, membawa kepercayaan penuh yang tak bisa dihancurkan oleh apapun
juga. Ibu Kyu menyuruh Kyu terus mempercayai Ryu karena hanya dia yang bisa
melakukannya. Itu yang paling penting. Kalau kita yakin bahwa ada orang yang
selalu mempercayai diri kita, mungkin tidak akan banyak orang yang melakukan
kejahatan.
Perpisahan yang mendadak
membuat Meg merasa sangat terpukul oleh kepergian Kyu.
“Ryu…” panggil Meg suatu hari
ketika mereka berada di taman.
“Ya?” sahut Ryu pendek.
“Kyu gak pamitan sama Ryu ya?.
Kok sama Meg Kyu gak pamitan sich??” tandas Meg sedih.
“Kyu pamitan sama Ryu. Tapi,
Kyu menyampaikan pesan buat Meg” hibur Ryu yang langsung disambut Meg dengan
gembira.
“Kyu bilang Meg harus jaga
diri baik-baik. Kalau Kyu sudah pulang, Kyu akan menghampiri Meg untuk yang
pertama kali.”
“Benarkah??. Terima kasih ya,
Ryu”.
“Tentu saja.”
SELF
Akhir-akhir
ini aku selalu merasakan kesepian. Aku telah kehilangan orang-orang terdekatku
yang selalu membuatku selalu ceria dan bersemangat setiap hari. Entah mengapa
mereka begitu cepat meninggalkanku seorang diri sehingga aku merasa kesepian.
Namaku Fina. Itulah nama yang biasa
dipanggil oleh teman-temanku di dalam kelas. Aku mempunyai sahabat, bernama
Santi. Kami selalu bermain bersama. Maklumlah, kami memang tetangga dekat. Dia
yang selalu menemani aku dalam suka maupun duka semenjak kecil. Tidak jarang
aku setiap hari bermain ke rumahnya. Begitu juga sebaliknya. Kami selalu kompak
dalam berbagai hal, terutama berangkat dan pulang sekolah selalu bersama-sama.
Took,
took, took. Suara ketukan pintu dari luar rumahku terdengar. Aku yakin pasti Santi sudah datang. Ternyata
benar. Dia memang selalu datang pagi ketika akan pergi sekolah. Dia berdiri
menungguku didepan pintu rumahku. Langsung saja aku bukakan pintu.
Ternyata kebahagiaanku bersama kedua
sahabatku merupakan langkah menuju kesedihan yang akan aku alami sepanjang
hidup, karena kehadiran mereka telah menggantikan ruang hatiku yang kosong.
Kini, ruang itu sudah tidak memiliki kebahagiaan lagi. Rosa
telah pergi ke Sorong dan bersekolah disana, sedangkan Santi pergi ke Jawa
mengikuti ortunya. Walaupun aku tahu, masa depan yang akan aku lalui masih terasa
sangat panjang. Namun, kepergian mereka yang telah membuat hidupku menjadi tak
berarti lagi. Aku sudah berusaha tegar dalam kondisi apapun, tapi tetap saja
hal itu tidak bisa mengubah semuanya. Itu yang membuatku sangat terpukul oleh
kepergian kedua sahabatku. Satu hal yang tidak akan pernah aku hilangkan dari
hatiku, aku akan tetap mengenangnya sebagai sahabat terbaikku.
TEACHER
Berbicara
mengenai guru, aku merasa bersalah sekali mengingat peristiwa itu. Peristiwa
yang tidak akan pernah aku lupakan sepanjang hidup. Aku benar-benar sangat
menyesal telah menyia-nyiakan hari-hari terakhir bersama dengan seseorang yang
aku kagumi. Dan aku baru menyadarinya setelah beliau pergi meninggalkan kami.
Aku tidak ingin berpisah dengan beliau. Aku ingin beliau mengajar kami lagi
selama setahun, sebelum kami meninggalkan sekolah selama-lamanya.
***
Ku buka jendela lebar-lebar. Udara pagi langsung
menyergap tubuhku.
Aku membutuhkan waktu lima belas menit untuk mempersiapkan
keperluan sekolahku.
Aku bernafas lega ketika pintu gerbang sekolah mulai
terlihat, tepat ketika bel masuk berbunyi.
Pak Haryanto berjalan terburu-buru dengan beberapa
buku di tangannya.
“Selamat pagi, anak-anak” pak Haryanto masuk kelas siap dengan materi
yang akan disampaikan.
“Pagi pak…” semua temanku menyapa beliau dengan bersemangat.
“Baik, kita buka buku halaman tiga. Harap semuanya memperhatikan”, itulah
satu pesan dari beliau untuk memulai pembelajaran.
Kegiatan belajar mengajar berlangsung dengan tertib. Tak seorang pun
murid yang berbicara. Mereka semua memperhatikan materi yang disampaikan oleh
Pak Haryanto di depan kelas.
Tiba-tiba saja…
Plak… Penghapus mendarat mengenai wajah Doni. Doni langsung kaget begitu
penghapus terjatuh tepat didepan mejanya.
“Jangan berbicara. Bicaranya nanti saja saat istirahat. PAHAM?????” wajah
beliau sangat marah sekali.
“Paham pak” desah Doni pelan, menahan sakit di wajahnya sambil
menundukkan kepala.
“Bukankah bapak tadi sudah memberitahu kalian, disaat guru menerangkan
jangan ada yang berbicara?!” celutuk beliau masih dengan muka berlipat lima . “Baiklah, kita
kembali lagi ke materi” lanjut beliau lagi, kembali menghadap papan tulis,
berusaha meredakan emosi.
Kantin sekolah.
Semua
teman-temanku sedang berkumpul membicarakan sesuatu yang asyik.
“Gak nyangka lho, ternyata pak Haryanto orangnya kejam. Masa, Doni ribut
aja langsung dilempar pake penghapus. Kan
sakit…” Sita memulai bercerita.
“Iya… bener juga. Lagian Doni gak harus dilempar pake penghapus kan ?. Sebaiknya beliau
menegurnya terlebih dahulu” sambung Nisa yang duduk disamping Sita.
Berbeda dengan pendapat Kilan.
“Kalau gwe sich, wajar aja dengan cara mengajar Pak Yanto. Itu kan lebih mendidik,
sehingga murid-muridnya bisa semakin rajin dan disiplin” sergah Kilan tidak
setuju dengan pendapat teman sepermainannya.
“Disiplin sich disiplin. Tapi… gak seharusnya mempelakukan muridnya
dengan cara kasar kan ?”
Sari membantah ucapan Kilan.
“Terserah dweh. Sampai kapanpun lu gak ngerti maksud gwe” jawab Kilan
putus asa, berbalik pergi.
Jujur, aku
senang dengan cara mengajar beliau. Tapi aku tidak terlalu suka apabila beliau
memperlakukan murid dengan cara kasar. Ada
yang bilang memperlakukan seseorang dengan cara kasar, orang tersebut bisa
menjadi lebih kasar lagi. Oleh karena itu, kita harus memperlakukan seseorang
dengan baik, lembut. Setidaknya kita harus saling pengertian satu sama lain.
Pak Haryanto
membuka les dimasjid. Bisa dibilang masjid adalah rumahnya juga karena beliau
memang tinggal di atas masjid.
Selama privat di
Pak Haryanto, aku merasa ada yang berubah, terutama tentang nilai ulangan dan
tugas. Memang di privat, Pak Haryanto mengharuskan anak-anak privat lebih
banyak menguasai ilmu fisika daripada murid beliau yang tidak mengikuti les.
Beliau tetap disiplin dan tegas. Namun, ada satu hal yang berubah dalam sikap
beliau selama di privat. Beliau menerapkan sikap santai tapi serius dalam
menyampaikan materi. Beliau menyuruh aku, Sirta, Wilna, Suti, Ersa, Writa,
Rosna dan tentu saja Al Rizna membaca materi fisika yang terdapat dibuku paket
sebelum masuk les. Tujuannya supaya kami dapat mengerti dan paham serta apabila
beliau memberi soal, kami dapat menjawabnya dengan benar.
Setengah tahun
aku mengikuti privatnya Pak Haryanto. Banyak pelajaran yang dapat aku ambil
hikmahnya dari beliau. Kita harus lebih giat belajar supaya mendapatkan nilai
yang baik. Itulah pesan terakhir yang disampaikan beliau kepada aku beserta
teman-teman sebelum beliau pergi meninggalkan kami. Beliau pindah tugas di
suatu daerah sehingga beliau tidak dapat membuka les privat lagi di sekolah
kami. Les privat itu sudah ditutup, tidak akan ada lagi yang mengikuti les
privat di Pak Haryanto.
Lain sekali
dengan Wilna yang sangat menyukai cara mengajar beliau. Dia senang sekali
diajar oleh beliau. Bahkan disaat pak Haryanto tidak mengajar ataupun terlambat
masuk kelas, Wilna langsung menjemput Pak Haryanto di masjid. Hanya Wilna yang
sangat sedih atas kepergian beliau. Dia sampai mengeluarkan air mata. Padahal
teman-temannya yang lain tidak sesedih Wilna. Aku sampai kasihan melihatnya.
Dia sangat terpukul sekali.
Suasana saat itu
dipenuhi oleh tangis dan kesedihan.
Mungkin aku
tidak akan pernah bisa bertatap muka dengan beliau lagi selamanya karena jarak
tempat kami terlalu jauh. Orang yang sangat aku kagumi, kini telah
meninggalkanku.
Aku sangat
terpukul oleh kepergian beliau. Sejak saat itu, aku pun berjanji tidak akan
menilai seseorang dari luarnya saja, tapi dari dalam hatinya juga karena aku
tidak ingin menyesal untuk yang kedua kalinya.
SEULAS KENANGAN
Aku siswi SMA
yang mempunyai banyak kenangan bersama teman-teman, walaupun kenangan itu hanya
bisa aku rasakan sesaat saja, namun kenangan itu akan tetap terukir abadi
selamanya dihatiku. Seulas kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan dalam
diriku bersama orang-orang yang aku sayangi.
“Reta,
kapan-kapan aku boleh tidak main ke rumah kamu?” tanya Arita ketika kami sedang
mengamati kendaraan lalu lalang.
“Boleh aja”
sahutku singkat.
“Emm… sekalian
besok bawain biskuat cokelat krim lagi ya?. Aku mau nambah lagi nih, masih
kurang” sambung Arita sambil cengengesan.
“Ok. Besok aku
bawakan sekardus ya?” gurauku sambil tertawa.
“Yah… terserah
kamu aja. Tapi, gratis ya?. He he he”.
“Bayar donk…,
masa gratis sih”.
“Itu kan tanggung jawab
penjualnya…”.
“Enak aja”. Kami
tertawa bersamaan.
Kami telah
berteman lama. Arita mudah menyesuaikan dengan lingkungannya. Aku bahkan pernah
pergi ke rumahnya. Rumahnya sangat tersembunyi. Arita pun telah mengunjungi
rumahku beberapa kali.
Satu tahun
berlalu begitu cepat, sehingga tidak terasa waktu itu sudah berganti dengan
hari yang ditunggu-tunggu oleh kami sekaligus hari yang menegangkan. Hari
dimana kami akan mendengarkan pengumuman kelulusan. Hanya sebagian
teman-temanku yang merasa santai mengenai adanya beberapa pengumuman yang akan
disampaikan kepada kami. Dan salah satunya adalah teman-temanku yang jenius
dalam hal pelajaran.
Sejak pengumuman
itu, aku tidak pernah kembali ke sekolah lagi karena sibuk mengurusi
kepindahanku. Padahal, masih ada beberapa pengumuman yang belum disampaikan
oleh guru mengenai keberangkatan rekreasi minggu depan. Tetapi, semua itu
sia-sia saja buatku karena aku tidak akan bisa ikut rekreasi bersama mereka.
Sampai,
perpisahan itu datang. Aku tak kuasa menolaknya. Perpisahan yang sangat
menyakitkan hatiku. Dengan terpaksa, aku harus meninggalkan tempat kelahiran
beserta teman-temanku. Mengikuti ayahku kerja.
“Reta, aku ikut
ke bandara boleh tidak?” tanyanya, saat di rumahku.
“Mau ngapain ke
bandara?” tanyaku heran.
“Yah,
ngantar kamu. Masa mau mandi?”.
“Boleh sih, tapi
kalau orang tua kamu nyariin gimana?”.
“Aku kan cuman pergi sebentar”.
Disaat-saat
detik terakhir, aku masih sempat melambaikan tangan padanya. Dia mengantarku ke
bandara. Bahkan, ketika pesawat sudah melesat di udara, aku masih bisa
melihatnya. Dia tersenyum padaku. Terakhir, dia berkata, “Reta, hati-hati ya?.
Dan jangan lupain aku ya?”. Aku pun tersenyum simpul mengingat kata-katanya
itu. Air mataku pun berjatuhan.
Begitulah,
kehidupan yang aku lalui bersama Arita. Arita adalah teman yang menyenangkan
buatku. Membuat hatiku menjadi lebih baik.
***
Lulus dari
sekolahan itu, kami semua berpisah. Aku pun pergi meninggalkan mereka semua
untuk selamanya. Hanya beberapa teman-temanku yang mengetahui kepergianku,
termasuk Arita. Walaupun, aku tidak tau pasti apakah aku masih diberi
kesempatan agar dapat menemui mereka lagi atau tidak.
KEBAHAGIAAN TEMAN
Kalau
Cupid Lagi Jatuh Cinta

Hallo!. Kenalin namaku Aline. Dulu aku cuma cewek biasa aja lho,
tapi semenjak temenku minta bantuan buat dipecahin masalah cintanya, dan sukses
total. Maka, mulai saat itu aku dikenal dengan sebutan Cupid Girl. Ada
kebanggaan tersendiri sih, karena aku sekarang udah punya penghasilan sendiri,
jadi aku nggak usah minta uang sama ortu. Biasanya aku dibayar sama orang untuk
tiap masalah cinta, itupun cuma seikhlasnya, alias terserah aja.
Oh,
ya temenku itu juga banyak banget lho, dari anak kelas 1, 2 dan 3 SMA, nggak
ketinggalan juga anak-anak OSISnya, secara aku kan anak OSIS, pokoknya satu sekolah itu
temen-temenku semua deh. Makanya aku jadi betah di sekolah.
Masalah
temen-temen itu buanyak banget. Salah satunya kayak masalah Laras ini, “Lin,
gue masalah nih, lo mesti bantuin gue!!” pinta Laras.
“Emang
apa yang bisa gue banting, eh dibantu?” tanyaku. “Gini, gue suka ma cowok,
namanya Randi. Dia nggak kenal gue sih. Tapi, gue pingin banget dia kenal gue
and jadi temen gue, tapi ya kalo bisa dia jadi cowok gue, bisa ya!. Ntar gue bayar
dobel deh!” kata Laras memelas.
“Oke,
oke deh. Serahin semua sama gue, tapi urusan pembayaran dibayar setengahnya
dulu donk, ok!” kataku. “Ok!. Nih, sorry gue Cuma bisa mbayar segini soalnya
gue tadi terburu-buru sih ke sekolah. Sisanya gue bayar besok ya!. Ya udah
sekarang mulai beraksi dong, gue tunggu hasilnya ya!” katanya ceria sambil
ninggalin aku.
Lalu,
aku mulai beraksi deh. Waktu itu si Randi lagi berdiri sendirian dan lagi mbaca
isi madding, ini sih gampang nanyain dia sambil ngeliat mading.
“Isi
mading hari ini, kurang menarik and seru ya, “kataku mengganggu.
“Apanya
yang nggak menarik, ini termasuk yang menarik dan isinya bagus banget” katanya
sedikit bingung. “Iya, terserah orang nilainya gimana, lagian gak papa kan kita nggak
sependapat” kataku mengelak.
“Lo
apa nggak kasihan ama cewek lo, ditinggal ngeliat mading ama lo, mending
sekarang lo ketemuan deh ama cewek lo!” kataku asal.
“Cewek??.
Gue belum punya cewek tuh, jadi gue bebas ngeliat isi mading ini sepuas gue”
katanya tenang. “Oh gitu, berarti kebetulan dong!” kataku bersemangat.
“Kebetulan gimana maksud lo??” tanyanya bingung.
“Gini,
daripada lo disini Cuma ngeliat mading aja, mending lu ikut gue deh” kataku.
“Ayo, malah bengong!!” kataku lagi. “Tuh, ada cewek lagi sendirian pengen
ketemu ama lo, anaknya cantik lho, entar lo rugi lagi nggak ketemuan ma dia”
kataku membujuk. “Oke deh, gue samperin ya! Da…” katanya ceria. “Akhirnya
mereka ketemuan and ngobrol juga, lega deh gue. Rencana gue berhasil. Yess!!”
kataku dalam hati.
Tiba-tiba
aja ada cowok yang melintas dengan temannya di depan aku, dan aku langsung
terpaku ngeliatnya, serasa tersihir gitu. Cakep banget…anak mana sih dia, apa
ini yang dinamain Love At First Sight. “Aduh…” kataku tiba-tiba. Ternyata aku
jalan sambil ngelamun dan nggak ngeliat ada tiang basket di depan aku. Untung
aja nggak ada yang ngeliat.
Ketika
di dalam kelas…
“Aline,
lo kenapa sih kok bengong, apa ada masalah ama dient lo ya! sampai lo bengong
gitu” tanya Rini penasaran. Rini adalah teman satu bangkuku. Lalu dengan
sedikit senyum aku langsung menjawab. “Nggak…nggak ada apa-apa kok, ke kantin
yuk, gue belum jajan nih!” kataku. “Yuk!” kata Rini.
Sesampainya
di kantin aku masih ngebayangin tampang cowok itu dan akhirnya kebawa ngelamun
juga. Trus, Rini menepuk bahuku dan berkata, “Lo tu mau pesen apa, dari tadi
masih belum pesen, jangan ngelamun dong!” katanya mengingatkan.
“Siapa
yang ngelamun, orang gue lagi mikir mau pesen apa kok!” kataku mengelak. “Mbak
pesen bakso ma es the ya!” kataku. Lalu setelah menerima makanannya aku dan
Rini duduk, langsung aja Rini nyerocos. “Lo tau nggak sebulan yang lalu Tia ma
Doni dah putus lho, padahal mereka termasuk pasangan yang serasi, trus…”.
Rini
terus aja ngobrol tanpa henti, daripada aku ngedengerin dia mendingan
ngebayangin cowok itu deh. Aku ngebayangin aku ama cowok itu lagi jalan berdua
di tepi pantai, trus… “Lin, lin sadar!!” katanya membuyarkan lamunanku.
“Ada
apa sih, lo ganggu aja!” kataku ketus. “Lo sadar nggak, lo masukin saos
kebanyakan tuh!” kata Rini sambil nunjuk baksoku. “Eh iya, gue lahi pingin
nyobain bakso ditambah banyak saos. He he “ kataku asal.
Ketika
aku minum es tes, nggak sengaja aku ngeliat cowok yang aku sukai. Dia lagi
duduk ma temen-temennya. Ini kesempatanku buat ngedeketin dia, tapi tunggu
temen-temennya pergi dulu aja ah, baru deh aku beraksi. Tapi selang beberapa
menit, tiba-tiba aja dia ninggalin temen-temennya gitu aja. Ini saatnya aku
beraksi!. Langsung aja aku tinggalin Rini yang lagi asyik makan bakso, dia
kayaknya bingung sih, tapi biarin aja.
Setelah
aku pergi ninggalin kantin, aku ngikutin kemana cowok itu pergi, oh ternyata
dia ke kelasnya. Lalu aku tunggu dia sampai keluar kelas. Sambil nunggu dia
keluar kelas, aku mikirin kata-kata yang mau aku ucapin. Aduh…bingung mau
ngomong apa. Terus, aku ngeliat dia keluar kelas, tapi yang ada aku Cuma
ngeliatin dia. Tiba-tiba aja ada yang jatuh dari saku celananya, sebuah dompet.
Langsung aja aku pungut. Dan aku langsung lari dan teriak-teriak.
“Hey,
hey!” kataku sambil lari. Lalu cowok itu berhenti dan akhirnya aku juga ikut
berhenti, trus kita tatap-tatapan gitu. “Ada
apa?” katanya membuyarkan tatapanku. “Mmm…anu…anu…, dompet lo jatuh tadi”
kataku salting. “Eh iya, bener, makasih ya!. Wah gue mesti balas budi ni ama
lo” katanya lagi. “Balas budi!. Nggak usah aja, tapi mending iya aja deh”
kataku salting lagi.
