SURPRISE
Seorang siswi remaja SMA terlihat sangat muram. Menatap lurus pada buku yang sedang dipegangnya. Membiarkan kesunyian di dalam kelas beralun.
Dua cowok datang mendekat, sehingga membuat Megumi kaget.
“Hai Meg, kamu belum pulang?” sapa Kyu sambil menepuk bahuku, membuatku terpaksa menoleh kearah suara seseorang yang tengah menatapku.
“Belum nih. Meg sedang membuat tugas Bahasa Indonesia” sahutku santai. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda. Lalu, tanpa diminta, Kyu mengambil kursi dan meletakkannya disampingku. Demikian pula Ryu.
Suasana di kelas siang itu memang sangat sepi karena semua teman-temanku sudah pulang ke rumah masing-masing sedari tadi.
“Kyu dan Ryu juga belum pulang??” tanyaku kemudian, tanpa menoleh kearah Kyu dan Ryu, masih tetap tekun menatap buku yang ku pegang.
“Ntar ah. Kyu malas di rumah, nggak ada temennya” sahut Kyu murung.
Meg membiarkan Kyu dan Ryu, dua sahabatnya kini larut dalam keheningan.
“Meg, nanti kamu temenin kita mau nggak?” ajak Kyu ragu-ragu sambil menatapku dalam-dalam.
Aku masih saja sibuk dengan pekerjaanku sehingga aku tidak melihat raut wajah Kyu berubah. Tanpa menolehnya, aku cepat-cepat merespon, “Memangnya Kyu dan Ryu mau kemana sih?” tanyaku penasaran.
“Ada deh…” balasnya lagi. Dan seketika raut wajahnya kembali ceria setelah aku mulai tertarik dengan ajakannya.
“Sorry, Meg nggak bisa, abis tugasnya banyak banget” protesku halus.
“Kalau githu Kyu tunggu Meg aja. Lagian, Kyu nggak sibuk kok. Gimana??” tawar Kyu baik hati.
“Emm…ok deh”. Seketika saja, senyum Kyu mengembang. Sekilas, Kyu dan Ryu saling pandang penuh arti. Aku tidak menggubrisnya.
***
Cuaca hari itu sangat panas. Kami melewati teriknya matahari dengan langkah berat.
Tidak terasa, kami telah tiba di sebuah supermarket yang megah setelah lima belas menit berjalan kaki di tengah jalan raya. Toko atau supermarket “SAGA” ini setiap hari dipadati oleh pengunjung. Tidak jarang pendapatan di supermarket ini lumayan besar dibandingkan dengan supermarket yang lainnya. Selain bangunannya yang megah dan luas, kebutuhan yang kita inginkan telah tersedia, mulai dari perlengkapan rumah tangga sampai games (itu loh yang biasa disebut anak-anak remaja sebagai TIME ZONE) serta ayam goreng kentaki (KFC). Kebanyakan dari pengunjung golongan menengah dan golongan atas saja yang berani berbelanja ke toko tersebut.
“Wah…keren banget ruangannya. Meg bener-bener nggak nyangka bisa kesini” ujarku lagi tanpa henti-hentinya mengagumi ruangan yang berada dihadapanku tanpa berkedip. Selain itu, ruangannya dipenuhi oleh AC sehingga udaranya semakin dingin.
“Kalau githu, Meg mau pesan apa?” tawar Kyu kemudian.
“Terserah Kyu aja deh. Lagian Meg belum pernah nyoba satu pun ayam goreng kentaki” ujar Meg malu.
“Ok”.
Kyu segera berpaling kepada Ryu “Ryu mau pesan apa??” tawar Kyu lagi.
“Terserah Kyu aja” sahut Ryu ramah, yang sedari tadi cuma diam.
“Kalau githu Kyu pesan makanannya dulu ya?”. Belum sempat kami menjawab pertanyaannya, dia sudah pergi memesan makanan kepada pelayan yang sedang sibuk melayani pembeli, meninggalkan kami berdua.
“Ngomong-ngomong tugas Meg tadi udah selesai?” Ryu bermaksud memulai percakapan.
“Udah kok.”
***
Tiga jam telah berlalu dan hari sudah semakin sore. Kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing dengan naik angkot.
“Kyu, thanks ya…untuk hari ini” ucapku senang sekaligus puas.
“Sama-sama” balasnya juga terlihat senang.
Pembicaraan kami berakhir ketika aku sudah turun dari taksi. Aku melambaikan tangan ke arah Kyu dan Ryu. Mereka pun membalas lambaian tanganku.
Setelah Kyu mentraktirku dan Ryu, dia tak pernah kelihatan. Ternyata Kyu bermaksud memberikan kenang-kenangan kepada kami sebelum dia pergi. Kyu tidak punya pilihan selain mengikuti orang tuanya pindah tugas. Kyu belum pernah menceritakan hal ini kepadaku sebelumnya. Bahkan, Ryu yang memberitahuku mengenai kepergiannya.
SURPRISE
Seorang siswi remaja SMA terlihat sangat muram. Menatap lurus pada buku yang sedang dipegangnya. Membiarkan kesunyian di dalam kelas beralun.
Dua cowok datang mendekat, sehingga membuat Megumi kaget.
“Hai Meg, kamu belum pulang?” sapa Kyu sambil menepuk bahuku, membuatku terpaksa menoleh kearah suara seseorang yang tengah menatapku.
“Belum nich. Meg sedang membuat tugas Bahasa Indonesia” sahutku santai. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda. Lalu, tanpa diminta, Kyu mengambil kursi dan meletakkannya disampingku. Demikian pula Ryu.
Suasana di kelas siang itu memang sangat sepi karena semua teman-temanku sudah pulang ke rumah masing-masing sedari tadi.
“Kyu dan Ryu juga belum pulang??” tanyaku kemudian, tanpa menoleh kearah Kyu dan Ryu, masih tetap tekun menatap buku yang dipegangnya.
“Ntar ah. Kyu malas di rumah, nggak ada temennya” sahut Kyu murung.
Meg membiarkan Kyu dan Ryu, dua sahabatnya kini larut dalam keheningan.
“Meg, nanti kamu temenin kita mau nggak?” ajak Kyu ragu-ragu sambil menatapku dalam-dalam.
Aku masih saja sibuk dengan pekerjaanku sehingga aku tidak melihat raut wajah Kyu berubah. Tanpa menolehnya, aku cepat-cepat merespon, “Memangnya Kyu dan Ryu mau kemana sich?” tanyaku penasaran.
“Ada dech…” balasnya lagi. Dan seketika raut wajahnya kembali ceria setelah aku mulai tertarik dengan ajakannya.
“Sorry, Meg nggak bisa, abis tugasnya banyak banget” protesku halus.