“Lo
mau apa?. Ditraktir atau apa?” katanya. “Ditraktir aja , tapi besok aja ya,
soalnya tadi gue udah makan. Kalo boleh tau, nama lo siapa sih?” tanyaku
penasaran. “Gue Tio anak XI IPA 2, met kenal ya!” katanya sambil jabat tangan.
“O…Tio, gue Aline anak XI IPA 3, met kenal juga!” kataku sambil menjabat
tangan.
“Eh
lo anak baru ya, soalnya gue baru ngeliat lo hari ini” tanyaku memastikan.
“Nggak, gue anak lama. Gue tau kok, lo Cupid Girl itu kan !” katanya lagi.
“Iya!.
Wah, ternyata lo tau gue juga ya. Berarti gue ketinggalan kereta donk!” kataku.
“Lho, kok kereta?” tanyanya penasaran. “Iya, abisnya gue nggak tau lo sich!”
kataku bercanda. “Eh udah dulu ya, gue mau ke tempat temen-temen ngumpul dulu!”
katanya buru-buru. “Eh ok deh, jangan
lupa traktir gue lho!” kataku lagi. “Ok deh, sampai ketemu besok ya!” katanya
meyakinkan.
Esok
harinya, pas jam istirahat…
Aku
nungguin Tio di kantin. Ternyata kantin masih sepi, oh ya tadi Rini aku
tinggalin gitu aja. Hi, hi kasihan sih, tapi biarin deh. Yang penting aku bisa
ditraktir ma Tio. Selang beberapa menit, Tio pun datang ke kantin. Langsung aja
aku ngelambaiin tanganku. Habis itu Tio datang deh ke mejaku. “Hai sorry ya,
tadi ada tugas gitu jadi lama deh kesininya” kata Tio. “Iya, gak papa kok”
kataku lagi.
Lalu
aku ngobrol panjang lebar ma dia, kita cerita-ceritanya macem-macem gitu.
Tentang temen-temen, keluarga pokoknya banyak banget deh. Dan yang pasti seru
deh. Sehabis dari itu kita jadi akrab dan deket. Dan pada akhirnya, saat-saat
yang aku tunggu-tunggu. Dia ngajak aku jalan pas malam minggu, kabarnya pingin
mbicarain sesuatu yang penting sih. Otomatis aku harus tampil cantik, biar aku
nggak ngecewain dia.
Malam
minggunya, aku ma dia ketemuan di café. Dia tampil dengan jas hitamnya dan
senyuman yang hangat. Pokoknya dia cakep banget deh. Setelah itu kita pesen
makanan sambil ngobrol-ngobrol. “Aline, selama ini kan kita udah deket, mmm…” katanya nervous.
“Trus…”
kataku penasaran. “Lo mau nggak jadi pacar gue?” katanya lagi”. Aku yang udah
lama suka ma dia pun langsung mengangguk. “Gue mau kok jadi cewek lo!” kataku
lagi. “He…he…” Tio ketawa. Aku langsung bingung dan langsung nanya. “Lho, kok
ketawa?” tanyaku penasaran. “Ternyata Cupid bisa jatuh cinta ya!” kata Tio
ngelanjutin. Aku hanya tersenyum dan sepanjang malam itu aku bahagia banget.
Oops…tapi besok aku harus nyelesein masalah cinta dientku, moga aja bisa
sukses. Dan satu hal lagi, Rini. Aku harus ceritain hal ini sama dia.
Kenapa Gue Bisa Sayang Dia?

Pernah nggak kalian ngerasa atau bertanya dalam hati. Kenapa kita
bisa sayang sama orang itu?. Itu yang lagi gue pikirin akhir-akhir ini. Gue
khan yang lagi sayang sama cowok bernama Pandu. Pertama gue ketemu, udah ada
rasa yang nggak pernah gue rasain sebelumnya.
Hari ini gue mau ke sekolah
ngejalanin aktivitas kayak biasa. Semangat banget gue hari ini karena pastinya
gue ketemu sama Pandu. Di sekolah jam ke 3 pelajaran gue kosong karena guru gue
lagi shopping gitu… Kebetulan Pandu gi pelajaran olahraga, pastinya gue keluar
kelas mulu. Pas di kelas temen gue Sera nagih janji sama gue “Cha, gue tagih
janji ama lo!!” omong dia sambil narik baju gue. “Janji pa Ser?” bales gue
sambil ngelepasin tarikan tangan dia. “Janji, lo dah kalah kan . Kita bikin perjanjian lo bikin 2 cerpen
buat gue dan gue bikin 2 gambar “sakura” buat lo. Gue dah nyerahin 2 gambar dan
lo baru ngasih 1 cerpen buat gue” jelas Sera. “Trus, lo mau hukum gue apa?”
tanya gue. “Gue pengen hukum lo apa ya?????. lo nggak mungkin gue suruh
bersihin toilet rumah gue, hmp…gimana kalau lo tanyain ke Pandu tentang basket
atau hobi dia???” tawar Sera. “Gila lo, bisa mati berdiri gue…” tolak gue.
“Kenapa harus mati berdiri??. Cepet sana !!!
Kebetulan dia lagi sendirian… kalo lo nggak mau gue bakal marah sama lo!!!”
ancem Sera. “Jangan gitu donk…iya…iya…jangan ngambek ya…?” gue emang nggak bisa
ngeliat Sera marah.
Akhirnya
gue brani-braniin nyamperin dia. “Kak Pandu!!” panggil gue dengan deg-degan.
“Iya, ada apa?” tanya dia dengan muka coolnya. “Kak, kakak anak basket ya??”
balik tanya gue. “Iya, mang kenapa, boleh tau nama lo siapa?” tanya dia lagi.
“Nama aku kha kak, aku mau tanya guru basket kakak siapa?” jawab gue. “Guru
basket gue bu Sandra. Mang kenapa?. D…iya panggil gue Pandu aja, trus kita
ngobrolnya pake lo, gue aja. Kayaknya lebih akrab gitu” tawar Pandu. “Eh iya
juga ya…hmpp…gurunya cewek ya? nggak papa sich kok guru cewek bisa ngelatih
lo?” tanya gue. “Ya bisa aja. Emang kenapa sih? Kok nanya gitu?” balik tanya.
“Nggak kok,…guru cewek bisa bikin Pandu jago main basket ya?”. Ups…apa yang gue
bilang, aduh gimana nich…tapi dia kok malah ketawa ya?. “Ah lo bisa aja”
celutuk Pandu. Gue hanya bisa senyum ngeliat Pandu yang lagi ke GE-Eran gitu.
“Ndu, dah mulai tuch olahraganya” tunjuk gue. “Eh, iya gue kesana dulu ya!!!”
gue ngangguk sambil senyum kecil. Nggak nyangka bisa ngobrol sama orang yang
paling gue sayang, ternyata dia orangnya asik banget…Seandainya dia nggak lagi
olahraga, pastinya gue bakal ngobrol lebih lama lagi… tapi gak papa gue seneng
banget. Gue langsung nemuin Sera buat bilang makasih banget gara-gara dia gue
bisa ngobrol sama Pandu. Tapi nggak lama gue dapat kabar yang nggak enakin buat
diri gue, yang bikin gue sakit banget… Pandu dah punya cewek!!!!. Gila gue
langsung down abizz, ancur banget gue…gue nangis nggak karuan sampe-sampe gue
sering ilang keseimbangan badan, gue sering jatuh sampe keseleo deh…tapi
rasanya sakit kaki gue nggak sebanding dengan sakitnya hati gue…ditambah lagi gue
dapet kabar kalo Pandu suka gonta-ganti cewek, suka bolos sekolah de el el…
Banyak
temen gue yang nyuruh gue lupain cowok kayak dia, tapi gue nggak bisa… Pa lagi
nanti dia bakal pergi dari sekolah, bentar lagi dia lulus…
Pandu kenapa jadi kayak gini sich perasaan aku
ke lo?” gumam gue terus-menerus. Gue sadar Pandu juga nggak suka sama gue beda
sama mantan-mantannya yang bisa dibilang sempurna fisik…Lama kelamaan gue nggak
tahan nahan rasa ini. Akhirnya, aku nulis surat
buat dia…
Dear Pandu
Hi
Ndu, gimana kabar lo???. Gue harap baik-baik aja. Sorry gue lancang ngirim surat ini buat lo. Abis
gue nggak tau lagi cara ngomong masalah ini. Pandu jujur kalo gue sayang banget
sama lo. Satu tahun yang lalu pertama gue ketemu lo gue nggak tau perasaan
ini…tapi lama-lama gue ngerti kalo gue sayang lo…
Lo nggak perlu tau gue siapa karena menurut gue
itu nggak penting…
Semoga lo bahagia karena setiap senyum yang
keluar dari bibir lo bikin gue bahagia banget…
Thanks
*****
(Someone)
Setelah kejadian itu dia emang nggak berubah…
Itu yang bikin gue sayang dia…
Malah bisa dibilang lebih baik…
KEJUJURAN

Perlahan-lahan matahari mulai menutup matanya. Warna lembayung
yang menghiasi kota
tampak sangat menawan. Terlihat di mana-mana lampu mulai menyala. Dari mulai
lampu rumah, gedung, jalan, bahkan kendaraan sekalipun. Tak hanya itu, bakul
mie ayam, bakso, gorengan selalu setia berkeliling bersama gerobaknya.
Tampak di depan pintu
seorang laki-laki sedang asyik menghisap batang rokoknya sambil mengikat tali
sepatu. Rojali panggilannya. Pria asli Jakarta
ini kesehariannya kerja malam. Terlihat dari kupluk, jaket kulit, celana
panjang, kaos kaki, dan sepatu yang dikenakannya. Tiba-tiba datang seorang
wanita pendek berbadan gendut menagih uang kontrakan.
“Jali, gue mau
nagih uang kontrakan bulan ini,” ujar mpok Mirna.
“Besok
aja dah mpok, gua bayar. Lagian gak biasanya nagih waktu-waktu gini?” jawab
Rojali.
“Tapi
gue lagi butuh ni Jal, buat bayar uang sekolah anak gue,” ujar janda beranak
satu itu.
“Ya
elah mpok. Kapan gua pernah nunggak bayar uang kontrakan, kan kagak pernah. Besok dah gua bayar,” kata
Rojali.
“Beneran!!!!!!!!!!!!!
Besok ya?”
“Iye
besok. Kagak percayaan amat sih. Bisa gua beli ni rumah kontrakan kalau gua
mau,” bisik Rojali.
Mpok
Mirna yang tadinya akan mneinggalkan Rojali, baru dua langkah tiba-tiba
berhenti dan membalikkan badan.
“Iye
mpok gua bayar………..!” Rojali kaget.
“Kagak,
bukan itu. Tadi elu bilang mau beli ni rumah kontrakan? Kagak salh lo Jal?
Barang aja lo kagak punya. Pakean aja kagak ade model-modelnya gitu. Mending
elu jadi laki gue aja,” kata mpok Mirna merendahkan Rojali dan pergi. Rojali
malah memberikan senyum.
Mpok
Mirna bahkan tetangganya yang lain tidak tahu kalau rojali telah berkeluarga. Rojali
tidak pernah sama sekali menyingung tentang dirinya. Oleh karena itu, banyak
cewek yang bengong melihat Rojali. Walaupun dirinya sudah berkeluarga, wajahnya
tetap tampan walau dipandang dari sisi manapun.
Rojali
melihat jam di tangan kanannya yang menunjukkan pukul 18.30. Dia langsung
bergegas menuju jalan besar yang tidak jauh dari rumah kontrakannya. Dia
berdiri di kiri jalan menunggu omprengan lewat. Pria berbadan tinggi ini
sesekali memalingkan wajahnya ke arah barat jalan. Tak lama kemudian angkutan
biru kecil itu tiba juga.
Rojali
masuk dan langsung menempati posisi belakang pintu. Saat dirinya masuk mobil,
semua mata tertuju padanya. Tidak heran karena di dalam angkot yang punya nama
aneh itu tidak terlihat wajah segar, badan wangi parfum, baju rapi, dan
bersemangat terkecuali Rojali. Maklum sebagian besar penumpang baru pulang
kerja.
“Kiri
Bang,” ujar Rojali sambil memberikan dua lembar uang ribuan ke sopir angkot.
Akhirnya
Rojali sampai di terminal Priok selama hampir 15 menit perjalanan dari
daerahnya Werekas. Tempat bekerja bapak dua anak ini tidak jauh dari dia turun
angkot. Dari terminal sudah terlihat tempatnya mencari uang. Namanya Pelabuhan
Tanjung Priok. Rojali cukup menyebrang jalan saja.
Hawa
dingin menusuk hingga ke tulang. Angin laut membuat benda-benda disekitarnya
menari-nari. Banyak juga makhluk yang menghangatkan diri di kedai kopi. Ada juga yang kesana
kemari melaksanakan tugasnya. Ada
yang sekedar beristirahat.
Rojali
melangkah menuju mez. Sebelum mencari uang, tak lupa ia menemui kawan-kawannya
terlebih dahulu. Di rumah kecil tempat para pekerja beristirahat, Rojali
bertemu dengan dua orang temannya, Joko dan Robert.
“Mana
yang laen? Kok cuma kalian bedua,” mata Rojali melihat kemana-mana.
“Pada kerja. Oya jal, tadi elu dicari sama
Bos. Katanya mau dikasi pekerjaan,” ujar Robert kental dengan bahasa
Jakartanya.
“Iya
Jal, Gue juga pengen tu pekeraan, kan
lumayan. Tapi Bos kagak mau ngasih gue. Maunya elu,” gerutu Joko.
“Mana
mungkin ngasih elu. Elunya aja linglung alias lupaan,” kata robrt menyindir.
“Ah
elu, bisanya mojokin gue……. Aja,” kata joko kesal.
Rojali
tersenyum.
“Ya
udah unggu apa lagi. Ntar job lu dikasi
orang laen lagi,” kata Robert.
Tanpa
pikir panjang Rojali pergi. Kantor yang jauhnya tujuh puluh meter itu dia
tempuh dengan jalan kaki. Sesampainya di tempat Bos, Rojali dikasih pekerjaan
memegang gaji pekerja yang jumlahnya cukup besar. Dia juga diberi pekerjaan
menyalin dokumen-dokumen kantor.
“Makasih
Bos ude percaya ama saya,” kata Rojali.
Si
Bos cuma mengangguk tersenyum sambil menepuk pundak Rojali.
Beberapa
kali Rojali mendapatkan pekerjaan seperti ini. Terkadang Rojali bekerja seperti
orang bingung, menariki pajak dari setiap sopir truck. Tidak hanya sedikit
truck yang dimintai uang pajak, tetapi banyak sekali. Karna itulah banyak orang
yang bekerja seperti Rojali.
Lembaran-lembaran
uang yang mereka dapatkan tergantung dari cuaca. Jika cuaca tidak baik maka
jarang kapal yang berlayar mengangkut truck yang lebih sering dikenal dangan
truck tronton. Dan sebaliknya.
Suara
bising mesin-mesin di pelabuhan memekakan telinga. Tak terkecuali dengan
kontainer-kontainer yang tidak habis-habisnya keluar dari kapal. Bosan rasa
memandang. Begitu juga dengan asap kendaraan, rokok, dan gas lainnya yang bercampur
menjadi satu gas tidak sehat bagi pernafasan. Semua itu yang selalu menemani
pekerja pelabuhan bekerja setiap harinya.
* *
* * *
Adzan
subuh pun berkumandang. Kebetulan Rojali sudah selesai dengan pekerjaannya. Dia
kembali ke mez untuk melaksanakan sholat subuh. Tak lupa ia mendoakan
keluarganya agar selalu sehat. Rojali adalah salah satu orang yang beragama
islam yang rajin beribadah. Jarang di tempat yang biasanya untuk judi itu ada
yang seperti Rojali selalu ingat terhadap Tuhannya.
Rojali
berkumpul dengan teman-temannya. Mereka menghitung lembar demi lembar uang yang
didapat. Alhamdulillah hasil yang mereka dapatkan lumayan banyak. Jika ada
seseorang yang mendapatkan sedikit hasil kerjanya, Rojali dan kawan-kawannya
membagikan hasil. Asas berbagi berlaku untuk mereka.
Sigit,
Joko dan Muji sejak malam tidak ada lelahnya berhenti mencari uang. Mereka
mengejar target mumpung lagi banyak truck. Banyak kontainer maka banyak pula
uang. Semboyan itu yang biasa mereka gunakan.
“Bet,
S.J.M kemana? Kok dari tadi malem gua kagak ngeliat.” Ujar Rojali.
“Kagak
tau tu, dari kemaren disuruh leren kagak mau, katanya si mumpung lagi banyak,”
kata Robert.
“Lu
mau pulang bareng gua apa kagak? Apa elu mau ngelanjutin kerja kayak
mereka-mereka?” ujar Rojali sambil menunjuk orang yang sedang mengurusi
kendaraan raksasa itu.
“Gue
mau pulang, tapi entaran siang deh. Masih pagi nih….! Ngomong-ngomong tiga hari
lagi kan idul
fitri, kapan elu pulang ke kampung? Kasihan istri dan anak elu.”
“Ntar
sore gua pulang. Abis bayar uang kontrakan. Ya udah gua balik ya…….!!!” Rojali
ngeloyor pergi.
Rojali
kembali ke terminal Priok. Dilihatnya beberapa angkot berjajar rapi menunggu
penumpang. Hanya satu angkot yang jurusannya ke Werekas. Tak lama kemudian
angkot pun berangkat. Ini malah kebalikannya dari dia berangkat kerja. Rojali
kelihatan kumel sendiri.
Mata
Rojali sayup-sayup kantuk. Lambungnya yang kosong mengeluarkan suara. Begitu
juga dengan badannya bergetar. Semua itu karena Rojali lapar. Tubuhnya bau asap
kendaraan. Semalaman bekerja membuat kondisi jasmani Rojali tak karuan.
Sampai
di depan rumah, Rojali merogoh kantong di mana dia menyimpan kunci
kontrakannya. Baru memegang ganggang pintu tiba-tiba mpok Mirna memanggilnya
sangat keras. Suaranya membuat sepeda yang disenderkan di pagar roboh.
“Jali………………………….!”
Teriak mpok Gendut.
“Ape
si mpok………..??? Masih pagi teriak-teriak,” tanya Rojali lupa dengan janjinya.
“Janji
elu, katanya ni pagi elu mau bayar.”
“Oh
itu….. Sory mpok gua lupa. Nih tigaratus rebu,” memberikan tiga lembar uang itu
ke mpok Mirna.
“Ngomong-ngomong
pagi ini lu lagi dapet duit banyak ni,” kata si mpok sambil mendekati Rojali.
Matanya ijo.
“Ape
lagi si mpok?” tanya Rojali.
“Kagak.
Tambahin ni, kurang,” kata mpok Mirna tergiur.
“Ah
ude-ude, biasanye aja segitu,” Rojali masuk ke dalam rumah.
“Pelit
lu Jal. Besok gue naikin ni rumah kontrakan.”
“Terserah…………….”
Sahut Rojali.
Ruangan
yang pertama diuju Rojali adalah kamar mandi. Setelah membersihkan badan,
Rojali membereskan pakaiannya yang akan dibawa mudik. Mumpung masih pagi Rojali
ke warung Bu Watik yang keletan tiga rumah dari kontrakannya untuk beli nasi
uduk. Setelah makan, dia istirahat untuk memulihakn tenaganya kembali.
Kring………….Kring………Kring.
Jam weker berbunyi nyaring sekali. Jam kesayangan Rojali menunjukan pukul dua
siang. Cukup lama dia tidur. Dia bangun dan langsung memeriksa barang yang akan
dibawanya mudik. Takut ketinggalan kereta, Rojali cepat-cepat menuju stasiun
Senen yang tidak terlalu jauh dari daerahnya. Sebelum itu dia berpamitan dulu
dengan yang punya kontrakan dan tetangganya sekitar.
Di
jalan tak pernah matanya menoleh selain ke foto istri dan kedua anaknya.
Sesekali dia memeluk foto yang diambil lima
bulan yang lalu sambil tersenyum. Hatinya berdebar-debar ingin cepat bertemu.
Tak lupa ia membawa bingkisan untuk sanak saudara di kampung. Lebaran yang
jatuh dibulan November ini membawa berkah di hidupnya.
Selang
enam bulan kemudian kehidupannya berubah. Berkat doa yang selalu dia panjatkan,
keinginannya terkabul juga. Dia diberi pekerjaan oleh si Bos di kantor.
Meskipun masih bekerja malam toh pekerjaannya tetap. Dia tidak harus berjalan
kesana kemari menariki uang pajak. Semua itu berkat kejujurannya.
Tidak
cuma itu, Rojali membeli rumah yang dulu ia kontrakin yaitu rumah kontrakannnya
mpok Mirna. Dia memboyong keluarga ke rumah barunya itu. Meskipun mpok Mirna
dan tetangganya sekitar terkejut kalau Rojali yang selama ini diknalnya masih
single ternyata sudah punya istri malah punya dua anak juga. Kepribadiannya
yang tertutup membuat orang tidak banyak tahu tentang diri Rojali. Itulah
Rojali, seorang laki-laki asli Jakarta
yang jujur meski tertutup bagi orang lain.
Malam Kemenangan
“Yah,
bagi duitnya donk!”.
“Huss…siapa yang ngajarin kamu ngomong
nggak sopan gitu? Ulangi lagi!” ujar ayah cuek, tanpa menoleh sedikit pun dari
Koran yang dibacanya sore itu.
“Upsss… sorry yah, ya dech Dewi ulangin
lagi, ayahku sayang,
Dewi minta dananya donk!” ulang Dewi dengan mimik muka semanis
mungkin, berharap semoga dengan ini hati ayahnya bakal terketuk dan segera
mengucurkan dana buat nonton konsernya Nidji.
“Buat apa sih Wi? Kan uang bulanan kemaren
baru dikasih Ibu minggu kemarin masa sudah habis sih Wi?” jawab Ayah masih
cuek.
“Ya masih ada sich
yah, tapi kan
ini uangnya lain yah, bukan untuk urusan sekolah. Dewi minta dana buat nonton
konser Nidji bareng-bareng ama temen-temen Dewi,” jelas Dewi panjang lebar
dengan mata berbinar-binar.
Kali ini Ayah
tersentak kaget, pandangannya langsung mengarah tajam pada Dewi, Dewi masih
berbinar-binar demi mendengar jawaban dari Ayah.
“Nidji apa itu Wi?”.
“Aduh, ayah pake nggak tau segala, itu loh
yah yang lagunya bagus-bagus, yang sering Dewi nyanyiin itu, ayah kan juga suka”.
“O…Nidji, yang
vokalisnya rambutnya kribo itu, yang kalo nyanyi kayak kesetrum itu?. Halah, jelek gitu kok mau
ditonton Wi, jelek gitu”.
“Wah…ayah nggak asyik”
Dewi langsung pergi meninggalkan ayahnya yang masih asyik sama korannya, Dewi
pergi dengan bibir mayun.
“Dewi!” panggil Ayah, kembali membuat hati
Dewi berbunga-bunga.
“Mending, kamu bikin
acara buat santunan anak yatim atau apa gitu. Bentar lagi kan ada peringatan Isra’ Mi’raj” terang ayah
langsung bikin jantung Dewi lemes. Gila, baru aja terbang tinggi langsung main
jatuhin gitu aja.
“Uh, capek dech”
sambung Dewi ngikutin gayanya aming di Extravaganza.
Meski proporsal
lisannya udah ditolak mentah-mentah sama ayahnya, Dewi nggak patah semangat.
Malam ini agendanya dia mau merayu Ibu yang terkenal diantara rumah yang paling
nggak tegaan. Dewi yakin banget misi
kemanusiaan buatan dirinya sendiri bakal terealisasi.
Phiuuuhhhhhhh, ia
menghembuskan nafas kuat-kuat untuk menambah keberaniaannya menghadapi sang
ibu. Sebenarnya dia yakin banget kalau dia bakal diinterogasi habis-habisan.
Tapi demi rasa yang menguasai segalanya dia kuatkan hati, Amar ma’ruf nahi
munkar (halah…halah).
“Mi…Dewi mau ngomong
nih. Boleh nggak, bu?” Dewi ragu-ragu.
“Ngomong aja Wi, pake minta ijin segala?”
jawab ibunya sambil terus sibuk ngitungin laba pakai kalkulator.
“Gini bu, khan tadi
Dewi diajakin temen-temen Dewi pergi nonton konsernya Nidji. Trus, Dewi mau
minta dana ama ibu, seratus ribu aja dech bu. Boleh ya bu. Ibu paling nggak
tegaan kalau ngeliat orang sengsara. Dewi pun tetap semangat 100%.
“Konser, ya ampun Wi.
Kamu kan anak perempuan, pakai jilbab lagi. masa mau nonton konser. Disitu kan
banyak orang, ih ibu nggak bisa ngebayangin, kamu diantara orang-orang sebanyak
itu. Apalagi kan
banyak anak cowoknya. Kalau ada keributan atau kecopetan gimana? Ah, nggak usah
nonton begituan dech!” Ibu khawatir.
“Ibu apa-apaan sich?
Porno banget! Lagian kan
ibu belum pernah liat yang kayak gituan, main su’udzon segala” Dewi sewot.
“Kan diberita-berita banyak kayak begituan.
Rusuh saat konser berlangsung. Ibu bukannya su’udzon, ibu Cuma ngasih tau aja.
Mending duitnya buat ngadain acara santunan anak yatim piatu. Gimana? Briliant
idea kan ?”
nasehat Ibu sambil sok British.
“Wah, ibu dimintai
uang malah ngasih saran acara kayak gituan, capek dech!” Dewi nge-replay kayak
yang tadi dikatakan ama Ayah.
“Ih, nich anak
dibilangin malah…kebanyakan nonton Extravaganza. Heran dech!” ibu ikut-ikutan.
Secepat kilat Dewi
menekuk mukanya gitu… kayak kertas dilipet-lipet. Plus, Dewi berdiri dari
tempat duduk, langsung meninggalkan Ibu. Dewi langsung menuju kamarnya
dan…….GUBRAAAKKK, dengan kuat dia banting kuat-kuat pintu kamarnya, Dewi
jengkel.
“Uuuuhhh…norak-norak. Ayah Ibu nyebelin. Pasti mereka udah sepakat
manolak rencanaku. Aduh, apa kata Rini, Ange, Risthy ma Doni kalau aku sampe
nggak jadi ikutan. Pasti mereka bakal ngeledek aku, masa anak Pak Yuli seorang
pengusaha ternama itu nggak ngasih duit ke anak tersayangnya. Ihh…males banget
dech.
Lama Dewi terdiam,
tiba-tiba seulas senyum mengembang dari bibir tipisnya. Segera dia
mengobrak-abrik lemarinya. Setelah menemukan sesuatu yang diambilnya, dia
langsung tersenyum puas.
*****
“Wi, gimana, kamu tetep nonton konser?”
tanya seorang temen cowok Dewi yang lebih dari lumayan.
“Ya iyalag yu, rugi
banget kalau nggak nonton. Nidji gitu loh!” ujar Dewi berapi-api.
“Tapi kan Wi,
Bokap-Nyokapmu nggak ngasih izin apalagi
dana. Terus kamu dapat uang dari mana, jangan nyolong yah!”.
Sambil menempeleng
pelan kepala Bayu, Dewi menjawab “Enak aja!. Aku juga masih punya uang,
Bapak-Emaknya haji anaknya nyolong. Nggak bonafid banget dech”.
“Terus
kamu dapet uang darimana?” tukas Bayu penasaran.
“Dari duit tabunganku lah, eh buruan
anterin aku beli tiketnya, kelamaan bisa kehabisan entar”.
Di tengah jalan mereka ke tempat tujuan
mereka sempet ngeliat seorang ibu buta dengan seorang anak kecil yang menuntun
lengannya. Bayu yang disamping Dewi cuek aja ngeliat yang kayak begituan, tapi
beda dengan Dewi. Tiba-tiba naluri keanak hajiannya muncul (ceilee…). Dewi
langsung menghentikan langkah dan mundur dan mendekati ibu buta dan anaknya
itu. Pikirannya langsung berputar kebeberapa hari yang lalu. Waktu Ibu
menasehatinya kalau lebih baik ngadain acara buat santunan anak yatim piatu.
Bantar lagi kan
ada peringatan Isra’ Mi’raj. Nah, ini bisa jadi momen bagus buat kamu berbuat
yang bermanfaat lagi diridhoi sama Allah. Daripada nonton konser yang nggak
jelas begitu.
Tiba-tiba saja Dewi langsung mendekati Ibu
dan anaknya. Dari dekat mereka kelihatan kelaparan. Si Ibu yang hanya memakai pakaian
kumal dan memegangi tongkat kayu sebagai penuntun sepertinya diambil
asal-asalan dari jalan. Sedangkan anaknya juga memakai pakaian yang tak kalah
lusuh. Anak itu memegangi perutnya menahan lapar yang mendera-dera lambungnya.
Bayu yang melihatnya Cuma geleng-geleng kepala nggak paham.
“Dek, kamu lapar ya?” sambil dengan muka
memelas.
Cuma anggukan pelan yang dia terima dan
cukup menjadi jawaban buat Dewi. Iba hatinya melihat realita di depan matanya.
Tapi seketika mukanya kembali cerah dan selanjutnya tanpa ragu-ragu Dewi
langsung membuka dompetnya dan mengeluarkan uang lembar seratus ribunya yang
direncanakannya itu. Dengan tenang, ia sodorkan uang itu.
“Dek, ini kakak ada uang. Adek ambil aja ya
buat makan ama Ibu” tutur Dewi pelan dengan segenap kelembutan hati.
Malam ini dia berhasil menitipkan
kebahagiaan kepada insan-Nya. Meskipun dia tidak jadi nonton dan nyanyi bareng
Nidji dia nggak sedih, toh sebenarnya dia bernyanyi. Nyanyian kemenangan
dimalam Isra’ Mi’raj. Nyanyian indah berimbalan surga.
PERSAHABATAN
YANG ABADI
Hai! Aku Diana.
Aku anak SMA 78
Dari pintu terdengar suara orang mengetuk pintu.
“Tok-tok.”
“Ya
sebentar!” ibu membukakan pintu.
“Pagi Tante!. Diana mana Tante?” Bimo menyapa ibuku.
“Oh kalian, ayo masuk!. Biasa, Diana masih tidur, susah sekali
dibangunin. Padahal sudah siang. Coba sana
dibangunin barangkali nanti Diana langsung bangun.”
“Ok Tante, kami masuk
dulu ya Tan” Dona dan Bimo naik menuju kamarku.
“Heh, Diana bangun! Sudah siang tau. Apa kamu nggak sekolah.
Kamu yu ya, kebiasaan dech bengun kesiangan. Dasar cewek males” Bimo mencoba
membangunkanku.
“Diana ayo cepat bangun.
Kita harus cepat pergi sekolah nanti terlambat.”
“Ahh kalian ini, aku kan
masih ngantuk.” Aku mencoba membuka mata.
“Eh cewek pemales. Ini udah jam 7 tau.”
“Apa katamu, udah jam 7. Aduh gimana nich?.”
“Kau ini selalu aja begini.”
“Diam kau, dasar
cerewet. Cepet sana
kalian pergi aku mau mandi!” Aku mendorong Bimo dan Dona keluar dari kamarku.
Aku cepet-cepet mandi dan siap-siap untuk pergi sekolah.
“Ibu aku berangkat!.”
“Nggak makan dulu
sayang?. Sarapan dulu entar kamu lapar lho.”
“Nggak Bu. Bimo dan
Dona udah nunggu lama. Lagipula ini udah kesiangan entar malah terlambat. Doa
Ibu…!” Aku salaman dan mencium tangan Ibu.
“Hati-hati di jalan sayang!.”
“Ok Bu!.”
“Ayo berangkat…!.”
“Dasar kau ini. Awas ya kalau besok sampai terlambat bangun
lagi, gue tinggal…!” Bimo menasehatiku.
“Ok Bos. Aku nggak
akan bangun terlambat lagi, mudah-mudahan.”
“Kau ini Diana, selalu
aja bersemangat.” Dona melihatku sambil tersenyum.
Mereka adalah sahabat
yang selalu ada disaat kami saling membutuhkan, kami selalu berangkat sekolah
bersama-sama. Bahkan satu sepeda buat boncengan bertiga. Biasanya yang ngayuh
sepeda Bimo, aku berdiri di tengah, dan Dona di belakang. Sebenarnya aku
kasihan sama Bimo karena harus ngayuh sendirian dan boncengin aku ama Dona.
Tapi semua ini udah kesepakatan.
“Ayo, cepet bentar
lagi bel masuk.” Aku memberi semangat Bimo.
“Iya, ya…ini juga udah
usaha tau. Kau ini bisanya cuma ngomong aja.”
“Kau ini, gue ngasih
semangat malah lo uring-uringan.”
“Eh…kalian jangan
berantem terus. Aku nggak mau kalian berantem. Bimo jangan kenceng-kenceng, aku
takut, entar kalau jatuh gimana.” Dona terlihat pucat karena takut. Dona
orangnya memang penakut dan pendiam. Dia juga sedikit pemalu.
“Udah tenang aja, nggak akan kenapa-napa kok. Aku pasti akan
nganter kalian sampai di sekolah dengan selamat…!” tukas Bimo.
“Cit…cit…cit…” Suara
rem sepeda.
“Akhirnya sampai juga, kakiku udah mulai pegal-pegal nich.” Aku
turun dari sepeda.
“Hah…hah…hah…! Ternyata kalian semakin lama semakin berat ya,
apalagi kau Diana, makin gede makin gemuk. He…he…!.”
“Apa katamu?” Aku menjitak kepala Bimo.
“Aduh…sakit tau.”
“Makanya nggak usah ngeledek aku!.”
Aku sama Bimo memang sering berantem. Kami
selalu adu mulut. Kami memang seperti Tom and Jerry yang nggak bisa akur. Tapi
terkadang kami juga bisa akrab.
“Udah ayo kita cepet-cepet masuk ke kelas! Entar keburu bel
berbunyi.” Diana mengajak masuk ke kelas.
Kami masuk ke kelas tepat bel berbunyi. Aku
sekelas dengan Bimo. Kami di kelas 2A, sedangkan Dona di kelas 2C. jam 07.30
WIB. Kami mulai belajar. Hari ini adalah hari yang membosankan. Semua pelajaran
hari ini membuatku bosan dan ngantuk.
Akhirnya waktu istirahat tiba. Tiba-tiba di depan pintu aku
melihat Dona masuk ke kelasku.
“Diana, ayo kita ke kantin! Aku haus nich.”
“Ok aku juga udah lapar, tadi pagi aku belum sarapan.”
“Bimo, kamu nggak ikut ke kantin?” Dona mengajak Bimo ke kantin.
“Nggak ah, aku mau ke
perpustakaan mau cari buku, entar aku nyusul.”
“Tumben, sejak kapan
lo suka pergi ke perpus?. Nggak salah tuh.” Aku ngledek Bimo.
“Kurang ajar lo, gue
itu nggak kayak lo tau, yang cuma bisa makan aja. Udah sono lo ke kantin aja,
gue buru-buru nich, entar keburu bel masuk.”
Aku dan Dona pergi ke
kentin untuk mengisi perut yang lapar. Kami selalu pergi bersama ke kantin.
Kami memang udah nggak bisa dipisahin.
*****
Bel berbunyi, tepat pada jam 15.00 WIB.
Akhirnya kami pulang setelah seharian belajar di sekolah.
“Ayo, kita pulang!” Bimo ngajak pulang.
“Eh kalian duluan aja dulu. Masih ada yang aku lakuin dulu,
entar aku nyusul.”
Aku pergi ke
ruangannya bu Sisil. Biasa beliau selalu ngasih tugas matematika. Tahu sendiri kan nilai ulangan
matematikaku selalu jelek.
“Bi…Bimo ada yang pengen aku omongin.” Dona terlihat gugup
sekali.
“Mau ngomong apa?. Kok kayaknya kamu gugup sekali.”
“Tapi kamu jangan marah ya.”
“Kamu tu aneh, emangnya kamu ngomong apaan sich?. Jangan bikin
aku penasaran donk.”
“Gini, sebenernya aku suka sama kamu.”
“Apa?” Bimo terkejut mendengar ucapan Dona.
“Maaf kalau aku udah
lancing, tapi perasaan ini nggak bisa aku pendam lama-lama. Aku suka sama kamu
sudah sejak lama, sejak kita SMP. Aku suka sama kamu karena kamu orangnya
dewasa. Kamu juga punya rasa kasih sayang.”
“Tapi Don! Kita tu
udah lama sahabatan. Aku nggak mau persahabatan kita hancur cuma gara-gara
cinta. Aku sayang kalian berdua, kau dan Diana. Tapi itu tidak lebih dari
sahabat. Kalian sudah aku anggap seperti adikku sendiri, kita satu keluarga. Makasih
kamu udah sayang ma aku, makasaih juga kamu udah berani nyatain suka ma aku.
Aku nggak nyangka kamu berani ngomongin itu. Jadi mendingan kita sahabatan aja
untuk selamanya daripada kita pacaran hanya untuk sesaat. OK. Kamu nggak marah kan ?. Lagipula kita
harus menjaga perasaan Diana.”
“Aku mengerti,
seharusnya aku nggak ngomong kayak gitu, maaf ya! Memang seharusnya kita
sahabatan aja.” Terlihat dari arah pintu gerbang Diana memanggil.
“Hooiii! Kalian udah lama ya nungguin aku.”
“Kamu tu kemana aja sich? Kita udah lama nich nunggunya, ampe
kering tau!” Bimo sedikit marah.
“Sorry…sorry…. Gitu aja marah, senyum donk!. Iya nggak Don…?”.
“I…Iya…” Dona tersenyum.
“Ya udah ayo kita pulang!”
Kita akan selamanya
bersama sampai maut memisahkan kita. Apapun yang terjadi.
Ikatan Persaudaraan

Didha benar-benar tak mengerti apa yang harus dia lakukan. Dia
gak tau harus bersyukur atau bersedih mempunyai kakak Sheila, namanya. Didha
dan Sheila adalah kakak beradik. Mereka berdua dilahirkan oleh ibunya.
Keluarganya bisa dibilang keluarga mampu. Ayahnya bekerja sebagai wiraswasta
yaitu mendirikan sebuah butik yang cukup terkenal di Jogya. Didha dan Sheila
sepasang kakak beradik yang terpaut umur sekitar 4 tahun. Keduanya begitu cere
akan tetapi juga seperti kucing dan anjing. Mereka sering kali bercekcok akan
tetapi pertengkaran itu munkin menjadi kasih sayang antara keduanya. Didha
sekarang duduk disebuah sekolah SMA ternama di Jogja dan kakaknya seorang
mahasiswi disalah satu universitas swasta.
Sore itu Didha sedang menyetrika
pakaiannya. Tiba-tiba dia terkejut ketika muka kakaknya sudah ada dihadapannya.
Maklum Didha hanya ada di rumah sendirian. Pikirannya sering sekali
membayangkan yang tidak-tidak.
“Ngapain sich lo kak??? Ngaget-ngagetin aku
aja!” ucap Didha setengah marah pada kakaknya.
“Idih…!!! Gitu aja kaget?!! Dek bikinin
minum dhong…! Aku aus nih?” Sheila dengan sekuat tenaga merayu Didha.
“Lo pikir aku babu kamu!!! Bikin aja
sendiri!!!”.
Sheila menghela nafas dengan kuat. Pupuslah
harapannya untuk minum tanpa ia membuat sendiri. Ia bergegas ke dapur untuk
membuat minuman. Selesai minum dia bergegas ke kamarnya untuk ganti pakaian.
Menuju kamar dia pasti nglewatin adiknya dan seperti biasanya dia tidak
melewatkan moment itu untuk menggoda adiknya.
“Cantik-cantik kok malesan??”.
“Apa kamu bilang…?”.
Didha menginginkan Sheila mempertegas
kata-katanya kepada dia. Akan tetapi Sheila segera lari ke lantai atas menuju
kamarnya. Baju yang dikenakan Sheila sudah ia tanggalkan. Tiba-tiba perutnya
berbunyi.
“Wah perutku keroncongan.”
Tanpa pikir panjang Sheila kembali turun
dari singgasana kamarnya. Dia dengan langkah pasti tanpa henti menuju ke dapur.
Di tengah perjalanan, Didha pun tidak luput oleh lantaran pertanyaannya Sheila.
“Mama masak apa Dha?”
“Wah, aku juga kurang tahu!”