“Kalau githu Kyu tunggu Meg aja. Lagian, Kyu nggak sibuk kok. Gimana??” tawar Kyu baik hati.
“Emm…ok deh”. Seketika saja, senyum Kyu mengembang. Sekilas, Kyu dan Ryu saling pandang penuh arti. Aku tidak menggubrisnya.
Satu jam kemudian, tugas yang aku kerjakan sudah selesai. Seperti janjiku tadi, aku akan menemani Kyu dan Ryu pergi, entah kemana mereka akan mengajakku pergi. Aku semakin penasaran. Aku sudah menanyakan itu kepada Kyu berkali-kali. Tetapi, jawabannya tetap sama “Ada dech…”. Dan langkah kaki kami meninggalkan sekolah pun dimulai.
*****
Cuaca hari itu sangat panas. Ditengah perjalanan, Kyu cerita banyak hal, terutama mengenai kepergiannya.
“Oh ya, sebenernya Kyu mau ngajak Meg kemana sich?” tanyaku penasaran.
“Liat aja ntar. Kebetulan Kyu sedang mendapat berkah. Sebenernya sich berkah dari Mum. Tapi, Mum memberikannya kepada Kyu” katanya menjelaskan.
“Tapi kalau uang Kyu abis, gimana??” tanyaku bingung sekaligus bercanda.
“Ya nggak lah…. Lagian uang Kyu nggak ada artinya sama sekali jika dibandingkan dengan persahabatan kita. Kyu mau memberikan kenang-kenangan ke Meg dan Ryu sebelum Kyu pindah” nada suaranya terdengar lirih.
“Pindah???? Memangnya Kyu mau pindah ke mana?”. Aku sangat kaget ketika mendengar ucapannya barusan.
“Kyu… mau pindah ke Bandung” sahutnya dengan suara terbata-bata.
“Kenapa… Ehm… maksud Meg kenapa Kyu mesti pindah? Kenapa nggak sekolah disini aja sampe lulus???” mataku mulai berkaca-kaca.
“Kyu gak bisa nglanjutin sekolah di sini. Kyu harus ikut Mum dan Dad kerja.”
Tidak terasa, kami telah tiba di sebuah supermarket yang megah setelah lima belas menit berjalan kaki di tengah jalan raya. Toko atau supermarket “SAGA” ini setiap hari dipadati oleh pengunjung. Tidak jarang pendapatan di supermarket ini lumayan besar dibandingkan dengan supermarket yang lainnya. Selain bangunannya yang megah dan luas, kebutuhan yang kita inginkan telah tersedia, mulai dari perlengkapan rumah tangga sampai games (itu loh yang biasa disebut anak-anak remaja sebagai TIME ZONE) serta ayam goreng kentaki (KFC). Kebanyakan dari pengunjung golongan menengah dan golongan atas saja yang berani berbelanja ke toko tersebut.
“Kyu yakin mau ngajak Meg kesini?. Apa nggak salah?” tanyaku bingung sambil menatapnya heran, tidak percaya.
“Salah???. Ya nggak lah. Kyu bener-bener yakin kok mau ngajak Meg kesini” balas Kyu yakin.
“Masa?!, Meg gak percaya”.
“Yah… dibilangin gak percaya” balas Kyu meyakinkan.
Sambil berjalan menyusuri tangga yang terletak di lantai dua, tiba-tiba saja Kyu menawarkan sesuatu, “Meg, kita makan ayam goreng kentaki combo 6 aja ya…” tawar Kyu kepadaku seraya tersenyum.
Aku yang nggak ngerti apa-apa langsung menyahut, “Iya dech” sahutku tersenyum geli.
“Aduh… Meg belum pernah coba kentaki aja udah sok tau lagi” Kyu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ya… abis Kyu nanya sich. He…he…he…”.
“Wah…keren banget ruangannya. Meg bener-bener nggak nyangka bisa kesini” ujarku lagi tanpa henti-hentinya mengagumi ruangan yang berada dihadapanku tanpa berkedip. Selain itu, ruangannya dipenuhi oleh AC sehingga udaranya semakin dingin.
“Halloo…, Meg, kamu nggak papa kan?” Kyu melambaikan tangannya di depan wajahku yang belum mau mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Eh, iya kok. Meg nggak papa” sahutku kaget.
“Kalau githu, Meg mau pesan apa?” tawar Kyu cepat.
“Terserah Kyu aja deh. Lagian Meg belom pernah nyoba satu pun ayam goreng kentaki” ujar Meg malu.
“Ok”.
Kyu segera berpaling kepada Ryu “Ryu mau pesan apa??” tawar Kyu lagi.
“Terserah Kyu aja” sahut Ryu ramah, yang sedari tadi cuma diam.
“Kalau githu Kyu pesan makanannya dulu ya?”. Belum sempat kami menjawab pertanyaannya, dia sudah pergi memesan makanan kepada pelayan yang sedang sibuk melayani pembeli, meninggalkan kami berdua.
“Ngomong-ngomong tugas Meg tadi udah selesai?” Ryu bermaksud memulai percakapan.
“Udah kok.”
Aku mengambil posisi tempat duduk di pojok tembok sambil menunggu pesanan datang. “Nich, pesanannya”. Tanpa aku sadari, Kyu telah mendaratkan tiga piring dan gelas minuman bersoda. Kami pun melahap kentaki yang berada di depan kami masing-masing dengan penuh selera. Tentu saja aku sangat bersemangat melahap makanan yang berada dihadapanku karena baru pertama kali ini aku ditraktir oleh temanku di toko “SAGA”. Ini benar-benar sebuah kejutan untukku.
“Meg, habisin lho… makanannya” kata Kyu mengingatkan.
“Iya. Tenang aja, Kyu. Meg akan menghabiskan semua makanannya kok” Meg berkata senang, menjejalkan sepotong ayam goreng kentaki ke mulut.
“Kyu juga pernah mentraktir temen-temen sekelas ketika Kyu ulang tahun. Dad kan kerja disini”.
Meg menatap Kyu dengan bersemangat “Oh ya…, enak donk” sela Meg senang, disaat sepotong kentaki masuk ke dalam mulutnya.
“Ya… jelas lah. Pendapatan di KFC ini juga sangat besar tiap harinya. Banyak banget yang datang ke sini. Kadang kalau Dad pulang selalu dibawain kentaki” ujar Kyu puas.
Seiring berjalannya waktu, pengunjung yang sedari tadi bersantai ria menikmati hidangannya masing-masing, kini telah beralih meninggalkan ruangan ber-AC tersebut. Hanya tinggal tiga anak remaja yang masih asyik mengobrol.
“Yuk cuci tangan. Nanti Kyu ajari Meg bagaimana menggunakan air kran disini” ajak Kyu setelah selesai makan. Aku menuruti ajakan Kyu.