Tanpa berkata lagi Sheila segera pergi ke
dapur mengambil makanan dan menyantapnya dengan penuh semangat. Selesai Didha
menyetrika, dia juga mengikuti jejak kakaknya untuk pergi ke dapur.
“Ngapain kamu ke sini?”
“Ya mau makanlah! Masak aku mau nyuci!?!.”
“Sapa tau kamu amnesia! Terus kamu nyuci di
dapur deh?!” Sheila membalas perkataan adiknya seakan tidak mau kalah dengan
kata-kata Didha. Sesudah Didha mengambil makanan, dia segera duduk disamping
kakaknya seakan menemani kakaknya yang telah makan duluan. Sembari mereka
makan, mereka selalu bercakap-cakap. Itulah sebabnya jika mereka makan pasti
waktunya lama.
“Kak, ngapain ne tumben amat jam 01.30 udah
nyampe rumah?.”
“Iya nih! Tadi ada kelas yang kosong!”
“Lho kok bisa??” tanya Didha dengan rasa
seribu keingintahuannya.
“Aku juga gak begitu tau! Yang jelas tadi
ada dosen yang absen!.”
“O…gitu to!!!” jawab Didha yang telah jelas
mendengar jawaban kakaknya itu.
“Kamu sendiri ngapain Dha…? Tumen-tumben
amat jam segini nyetrika?!.”
“Ya nih! Ntar kan sekolahku ada ekskul
pramuka! Jadi terpaksa deh aku nyetrika baju. Soalnya kemarin aku lupa belum
nyetrika baju pramukaku.” Papar Didha menjelaskan panjang lebar.
Setelah keduanya selesai makan Sheila mencuci
peralatan makan yang telah dipakai oleh keduanya. Sheila memang begitu sayang
sama Didha. Dia tahu kalau adiknya akan ada ekskul di sekolahnya sore ini. Oleh
karena itu dia menyuruh adiknya untuk segera pergi ke sekolah. Itulah Sheila
meskipun dari luar tampaknya biasa aja tetapi kedisiplinannya begitu tinggi.
Selesai mandi dan dandan, Didha siap untuk
berangkat sekolah. Rambutnya yang hitam lurus telah tersisir dengan rapi. Aura
wajahnya terlihat lebih bercahaya. Dia juga telah menyiapkan sepedanya untuk
berangkat sekolah. Maklum jarak antara rumah dan sekolahnya hanya 3 km. Dia
memang bisa dibilang anak orang kaya akan tetapi dia tidak pernah menyombongkan
kekayaannya itu. Dia juga tidak menggunakan motor untuk pergi ke sekolah.
Menurut Didha naik sepeda lebih asyik dan juga dia bisa lebih hemat. Kedua
orang tuanya merasa sangat beruntung sekali mempunyai dua anak, Sheila dan
Didha. Sebelum Didha berangkat ia tak lupa berpamitan pada Sheila. Meskipun
mereka saling bercekcok akan tetapi Didha tetap menghormati Sheila sebagai
kakaknya dan Sheila juga sangat menyayangi Didha.
“Kak, aku berangkat dulu ya?!.”
“O…dah mau berangkat! Ada yang kelupaan
gak?”
“Kayaknya sih gak! Udah beres semuanya kok”
jelas Didha.
“Ya udah, hati-hati ya!!” pesan Sheila pada
adiknya.
Sesuai dengan kebiasaannya, Didha masih
saja ingin bercanda dengan kakaknya. Seusai pamitan Didha tak kunjung pergi
dari hadapan Sheila.
“Lho?!! Tunggu apa lagi?? Sana berangkat!!”
“Sakunya mana?” tanya Didha pada kakaknya.
“O…gampang! Tadi udah tak kasih saku dengan
sebuah doa kok!” jawab Sheila dengan senyum simpulnya.
“Dasar pelit!!!.”
“Walaupun pelit, kamu tetep sayang kan?.”
“Hehe…!.”
Pertanyaan itu hanya simple tetapi Didha
cukup kesulitan menjawab lontaran pertanyaan itu. Didha segera meninggalkan
rumah menuju sekolahnya.
Di tengah perjalanan, dia bertemu dengan
sahabat-sahabatnya, Imas, Ardi dan Suci.
“Hai Dha!” sapa Imas dari kejauhan.
“Eh, hai juga! Kalian mau berangkat to?”
jawab Imas dan tanya Didha kembali pada ketiganya.
“Iya nih!” jawab Suci.
“Tumben kok berangkatnya jam segini?” tanya
Didha.
“Iya e, tadi nunggu Ardi mandi lama
banget!” jelas Imas.
“Maaf! Soale aku tadi ketiduran jadi
mandinya telat!” jawab Ardi.
Dalam perjalanan mereka berempat saling
bercakap-cakap. Mereka bersepeda bersejajar dua-dua. Hal itu tidak begitu
masalah mereka lakukan karena sekolah mereka bukan di pusat kota sehingga
jalannya tidak begitu ramai. Sesampainya di sekolah mereka masih mempunyai
waktu 10 menit untuk beristirahat karena
jam masuknya pukul 15.00 dan sekarang baru pukul 14.50.
Untuk mengisi waktu senggang tersebut
mereka pergunakan waktu jajan. Didha merasa terkejut ketika membuka
dompetnya.
“Hah…!!!” dengan muka terkejut dia melihat
dompetnya.
“Ada apa Dha??” tanya Imas dengan rasa
penasaran.
“Uang 50 ribuku gak ada!” jawab Didha.
“Kamu yakin gak lupa naruh?” tanya Ardi.
“Gak, tadi perasaan aku taruh di dompet!”.
“Ya udah, entar pulang ekskul kita telusuri
di jalan aja!” jawab Suci.
“Ya, mungkin jatuh atau bahkan mungkin kamu
lupa naruh!” tambah Imas mencoba menenangkan hati Didha.
“Semoga aja begitu!!!.”
Didha pun mengikuti ekskul sampai selesai.
Didha tidak bisa menyembunyikan perasaan sedihnya karena uang itu ingin dipakai
olehnya untuk bayar buku. Kesedihannya bertambah saat ia mencoba mencarinya di
jalan-jalan tetapi tidak menemukan. Sesampai di rumah dia bertemu dengan
kakaknya.
“Napa
lo?? Pulang-pulang kok mukanya dilipet-lipet!” tanya Sheila.
“Ah gak apa-apa!” dengan lemah dia menjawab
dan ia pun meninggalkan Sheila.
“Hehe…!” Sheila mendekati Didha sambil
tersenyum.
“Ngapain sih? Cengar-cengir gak jelas!”
tanya Didha dengan sebel.
“Didha!!! Didha cantik deh?!!” goda Sheila.
“Didha…” panggil Sheila lagi. “Aku mau
ngomong nih!!!”.
“Ngomong ya ngomong!” jawab Didha sambil
sedikit memaksakan senyumnya.
“Didha…maaf ya! Kayaknya tadi aku nemu uang
50 ribumu! Tapi udah saya pake 10 ribu e!.”
“Apa…?” Didha benar-benar terkejut.
“Besok aku ganti deh! Aku janji!” kata
Sheila.
“Ya ya…aku percaya kok kak!” jawab Didha.
“Kamu gak marah sama aku po?” tanya Sheila
penasaran.
“Ngapain aku marah! Aku justru bersyukur
karena uangku tidak hilang. Terima kasih ya kak, kamu sudah nemuin uangku” kata
Didha.
Keduanya saling senyum satu sama lain.
Memang hubungan saudara memang tidak bisa dipisahkan. Sebesar apapun kesalahan
pasti akan saling memaafkan juga. Meskipun Sheila dan Didha sering sekali
bercekcok akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa keduanya saling menyayangi
satu sama lain.
Ternyata Pacarku Punya Gebetan

“Dasar
penipu…brengsek!” Bibir Meta bergetar. Menahan emosinya ketika Ifan mendaratkan
tubuh di kursi yang ada dihadapannya.
“Met,
Meta….”
“Udah.
Gue nggak sudi ngliat tampang lo lagi! Jijik, tau!” suara Meta terdengar keras
seperti nada lagu naik dua oktaf. Dia terlihat marah.
“Meta,
dengar….”
“Stop,
Shut up! Diam kamu.”
Ifan
tertegun, kaget dan kehilangan hak berbicara. Dia memperhatikan Meta. Ia tak
percaya mata Meta yang semula begitu sejuk kini membuat Ifan gundah tak karuan.
Meta
duduk, menyandarkan tubuhnya dikursi dengan lemas. Tertunduk, mematung dan
menangis tersedu-sedu.
Ifan
merasa risih dan mengulurkan tangannya. Memegang bahu Meta. Bermaksud
menenangkan Meta. Tapi Meta langsung menepis tangan Ifan dengan tegas.
“Gue benci
elo Fan. Gue benciii!!.”
Ifan
tertegun, hanya pasrah mendengar ucapan Meta. Meta yang kenal ia sabar, pendiam
dan hanya bicara seperlunya saja kini berubah menjadi bingas. Membuat Ifan
bertanya-tanya.
“Meta,” ujar Ifan hati-hati. “Ada apa
sebenarnya?. Elo nyuruh gue datang kesini apa Cuma buat elo marahin tanpa gue
jelas alasannya?.”
Meta mengeluarkan selembar foto Ifan yang
terselip di halaman majalah yang Meta bawa. Kemudian disodorkan kepada Ifan.
Ifan tetap masih bingung apa yang dimaksud oleh Meta.
“Kenapa dengan foto ini, Ta?.”
“Malah nanya!” ketus Meta.
“Nggak usah berkelit, pura-pura nggak tau
deh. Foto itu gue dapat dari TiTi, dan kenapa dia bisa punya foto kamu Fan?
Kenapa?.”
Ifan terkejut, kaget dan bimbang. Tapi
mencoba meredakannya. Ifan tersenyum kepada Meta.
"Ta, please…ini nggak seperti yang elo
bayangin.”
“Titik yang bilang sendiri ke gue Fan?.”
“Mangatakan apa Met?” Ifan mengerutkan
keningnya.
“Masih bisa berpura-pura? Wah? Gue makin
nggak ngerti sama kamu. Ya, sudahlah Fan.”
“Met, Meta…Meta…tunggu Met!!! Ah
bangsat!!!.”
***** ***** *****
“Kamu sadar nggak sih Tik? Kamu mengacaukan
hubungan gue ama Meta. Lo reseh banget, sih. Otak lo kemana?” ujar Ifan ketika
menemui Titik di depan kelasnya.
“Gue nggak bermaksud seburuk itu, Fan”
desah Titik.
“Kenyataannya Meta ngambek dan ngebenci
gue. Tadi pagi gue jemput dia ke rumahnya. Tapi dia milih dianterin ama
kakaknya.”
“Fan…” Titik menundukkan kepalanya.
“Lo kenapa Tik? Nekat bertindak kayak
gini?.”
“Gue nggak bisa bohong sama perasaan gue
selama ini ke kamu.”
“Lo tau kan Fan gue suka sama elo,
gimana?.”
Ifan menghembuskan nafasnya dengan panjang.
“Gue ngerti perasaan lo ke aku selama ini.
Ini berat buat kita. Gue juga sayang sama elo Tik” tatapan Ifan sangat berharap
pada Titik.
“Ifan, lambat laun pasti Meta mengetahui
hubungan kita.”
“Itu betul Tik.”
“Ifan. Demi Tuhan gue selalu ngejaga
rahasia kita. Tapi kemarin aku lagi apes aja. Buku diaryku tertinggal di laci
dan yang nemuin buku itu Meta. Dan Meta pasti membaca diary ku, Fan.”
“Oh, ceroboh! Gue kan udah pernah bilang ke
elo, jangan bawa buku diary ke sekolah. Ya, ampun….”
“Iya-iya gue tau gue salah” sahut Titik.
“Paginya gue nggak berkutik Fan. Lo tau kan semua kenangan kita tertulis di
diary itu. Dan Meta pasti membacanya. Lancang sekali dia nggak menghargai
privacy gue. Tapi, gue pengen marah juga nggak bisa, Fan.”
“Pantas saja Meta ngamuk sama gue.” Ifan
menghela nafas panjang.
“Fan, sori….”
“Terus lo bilang apa ke dia?”
“Gue terpaksa cerita semuanya, Fan.”
“Titik, sayang, seharusnya lo bisa
ngarang-ngarang cerita kan….”
“Ah, Fan, lo gila? Gue udah nggak bisa
ngelak dari semua hal di diary itu benar, itu kenyataan, Fan.”
Ifan terlihat lemas dan menatap Titik
dengan perasaan semrawut.
“Fan,” ujar Titik pelan berbisik. Diulurkan
tangannya, menggenggam tangan Ifan yang tergeletak diatas meja dan menatap mata
Ifan dengan tajam penuh harapan. “Fan, gue sayang sama lo. Lo sayang juga kan
sama gue? Ya kan, Fan?. Elo nggak akan tinggalin gue kan?. Elo tetep milih gue
kan?.”
Ifan tersenyum kecut dan mengangguk
perlahan.
“Tentu saja, Tik” ifan mengeluh, senyumnya
pun lepas. “Lantas rencana elo selanjutnya apa, Fan?.”
“Gue nggak akan nutup-nutupin hubungan
kita. Dan gue akan milih elo. Gue akan putusin hubungan gue sama Meta. Hubungan
gue sama Meta sepatutnya diakhiri.”
“Gue percaya sama elo, Fan” Titik
tersenyum.
Ifan mengangguk. Dalam hati tersenyum
meremehkan.
***** ***** *****
Sore harinya Ifan menemui Meta di rumahnya.
Entah apa yang ada dipikiran Meta sehingga ia mau menemui Ifan. Ifan pun
menjelaskan dan memutarbalikkan fakta. Ifan bilang bahwa Titik hanya merekayasa
diary itu semata-mata hanya untuk memisahkan Ifan dan Meta. Dan Meta percaya
pada bualan-bualan Ifan itu. Dengan puasnya Ifan merayakan kemenangannya. Kali
ini Ifan menang. Selain Ifan masih pacaran sama Meta, Ifan pun masih mempunyai
gebetan, yaitu Titik. Andai Meta tahu kebusukan Ifan, maka hanya kata PUTUS!
Lah yang terucap dibibir Meta.
***** ***** *****
DIBALIK BUKIT BULAN BINTANG

Yogyakarta, 23 Maret 2008
Dear Brian
Brian
sahabatku
Mungkin
saat kau membaca surat ini
Aku
telah pergi jauh meninggalkan kenangan diantara kita berdua Kenangan yang
pernah kita lewati di bukit bulan bintang
Kenangan
yang terukir indah disana
Sebuah
kata maaf terlantun untukmu
Maafkan
aku telah meninggalkanmu
Maafkan
aku telah membuatku menangis
Maafkan
aku yang tak bisa lagi hari-hari indahmu
Mungkin
saat kau tak menemukanku dimanapun
Cobalah
kau tersenyum manis untukku
Jangan
kau menangis dan bersedih
Karena
aku akan selalu temani malammu
Jangan
kau lupakan aku dan menghilangkanku dari memori hidupmu
Aku
kan temani selalu
Liatlah
bintang diatas sana
Coba
tunjuk satu bintang yang kau suka
Maka
aku akan datang tuk memeluk bayanganmu
Karena
aku selalu menjadi cahaya bintang hatimu
Dan
kan menyinari
gelap redupnya hatimu
Selamat
tinggal sahabatku…
Selamat
tinggal kenangan yang pernah terukir dalam memori hidupku
Aku
ingin kau tahu…
Aku
menyayangimu selalu
Tersenyumlah
untukku yang terakhir kalinya…
Biarkanlah
aku terus menjadi bulan dibukit kita
Dan
kau tetap menjadi bintang menemaniku disana
Dari
sahabatmu
KIKAN
*****
Itulah surat terakhir dari Kikan. Sejak
kepergian Kikan, Brian selalu saja sedih. Keceriannya yang selalu menghiasi
wajahnya kini tak tampak lagi. Ia amat terpukul dan merasa bersalah karena
tidak bisa menjaga Kikan.
Setiap hari Brian selalu pergi ke bukit
itu. Bukit yang diberi nama Bukit Bulan Bintang oleh Kikan. Yaa, di tempat
itulah mereka berdua selalu menghabiskan waktu bersama. Brian selalu merasa di
tempat itu, Kikan hadir menemaninya.
“Kikan maafkan aku karena selama ini aku
telah melupakanmu. Aku tak bisa datang saat kau sedang merasakan sakit yang
menyiksamu. Sahabat, macam apa aku ini. Yang tega melihat sahabatnya merasakan
penderitaan.”
Yaa, Kikan gadis yang 10 tahun menjadi
sahabat Brian. Yang selalu menemaninya saat sedih maupun senang. Kikan adalah
gadis yang cantik, pandai bermain piano dan lincah. Persahabatannya dengan
Brian berawal ketika mereka berdua dikenalkan oleh orang tuanya masing-masing.
Iya, karena orang tua Kikan dan Brian bersahabat. Sejak itu, mereka menjadi
akrab dan mulai menjalin persahabatan.
Setiap hari mereka selalu pulang sekolah
bersama. Kikan dan Brian memang satu sekolah dan kebetulan jarak rumah mereka
tidak terlalu jauh. Di bukit Bulan Bintang mereka selalu menghabiskan waktu
bersama.
“Brian, kamu tahu enggak kenapa bintang dan
bulan itu selalu bersinar indah?.”
“Enggak, emang kenapa?.”
“Kok, nggak tau sich! karena mereka kan
nggak ingin lagit malam sedih. Kalau mereka nggak bersinar pasti langit akan
cemberut.”
“Ooh…gitu!! Ooh…ya Kikan kamu mau nggak
jadi bulan di langit di bukit ini dan aku yang jadi bintangnya. Biar langit di
bukit ini selalu bersinar.”
“Iya aku mau. Dan aku juga berharap agar
persahabatan kita selalu abadi seperti bulan dan bintang itu. Gimana?.”
“Iya, aku janji. Dan aku janji persahabatan
kita takkan pernah mengenal kata benci. Itulah percakapan Brian dan Kikan
disuatu malam di bukit Bulan Bintang.
Tidak terasa mereka berdua kini sudah kelas
2 SMA. Brian dan Kikan masuk di jurusan yang sama, tapi mereka tidak satu kelas
seperti kelas satu. Di kelas 2 ini banyak masalah yang terjadi diantara mereka
berdua.
Yaa, Lana gadis pindahan dari Singapore
yang ada di kelas Brian. Ia selalu saja mengajak Brian belajar kelompok, nonton
dan shopping. Itulah yang membuat Kikan sering jengkel pada Brian karena dia
seringkali tidak menepati janji kalau diajak main ke bukit Bulan Bintang.
“Kan …Kikan”
panggil Brian sambil berlari. Kikan terus saja berjalan tanpa menghiraukan
Brian.
“Kan…tunggu donk, aku mau bicara ma kamu!.”
“Ada apa sich, Brian? Aku buru-buru!.”
“Please, Kan! Aku mau cerita ma kamu!.”
“Ohh…ternyata aku masih kau perlukan?.”
“kok kamu ngomongnya gitu?.”
“Yaa…jelaslah aku ngomongnya kayak gitu?
Kemana aja waktu kamu janji ingin pergi ke bukit Bulan Bintang tapi kamu nggak
datang? Aku nunggu lama banget disana.”
“Iya, maaf kemarin tuch waktu aku pergi,
Lana ngajak aku nonton!.”
“Ooh, gitu! Waah… ternyata Lana lebih
penting ya dibandingkan aku!” Kikan langsung meninggalkan Brian, Kikan sudah
menghilang.
Di
kamar Kikan.
Kikan sedang menulis diary. Dibuku diary
itu Kikan menulis perasaan kecewanya kepada Brian. Dia juga nggak tahu apa
besok Brian juga ingat ulang tahunnya, karena sudah lama dan Brian jarang
bersama.
“Tuhan…Kikan mohon, moga besok Brian ingat
ulang tahunku karena aku tak ingin merayakan ulang tahun yang terakhir tanpa
kehadirannya.”
Iya, Kikan sangat optimis kalau tahun depan
ia bisa ngrayain ulang tahunnya lagi. Kikan tahu kalau umurnya tidak lama lagi.
Dan sampai saat ini Brian belum tahu soal itu. Kikan tidak ingin beritahu
tentang penyakitnya bahkan ia selalu menutupinya didepan Brian. Itulah yang
membuat Kikan sedih. Ia akan segera meninggalkan Brian tapi kenapa disaat aku
membutuhkannya, Brian kini tidak mempedulikanku. Ia malah samakin jauh
dengannya. Dan aku denger Brian malah dah jadian ma Lana. Tapi bagiku asalkan
Brian bahagia aku juga ikut bahagia.
Keesokan harinya ternyata dugaan Kikan
salah, Brian inget ulang tahun Kikan. Bahkan ia bikin kejutan buat Kikan. Dan
sebagai perayaannya Brian ngajak Kikan ke bukit Bulan Bintang. Disana diadakan
pesta kecil-kecilan, ya walaupun hanya mereka berdua.
“Yan, jaga dirimu baik-baik ya!.”
“Kok, kamu ngomong gitu!.”
“Yaa, nggak! Sok kalau kamu pergi kamu
tetep pergi kesini kan?.”
“Kan, kamu tuch ngomong apa sich? Mang kamu
mau pergi kemana?.”
“Mungkin aku akan pergi dan nggak tahu akan
kembali pa enggak?.” Tiba-tiba hp Brian bunyi, ternyata itu dari Lana. Lana
ingin Brian datang ke rumahnya, katanya penting. Dan Brian pun pergi kesana
meninggalkan Kikan sendiri di Bukit Bulan Bintang.
“Brian, selamat tinggal! Jaga dirimu
baik-baik ya!” kata Kikan sebelum Brian pergi. Brian hanya tersenyum mendengar
kata Kikan.
Saat Kikan ingin pulang ternyata hujan
turun. Ia lalu buru-buru pulang tanpa menghiraukan hujan. Sampai di rumah,
penyakit Kikan kambuh, dan orang tuanya membawanya ke rumah sakit.
Sudah tiga hari Kikan dirawat di rumah
sakit dan Brian pun belum menjenguknya. Akhirnya setelah Kikan meninggal, Brian
baru tahu kalau Kikan sakit. Brian baru sadar apa kata-kata Kikan waktu di
bukit Bulan Bintang. Ternyata itu adalah salam perpisahannya. Ia sangat
menyesal kenapa selama ini ia terlalu sibuk dengan Lana bukan dengan Kikan yang
lebih membutuhkanku. Maafkan aku Kikan, selamat jalan! Tidur yang nyenyak
disana. Aku akan selalu menyayangimu, sahabat terbaikku.
*****
Mimpi
Oleh : Arini
Sofiana Fadhillah

Savira
Amanda Suwandi siswi SMA Yudamulya. SMA yang terkenal akan kemewahannya, semua
itu didukung dengan siswa siswinya yang semuanya dari golongan elit. Sedangkan
Savira Amanda Suwandi adalah anak tunggal dari Suwandi, seorang desainer
terkemuka di Indonesia .
Ibu dari Savira adalah Mieke Anastasya seorang direktur dari sebuah butik di
daerah Jalan Simanjuntak.
Ayah : “Pagi, Vira!” (sapa ayah yang sejak
tadi sudah duduk di meja makan ditemani oleh ibu Vira).
Savira : “Pagi yah! Pagi Bunda!” sapa Savira, yang
kemudian ikut duduk di meja makan).
Bunda : “Savira mau makan roti pake selai apa?
Strawberry? Nanas? Cokelat? Atau kacang?” (sapa Bunda sambil menyodorkan roti
tawar).
Savira : “Savira pake selai kacang aja deh ma!”.
Ayah : “Vir, entar kamu dianter supir ya?
Biar kamu nggak nyupir sendiri! Usia kamu kan belum genap 17 tahun, jadi ayah
khawatir” (kata Ayah sambil memandang Savira yang sibuk melahap roti dengan
selai kacangnya).
Savira : “Yah…! masak dianter supir sih yah?”.
Ayah : “Aduh! Savira nurut donk kata ayah.”
Savira : “Ehmmm…oke dech yah! Ayah, Bunda, Vira
berangkat ya? dah siang nih!” (kata Savira yang kemudian sambil menyalami ayah
dan bunda).
Bunda : “Hati-hati di jalan ya Vir, bilang ama
Pak Dadang biar gak ngebut-ngebut!” kata Ibu kepada Vira yang sudah berjalan
meninggalkan ruang makan).
Savira : “Iya Bunda!” (teriak Savira dibalik
pintu sambil berjalan keluar).
Pak Dadang :
“Nona mau berangkat sekarang?” (tanya Pak Dadang yang masih mengelap mobil
berwarna putih mengkilap).
Savira : “Iya Pak! Udah siang nih!” (kata Savira
sambil masuk ke mobil bermerk HONDA ku,
yang pintunya telah dibukakan oleh Pak Dadang).
Tak
lama kemudian, sebuah HONDA JAZZ berwarna putih melaju dengan pelan di jalanan
yang sudah ramai oleh kendaraaan. Di dalam perjalanan, Savira hanya membaca
novel dan ternyata hpnya berbunyi.
Savira : “Pagi Bey!” (kata Savira kepada cowok
bernama Sandi Mirzon yang
telah dipacarinya selama 2 tahun).
Sandi : “Ntar aku tunggu di kelas ya ada yang mau
ku kasih neh!.”
Savira : “Hah? Apaan?” (tanya Savira penasaran).
Sandi : “Surprise deh!.”
Savira : “Oke deh!.”
Sandi : “Mpe ntar ya!” TUT…TUT…TUT…!” (kata Sandi diikuti suara
telepon putus). Tak lama kemudian, Savira sampai di parkiran SMA
Yudamulya. Yang ternyata telah penuh oleh mobil-mobil.
Savira : “Pagi Net!” (sapa Vira kepada seorang
cewek yang baru turun dari mobil berwarna pink).
Soneta : “Pagi Vira! Cantik banget kamu hari ini!”
(kata Soneta sambil memegang rambut Savira yang hitam lurus).
Savira : “Makasih!” (kata Savira sambil berjalan
menuju kelas bersama dengan Soneta).
Soneta : “Kok kamu searah ama aku! Kelas kamu kan
diatas!” (kata Soneta sambil menunjuk kelas Savira).
Savira : “Ku mau ketemu Sandi dulu Net!.”
Soneta : “Oh gitu! Oke dech!.”
Savira dan Soneta pun
melanjutkan perjalanannya menuju kelas 2 IPA 2. Dan akhirnya Savira sampai di
depan pintu kelas 2 IPA 2.
Savira : “Net, tolong panggilin Sandi ya?.”
Soneta : “Tunggu bentar ya!” (kata Soneta sambil
masuk kelas).
“Sandi! Dicariin Vira tuh!” (teriak
Soneta setelah masuk kelas).
Sandi : “Hey!” (sapa Sandi, yang pagi itu
kelihatan cool banget).
Savira : “Hey, ada apa Sand? Keburu masuk nih!.”
Sandi : “Ntar malem, makan malem yuk!.”
Savira : “Ha? Makan malem? Oke dech, dimana? Tapi
kok tumben banget ya? Hehehe….”
Sandi : “Ku mau ngomong sesuatu, Ehmmm…tempat
byasa aja ya! Kita ketemu jam 7!.”
Savira : “Okey deh! Mpe ntar ya San! Daa…” (kata
Savira sambil berlari kecil meninggalkan Sandi).
Sandi : “Daa…” (kata Sandi dengan senyum
manisnya).
Savira berjalan menyusuri
jalan menuju kelasnya yang sudah dipadati anak-anak baru yang sibuk mencari
kelasnya masing-masing.
Nadine : "Hey kak Vira!” (sapa seorang cewek
yang masih menggunakan seragam putih biru).
Savira : “Hey!” (balas Vira, melihat cewek itu yang
ternyata adik kelas SMP nya. Kemudian Vira melanjutkan langkahnya ke kelas 2
IPS 4).
Dan gak disangka ternyata Bu
Lestari guru sosiologi Savira telah masuk kelas.
Savira : “Permisi bu,” (sapa Savira di depan
pintu kelas 2 IPS 4).
Bu
Lestari: “Kemana aja kamu Vir?” (tanya bu Lestari sambil berjalan menuju Savira).
Savira : “Maaf bu, tadi di jalan macet.”
Bu Lestari : “Masuklah!.”
Savira : “Makasih bu,” (kata Vira sambil
tersenyum).
Setelah sampai
di mejanya Savira langsung duduk.
Dhini : “Kemana aja lo Vir?” (ceplos Dhini yang
dari tadi sibuk berias).
Savira : “Wah, tadi aku nemuin Sandi dulu.
Hehehe….”
Dhini : “Udah kangen neh?.”
Savira :
“Enak aja!.”
Bu
Lestari : “Dhini, Savira!” (bentak Bu Lestari yang dari tadi melihat Dhini dan
Savira ngobrol).
Setelah itu kelas menjadi
tenang. Semua anak mempelajari penjelasan dari bu Lestari yang terkenal galak
dan judes. Dan denger-denger Bu Lestari adalah perawan tua, yang kata anak-anak
tidak menikah gara-gara patah hati dengan kekasih pertamanya.
Malam hari pun telah tiba, Savira yang ada janji dengan Sandi sibuk
merias diri. Karena dia tidak mau terlihat jelek di depan cowoknya yang terkenal
cute itu.
Savira : “Aduh gimana neh! Aku harus pake baju
apa? Pake warna item atau ungu ya…? Kalau aku suka ungu, tapi Sandi suka item!
Duh gimana neh?” (kata Savira kepada diri sendiri, yang sibuk membedah isi
lemarinya yang penuh dengan baju dan aksesoris lainnya).
TOK…TOK…TOK…
Savira : “Sapa?” (kata
Savira, settelah mendengar ketukan pintu).
Bunda : “Ini Bunda.”
Savira : “Oh Bunda!
Masuk aja Bun, pintunya gak Vira kunci kok!.”
Bunda pun masuk ke kamar
Savira. Dan terlihat Savira masih menimbang-nimbang baju yang akan dipakainya.
Bunda : “Ya ampun Vira! Kamu lagi ngapain?.”
Savira : “Vira mau makan malem bareng Sandi bun.
Bagusnya pake baju warna item atau ungu?.”
Bunda : “Oh mau pergi bareng Sandi. Kalau Bunda
sih suka kamu pake baju warna ungu!” (kata Bunda sambil meraih baju warna ungu
tempat Vira).
Savira : “Ungu ya Bun? Okey deh Vira ganti dulu
ya?” (kata Savira sambil menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya).
Setengah jam
kemudian Savira sudah ada di dalam mobil
Bunda : “Hati-hati ya Vir!” (teriak Ibu melihat
putrinya sudah pergi meninggalkannya).
TIN
Savira hanya membalas ucapan
ibunya dengan klakson mobilnya saja. Karena savira pikir kalau ia teriak tidak
akan terdengar oleh ibu.
Vira
hanya membutuhkan waktu setengah jam saja untuk sampai di café velope tempat
yang sudah dijanjikan Vira dan Sandi. Café Velope setiap malam selalu ramai.
Sebagian besar pengunjung café adalah para anak muda yang bosen di rumah.
Savira pun langsung memarkir mobil mewahnya itu. Yang kemudian masuk ke café
dan memilih tempat.
Savira : “Duh Sandi mana sih kok belum dateng
juga!” (kata Savira dalam hari).
“Ehmmm mendingan aku telpon Sandi aja deh” (Savira langsung mengambil HP nya
yang ia taruh di dalam tas berwarna hitam).
TUT…TUT…TUT…
Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif
Atau berada diluar service area.
Savira : “Duh kok tidak
aktif seh!” (gumam Savira).
Sejam sudah Savira menunggu
Sandi di kursi Café Velope. Tapi Sandi belum juga nongol. Dari tadi Savira juga
sudah menguhubungi Sandi tapi nomernya tidak aktif juga. Dan dua jam pun sudah
berlalu jam dinding sudah menunjukkan jam 09.00 malam.
Savira :
“Sudah lah aku mau pulang, terserah Sandi mau datang atau tidak.” (gumam Vira
dalam hati, yang kemudian beranjak dari tempat duduknya dan menuju parkiran
mobil).
Di jalan Savira mengemudikan mobilnya dengan kecepatan diatas 80
km/jam. Ia marah Sandi tidak menepati janji mereka. Tak lama kemudian Savira
sampai di depan garasi rumahnya. Dan Savira langsung turun dari mobilnya.
Bunda : “Gimana Vir makan malemnya?” (tanya Ibu
yang lagi duduk menemani ayah).
Savira : “Nyebelin banget Bun!” (kata Savira yang
langsung berjalan menuju kamar).
Bunda : “Kenapa sih Vir?” (kata Bunda sambil
ngikutin Savira dari belakang).
Sesampainya di kamar Savira
langsung menjatuhkan badannya di kasur empuk berseprei ungu itu sambil
menangis!.
Bunda : “Kok bunda tanya, gak dijawab sih Vir?”
(tanya Bunda sambil duduk disamping Savira yang sedang menangis).
Savira : “Sandi nyebelin!.”
Bunda : “Emang Sandi kenapa Vir?.”
Savira langsung beranjak dari
tidurnya dan duduk menghadap bundanya.
Savira : “Sandi bo’ong…” (kata Savira yang langsung
memeluk bunda).
Bunda : “Bo’ong? Bo’ong kenapa?” (tanya Savira
sambil mengelus
rambut Savira).
Savira : “Sandi gak dateng.” (kata Savira dengan
suara agak bergetar)
Bunda : “Apa Vira udah ngubungin Sandi, kenapa
dia gak dateng?.”
Savira : “Nomernya gak aktif” (kata Vira sambil
menangis dipelukan mamanya).
Bunda : “Ya udah, Vira sekarang bobok aja ya?
Besok Vira tanya aja ama Sandi.”
Savira : “Iya
ma…” (kata Vira sambil melepas dari pelukan bundanya).
Bunda : “Met bobok sayang” (kata bunda sambil
berjalan keluar dari kamar).
Semalaman Savira terus kepikiran tentang kejadiannya di café.
Sebagai balesannya ia kesiangan bangun untuk sekolah. Tapi masih untung dia
tidak terlambat.
Dandi : “Vir, Sandi udah gak ada Vir” (kata Dandi
teman sekelas Sandi, yang tiba-tiba ada di depan Vira yang lagi turun dari mobil).
Savira : “Hah? Gak ada gimana? (tanya Savira
penasaran).
Dandi : “Semalam Sandi kecelakaan, dan Tuhan
langsung mengambil
dia Vir! Sandi meninggal” (jelas Dandi dengan suara bergetar dan mata
berkaca-kaca).
Savira : “Sandi.” (kata Savira pelan). “Sekarang
Sandi mana?” (tanya Savira yang sudah gak bisa nahan tangisnya).
Dandi : “Di rumah Vir.”
Setelah mendengar itu Savira langsung menuju ke rumah Sandi.
Sesampainya disana, sudah banyak siswa-siswi SMA Yudamulya di rumah Sandi. Dan
Savira langsung berlari menuju dalam rumah Sandi.
Savira : “Sandi.” (kata Savira setelah melihat
tubuh Sandi terbujur kaku).
Ibu Sandi : “Vira” (rangkul ibu Sandi ke Vira).
Dan tanpa disadari Savira
pingsan dipelukan Ibu Sandi yang memakai baju item-item.
Bunda : “Vira, bangun Vir!” (kata bunda).
Savira : “Kok aku disini ma!” (kata Vira agak
kaget).
Bunda : “Vira udah ditunggu Sandi tuh di bawah.”
Savira : “Oh…Vira cuma mimpi ya Bun” (kata Savira
sambil tersenyum lebar).
Bunda : “Emang Vira mimpi apa?.”
Savira : “Vira mimpi buruk banget ma!.”
Bunda : “Ya udah turun gi! Sandi udah nungguin
tuh!.”
Savira pun langsung turun ke
bawah nemuin Sandi. Yang dari tadi udah nungguin Vira.
Savira : “Hey bey!.”
Sandi : “Hey….”
Setelah mimpi itu Savira
menjadi gadis pengertian dan pengertian ke Sandi.
Mutiara
sebuah
keluarga
Oleh : Pricilia Ida Fitriani
Pagi hari yang sangat cerah, Lia membuka jendela kamarnya. Sorot
matahari dari ufuk timur masuk lewat jendela kamar. Lia adalah seorang siswi
dari SMA N 1 Yogayakarta. Usianya masih muda dan masa-masa seusianya adalah
masa pencarian jati diri. Minggu pagi ini seperti minggu-minggu sebelumnya.
*****
Kakek : “Bangun Nduk!” (sambil meminum segelas
teh manis yang
dibuat oleh Tante Siska).
Lia : (sambil merapikan tempat tidur) “Iya
kek, Lia udah bangun kok!.”
Nenek : (sambil menyapu halaman rumah) “Nyuci
baju sana, mumpung cuaca hari ini panas.”
Lia : (sambil menyapu lantai rumah) “Baik
Nek, nanti setelah kelar mengepel lantai.”
*****
Lia
merupakan cucu dari kakek dan nenek Suri. Lia tinggal bersama kakek dan
neneknya serta juga ada tantenya. Karena ayah, ibu dan adik Lia tinggal di
Jakarta. Lia anak pertama dari Bapak Agus Rahmanto dan ibunya Sulistya serta
adiknya bernama Mustika Dewi. Lia berusia 16 tahun berarti kelas 2 SMA.
Tante Siska :
“Lia jangan lupa sarapan dulu ya, tante mau ke pasar beli sayuran.” (sambil
jalan menuju teras depan rumah).
Lia : “Iya tante, nanti Lia juga pasti
sarapan” (sambil mengepel lantai rumah).

Kakek :
“Jaga rumah ya Nduk, kakek mau ke kebun. Kamu
nggak pergi kemana-mana kan!” (sambil duduk di meja makan).
Nenek : “Nenek juga mau ke puskesmas, periksa
kesehatan nenek, kamu sendiri di rumah berani kan!.”
Lia : “Iya kakek, iya nenek. Lia jagain rumah
kok, tenang saja” (sambil menoleh dan tersenyum kearah kakek dan neneknya).
Kakek : “Kakek tinggal ya, hati-hati di rumah.”
Nenek : “Nenek juga mau pergi sekarang, hati-hati
juga kalau ditinggal ke warung pintunya dikunci.”
Lia : “Iya…iya…!” (sambil mengantar nenek
mencari angkot).
Lia : (HP Lia di kamar berbunyi, Lia
cepat-cepat masuk ke kamarnya) “Hallo, Assalam’ulaikum.”
Ayah Lia : “Wa’alaikum salam. Lagi ngapain mbak? Mbak
udah sarapan belum?.”
Lia : “Habis nganter nenek cari angkot yah!
Tadi disuruh sarapan, tapi belum sempat.”
Ayah Lia : “Mbak mau ngomong sama adik nggak? Adik dari
kemarin nanyain mbak terus.”
Lia : “Iya Yah. Lia juga kangen sama adik.”
Adik Lia : “Hallo mbak Lia, adek kangen pengen kesana.”
Lia : “Mbak juga pengen ketemu adik. Adik udah
mandi belum hayoo…!.”
Adik Lia : “He he he. Belum mbak, adik kan bangun
tidur.”
Lia : “Ibu lagi ngapain dik?.”
Adik Lia : “Lagi di dapur, mbak mau ngomong sama Ibu?
Bentar ya Dewi panggilin dulu.”
Ibu Lia : “Hallo, Mbak. Ibu lagi bikin nasi goreng
nih!.”
Lia : “Iya, Bu. Ibu pulang nggak liburan
semester ini?.”
Ibu Lia : “Iya lihat. Lihat dana dulu mbak. Tahu
sendiri ayah belum dapat kerjaan tetap semenjak dituduh mencuri dan di PHK dari
perusahaannya dulu.”
Lia : “Lia belum bayar SPP 6 bulan Bu!
Sebentar lagi ulangan umum, semua harus dilunasi.”
Ibu Lia : “Sebentar ya mbak, rizki ditangan Allah.”
Lia : “Ya udah Bu, salam buat Ayah dan adik.
Lia mau nyuci dulu. Assalam’ulaikum.”
Ibu Lia : “Iya nanti Ibu sampaikan, salam juga buat
kakek, nenek dan tante Siska. Wa’alaikumsalam.”
Setelah
Lia menutup telepon dari keluarga yang tinggal di Jakarta Lia mencuci baju.
Keluarga Lia memang keluarga yang sederhana dan ramah tamah. Siang hari Lia
mengerjakan tugas di meja belajarnya. Rupanya nenek sudah pulang dan tertidur
di kamar. Tante Siska setelah pulang dari pasar biasanya langsung berangkat
kerja sebagai penjahit.