Sebelum mencari taksi pulang, kami mampir sebentar di pusat pembelanjaan pakaian. Kyu juga membelikan aku sebuah kaos dan beberapa snack.
Tiga jam telah berlalu dan hari sudah semakin sore. Kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing dengan naik angkot.
“Kyu, thanks ya…untuk hari ini” ucapku senang sekaligus puas.
“Sama-sama” balasnya juga terlihat senang.
Pembicaraan kami berakhir ketika aku sudah turun dari taksi. Aku melambaikan tangan kearah Kyu dan Ryu. Mereka pun membalas lambaian tanganku.
*****
Keesokan harinya, Kyu tiba-tiba mengajakku pergi.
“Kyu, kamu mau ngajak Meg kemana sich?, kelihatannya kamu buru- buru” protes Megumi tak henti-hentinya.
“Liat aja ntar” sambung Kyu pendek.
Kami menyusuri sederetan pemuda-pemudi yang tengah asyik duduk berduaan dengan mesra. Aku langsung membelalakkan mata ke arah Kyu.
“Kyu, kenapa kita kesini?. Memangnya gak ada tempat lain ya?” geram Meg marah.
Kyu berpura-pura tidak memperhatikanku. Matanya melayangkan ke sederetan pemuda-pemudi, mencari bangku yang masih kosong.
“Yuk, kita duduk disebelah sana” ajak Kyu, sementara itu tangannya teracung ke sebuah kursi yang berada diujung jendela.
Dengan setengah hati, aku berusaha tersenyum kepadanya.
“Meg, jangan cemberut terus dunk” bujuk Kyu lembut, setelah mereka mendaratkan diri ke sebuah bangku yang dipilihkan Kyu.
Aku balas mencibirnya puas. “Abis Kyu ngajak Meg ke sini. Ini tempat orang yang sedang bermesraan. Apa Kyu gak liat?.”
Ketika kejengkelanku memuncak, Kyu memberikanku sebuah kejutan yang tak terduga. Kyu membungkuk dihadapanku, terpaku menatapku dengan raut wajah serius. Dengan malu-malu, Kyu menyatakan perasaan yang selama ini dipendamnya kepadaku.
Tak kusangka, aku langsung setuju menerima cintanya, tanpa berpikir panjang.
Sudah sebulan, kami menjalin hubungan. Namun, tak terpikir oleh kami, bahwa ada seseorang yang tengah memperhatikan hubungan kami berdua.
“Lho, Ryu belom tidur ya?” sapa Kyu suatu malam, melihat Ryu tengah asyik menonton TV bersama ibu Kyu.
Pandangan Ryu beralih ke Kyu yang baru saja menutup pintu dibelakangnya, seraya berkata “Belom ngantuk” sahut Ryu datar.
“Lain waktu, Kyu usahakan jangan pulang terlalu malam ya?” ibu Kyu memberi nasihat.
“OK”. Kyu menyapu acara TV yang sedang berlangsung, lalu melanjutkan “Ngantuk nich, Kyu tidur dulu ya?” komentar Kyu lelah.
Seakan Kyu menghilang dari bumi, Ryu mulai panik. Ryu bergegas berpamitan kepada ibu Kyu yang masih memandang acara TV, “Tante, Ryu ke kamar dulu”.
Ibu Kyu hanya menganggukkan kepala pelan.
Sedetik kemudian, Ryu bergegas mengejar Kyu yang langsung menghambur ke kamar.
“Kyu, gimana hubungan kamu ama Meg?” tanya Ryu dingin, ketika berhasil mengejar Kyu.
Kyu masih menatap langit-langit, memikirkan jawaban yang akan diberikannya kepada Ryu.
Lalu, Kyu menoleh “Benar-benar lancar, tak ada hambatan satu pun” tukas Kyu nyengir.
Ryu bingung dengan jawaban yang diberikan Kyu, entah apa maksudnya.
Tak lama kemudian, Kyu dan Ryu tertidur pulas, tidak memusingkan lagi keributan acara TV yang membuat kepala pening.
Esok datang begitu cepat. Kyu merasa letih begitu beranjak dari tempat tidur. Sementara itu, Ryu sudah bertengger di meja makan, siap menikmati hidangan pagi itu. Terdengar suara nyaring Ibu Kyu yang tak bosan memanggil anaknya agar lekas menuju meja makan.
“Kyu, kamu belom bangun juga?!. Ini sudah siang!” seru Ibu Kyu kesal, mengetuk pintu kamar Kyu.
Kyu menguap lebar-lebar, membukakan pintu untuk ibunya yang sedang menceramahinya tentang “etika bangun tidur yang baik”.
“Maaf ya bu, Kyu capek banget semalam” timpal Kyu muram.
Terdengar bunyi mendesis yang dilontarkan Ibu Kyu kepada anaknya. “Kyu cepat cuci muka lalu mandi, dan setelah itu turun ke meja makan. Ryu sudah menunggu Kyu dari tadi” omel Ibu Kyu kesal.
“Iya” sahut Kyu malas.
Waktu sarapan pagi hampir lewat, ketika Kyu sedang menuruni tangga yang tak terhitung jumlahnya.
“Pagi, Ryu” sapa Kyu lemas. Ibu Kyu sudah beranjak dari kursinya. “Kyu merasa hari ini ada yang aneh” Kyu berkomentar tak jelas.
“Apa yang aneh, Kyu?” sambung Ryu lambat-lambat, alisnya terangkat.
“Mum”.
“Ibu Kyu?” lanjut Ryu masih tak mengerti.
“Ya. Mum marah-marah pagi ini. Apa tidurnya tidak pulas ya semalam?” kata Kyu terus terang, nyengir.
Ryu tak tahu harus tertawa atau simpati, melihat sahabatnya yang sedang tertimpa kemalangan. “Mungkin Ibu Kyu sedang banyak pikiran” Ryu menghibur, bangkit dari kursi seraya mengambil piring dihadapannya.
“Yeah, Ryu benar. Orang dewasa memang banyak yang dipikirkan” gumam Kyu lirih, sembari mengenyakkan diri ke kursi, tepat disamping Ryu.
Sisa hidangan pagi itu yang tersaji di meja cukup banyak. Namun, Kyu tidak bersemangat melahap hidangan tersebut. Hingga akhirnya, Kyu hanya memasukkan dua potong ayam goreng ke mulutnya dengan asal-asalan, yang hanya ditemani oleh udara dingin disekitarnya.
Kyu menghabiskan satu jam dengan memandangi meja di hadapannya dengan tatapan kosong. Ryu telah berbalik membantu Ibu Kyu mencuci piring. Sebaliknya, Kyu sekali lagi mendapat serangan bertubi-tubi dari Ibunya sendiri, yang segera dibalas Kyu dengan jawaban “YA” atau “TIDAK”.
Pertemuan Kyu dengan Meg ketika matahari hampir terbenam, bisa membuat suasana hati Kyu sedikit lebih cerah sehingga pertengkaran dengan Ibunya pagi itu telah dilupakannya dalam sekejap.
Silaunya matahari membuat wajah Kyu dan Meg memerah. Mereka menikmati keindahan panorama sore menjelang petang itu dengan bergairah.
Udara pantai semakin dingin, beberapa orang yang menikmati keindahan matahari terbenam mulai berhamburan pulang. Ada sepasang kekasih yang masih duduk-duduk di pasir. Ternyata, masih ada seorang lagi dan tak menggandeng cewek, memandang tajam ke arah sepasang kekasih tersebut.
“Ryu?!”.
Ryu terlonjak begitu mendengar suara yang dikenalnya menyapanya. Dia baru menyadari bahwa Kyu dan Meg sudah pergi dan menemukannya sedang memperhatikan mereka berdua.
Ryu berbalik menghadap Kyu dan Meg yang masih terpaku, aneh melihatnya berdiri sendirian di pantai..
“Ryu sedang mencari udara segar” sengal Ryu salah tingkah, berusaha tersenyum semanis mungkin.
“Ryu gak bohong kan?” tanya Kyu penuh curiga.
“Gak kok. Kyu gak percaya ya?” sahut Ryu masih gugup.
“Kyu tadi liat Ryu berdiri di bawah pohon ini sudah lama. Jadi, Ryu jujur aja. Ngapain Ryu memperhatikan kami?. Kyu sebenarnya sudah tahu bahwa Ryu memperhatikan kami sudah lama. Tapi, Kyu tidak tahu pasti apakah dugaan Kyu benar” kata Kyu menjelaskan panjang lebar.
Masih tersenyum, Ryu melanjutkan “Kyu ngomong apa sich?. Ryu gak ngerti?” potong Ryu bertampang polos.
Ryu yang melupakan bahwa Meg juga berada di dekatnya, langsung menyapanya “Hai, Meg”.
“Eh…ya” sengal Meg kaget.
Kyu yang baru saja mendapat suntikan es cepat-cepat berpaling kepada Meg yang masih shock. Shock antara takjub dan heran melihat perubahan suasana antara Kyu dan Ryu.
“Meg, kamu gak papa kan?” tanya Kyu cemas.
“Eh, gak papa kok” Meg berusaha tersenyum, masih kaget.
Wajah Ryu yang masih tetap tersenyum, mendahului Kyu yang akan membuka mulut “Kyu, Meg, Ryu pulang dulu ya. Ada pekerjaan yang belum Ryu selesaikan. Bye…”. Ryu berbalik memunggungi Kyu dan Meg yang masih menatapnya tak percaya.
“Sepertinya sikap Ryu tadi sedikit aneh ya, Kyu?” Meg tiba-tiba saja melontarkan pertanyaan, yang tidak langsung disambut Kyu dengan jawaban.
Kyu menarik nafas dalam-dalam.
Awan mulai menghilang. Begitu pula matahari telah kembali ke pangkuan-Nya. Sepasang kekasih telah meninggalkan aroma pantai yang mulai dingin.
Kepulangan sepasang kekasih tadi, telah dinantikan oleh keluarganya. Namun, suasana hati Kyu tidak juga membaik.
Di meja makan, suasana hati Kyu maupun Ryu tak bisa ditebak. Mereka hanya melahap hidangan di depannya dalam diam. Beberapa kali Ibu Kyu menanyai keadaan mereka berdua, jawabannya selalu sama “BAIK” dan “TAK ADA MASALAH”.
Setelah mengisi perut, Kyu dan Ryu mengunjungi kamar. Mereka berdua seakan rindu dengan kasurnya yang empuk. Masih berjalan dalam diam.
Kyu tidak memandangnya. Ryu juga tidak merasa perlu dipandang.
Lima belas menit dalam kebisuan, akhirnya Kyu memutuskan untuk memulai pembicaraan “Kyu minta maaf mengenai kejadian di pantai kemarin sore” katanya menyesal.
“Tidak… Kyu tidak salah kok. Ryu yang seharusnya minta maaf karena Ryu bersikap tidak sopan kepada Kyu” jelas Ryu panjang lebar. Tetapi, tergambar dengan jelas di wajah Ryu dia hanya berpura-pura.
Ryu berbalik memunggungi Kyu, menatap bintang yang bersinar di langit malam melalui celah jendela.
Kyu menimbang-nimbang sejenak apakah dia akan memberitahukan hal ini kepada Ryu.
“Ryu?” panggil Kyu berhati-hati, beralih memandang Ryu yang masih memunggunginya.
Ryu membalikkan tubuhnya hingga telentang, segera memandang Kyu “Ya”.
“Ryu suka Meg?” tanyanya terbata-bata.
Alis Ryu mulai mengerut. “Apa?. Kyu bicara apa?. Kyu mungkin mengantuk jadi pikirannya sudah kacau. Kita tidur saja ya?” kata Ryu membelokkan pembicaraan.
“Kyu sudah tahu kalau Ryu suka Meg sejak kita makan bersama di KFC. Jadi, Kyu mohon Ryu jujur saja”.
Darah Ryu hampir mau menetes. Akhirnya Ryu terpaksa menyerah.
“Ryu memang sudah lama menyukai Meg. Tapi, Ryu sengaja menyembunyikan semua ini dari Kyu” celutuk Ryu gusar, takut Kyu membentaknya, tapi alih-alih Kyu menyapu Ryu yang sengaja tidak memandangnya.
“Kenapa Ryu tidak mau bilang kepada Kyu?. Kita sudah lama bersahabat kan?” timpal Kyu cepat.
“Karena Ryu tahu Kyu juga menyukai Meg. Ryu gak pengen hubungan Kyu dan Meg juga berantakan” sengal Ryu, memberanikan diri mendongak ke arah Kyu.
“Ryu bicara apa sich?. Nggak mungkin kita bertengkar karena hal kecil seperti ini” bantah Kyu lembut.
Ryu baru saja mendapat suntikan segar dari Kyu. Dia lega bahwa Kyu tidak akan memutuskan persahabatan dengannya.
Lalu, tanpa disadari, Kyu melompat bangun dari tempat tidur dan menengadah memandang Ryu. “Ryu, selama ini Kyu tidak pernah minta apapun dari Ryu. Kyu mohon Ryu mau mengabulkan satu permohonan untuk Kyu” bisik Kyu memohon, ekspresi wajahnya serius.
“Apa itu, Kyu?”.
“Tolong jaga Meg baik-baik selama Kyu pergi. Ryu mau kan memenuhi permohonan Kyu?”.