Pak
RT : “Assalamu’alaikum.”
Lia : “Wa’alaikum salam. Ada apa Pak?.”
Pak
RT : “Nduk kakekmu ditemukan pingsan di
kebun.”
Lia : “Apa Pak? Kakek tadi dari rumah sehat
wal afiat kok bisa
pingsan.”
Pak RT : “Iya saya juga tidak tahu pasti.
Sebaiknya kita segera kesana.”
Lia : “Tapi Pak, nenek masih tidur.”
Pak RT : “Sebaiknya nanti saja dikasih tahu, biar
nenek istirahat.”
Lia : “Ayo Pak kita kesana sekarang saja.”
Pak RT : (sambil jalan menuju rumah Pak Parman yang
letaknya berdekatan dengan kebun kakek Lia). “Tadi sewaktu Pak Parman ingin
memberi makan kambingnya, Pak Parman melihat Mbah Suri tergeletak. Pak Parman
langsung menggendong Mbah Suri ke dalam rumah Pak Parman.”
Lia : “Tapi kakek nggak apa-apa kan Pak?.”
Pak RT : (sambil menepuk pundak Lia). “Semoga saja
kakekmu hanya kepanasan, karena terik matahari.”
Lia : (Sesampainya di rumah Pak Parman, Lia
meneteskan air mata). “Assalam’ulaikum.”
Pak Parman : “Wa’alaikum salam. Mari masuk dek Lia.”
Lia : “Kok rame ada apa Pak? (sambil
keheranan dan ketakutan) kakek tidak apa-apa kan Pak?.”
Pak Parman :
(Hanya bisa memberi isyarat kepada Pak RT bahwa Mbah Suri telah dipanggil oleh
Tuhan Yang Maha Esa) “Mari Pak masuk.”
Pak RT : “Iya, terima kasih. Bagaimana nanti
kepengurusan jenazah Mbah Suri?.”
Lia : (Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar
jerit tangis) “Kakek…kakek…bangun kek! Katanya kakek mau bawain ketela hasil
kebun kakek. Mana kek?.”
Pak Parman :
“Kita bawa ke rumahnya sekarang, lalu segera kita kuburkan jenazahnya.”
Pak RT : “Iya, saya setuju Pak.”
Jenazah
kakek Lia dibawa ke rumah tapi sudah dimandikan. Lia sudah tidak dapat
membendung kesedihannya. Sesampainya di rumah, dia langsung manuju ke kamar
neneknya. Neneknya samar-samar melihat cucunya itu meneteskan air mata, lalu
nenek bangun.
Nenek : “Ada apa Nduk? Kok wajahnya murung dan
pucat!.”
Lia : “Anu…ehm…anu Nek” (Lia nggak bisa
ngomong).
Nenek : “Apa to Nduk? Dari tadi kok anu-anu
terus.”
Lia : “Kakek kembali ke Allah Nek!” (sambil
menunggu).
Nenek : “Apaaaa…?” (langsung dalam keadaan tak
sadarkan diri).
Lia : (sambil memanggil orang-orang yang ada
di rumahnya saat itu) “Nek…nenek…nenek…bangun Nek!!!.”
Pak RT : “Apa yang terjadi Lia?” (sambil memeriksa
denyut nadi neneknya).
Lia : “Saya hanya memberitahukan bahwa kakek
sudah kembali kepada-Nya Pak?” (sambil menangis tersedu-sedu).
Hari itu menurut Lia adalah tragedi yang sulit diungkapkan. Karena
pada hari itu juga kakeknya sudah dipanggil menghadap Allah SWT. Dan dengan
maksud baik Lia memberitahukan kepada neneknya. Dalam jangka waktu yang tidak
lama Neneknya juga dipanggil menghadap Allah SWT, karena sebelumnya neneknya
juga penyakit jantung yang dalam tahap penyembuhan.
Pak RT : “Sabar ya Nak…! Semua yang ada di dunia
ini hanya milik Allah jadi jika salah satu milik Allah diminta maka ikhlaskanlah.”
Lia :
(tak bisa berkata apa-apa, dia hanya diam menunduk dan menangis terisak-isak)
“Terima kasih Pak.”
Tante Siska :
“Lia…!!!” (sambil masuk kamar nenek dengan isak tangisnya).
Lia : “Tante…maafkan Lia! (sambil memeluk
tantenya dengan isak tangisnya).
Tante Siska:
“Ya…gak ada yang salah sayang! Kamu sudah hubungi Ayah dan Ibumu belum?.”
Lia : “Sudah tan, Ayah mau pulang naik
kereta ekonomi yang sampai sini jam 6 pagi.”
****
Malam itu juga Ayah, Ibu dan Adiknya Lia berangkat dari Jakarta. Ayah
dan ibunya Lia di dalam perjalanan yang memakan waktu 11 jam itu tidak bisa
tidur, mereka memikirkan keadaan rumah. Jam telah menunjukkan pukul 01.30 dini
hari tapi Ayah dan Ibu Lia tetap tidak bisa memejamkan mata. Setelah itu juga
terjadi kecelakaan di daerah Purwokerto. Gerbong kereta api terjungkal ke
jurang. Ayah dan Ibu Lia ditemukan dalam keadaan mengenaskan sedangkan adik Lia
cidera pada kaki kirinya. Kabar itu langsung menyebar di media manapun.
Lia : “Tante…Lia tidak
bisa tidur” (sambil melihat jam sudah menunjukkan jam 4 pagi).
Tante Siska: “Iya Tante juga gitu. Tante merasa ada yang janggal
di hari ini” (sambil memeluk Lia).
Lia : “(Lia menelepon
ayahnya, tapi tidak bisa)”Tante kok nomor ayah tidak bisa dihubungin ya?.”
Tante Siska : “Mungkin gak ada signal, apa batrenya habis.”
Lia : (Lia mendengar
suara pak RT sedang mencari tahu keberadaannya, Lia keluar dari kamar) “Ada apa
Pak?.”
Pak RT : “Kereta yang
ditumpangi ayah dan ibumu kecelakaan di Purwokerto jam 02.00 dini hari tadi.”
Lia : (Terperangah…lalu
membayangkan apa yang terjadi dengan keluarganya) “Bapak yakin? Berapa korban
jiwanya?.”
Pak RT : “Saya yakin
sekali Nak! Tadi dituliskan nama korbannya. Dan…(Pak RT tidak tega melihat kesedihan yang dialami Lia, Pak RT tidak bisa
melanjutkan kata-katanya).”
Lia : “Dan…apa Pak??
(wajah Lia terlihat pucat dan panik).
Pak RT : “Dan…nama ayah
dan ibumu tercantum di dalam korban kecelakaan yang meninggal dunia.”
Lia : “Bapak tidak
salah liat Pak?? (Langsung pingsan di lantai).
Tante Siska : “Sebaiknya kita jangan paksa Lia untuk menerima
semua kenyataan pahit ini Pak” (Tante Siska menggosokkan minyak kayu putih di
hidung Lia).
Pak RT : “Iya. Saya tahu
hal itu, kasihan usianya masih muda. Dia belum sanggup menerimanya dengan
keikhlasan dan kesabaran.”
Lia : (Dia tersadarkan
diri, namun terlihat sangat lemas). “Tante…yang Lia denger tadi bener atau
nggak?.”
Tante Siska : “(Sambil mengusap kepala Lia) “Sayang…sabar ya
dibalik semua hal yang terjadi pada kita, ada hikmah Mutiara yang dapat kita
ambil. Ini sebuah perjalanan hidup kamu harus ikhlas menerimanya.”
*****
Dalam waktu yang dekat-dekat ini rumah Lia penuh dengan kedatangan
tamu-tamu. Mereka berdatangan secara bergantian. Tapi sayang sekali karena
kedatangan tamu yang hilir mudik itu berselimut duka yang mendalam. Lia sudah
tidak sanggup lagi menahan kepedihan hati yang sangat menyiksa batinnya.
Seakan-akan air mata Lia sudah habis dan tidak bisa dicairkan lagi. Lia
sekarang ini menjadi anak yatim piatu, dia hanya mempunyai Tante Siska. Lia juga
tidak dapat melihat wajah Ayah, Ibu dan adiknya untuk yang terakhir kalinya.
Jenazah mereka dikabarkan ditemukan secara mengenaskan. Hari duka sudah
berlalu, namun tidak dapat dibohongi hati Lia masih terluka.
Tante Siska : “Lia…kamu
berangkat sekolah gak?.”
Lia : (Masih di dalam
kamar memikirkan sesuatu) “Lia belum siap Tan!.”
Tante Siska : (Sambil menyiapkan sarapan di meja makan) “Ya sudah
gak usah berangkat dulu, tapi makan dulu ya.”
Lia : (Sambil
membereskan tempat tidur) “Iya nanti aja tan, tante berangkat kerja dulu aja
gak usah terlalu mikirin Lia.”
Tante Siska: “Ya sudah, Tante tinggal ya, kamu jangan kemana-mana
dan jangan lupa makan.”
Lia : “Oke deh
tan!.”
Lia di rumah sendirian. Dari tadi dia hanya memandangi foto-foto
keluarganya. Hingga siang hari ia terkejut wali kelasnya datang ke rumah.
Ibu Sri : “Assalam’ulaikum
Wr.Wb.”
Lia : (Sedang duduk di
ruang tamu langsung beranjak keluar) “Wa’alaikumsalam Wr.Wb. Ibu…silahkan masuk
Bu.”
Ibu Sri : (sambil jalan
kearah Lia) “Iya, terima kasih. Kok sepi, kamu di rumah sendrian ya!.”
Lia : “Iya Bu. Tante
Siska kerja, jadi cuma saya sendiri.”
Ibu Sri : (Tanpa basa-basi
lagi) “Gini, kemarin Ibu dipanggil Kepsek bagi yang belum lunas pembayaran SPP
tidak diperbolehkan mengikuti Ujian Semester Genap. Ibu tidak bisa berbuat
apa-apa. Ibu hanya bisa memberitahukan akan kemungkinan terburuk bagi yang
belum lunas akan dikeluarkan dari sekolah.”
Lia : (Terdiam dan
hanya bisa menunduk pucat) “Baiklah Bu, nanti saya bicarakan dengan tante
Siska.”
Ibu Sri : (Berdiri dan
akan berpamitan pulang) “Ya sudah, Ibu pamit pulang dulu ya.”
Lia : “Iya bu, terima kasih atas kedatangannya. Hati-hati ya Bu.”
Ibu Sri : “Sama-sama.
Jangan lupa tetap belajar.
Assalam’ulaikum Wr.Wb.”
Lia : “Wa’alaikumsalam.”
*****
Keesokan harinya Lia berangkat sekolah. Sampai di sekolah sudah
bel masuk, Lia langsung menuju kelas. Pelajaran pertama kimia, tapi tiba-tiba
Lia dipanggil Kepala Sekolah.
Kepala sekolah: “Assalam’ulaikum Wr.Wb. Permisi sebentar Bu!.”
Ibu Guru : “Wa’alaikumsalam
Wr.Wb. Silahkan Pak!.”
Kepala Sekolah : “Saya
ingin bertemu dengan Rosalia Amanda.”
Lia : “Iya. Saya,
Pak.”
Kepala Sekolah : “Mari
ikut ke ruang Bapak.”
Lia : “Baik Pak.
Bi izin sebentar.”
Ibu Guru : “Iya gak
apa-apa.”
Kepala Sekolah : “Mari
Bu. Silahkan dilanjutkan kembali.”
Sesampainya di ruang Kepala Sekolah Lia hanya diberi surat yang
berisikan Lia dikeluarkan dari sekolah itu. Lia tidak bisa berkata apa-apa
lagi. Setelah itu Lia masuk ke kelas lalu pulang. Sesampainya di rumah Lia
tidak menyangka Tante Siska berada di rumah.
Tante Siska :
“Loh kok sudah pulang?. Ada apa?.”
Lia : (Sambil
menyerahkan surat bermaterai yang dibungkus amplop putih) “Ini Tan!.”
Tante Siska : (Membuka
amplop, lalu dibacanya) “Tante pasrah aja, maafin Tante gak bisa berbuat
apa-apa.”
Lia : (Menunduk
Sedih) “Gak apa-apa tan, ini udah jadi jalan hidupku.”
*****
Selama berhari-hari Lia di rumah, dia memikirkan
sesuatu. Lia ingin bekerja untuk mendapatkan uang, lalu dia ingin menggunakan
uang itu untuk melanjutkan sekolahnya. Dia meminta Tante Siska mencarikan
pekerjaan apa saja asalkan halal. Setelah Tante Siska kesana kemari mencari,
Tante Siska mempunyai teman yang berjualan di pasar Beringharjo. Akhirnya Lia
pun bekerja di tempatnya Tante Siska itu sebagai pelayan rumah makan. Lumayan juga gajinya tiap bulan bisa untuk
melunasi biaya sekolah. Teman tante Siska juga baik, tiap sehabis kerja Lia
dibawakan beberapa makanan. Teman Tante Siska bernama Rasti.
Lia :
(Sibuk cuci piring) “Tan, makasih ya. Gara-gara Tante lho Lia bisa sekolah
lagi.”
Tante Rasti: “Ah kamu bisa saja. Ini udah takdirnya tante sebagai
penolong kamu, Cuma perantara, sebenarnya Allah selalu dihatimu.”
Lia : (tersipu malu)
“Tan, kalau Lia Ujian kerja setengah hari boleh gak?.”
Tante Rasti: (Ragu-ragu memandang Lia) “Ehm…gimana ya. Ya udah
boleh, Cuma 1 minggu kan ?.”
Lia : (Tersenyum
bahagia) “Iya kok tan. Makasih ya tan!.”
Tante Rasti: (sambil berpaling berjalan pulang) “Iya. Eh, itu ada
anak kecil minta makan, dikasih ya. Lauknya diambilin apa aja deh. Oke.”
Lia : (Berdiri dan
keget) “Apa tan? Dimana anak kecil
itu?.”
Tante Rasti: (menggandeng Lia keluar) “Itu dia, sambil temenin
ya!.”
Lia : “…Hah!!! Dewi
kamu masih hidup dek. Ayo dek maen dulu, pasti kamu kelaparan beberapa hari
hidup tak punya tujuan” (sambil menangis dan tak menyangka Lia bertemu adiknya
yang dianggap sudah meninggal).
Dewi : (menangis dan
memeluk Lia) “Kak Lia, Dewi kangen!!! Dewi bingung kak. Bunda dan Ayah tidak
ada sama Dewi.”
Lia : “Iya kakak tau.
Udah ya, ceritanya nanti aja. Sekarang makan dulu, dihabisin ya!.”
Lia berpamitan pulang. Sesampainya di rumah, Tante Siska sungguh
tak menyangka Lia bahagia. Kini, dia bertemu dengan saudara satu-satunya yang
dianggapnya sudah meninggal. Setelah berhari-hari bahkan berbulan-bulan Dewi
hidup mengemis kesana kemari. Takdir jualah yang mempertemukan mereka. Keluarga
kecil yang terdiri dari 3 perempuan itu kini telah hidup saling menyayangi.
Mereka bahagia dengan apa yang ada kini. Lia melanjutkan sekolah lagi, atas
biayanya sendiri. Vegitu pula Dewi adiknya juga bersekolah lagi yang dibiayai
oleh Tante Siska. Tante Siska pun sudah ada yang meminang, seorang Pengusaha
Kerajinan Batik di Yogyakarta.
SEBUAH KEAJAIBAN
Suasana
pedesaan telah membuat hati Savira damai. Ia telah nyaman berada di tempat
kelahirannya berkumpul bersama keluarga dan sahabat terbaiknya, Sandi. Ia
tinggal di sebuah rumah yang tidak jauh dari kereta api. Usia mereka telah
menginjak tujuh belas tahun, yang tentunya mereka telah melanjutkan di tingkat
SMA. Suka dan duka mereka lalui bersama. Tak jarang, teman-temannya pun memberi
sindiran mengejek kepadanya.
***
Masa
SMA telah lewat. Tiga tahun dilewatkan Savira bepergian ke luar negeri untuk
melanjutkan kuliahnya di Paris.. Namun, ia masih memikirkan Sandi yang jauh
didalam lubuk hatinya merindukan kehadirannya. Padahal, ia telah disibukkan
oleh berbagai macam tugas dari dosen. Ia menempuh hari yang terasa berat dengan
gelisah.
Semester
pertama, salah seorang siswa baru muncul di ruangan Savira..
“Hay…
Ngomong-ngomong kita belum kenalan. Nama gue Sandi. Lo…?” sapa Sandi ramah.
Savira
sangat kaget mendengar nama itu. Tidak mungkin sahabatnya kini berada
dihadapannya. Bukankah dia sedang berobat??? Untuk menyembuhkan penyakit yang
dideritanya?. Buru-buru Savira menjawab pertanyaan Sandi “Vira” sahutnya klise.
Hari
liburan semester mereka telah merencanakan akan berlibur ke Paris . Sandi mengajak Savira makan malam.
Tetapi… sudah hampir dua jam dia belum juga datang. Perasaan Savira menjadi gelisah.
Tanpa dikomando, ia meraih handphone dari
dalam sakunya. Ia mencari nomor handphone Sandi dan memanggilnya. Beberapa lama
kemudian, seorang cewek diseberang menyahut
“Ya…
hallo.”
“Maaf,
ini dengan siapa ya??. Kalau boleh, saya bisa berbicara dengan Sandi??”
perasaannya masih was-was.
“Oh…
pasien yang sedang terbaring ini ya??. Tadi, dia mengalami kecelakaan, ditabrak
motor.”
Sebelum
suster menjelaskan lebih lanjut, Savira sudah buru-buru menyelanya “Sekarang
dia dirawat dimana ya, suster?”.
“Di
Rumah Sakit Harapan”.
Tanpa
mengucapkan sepatah kata lagi, ia buru-buru memutuskan sambungan telepon dan
berlari menemui Sandi.
Dia
meringkuk dihadapan Sandi yang terbaring lemah di rumah sakit. Sepanjang hari,
dia selalu berdoa untuk kesembuhan sahabatnya itu. Setelah lewat tiga hari
Sandi koma, matanya sudah mulai terbuka dan ini yang membuat Savira bersyukur.
“Lo
udah bangun??, syukurlah… Bentar ya, gue panggilin dokter dulu” sapa Savira
senang begitu tiba di Rumah Sakit Harapan.
“Gue
ada dimana??”.
“Di
rumah sakit. Lo tertabrak motor di jalan dan lo koma selama tiga hari.”
Sandi
berusaha mengingat kejadian itu. “Jadi, lo yang udah menjaga gue?.”
Savira
membalasnya dengan anggukan kecil.
“Thanks
ya…. Gue juga minta maaf karena kita batal ngadain makan malam waktu itu”
Savira benar-benar merasa iba melihat raut wajahnya yang kusut.
“Udahlah…
lupain aja. Lagian, semua ini bukan kesalahan lo. Ini kan kecelakaan.”
Setelah
keadaan Sandi sudah mulai membaik, akhirnya dia diijinkan pulang ke rumah.
Savira tak henti-hentinya merawat Sandi
ketika ia mempunyai waktu luang.
Dua
hari berlalu, dia bisa melakukan kegiatannya sehari-hari.
Malam minggu, Sandi tiba-tiba saja mengajak Savira pergi. Savira
sendiri tak kuasa menolaknya. Ia berdandan di cermin tidak seperti sebelum
kecelakaan itu terjadi.
“Gue udah siap” Savira berdiri tegak dihadapan Sandi yang sedang
terbengong.
Dia hanya mengangguk pelan. Dan ia menyalakan motornya. Motor itu
melaju kencang menuju ke sebuah kafe seperti biasanya, selalu romantis.
“Lo kok ngajak gue kesini?” tanyanya heran.
Tanpa diduga-duga dan tanpa ada kata pembuka, Sandi mengutarakan
perasaanya yang membuat Savira kaget.
“Tapi…” sahut Savira terharu.
“Kalau lo
nggak bisa jawab sekarang, gue nggak maksa kok”.
***
Ternyata
tiga bulan yang dilalui Sandi tidak sia-sia. Kehadiran Savira dihadapannya
telah mengobati rasa sakit yang dideritanya selama ini. Dokter pun memberikan
kabar baik bahwa penyakit yang dideritanya telah sembuh total. Apalagi, kini
Savira telah menjadi kekasihnya.
MENGAKUI
KESALAHAN
“La,
kita jadi ke rumah kamu kan ?”
bisikku kepada Lela.