Ryu menimbang-nimbang sejenak, mengapa Kyu menyuruhnya menjaga Meg. Ryu pun berkata “Baiklah, untuk Kyu. Ryu akan menjaga Meg sampai Kyu kembali”.
Kyu langsung memeluk Ryu erat-erat, yang disambut Ryu dengan pekikan kaget. “Kyu…!”.umpat Ryu kesal.
“Maaf, Ryu. Tapi, Kyu senang sekali. Kyu akan memberitahu Meg”.
“Jangan. Ryu mohon. Biarkan ini menjadi rahasia kita berdua. Ryu nggak mau Meg sedih” potong Ryu kemudian, ada nada tegas dalam suaranya.
“Baiklah” sahut Kyu ringan. Kyu melanjutkan dengan mantap “Kalau githu, Kyu berjanji kepada Ryu”.
“Apa?”.
“Itu rahasia…” sorak Kyu penuh kemenangan. Ryu membalasnya dengan seulas senyum
Tiga tahun telah berlalu, aku tidak pernah lagi melihat Kyu. Sepanjang hari, aku selalu ditemani Ryu. Ryu menepati janjinya demi Kyu. Janji bahwa mereka berdua tidak akan pernah berbohong. Dua anak yang memiliki ikatan persahabatan yang dilandasi ketulusan hati yang kuat, membawa kepercayaan penuh yang tak bisa dihancurkan oleh apapun juga. Ibu Kyu menyuruh Kyu terus mempercayai Ryu karena hanya dia yang bisa melakukannya. Itu yang paling penting. Kalau kita yakin bahwa ada orang yang selalu mempercayai diri kita, mungkin tidak akan banyak orang yang melakukan kejahatan.
Perpisahan yang mendadak membuat Meg merasa sangat terpukul oleh kepergian Kyu.
“Ryu…” panggil Meg suatu hari ketika mereka berada di taman.
“Ya?” sahut Ryu pendek.
“Kyu gak pamitan sama Ryu ya?. Kok sama Meg Kyu gak pamitan sich??” tandas Meg sedih.
“Kyu pamitan sama Ryu. Tapi, Kyu menyampaikan pesan buat Meg” hibur Ryu yang langsung disambut Meg dengan gembira.
“Kyu bilang Meg harus jaga diri baik-baik. Kalau Kyu sudah pulang, Kyu akan menghampiri Meg untuk yang pertama kali.”
“Benarkah??. Terima kasih ya, Ryu”.
“Tentu saja.”
SELF
Akhir-akhir ini aku selalu merasakan kesepian. Aku telah kehilangan orang-orang terdekatku yang selalu membuatku selalu ceria dan bersemangat setiap hari. Entah mengapa mereka begitu cepat meninggalkanku seorang diri sehingga aku merasa kesepian.
Namaku Fina. Itulah nama yang biasa dipanggil oleh teman-temanku di dalam kelas. Aku mempunyai sahabat, bernama Santi. Kami selalu bermain bersama. Maklumlah, kami memang tetangga dekat. Dia yang selalu menemani aku dalam suka maupun duka semenjak kecil. Tidak jarang aku setiap hari bermain ke rumahnya. Begitu juga sebaliknya. Kami selalu kompak dalam berbagai hal, terutama berangkat dan pulang sekolah selalu bersama-sama.
Took, took, took. Suara ketukan pintu dari luar rumahku terdengar. Aku yakin pasti Santi sudah datang. Ternyata benar. Dia memang selalu datang pagi ketika akan pergi sekolah. Dia berdiri menungguku didepan pintu rumahku. Langsung saja aku bukakan pintu.
Ternyata kebahagiaanku bersama kedua sahabatku merupakan langkah menuju kesedihan yang akan aku alami sepanjang hidup, karena kehadiran mereka telah menggantikan ruang hatiku yang kosong. Kini, ruang itu sudah tidak memiliki kebahagiaan lagi. Rosa telah pergi ke Sorong dan bersekolah disana, sedangkan Santi pergi ke Jawa mengikuti ortunya. Walaupun aku tahu, masa depan yang akan aku lalui masih terasa sangat panjang. Namun, kepergian mereka yang telah membuat hidupku menjadi tak berarti lagi. Aku sudah berusaha tegar dalam kondisi apapun, tapi tetap saja hal itu tidak bisa mengubah semuanya. Itu yang membuatku sangat terpukul oleh kepergian kedua sahabatku. Satu hal yang tidak akan pernah aku hilangkan dari hatiku, aku akan tetap mengenangnya sebagai sahabat terbaikku.
TEACHER
Berbicara mengenai guru, aku merasa bersalah sekali mengingat peristiwa itu. Peristiwa yang tidak akan pernah aku lupakan sepanjang hidup. Aku benar-benar sangat menyesal telah menyia-nyiakan hari-hari terakhir bersama dengan seseorang yang aku kagumi. Dan aku baru menyadarinya setelah beliau pergi meninggalkan kami. Aku tidak ingin berpisah dengan beliau. Aku ingin beliau mengajar kami lagi selama setahun, sebelum kami meninggalkan sekolah selama-lamanya.
***
Ku buka jendela lebar-lebar. Udara pagi langsung menyergap tubuhku.
Aku membutuhkan waktu lima belas menit untuk mempersiapkan keperluan sekolahku.
Aku bernafas lega ketika pintu gerbang sekolah mulai terlihat, tepat ketika bel masuk berbunyi.
Pak Haryanto berjalan terburu-buru dengan beberapa buku di tangannya.
“Selamat pagi, anak-anak” pak Haryanto masuk kelas siap dengan materi yang akan disampaikan.
“Pagi pak…” semua temanku menyapa beliau dengan bersemangat.
“Baik, kita buka buku halaman tiga. Harap semuanya memperhatikan”, itulah satu pesan dari beliau untuk memulai pembelajaran.
Kegiatan belajar mengajar berlangsung dengan tertib. Tak seorang pun murid yang berbicara. Mereka semua memperhatikan materi yang disampaikan oleh Pak Haryanto di depan kelas.
Tiba-tiba saja…
Plak… Penghapus mendarat mengenai wajah Doni. Doni langsung kaget begitu penghapus terjatuh tepat didepan mejanya.
“Jangan berbicara. Bicaranya nanti saja saat istirahat. PAHAM?????” wajah beliau sangat marah sekali.
“Paham pak” desah Doni pelan, menahan sakit di wajahnya sambil menundukkan kepala.
“Bukankah bapak tadi sudah memberitahu kalian, disaat guru menerangkan jangan ada yang berbicara?!” celutuk beliau masih dengan muka berlipat lima. “Baiklah, kita kembali lagi ke materi” lanjut beliau lagi, kembali menghadap papan tulis, berusaha meredakan emosi.
Kantin sekolah.
Semua teman-temanku sedang berkumpul membicarakan sesuatu yang asyik.
“Gak nyangka lho, ternyata pak Haryanto orangnya kejam. Masa, Doni ribut aja langsung dilempar pake penghapus. Kan sakit…” Sita memulai bercerita.
“Iya… bener juga. Lagian Doni gak harus dilempar pake penghapus kan?. Sebaiknya beliau menegurnya terlebih dahulu” sambung Nisa yang duduk disamping Sita.
Berbeda dengan pendapat Kilan.
“Kalau gwe sich, wajar aja dengan cara mengajar Pak Yanto. Itu kan lebih mendidik, sehingga murid-muridnya bisa semakin rajin dan disiplin” sergah Kilan tidak setuju dengan pendapat teman sepermainannya.
“Disiplin sich disiplin. Tapi… gak seharusnya mempelakukan muridnya dengan cara kasar kan?” Sari membantah ucapan Kilan.
“Terserah dweh. Sampai kapanpun lu gak ngerti maksud gwe” jawab Kilan putus asa, berbalik pergi.
Jujur, aku senang dengan cara mengajar beliau. Tapi aku tidak terlalu suka apabila beliau memperlakukan murid dengan cara kasar. Ada yang bilang memperlakukan seseorang dengan cara kasar, orang tersebut bisa menjadi lebih kasar lagi. Oleh karena itu, kita harus memperlakukan seseorang dengan baik, lembut. Setidaknya kita harus saling pengertian satu sama lain.
Pak Haryanto membuka les dimasjid. Bisa dibilang masjid adalah rumahnya juga karena beliau memang tinggal di atas masjid.
Selama privat di Pak Haryanto, aku merasa ada yang berubah, terutama tentang nilai ulangan dan tugas. Memang di privat, Pak Haryanto mengharuskan anak-anak privat lebih banyak menguasai ilmu fisika daripada murid beliau yang tidak mengikuti les. Beliau tetap disiplin dan tegas. Namun, ada satu hal yang berubah dalam sikap beliau selama di privat. Beliau menerapkan sikap santai tapi serius dalam menyampaikan materi. Beliau menyuruh aku, Sirta, Wilna, Suti, Ersa, Writa, Rosna dan tentu saja Al Rizna membaca materi fisika yang terdapat dibuku paket sebelum masuk les. Tujuannya supaya kami dapat mengerti dan paham serta apabila beliau memberi soal, kami dapat menjawabnya dengan benar.
Setengah tahun aku mengikuti privatnya Pak Haryanto. Banyak pelajaran yang dapat aku ambil hikmahnya dari beliau. Kita harus lebih giat belajar supaya mendapatkan nilai yang baik. Itulah pesan terakhir yang disampaikan beliau kepada aku beserta teman-teman sebelum beliau pergi meninggalkan kami. Beliau pindah tugas di suatu daerah sehingga beliau tidak dapat membuka les privat lagi di sekolah kami. Les privat itu sudah ditutup, tidak akan ada lagi yang mengikuti les privat di Pak Haryanto.
Lain sekali dengan Wilna yang sangat menyukai cara mengajar beliau. Dia senang sekali diajar oleh beliau. Bahkan disaat pak Haryanto tidak mengajar ataupun terlambat masuk kelas, Wilna langsung menjemput Pak Haryanto di masjid. Hanya Wilna yang sangat sedih atas kepergian beliau. Dia sampai mengeluarkan air mata. Padahal teman-temannya yang lain tidak sesedih Wilna. Aku sampai kasihan melihatnya. Dia sangat terpukul sekali.
Suasana saat itu dipenuhi oleh tangis dan kesedihan.
Mungkin aku tidak akan pernah bisa bertatap muka dengan beliau lagi selamanya karena jarak tempat kami terlalu jauh. Orang yang sangat aku kagumi, kini telah meninggalkanku.
Aku sangat terpukul oleh kepergian beliau. Sejak saat itu, aku pun berjanji tidak akan menilai seseorang dari luarnya saja, tapi dari dalam hatinya juga karena aku tidak ingin menyesal untuk yang kedua kalinya.
SEULAS KENANGAN
Aku siswi SMA yang mempunyai banyak kenangan bersama teman-teman, walaupun kenangan itu hanya bisa aku rasakan sesaat saja, namun kenangan itu akan tetap terukir abadi selamanya dihatiku. Seulas kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan dalam diriku bersama orang-orang yang aku sayangi.
“Reta, kapan-kapan aku boleh tidak main ke rumah kamu?” tanya Arita ketika kami sedang mengamati kendaraan lalu lalang.
“Boleh aja” sahutku singkat.
“Emm… sekalian besok bawain biskuat cokelat krim lagi ya?. Aku mau nambah lagi nih, masih kurang” sambung Arita sambil cengengesan.
“Ok. Besok aku bawakan sekardus ya?” gurauku sambil tertawa.
“Yah… terserah kamu aja. Tapi, gratis ya?. He he he”.
“Bayar donk…, masa gratis sih”.
“Itu kan tanggung jawab penjualnya…”.
“Enak aja”. Kami tertawa bersamaan.
Kami telah berteman lama. Arita mudah menyesuaikan dengan lingkungannya. Aku bahkan pernah pergi ke rumahnya. Rumahnya sangat tersembunyi. Arita pun telah mengunjungi rumahku beberapa kali.
Satu tahun berlalu begitu cepat, sehingga tidak terasa waktu itu sudah berganti dengan hari yang ditunggu-tunggu oleh kami sekaligus hari yang menegangkan. Hari dimana kami akan mendengarkan pengumuman kelulusan. Hanya sebagian teman-temanku yang merasa santai mengenai adanya beberapa pengumuman yang akan disampaikan kepada kami. Dan salah satunya adalah teman-temanku yang jenius dalam hal pelajaran.
Sejak pengumuman itu, aku tidak pernah kembali ke sekolah lagi karena sibuk mengurusi kepindahanku. Padahal, masih ada beberapa pengumuman yang belum disampaikan oleh guru mengenai keberangkatan rekreasi minggu depan. Tetapi, semua itu sia-sia saja buatku karena aku tidak akan bisa ikut rekreasi bersama mereka.
Sampai, perpisahan itu datang. Aku tak kuasa menolaknya. Perpisahan yang sangat menyakitkan hatiku. Dengan terpaksa, aku harus meninggalkan tempat kelahiran beserta teman-temanku. Mengikuti ayahku kerja.
“Reta, aku ikut ke bandara boleh tidak?” tanyanya, saat di rumahku.
“Mau ngapain ke bandara?” tanyaku heran.
“Yah, ngantar kamu. Masa mau mandi?”.
“Boleh sih, tapi kalau orang tua kamu nyariin gimana?”.
“Aku kan cuman pergi sebentar”.