“Iya
donk… Shinta, Intan, Okta, Tari gimana?. Mereka jadi ikut tidak?”, Lela kembali
berbisik.
“Tentu.
Udah pasti mereka juga ikut”.
Ocehan
Bu Pur mengenai logaritma yang segera berakhir membuat kami senang. Begitu bel
berbunyi, kami berhamburan keluar kelas. Kami bermaksud akan mengadakan belajar
kelompok di rumah Lela.
“Kalian
masuk duluan aja” ujar Lela begitu tiba di depan rumahnya.
Tiba-tiba,
Okta berteriak lantang, membuat kami ikut menoleh ke arahnya, “Tunggu dulu.
Kita pesan rujak yuk… Disana ada rujak tuh” katanya seraya mengacungkan
tangannya ke arah tempat rujak itu berhenti.
“Yuk.
Tapi, yang beli siapa?”.
“Aku
temenin deh. Uangnya patungan ya?” lanjut Intan menambahi.
“Ok”
sahut kami bersamaan.
Masing-masing
dari kami menyerahkan selembar uang ribuan kepada Okta. Setelah uang terkumpul,
mereka berdua segera pergi. Sedangkan kami menunggu mereka berdua di rumahnya
Lela.
Beberapa
menit kemudian, ku lihat Okta tengah membawa seplastik yang berisi rujak. Lela
segera mengambil piring dan meletakkannya. Lalu, kami pun melahap rujak itu
dengan bersemangat. Alhasil, kegiatan belajar kelompok kami sedikit tertunda.
Seusai
menghabiskan sepiring rujak, kami kembali menekuni tugas yang diberikan oleh Bu
Rina. Beliau lah yang menggantikan mantan guru fisika kami yang terdahulu.
***
Pagi-pagi
buta, teman-temanku tengah berkumpul di kelas. Mereka terlihat mondar-mandir
kesana kemari mencari jawaban. Maklum, sebagian dari mereka belum mengerjakan
tugas. Selain itu, belum ada tanda-tanda bel berbunyi. Kesempatan emas inilah
yang digunakan mereka untuk membujuk teman-temannya agar mau memberikan
jawabannya secara gratis.
“Tar,
aku liat jawaban kamu boleh tidak?. Masih ada sebagian soal yang belum aku
kerjain nih…” pinta temenku memelas. Sikapnya yang egois memang membuat
teman-teman merasa enggan meminta bantuan kepadanya. Terkadang, Tari enggan
memberikan jawabannya kepada teman-temanku. Walaupun, kadang dengan cara
memelas pun tidak juga berhasil.
“Kamu
kemarin ke mana aja?. Kenapa belum mengerjakan?”.
“Aku
udah ngerjain. Tapi, ada yang tidak ketemu jawabannya”.
“Wah,
kalau githu sorry banget. Jawaban aku juga belum lengkap” timpal Tari
cuek.
Tari
kembali mengitari meja teman-temanku.
***
Kantin
sekolah.
“Tar,
menurutku sikap kamu tadi sedikit egois deh” kataku memulai pembicaraan,
menatapnya tenang.
“Maksud
kamu apa?” tukas Tari mulai terpancing keadaan.
“Aku
hanya ingin menasehati kamu aja. Yah… tidak ada ruginya kan kalau kita membantu teman”.
“Kamu
selalu sibuk dengan urusan orang lain ya?”.
“Bukannya
githu. Tapi…”.
Emosinya
Tari hampir meledak. “Udahlah… Aku capek dengerin nasihat kamu setiap hari”
potong Tari berang, bangkit dari kursi, dengan tatapan terhujam ke arahku.
***
Kejadian
di kantin beberapa hari yang lalu membuat komunikasiku dangan Tari terputus.
Sampai suatu ketika Tari mendatangiku dengan tiba-tiba.
“Rim, aku minta maaf ya atas kejadian di
kantin waktu itu. Aku tidak bermaksud…”.
“Tidak
masalah kok. Lagipula aku sudah maafin kamu dari dulu. Jadi, kamu tenang aja.
Tapi, kenapa kamu bisa berubah secepat ini?”.
“Aku
sadar karena selama ini aku terlalu egois. Karena itu, aku dibenci teman-teman”
balas Tari dengan nada menyesal.
“Kamu
tidak dibenci kok. Mereka menjauhi kamu karena mereka takut”.
“Takut
kenapa?”.
“Emm…
aku tidak bermaksud menyakiti hati kamu. Mereka sudah mengenal kamu sebagai
anak yang judes. Jadi,”.
“Iya,
aku tahu itu. Tidak masalah kok mereka menganggap aku seperti itu” potong Tari
dengan kepala menunduk. “Sekali lagi aku minta maaf ya…” tambah Tari kemudian.
“Ok”.
***
Lela
sudah menyadari kesalahannya. Lela bersedia mengulurkan tangannya demi membantu
teman. Kini, dia menjadi bintang hati di kelas. Teman-temannya pun mulai
menyayanginya.
Sifat
manusia bisa berubah. Tergantung dari kemauan manusia itu sendiri. Setiap
perubahan berawal dari kesalahan. Dengan menilai setiap kesalahan yang telah
kita perbuat, kita bisa menjadikan sesuatu yang baru. Memperbaiki kesalahan
dimasa lalu akan terasa ringan. Kita bisa merasakan ketentraman lahir dan
bathin. Bukankah meminta maaf adalah sesuatu yang sangat mulia?.
KESADARAN BUAH
SURGA
“Ren,
bukankah sudah ku bilang, memetik buah miliknya oran g lain itu berdosa. Apa kamu belum
mengerti juga?” tanyaku kepadanya.
“Iya,
iya. Aku mengerti” jawab Rendra.
“Iya,
iya. Tapi, tidak dilakukan juga” kataku jengkel.
Rendra
mengabaikan nasihatku. Ku lihat Rendra sudah pergi jauh. Aku hanya bisa
menghela napas pasrah.
“Damar,
sini” panggil Rendra dari kejauhan.
Aku
segera menghampiri Rendra yang sedang melambaikan tangannya.
“Ada apa?” tanyaku setelah
mendekatinya.
“Lihat.
Buahnya merah, pasti enak” katanya lagi, menunjuk buah rambutan.
“Maaf Ren , ak u
tidak mau ikut. Mencuri itu perbuatan tercela. Lebih baik, ur ungkan saja niatmu itu” kataku
menasehatinya.
“Terserah
kalau kamu tidak mau” katanya.
Berhari-hari,
kelakuan Rendra tak kunjung berubah. Setiap ada buah segar, pasti dia ambil,
tanpa meminta ijin kepada pemiliknya. Aku juga tidak tahu harus berbuat apa
lagi untuk menasehatinya.
***
Tanpa diduga, Rendra
melihat sesuatu yang menarik hatinya. Tampa k
beberapa oran g
berkerumun di sebuah toko, tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Rendra menuju toko
tersebut. Dia berusaha menyelipkan tubuhnya diantara kerumunan oran g.
“Cepat, bawa dia ke kan tor polisi” bentak
pemilik toko kepada seorang pemuda yang ketakutan.
“Tolong jangan bawa
saya ke kan tor
polisi” kata pemuda itu memelas.
“Kau harus
bertanggung jawab atas perbuatanmu” kata pemilik toko.
“Pak, bawa dia ke kan tor polisi” katanya
lagi.
Seorang satpam
bertubuh kekar, segera membawa pemuda itu dengan paksa.
“Bu, tolong jangan
bawa saya ke kan tor
polisi. Saya akan mengganti semua kerugiannya” kata pemuda itu.
“Itu tidak cukup dengan
apa yang telah Kau ambil”.
***
Setiba Rendra di
rumah, dia menceritakan kejadian yang baru saja dilihatnya kepada ibunya.
Matanya berkaca-kaca.
“Kamu tidak perlu
bersedih. Yang terpenting sekarang, Rendra sudah sadar kalau perbuatanmu itu
salah. Ala ngkah baiknya jika Rendra meminta
maaf kepada oran g
yang telah kamu sakiti. Dan jangan lupa minta ampun kepada Allah. Semoga Allah
mengampuni kesalahan Rendra. Tapi, Rendra harus berjanji tidak akan
mengulanginya lagi” kata ibu.
“Iya, Bu. Rendra
berjanji tidak akan mengulangi semua perbuatanku lagi” katanya.
***
Keesokan harinya,
Rendra benar-benar membuktikan ucapannya. Dia mendatangi oran g yang pernah disakitinya sekaligus
meminta maaf. Tidak lupa, dia juga mendatangi sahabatnya.
“Damar, aku minta
maaf kalau sikapku dulu kasar. Sekarang aku baru sadar kalau ucapanmu itu ada
benarnya” kata Rendra.
“Iya, sobat. Aku
sudah memaafkanmu. Aku senang kamu sudah sadar”.
SAHABAT ADA DIHATI
Terkadang,
ikatan persahabatan yang kuat akan melemahkan mental seseorang. Begitulah yang
dialami oleh Rahmi. Dia adalah seorang pelajar SMA. Sedangkan Andy adalah teman
sebangkunya. Mereka menjalin rasa persahabatan yang semakin akrab dan hangat.
Benih-benih cinta
baru diantara mereka pun mulai mekar. Dulu yang begitu percaya diri, sekarang
bergetar di hati.
“Ra, sepulang sekolah
nanti gue tunggu lo di taman ya?” ujar Andy serius, hendak berbalik pergi.
“Memangnya lo mau
ngomong apa?” tanya Rahmi ketika mereka duduk-duduk di taman. Sekolah sudah
bubar sedari tadi.
“Gini lho. Nanti
malam ada acara pertemuan antar keluarga di rumah gue jam tujuh. Lo bisa datang
kan ?” tanya
Andy lagi menjelaskan.
“Iya, Insyaallah”
desah Rahmi ragu.
***
Acara pertemuan itu
belum dimulai ketika Rahmi beserta keluarganya tiba. Namun, hidangan telah
tertata rapi di meja makan. Rumah pun telah sedap dipandang mata.
“Ayo, silahkan duduk”
sapa ibu Andy melihat keluarga Rahmi datang.
“Iya, tante” balas
Rahmi kepada beliau, seraya mendaratkan tubuhnya ke sebuah kursi empuk.
Waktu dari perjanjian
telah berlalu. Kami memulai acara sedikit terlambat. Bu Rizka, guru Bahasa
Inggris kami terlambat datang karena anaknya sakit. Alhasil, acara dimulai pada
pukul delapan. Ternyata, acara pertemuan itu membahas seputar hubungan antara
Rahmi dan Andy. Bu Rizka menyarankan agar hubungan Rahmi dan Andy dibatasi.
Beliau menyarankan agar mereka lebih fokus pada pelajaran. Rahmi pun baru
mengetahuinya kalau Bu Rizka adalah sahabat baik ibunya Andy.
Rahmi dan Andy tidak
ambil pusing mengenai nasihat Bu Rizka kemarin malam. Jalani saja apa adanya.
Itulah kata kesepakatan yang telah mereka ambil. Tentu saja, Bu Rizka segera
naik pitam. Mempermasalahkan hubungan kami di dalam kelas.
“Ra, nanti malam lo
ada acara nggak?” celutuk Andy di kantin.
“Kayaknya nggak ada”
balas Rahmi kemudian, menyeruput es jeruknya yang masih setengah.
“Kalau githu, gue
jemput lo jam tujuh ya?. Ada
yang mau gue omongin” Andy langsung berbalik pergi, tanpa mengucapkan sepatah
kata pun. Udara atmosfer disekitar Rahmi sedikit berubah. Kata-kata yang
diucapkan Andy tadi cukup serius.
***
Rahmi telah siap
dengan kemeja hijaunya. Satu menit telah dilewatkan Rahmi menunggu Andy di
depan teras. Sebuah motor melaju dengan kecepatan sedang mendarat di halaman
rumahnya.
Andy memarkir
motornya di sebuah restoran mewah.
Rahmi hendak
memasukkan salad ke mulutnya, ketika Andy mengatakan sesuatu yang membuat ia
mati rasa. “Ra, gue pengen kita putus” tukas Andy menyakitkan hatinya.
Refleks, Rahmi
menjatuhkan sendoknya hingga terpelanting. “APA?!!” timpalnya shock bercampur tidak mengerti. Kontan,
tatapan orang-orang langsung tertuju kepada Rahmi. Kenapa Andy mengatakan hal
itu?. Bukankah kita sudah berjanji akan menjaga hubungan kita?.
“Iya, gue pengen kita
putus” Andy mengulanginya lagi dengan terbata-bata.
“Kenapa??!!”. Rahmi
masih tetap tidak bisa terima.
“Karena gue nggak
pengen lo menderita”.
“Apa maksud lo?”.
“Udahlah, jangan
tanya lagi” Andy mendorong kursinya lalu pergi.
Saat ini, suasana
hati Rahmi seperti segenggam es. Bingung dengan apa yang baru saja dialaminya.
Putus?!. Semudah itukah Andy mengatakan hal itu?!.
***
Telinga Rahmi masih
kuasa mendengarkan berita yang telah beredar di sekolah. Kabar mengenai
berakhirnya hubungan mereka berdua. Penyebab hubungan mereka telah berakhir tak
lain karena Bu Rizka. Beliau berhasil membujuk ibu Andy agar menjauhkan mereka
selama-lamanya.
Setahun telah mereka
lewati dalam kebisuan. Tak saling menyapa satu sama lain. Bertatap muka pun
jarang. Sepertinya, Andy sengaja menghindar dari Rahmi. Gosip yang beredar
menjawab semuanya. Andy telah menemukan pasangannya yang baru dengan
persetujuan Bu Rizka.
Memang sulit melepaskan
seseorang yang kita cintai. Namun, waktu masih panjang. Kita bisa memulai
sesuatu yang baru. Ikhlaskanlah kepergiannya. Mungkin, dengan cara itu hati
kita bisa tenang. Asalkan, ikatan persahabatan itu masih ada di hati kita. Saat
itulah kita tahu, ikatan itu akan abadi selamanya.
AKU, KAKEK dan PERUSAHAAN
Terjadi keributan
di sebuah rumah mewah di desa Mawar. Perdebatan yang tak kunjung usai itu
membuat beberapa tetangga penasaran. Rumah itu milik seorang kakek Saman yang
telah mengelola perusahaan selama tiga puluh tahun. Perusahaan yang cukup
terkemuka di daerahnya.
“Kek, Kikan tidak
mau mengelola perusahaan itu. Apa Kakek masih tidak mengerti juga?!” raungku
pedas.
“Tapi, ini semua
demi kepentinganmu”.
“Kikan tetap tidak
mau, Kek!”.
“Baiklah, kalau
kamu tidak mau. Tapi, jangan harap kakek akan mengijinkanmu tinggal disini!”
balas kakek naik darah.
“Ok, kalau kakek
pengen Kikan pergi dari sini!. Itu tidak masalah buat Kikan. Sekarang juga
Kikan akan pergi dari rumah ini. Selamat tinggal” tukas Kikan dengan
berapi-api. Kikan benar-benar meninggalkan kakeknya. Membawa sebuah koper yang
berisi pakaian.
Kikan melangkah
dengan linglung. Tanpa tau ke mana arah tujuannya.
“Kan , kamu ngapain malam-malam disini?” sapa
Brian kaget menemukan sahabatnya berjalan sendirian di jalan raya.
“Aku baru saja
diusir dari rumah oleh kakek”.
Kikan menangis
sesegukan.
“Terus, kamu mau
kemana sekarang?”.
“Aku sendiri tidak
tau mau kemana”.
“Bagaimana kalau untuk
sementara ini kamu tinggal di rumah bibiku?”.
“Tapi…”.
“Udahlah. Hanya
untuk sementara kok. Ok?. Kamu mau kan ?.
Daripada kamu mondar-mandir tidak jelas kayak gini”.
Kikan hanya bisa
mengangguk pasrah. Kikan pun menceritakan masalah yang dialaminya kepada Brian.
Brian hanya bisa mengelus dada.
***
“Kan , tadi malam kakek telepon aku. Dia
pengen ketemu kamu” ujar Brian disela jam istirahat kampus.
“Kakek mau ketemu
aku?. Apa tidak salah?” balas Kikan cuek, berbalik memunggungi Brian hendak
pergi.
Brian dan Kikan
telah menjalin persahabatan sejak kecil. Tidak heran, setiap ada masalah mereka
saaling membantu. Namun, akhir-akhir ini hubungan antara Kikan dan kakeknya
buruk. Itulah yang menyebabkan Kikan sering murung.
“Kan ,
bagaimana pun dia tetap kakek kamu kan ?”
bantah Brian tidak setuju dengan ucapannya tadi.
“Iya. Tapi, tetap
aja kakek yang mengusir aku dari rumah” timpal Kikan dengan berang. Hampir saja
emosi Kikan meledak.
“Udahlah… masalah
itu jangan dibesar-besarkan lagi. Mungkin kakek pengen mengatakan sesuatu yang
penting”. Brian mencoba membujuk Kikan. “Kamu mau kan ketemu kakek?” bujuk Brian sekali lagi
dengan wajah memelas.
“Entahlah”.
Brian sudah bisa
menebak pikiran Kikan. Apa yang ada dibenaknya. Namun, keputusan setiap saat
bisa saja berubah.
***
Kikan telah
mengambil keputusan. Dia mendatangi rumah kakek dengan langkah berat. Di
wajahnya, masih tersirat keraguan. Namun, rasa cinta Kikan kepada kakeknya
masih belum pudar.
Kusen pintu
bergerak. Pintu menjeblak terbuka. Kakek muncul dihadapan Kikan. Dengan wajah
bersinar, kakek mempersilahkan Kikan masuk.
“Kikan mendengar
dari Brian kalau kakek pengen bertemu Kikan?. Ada masalah apa, Kek?”.
“Iya, memang
benar”. Kakek menghela napas sebentar, lalu melanjutkan, “Begini, kakek minta
maaf atas kejadian beberapa hari yang lalu. Kakek tidak bermaksud mengusir Kikan
dari rumah”.
“Kakek tidak perlu
mintta maaf. Kikan yang seharusnya minta maaf. Kikan juga belum siap mengelola
perusahaan itu. Tapi, Kikan yakin selama perusahaan itu masih berada dibawah
kendali kakek, semua akan baik-baik saja”.
“Iya, kakek
mengerti dengan keputusan Kikan. Kakek tidak memaksa Kikan. Semua keputusan ada
ditangan Kikan”.
***
Langit sedang
muram. Cuaca sedang buruk malam itu. Bulan pun enggan menampakkan dirinya.
Kikan masih merenungi perkataan kakek tadi. Belum terlambat mengubah keputusan.
Dia harus mengambil suatu keputusan yang tepat.
Sekadar ingin
jalan-jalan, Kikan tanpa sadar menuju rumah kakek. Tatapan Kikan langsung
berubah seketika. Dia melihat Brian juga berada disana, tengah
berbincang-bincang dengan kakek. Kikan tidak bisa menangkap pembicaraan mereka
karena jaraknya lumayan jauh. Dia merapatkan tubuhnya ke sebuah tembok, sengaja
tidak memperlihatkan diri.
***
Kikan mendatangi
Brian dengan tergesa-gesa. Jam kuliah kampus telah berakhir. Beberapa mahasiswa
telah bersiap-siap pulang. Kikan semakin mempercepat langkahnya menuju kelas
Brian.
BRUK.
Kikan menubruk
seseorang yang keluar pertama.
“Maaf” kata Kikan pelan, tanpa
memandangnya.
Setelah meneliti
lebih jauh, orang yang menubruk Brian ternyata, “Kikan?” sapa Brian kaget. Kikan
segera mendongak ke sumber suara itu.
“Ada apa?” tanya Brian begitu kami tiba di
taman.
Masih ada keraguan
dihati Kikan menanyakan hal ini kepadanya. “Tadi malam aku tidak sengaja
melewati rumah kakek. Dan tidak sengaja aku melihat kamu juga ada disana” kata
Kikan berusaha berterus terang.
“Iya. Tadi malam
aku memang ke rumah kakek. Aku cuman pengen main aja ke tempat kakek. Jadi,
tadi malam kamu juga ada disana?. Kok aku tidak meliat kamu ya?” tanya Brian
heran.
“Karena aku cuman
lewat. Lagian, aku tidak bermaksud mau ke rumah kakek kok”.
“Ehm…
ngomong-ngomong kamu sudah buat keputusan?” Brian menatapku dalam-dalam.