Disaat-saat detik terakhir, aku masih sempat melambaikan tangan padanya. Dia mengantarku ke bandara. Bahkan, ketika pesawat sudah melesat di udara, aku masih bisa melihatnya. Dia tersenyum padaku. Terakhir, dia berkata, “Reta, hati-hati ya?. Dan jangan lupain aku ya?”. Aku pun tersenyum simpul mengingat kata-katanya itu. Air mataku pun berjatuhan.
Begitulah, kehidupan yang aku lalui bersama Arita. Arita adalah teman yang menyenangkan buatku. Membuat hatiku menjadi lebih baik.
***
Lulus dari sekolahan itu, kami semua berpisah. Aku pun pergi meninggalkan mereka semua untuk selamanya. Hanya beberapa teman-temanku yang mengetahui kepergianku, termasuk Arita. Walaupun, aku tidak tau pasti apakah aku masih diberi kesempatan agar dapat menemui mereka lagi atau tidak.
KEBAHAGIAAN TEMAN
Kalau Cupid Lagi Jatuh Cinta
Hallo!. Kenalin namaku Aline. Dulu aku cuma cewek biasa aja lho, tapi semenjak temenku minta bantuan buat dipecahin masalah cintanya, dan sukses total. Maka, mulai saat itu aku dikenal dengan sebutan Cupid Girl. Ada kebanggaan tersendiri sih, karena aku sekarang udah punya penghasilan sendiri, jadi aku nggak usah minta uang sama ortu. Biasanya aku dibayar sama orang untuk tiap masalah cinta, itupun cuma seikhlasnya, alias terserah aja.
Oh, ya temenku itu juga banyak banget lho, dari anak kelas 1, 2 dan 3 SMA, nggak ketinggalan juga anak-anak OSISnya, secara aku kan anak OSIS, pokoknya satu sekolah itu temen-temenku semua deh. Makanya aku jadi betah di sekolah.
Masalah temen-temen itu buanyak banget. Salah satunya kayak masalah Laras ini, “Lin, gue masalah nih, lo mesti bantuin gue!!” pinta Laras.
“Emang apa yang bisa gue banting, eh dibantu?” tanyaku. “Gini, gue suka ma cowok, namanya Randi. Dia nggak kenal gue sih. Tapi, gue pingin banget dia kenal gue and jadi temen gue, tapi ya kalo bisa dia jadi cowok gue, bisa ya!. Ntar gue bayar dobel deh!” kata Laras memelas.
“Oke, oke deh. Serahin semua sama gue, tapi urusan pembayaran dibayar setengahnya dulu donk, ok!” kataku. “Ok!. Nih, sorry gue Cuma bisa mbayar segini soalnya gue tadi terburu-buru sih ke sekolah. Sisanya gue bayar besok ya!. Ya udah sekarang mulai beraksi dong, gue tunggu hasilnya ya!” katanya ceria sambil ninggalin aku.
Lalu, aku mulai beraksi deh. Waktu itu si Randi lagi berdiri sendirian dan lagi mbaca isi madding, ini sih gampang nanyain dia sambil ngeliat mading.
“Isi mading hari ini, kurang menarik and seru ya, “kataku mengganggu.
“Apanya yang nggak menarik, ini termasuk yang menarik dan isinya bagus banget” katanya sedikit bingung. “Iya, terserah orang nilainya gimana, lagian gak papa kan kita nggak sependapat” kataku mengelak.
“Lo apa nggak kasihan ama cewek lo, ditinggal ngeliat mading ama lo, mending sekarang lo ketemuan deh ama cewek lo!” kataku asal.
“Cewek??. Gue belum punya cewek tuh, jadi gue bebas ngeliat isi mading ini sepuas gue” katanya tenang. “Oh gitu, berarti kebetulan dong!” kataku bersemangat. “Kebetulan gimana maksud lo??” tanyanya bingung.
“Gini, daripada lo disini Cuma ngeliat mading aja, mending lu ikut gue deh” kataku. “Ayo, malah bengong!!” kataku lagi. “Tuh, ada cewek lagi sendirian pengen ketemu ama lo, anaknya cantik lho, entar lo rugi lagi nggak ketemuan ma dia” kataku membujuk. “Oke deh, gue samperin ya! Da…” katanya ceria. “Akhirnya mereka ketemuan and ngobrol juga, lega deh gue. Rencana gue berhasil. Yess!!” kataku dalam hati.
Tiba-tiba aja ada cowok yang melintas dengan temannya di depan aku, dan aku langsung terpaku ngeliatnya, serasa tersihir gitu. Cakep banget…anak mana sih dia, apa ini yang dinamain Love At First Sight. “Aduh…” kataku tiba-tiba. Ternyata aku jalan sambil ngelamun dan nggak ngeliat ada tiang basket di depan aku. Untung aja nggak ada yang ngeliat.
Ketika di dalam kelas…
“Aline, lo kenapa sih kok bengong, apa ada masalah ama dient lo ya! sampai lo bengong gitu” tanya Rini penasaran. Rini adalah teman satu bangkuku. Lalu dengan sedikit senyum aku langsung menjawab. “Nggak…nggak ada apa-apa kok, ke kantin yuk, gue belum jajan nih!” kataku. “Yuk!” kata Rini.
Sesampainya di kantin aku masih ngebayangin tampang cowok itu dan akhirnya kebawa ngelamun juga. Trus, Rini menepuk bahuku dan berkata, “Lo tu mau pesen apa, dari tadi masih belum pesen, jangan ngelamun dong!” katanya mengingatkan.
“Siapa yang ngelamun, orang gue lagi mikir mau pesen apa kok!” kataku mengelak. “Mbak pesen bakso ma es the ya!” kataku. Lalu setelah menerima makanannya aku dan Rini duduk, langsung aja Rini nyerocos. “Lo tau nggak sebulan yang lalu Tia ma Doni dah putus lho, padahal mereka termasuk pasangan yang serasi, trus…”.
Rini terus aja ngobrol tanpa henti, daripada aku ngedengerin dia mendingan ngebayangin cowok itu deh. Aku ngebayangin aku ama cowok itu lagi jalan berdua di tepi pantai, trus… “Lin, lin sadar!!” katanya membuyarkan lamunanku.
“Ada apa sih, lo ganggu aja!” kataku ketus. “Lo sadar nggak, lo masukin saos kebanyakan tuh!” kata Rini sambil nunjuk baksoku. “Eh iya, gue lahi pingin nyobain bakso ditambah banyak saos. He he “ kataku asal.
Ketika aku minum es tes, nggak sengaja aku ngeliat cowok yang aku sukai. Dia lagi duduk ma temen-temennya. Ini kesempatanku buat ngedeketin dia, tapi tunggu temen-temennya pergi dulu aja ah, baru deh aku beraksi. Tapi selang beberapa menit, tiba-tiba aja dia ninggalin temen-temennya gitu aja. Ini saatnya aku beraksi!. Langsung aja aku tinggalin Rini yang lagi asyik makan bakso, dia kayaknya bingung sih, tapi biarin aja.
Setelah aku pergi ninggalin kantin, aku ngikutin kemana cowok itu pergi, oh ternyata dia ke kelasnya. Lalu aku tunggu dia sampai keluar kelas. Sambil nunggu dia keluar kelas, aku mikirin kata-kata yang mau aku ucapin. Aduh…bingung mau ngomong apa. Terus, aku ngeliat dia keluar kelas, tapi yang ada aku Cuma ngeliatin dia. Tiba-tiba aja ada yang jatuh dari saku celananya, sebuah dompet. Langsung aja aku pungut. Dan aku langsung lari dan teriak-teriak.
“Hey, hey!” kataku sambil lari. Lalu cowok itu berhenti dan akhirnya aku juga ikut berhenti, trus kita tatap-tatapan gitu. “Ada apa?” katanya membuyarkan tatapanku. “Mmm…anu…anu…, dompet lo jatuh tadi” kataku salting. “Eh iya, bener, makasih ya!. Wah gue mesti balas budi ni ama lo” katanya lagi. “Balas budi!. Nggak usah aja, tapi mending iya aja deh” kataku salting lagi.
“Lo mau apa?. Ditraktir atau apa?” katanya. “Ditraktir aja , tapi besok aja ya, soalnya tadi gue udah makan. Kalo boleh tau, nama lo siapa sih?” tanyaku penasaran. “Gue Tio anak XI IPA 2, met kenal ya!” katanya sambil jabat tangan. “O…Tio, gue Aline anak XI IPA 3, met kenal juga!” kataku sambil menjabat tangan.
“Eh lo anak baru ya, soalnya gue baru ngeliat lo hari ini” tanyaku memastikan. “Nggak, gue anak lama. Gue tau kok, lo Cupid Girl itu kan!” katanya lagi.
“Iya!. Wah, ternyata lo tau gue juga ya. Berarti gue ketinggalan kereta donk!” kataku. “Lho, kok kereta?” tanyanya penasaran. “Iya, abisnya gue nggak tau lo sich!” kataku bercanda. “Eh udah dulu ya, gue mau ke tempat temen-temen ngumpul dulu!” katanya buru-buru. “Eh ok deh, jangan lupa traktir gue lho!” kataku lagi. “Ok deh, sampai ketemu besok ya!” katanya meyakinkan.
Esok harinya, pas jam istirahat…
Aku nungguin Tio di kantin. Ternyata kantin masih sepi, oh ya tadi Rini aku tinggalin gitu aja. Hi, hi kasihan sih, tapi biarin deh. Yang penting aku bisa ditraktir ma Tio. Selang beberapa menit, Tio pun datang ke kantin. Langsung aja aku ngelambaiin tanganku. Habis itu Tio datang deh ke mejaku. “Hai sorry ya, tadi ada tugas gitu jadi lama deh kesininya” kata Tio. “Iya, gak papa kok” kataku lagi.
Lalu aku ngobrol panjang lebar ma dia, kita cerita-ceritanya macem-macem gitu. Tentang temen-temen, keluarga pokoknya banyak banget deh. Dan yang pasti seru deh. Sehabis dari itu kita jadi akrab dan deket. Dan pada akhirnya, saat-saat yang aku tunggu-tunggu. Dia ngajak aku jalan pas malam minggu, kabarnya pingin mbicarain sesuatu yang penting sih. Otomatis aku harus tampil cantik, biar aku nggak ngecewain dia.
Malam minggunya, aku ma dia ketemuan di café. Dia tampil dengan jas hitamnya dan senyuman yang hangat. Pokoknya dia cakep banget deh. Setelah itu kita pesen makanan sambil ngobrol-ngobrol. “Aline, selama ini kan kita udah deket, mmm…” katanya nervous.
“Trus…” kataku penasaran. “Lo mau nggak jadi pacar gue?” katanya lagi”. Aku yang udah lama suka ma dia pun langsung mengangguk. “Gue mau kok jadi cewek lo!” kataku lagi. “He…he…” Tio ketawa. Aku langsung bingung dan langsung nanya. “Lho, kok ketawa?” tanyaku penasaran. “Ternyata Cupid bisa jatuh cinta ya!” kata Tio ngelanjutin. Aku hanya tersenyum dan sepanjang malam itu aku bahagia banget. Oops…tapi besok aku harus nyelesein masalah cinta dientku, moga aja bisa sukses. Dan satu hal lagi, Rini. Aku harus ceritain hal ini sama dia.
Kenapa Gue Bisa Sayang Dia?
Pernah nggak kalian ngerasa atau bertanya dalam hati. Kenapa kita bisa sayang sama orang itu?. Itu yang lagi gue pikirin akhir-akhir ini. Gue khan yang lagi sayang sama cowok bernama Pandu. Pertama gue ketemu, udah ada rasa yang nggak pernah gue rasain sebelumnya.
Hari ini gue mau ke sekolah ngejalanin aktivitas kayak biasa. Semangat banget gue hari ini karena pastinya gue ketemu sama Pandu. Di sekolah jam ke 3 pelajaran gue kosong karena guru gue lagi shopping gitu… Kebetulan Pandu gi pelajaran olahraga, pastinya gue keluar kelas mulu. Pas di kelas temen gue Sera nagih janji sama gue “Cha, gue tagih janji ama lo!!” omong dia sambil narik baju gue. “Janji pa Ser?” bales gue sambil ngelepasin tarikan tangan dia. “Janji, lo dah kalah kan. Kita bikin perjanjian lo bikin 2 cerpen buat gue dan gue bikin 2 gambar “sakura” buat lo. Gue dah nyerahin 2 gambar dan lo baru ngasih 1 cerpen buat gue” jelas Sera. “Trus, lo mau hukum gue apa?” tanya gue. “Gue pengen hukum lo apa ya?????. lo nggak mungkin gue suruh bersihin toilet rumah gue, hmp…gimana kalau lo tanyain ke Pandu tentang basket atau hobi dia???” tawar Sera. “Gila lo, bisa mati berdiri gue…” tolak gue. “Kenapa harus mati berdiri??. Cepet sana!!! Kebetulan dia lagi sendirian… kalo lo nggak mau gue bakal marah sama lo!!!” ancem Sera. “Jangan gitu donk…iya…iya…jangan ngambek ya…?” gue emang nggak bisa ngeliat Sera marah.
Akhirnya gue brani-braniin nyamperin dia. “Kak Pandu!!” panggil gue dengan deg-degan. “Iya, ada apa?” tanya dia dengan muka coolnya. “Kak, kakak anak basket ya??” balik tanya gue. “Iya, mang kenapa, boleh tau nama lo siapa?” tanya