“Iya. Aku udah buat
keputusan. Tapi, aku berubah pikiran”.
“Berubah pikiran?.
Maksudnya?” timpal Brian tidak mengerti, seraya mengerutkan kening.
“Yah, githu deh”
sahut Kikan dengan wajah ceria.
***
Matahari
menyembul dari balik bukit. Memancarkan sinarnya yang terang.
Saat ini, Kikan
menuju rumah kakek tanpa ada keraguan sedikit pun. Dia yakin keputusannya ini
adalah yang terbaik. Di dalam hatinya, dia berjanji tidak akan mengecewakan
kakeknya. Usaha dan kerja keras akan ia lakukan sungguh-sungguh.
Permintaan maafnya
pun diterima dengan tulus oleh kakek. Kehidupan yang baru akan dimulai. Kakek
mempercayakan perusahaan itu kepada Kikan. Hal itulah yang membuat Kikan
bersemangat. Dia akan memegang teguh perkataannya. Mengelola perusahaan itu
dengan baik. Kelak, perusahaan itu akan berkembang nantinya.
Persahabatan Sebuah Keluarga
Oleh: Maryam Yapeni
Pentas menggambarkan
sebuah taman waktu pagi hari. Tampak disana beberapa bunga terlalu indah.
Seorang pemudi pelajar sedang duduk-duduk di sebuah kursi. Ia bersilang tangan.
Pemudi itu Rika namanya. Ia adalah sahabat Arni. Sementara Anton, teman Rika
dan Arni, duduk disebelahnya, bingung.
Waktu itu hari
Minggu, Rika tampak kusut. Wajahnya muram. Ia sudah mandi satu jam yang lalu.
Ia terburu-buru ke rumah Anton karena mendengar berita dari Trisno, temannya,
bahwa Arni tertangkap basah oleh polisi yang sedang menggunakan narkotika di
jalan raya. Kini, Arni berada di dalam penjara.
Seorang pelajar
lainnya, Karman, sedang berada di sebuah toko. Ia adalah anak dari seorang ayah
yang berprofesi sebagai polisi.
Rika : “Karman.”
Anton : “Ya. Ada apa mencariku?”
Rika
: “Aku perlu berdiskusi denganmu mengenai masalah Arni. Mungkin
kita bisa meminta bantuan kepada ayah
Karman agar Arni dibebaskan dari penjara”
Trisno
: “Kurasa tak ada gunanya kita meminta bantuan kepada ayah Karman.
Walaupun ayahnya polisi, tugas harus tetap dijalankan”
Rika : “Belum tentu, Tris. Kita coba dulu
saja”
Karman datang. Napasnya terengah-engah.
Peluhnya bercucuran.
Anton
: “Kau dari mana saja, Man?”
Karman
: “Dari toko”
Anton : “Hah?. Dari toko?”
Karman
: “Aku baru saja mengantar ibuku belanja. Ada apa ini?. Kenapa kalian tiba-tiba
menghubungiku agar datang kemari?”
Rika
: “Begini. Aku membutuhkanmu untuk membujuk ayahmu agar mau
membebaskan Arni dari penjara”
Karman
: “Wah, kalau itu aku tidak tahu pasti apakah berhasil atau tidak”
Rika : “Tidak masalah. Itu urusan nanti”
Sore hari, Rika, Anton, Karman, Trisno
mengunjungi Arni di penjara.
Rika : “Selamat sore, Pak” (menundukkan
kepala)
Pak Polisi
: “Iya, selamat sore. Ada
yang bisa Bapak bantu?”
Anton : “Begini, Pak. Kami bisa bertemu
dengan Pak Adi?”
Pak Polisi
: “Maaf, Dik. Beliau sedang mendapat banyak tugas, sehingga tidak bisa
diganggu”
Karman
: “Maaf, Pak. Tapi, saya anaknya. Bolehkah saya menemui beliau?”
Pak Polisi
: (Berpikir) “Ya, baiklah. Saya ijinkan”
Karman
: “Terima kasih, Pak”
Pak Polisi
: (Mengangguk)
Karman menemui ayahnya. Terjadi perdebatan
singkat diantara mereka.
Karman
: “Karman mohon ayah. Tolong bebaskan Arni dari penjara”
Ayah Adi
: “Tetap tidak bisa, Man. Maafkan Ayah”
Karman
: “Ayah, tapi Arni adalah salah satu sahabat Karman!. Karman mohon…”
Ayah Adi
: “Tetap tidak bisa, Man. Mohon mengerti”
Karman
: (memandang lantai dengan sedih) “Kalau begitu, apakah kami
diperbolehkan menjenguk Arni sebentar?”
Ayah Adi
: “Tentu saja boleh”
Beberapa jam kemudian. Karman muncul dengan
lesu.
Trisno : “Bagaimana?”
Karman
: (Menggelengkan kepala)
Anton : “Tidak berhasil ya?”
Karman
: “Maaf”
Rika : “Ya sudah. Tidak apa-apa”
Trisno : (Membisu)
Karman
: (Membisu)
Anton
: (Membisu)
Rika
: “Tapi, kita diperbolehkan menjenguk Arni?”
Karman
: “Iya, boleh”
Berjalan menuju ke tempat Arni dipenjara.
Arni : (Berdiri)
Trisno : “Hai Ar,
bagaimana keadaanmu?”
Arni : “Alhamdulillah baik”
Karman : “Maaf ya, Ar. Aku
tidak bisa membebaskanmu dari penjara”
Arni : “Tidak
masalah. Bagi Arni, kalian sudah mau menjengukku, Arni sudah bahagia”
Rika : “Teman, kau
harus bersabar ya?”
Arni : “Iya. Terima
kasih, Rik”
Rika : (Mengangguk)
“Bukankah persahabatan kita juga salah satu sebuah keluarga?”
Arni : “Benar, Rik”
Anton : “Maaf ya, Ar. Kami hanya punya waktu
sebentar menjengukmu. Kapan-kapan kami akan mengunjungimu lagi. Jaga dirimu
baik-baik ya?”
Arni : “Iya. Terima
kasih teman-teman. Kalian sudah mau mengunjungiku”
Anton : “Sama-sama”
Keluar dari penjara.
Rika : “Semoga Arni
segera dibebaskan dari penjara ya?”
Anton : (Mengangguk)
Karman : (Mengangguk)
Trisno : (Mengangguk)
Anton : “Yang terpenting
kita masih satu keluarga yang harus saling melindungi satu sama lain”
Upah dari
Hasil Kerja Keras
Oleh: Maryam Yapeni
1. Raditya, seorang pemuda yang bekerja sebagai
koki di sebuah restoran, berumur 22 tahun.
2.
Yuan,
seorang gadis, berumur 20 tahun
3.
Brian,
sahabat Raditya, berumur 24 tahun
4.
Pak Gunawan,
pemilik restoran, berumur 35 tahun
Setting : Restoran terkemuka di sebuah dapur pada
siang hari. Di dinding, ada
beberapa panci. Ada beberapa meja yang berjajar. Diatasnya
telah disediakan bahan masakan. Ada juga kompor gas.
Note : Kedua pemuda sedang
memasak bersama-sama di dapur. Dengan kata lain, mereka bekerja sebagai koki di
restoran itu. Tampak pada cara dan kebiasaan mereka memasak setiap harinya.
Mereka juga memperlihatkan sebagai orang baik-baik. Hanya kerja keras yang diperlukan
mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Begitu layar
tersingkap, tampak Raditya sedang asyik memasak. Ia menghadap ke dinding.
Tangannya sibuk memegang wajan. Sedangkan Brian sedang menyiapkan bumbu di
meja.
Brian : “Kau belum selesai juga
memasaknya, Dit?”
Raditya
: “Belum, sebentar lagi. Kau sendiri sudah
menyiapkan bumbu-bumbunya?”
Brian : “Tentu saja sudah. Oh ya, aku
dengar hari ini ada pelayan baru ya?. Dengar-
dengar sih, dia cantik”
Raditya : (Diam saja)
Brian : (Memasukkan bumbu-bumbu ke dalam wajan)
Pak Gunawan datang dengan kemeja rapi.
Pak Gunawan : “Kalian sudah selesai memasaknya belum?”
Raditya : “Iya, Pak. Sebentar lagi juga sudah
selesai”
Pak Gunawan : “Bagus. Kalau begitu, tolong kalian
membantu Yuan memasak ya?”
Brian : (Bersama)
“Baik, Pak”
Raditya : (Bersama)
“Baik, Pak”
Brian : (Menengadahkan
kepalanya, tersenyum ke arah Yuan) “Hai”
Yuan : (Diam saja)
Brian : “Oh ya, kami ucapkan
selamat datang di restoran ini. Semoga kau betah bekerja di
sini
ya?”
Yuan : “Ya. Terima kasih”
Brian : (Mengulurkan tangan,
tersenyum) “Brian”
Yuan : (Mengangguk)
Brian : “Bagaimana kalau kita
mulai sekarang?”
Yuan : “Baik”
Brian : “Begini saja. Untuk
urusan memasak, biar Raditya yang akan membantumu. Aku juga tidak terlalu mahir
dalam hal memasak”
Yuan : (Berjalan menuju
Raditya, mengulurkan tangan) “Mohon bantuannya”
Raditya : “Kita mulai sekarang”
Dua tahun telah
dilewati Yuan belajar memasak bersama Raditya. Kini, Yuan telah diterima menjadi
koki di restoran itu. Dia menerima gaji yang cukup besar. Demikian pula, Brian
dan Raditya. Mendapatkan imbalan yang lebih dari hasil kerja keras mereka.
Yuan : “Thanks
ya…kalian sudah mau membantuku”
Raditya : (Bersama)
“Kembali”
Brian : (Bersama)
“Kembali”
SOLIDARITAS UNTUK JEPANG
Bencana tsunami, gempa, radiasi
nuklir yang terjadi secara tiba-tiba di Jepang pada tanggal sebelas Maret lalu
membuat panik masyarakat. Secara drastis, rumah beserta bangunan di bagian
Jepang timur laut, seperti Miyagi, Fukushima ,
Iwate terendam air bercampur radiasi nuklir tersebut dalam waktu bersamaan.
Sangat memprihatinkan. Di saat masyarakat membutuhkan seorang ahli yang mampu
menangani kerusakan yang terjadi di PLTN Fukushima Daiji yang bermasalah akibat
tidak mampu mencegah kebocoran, sosok beliau telah tiada.
Hari
Minggu inilah, kami mengadakan event “Solidaritas untuk Jepang” di Taman Budaya
Yogyakarta guna memberi semangat kepada warga Jepang yang terkena musibah.
Dalam hal ini, kami mengajari anak-anak membuat origami burung bangau dari
kertas batik sebagai lambang kekuatan. Dibagi menjadi dua kelompok, origami
membuat burung bangau dan menggambar.
Disinilah
diriku, masih termenung menunggu teman-teman yang lain datang.
“Hai…”
sapa Yunita sambil tersenyum, seraya menghampiriku yang tengah duduk. Aku membalas
senyumannya sambil melambaikan tangan bersahabat.
“Baru
datang?” tanya Yunita, mendaratkan tubuhnya di sampingku lalu mengalihkan pandangannya
ke seluruh sudut.
Aku
kembali menatapnya. “Mencari apa?”. Aku mengerutkan kening sambil mengikuti
arah pandangnya.
Belum
sempat menjawab, Yunita berdiri mencari seseorang
yang sudah datang selain kami. Kakak-kakak senior mulai bermunculan. Mereka mengajak
kami menemui salah seorang mahasiswi yang berasal dari Miyagi yang sengaja
hadir di Taman Budaya. Rencananya origami burung bangau yang nanti kami buat
akan dititipkan kepada mahasiswi itu.
Ia
mengulurkan tangan. Tanpa sungkan, kami menyambut uluran tangannya sambil
tersenyum. Tapi, aku bisa memahami bahwa pada kenyataannya ia sedih serta
memikul tanggung jawab yang besar untuk mengembalikan semangat hidupnya.
Berkumpulnya
teman-teman yang lain beberapa jam kemudian, membuat suasana menjadi semakin
meriah. Meskipun keringat membasahi wajah, kepedulian kami kepada masyarakat
Jepang agar dapat tersenyum dan mengembalikan kepercayaan diri mereka kembali
tidak akan pernah luntur. Kami semua yakin bahwa Allah tidak akan pernah
memberi cobaan diatas kemampuan umat manusia.
Kak
Kira menatap kami secara bergantian. “Tolong bantu sebisa kalian, ya…”.
“Iya.
Bagaimana pun juga ini merupakan tanggung jawab kami untuk menolong sesama.
Mengingat Yogyakarta pernah tertimpa atau mendapat musibah dan kami juga pernah
merasakan kepahitannya”.
“Terima
kasih”.
Diam
seribu bahasa, sepertinya tidak cocok bagi kami dalam hal ini. Tapi, entah
mengapa mulut kami seakan terkunci rapat. Aku hanya mengalihkan pandangan ke arah
sebagian besar masyarakat Yogyakarta , terutama
anak-anak kecil yang turut berpartisipasi mengikuti acara ini.
“Saat
ini Jepang sedang dalam keadaan terguncang. Bencana gempa, tsunami dan radiasi
nuklir yang datang bersamaan tidak pernah diperkirakan masyarakat sebelumnya”
kata Kak Kira lagi.
***
Kulihat sebagian besar anak kecil
sangat antusias membuat burung bangau dalam jumlah besar, dengan bantuan
kakak-kakak senior. Wajah mereka menggambarkan kepedulian. Tidak kusangka
mataku berkaca-kaca dan mulai tersentuh.
“Ada apa?” Kemunculan Kak
Li secara tiba-tiba di belakangku, membuatku kaget.
“Tidak
ada apa-apa” jawabku sekenanya sambil membalikkan badan, tersenyum.
“Wajar
saja kalau kamu terharu melihat anak-anak ini begitu bersemangat dan antusias
membuat origami burung bangau. Sebenarnya hati dan perasaan mereka jauh lebih
kuat. Semoga kepedulian mereka terhadap keadaan Jepang dapat membuat Negara itu
kembali pulih…” kata Kak Li.
“Iya,
Kak… Semoga do’a mereka dikabulkan”.
Suara
seorang mahasiswi Miyagi terdengar membahana melalui mikrofon. Ia berterima
kasih atas kepedulian kami semua yang telah berpartisipasi menyelenggarakan
event origami ini. Ia sangat mengharapkan masyarakat Jepang dapat merasakan
ketulusan hati kami. Bahkan, ia pun berdoa semoga kebaikan hati kami dibalas
oleh-Nya. Kebahagaian kalian juga merupakan kebahagiaan kami. Begitu juga
sebaliknya.
“Oh ya, perkenalkan
ini Satrio dari Miyagi. Saya sengaja mengajaknya kemari karena dia ingin ikut
belajar bersama membuat origami dengan teman-teman” kata mahasiswi itu
menghampiri kami dengan menggandeng tangan seorang anak yang berumur sekitar
sembilan tahun.
Ia mulai
berbincang-bincang dengan Kak Kira.
“Salam kenal, Kak.
Saya Satrio dari Miyagi. Keadaan desaku sangat memprihatinkan tertimpa musibah
sebelas Maret lalu. Semuanya hancur lebur. Saya dan masyarakat tampak ketakutan
dan kekhawatiran menyelimuti wajah mereka melihat gelombang tsunami yang besar
menerjang desa kami. Warga mulai panik dan segera berbondong-bondong
menyelamatkan diri. Sampai saat ini, aku masih mengingat musibah mengerikan
itu. Saat itu, tubuhku terlalu kaku untuk bergerak. Dan tidak kusangka, kedua
orang tuaku mulai menyuruhku bergerak dan berusaha menyelamatkan diri”. Matanya
mulai berkaca-kaca. “Dan… karena kesalahankulah kedua orang tuaku meninggal
ditelan bencana yang mengerikan itu demi menyelamatkanku”. Kini, air matanya
mengalir dengan deras.
Mahasiswi dari
Miyagi, yang sedari tadi ikut mendengarkan cerita Satrio, segera mengambil
alih. Setelah ia menenangkan Satrio, mengajaknya berkumpul dengan kami,
mahasiswi itu segera menghampiri Kak Kira lagi.
“Maafkan sikap
Satrio. Dia baru saja kehilangan anggota keluarganya akibat musibah itu. Hanya
dia yang berhasil selamat. Ia bahkan menyaksikannya sendiri bagaimana gelombang
tsunami menyapu Negara Jepang bagian timur laut beserta kedua orang tuanya.
Saya sendiri juga tidak tahu kenapa kondisinya kembali labil. Padahal, beberapa
hari sebelumnya, ia sudah bisa kembali ceria. Mungkin, ia kembali teringat
dengan kepergian kedua orang tuanya. Saya mewakili Satrio meminta maaf”.
Mahasiswi itu kembali terdiam, lalu melanjutkan. “Maaf, bukannya saya ingin
menyalahkan kalian. Justru saya ingin berterima kasih kepada teman-teman yang
sudah mau membantu mengembalikan kepercayaan diri mereka”.
“Justru kami yang
seharusnya meminta maaf karena belum bisa membantu lebih banyak bagi warga
Jepang”.
“Justru kalian sudah
banyak membantu. Kami sangat berterima kasih”.
Mahasiswi itu
mengalihkan pandangannya ke arah Satrio. Tanpa sadar, sebuah senyuman mahasiswi
itu seketika terkembang. Melihat Satrio tertawa dan kembali ceria, membuat
hatinya lega. Setidaknya untuk saat ini, ia dapat berbagi dengan kami.
“Sebenarnya, Satrio
itu hanya membutuhkan seorang teman yang bisa berbagi dengannya. Mungkin, sejak
kematian kedua orang tuanya, ia merasakan kesepian” kata Kak Kira sambil
menatap Satrio.
“Iya. Mungkin memang
benar ia membutuhkan seseorang yang bisa memahami dirinya. Mungkin kami akan
menitipkannya kepada sebuah keluarga yang mau mengadopsinya setelah ada
persetujuan dari pihak terkait”.
“Mungkin itu jalan
yang terbaik. Setidaknya, ia bisa berbagi bersama mereka. Ia masih membutuhkan
sosok keluarga yang selalu menyayanginya”.
Diakhir perpisahan, ia menjabat tangan kami
dengan sikap bersahabat dan keharuan.
“Terima
kasih atas kerja sama dan bantuan kalian dalam event yang diselenggarakan hari
ini. Ini merupakan suatu penghormatan bagi kami, masyarakat Jepang. Sekali lagi
kami mengucapkan terima kasih banyak”. Mahasiswi tersebut menjabat tangan Kak
Li.
“Kami juga senang
dapat membantu masyarakat Jepang. Sejujurnya, kami ingin membantu lebih banyak
lagi. Seharusnya, kami yang seharusnya
berterima kasih karena Anda telah meluangkan waktu untuk berkunjung kemari”.
“Iya. Sama-sama… Kami
sangat senang dengan penghormatan yang Anda berikan. Saya akan memberikan
burung bangau ini kepada masyarakat Jepang agar mereka mengetahui bahwa
kehidupan belum sepenuhnya berakhir. Masa depan masih menanti. Juga sebagai
bukti bahwa masih ada orang yang peduli dan memperhatikan mereka”.
Lalu, ia pun berkeliling
menjabat tangan kami semua sambil tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih
dengan diiringi oleh Satrio. Wajahnya sudah terlihat cerah.
“Terima
kasih atas bantuannya… Kalau ada waktu saya pasti akan berkunjung kemari lagi.
Di Yogyakarta ini sangat menyenangkan”.
“Saya
menyadari satu hal, bahwa hidup harus tetap dilanjutkan, meskipun sesulit apa
pun. Saya yakin itu. Teman-teman saya yang lain pasti akan menyadari hal itu”.
Lalu, ia pun tersenyum.
Kami yang berkumpul
ikut tersenyum.
“Oh
iya Kak, boleh saya minta satu permohonan?”.
“Apa
itu?”. Giliran Kak Li ikut menyambung.
“Saya
ingin berfoto dengan teman-teman semua. Bagi saya, hari ini sangat istimewa
karena inilah pertama kalinya saya berkunjung ke Yogyakarta
dan mempunyai teman yang memiliki semangat yang tinggi”.
“Tentu saja” kata Kak Li.
Dan, dalam sekejap, sebuah
perkumpulan terbentuk. Saling merapatkan diri dan menampilkan pose yang
berbeda-beda. Melihat itu semua, aku tahu hari ini adalah hari yang terindah
yang tidak akan terlupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar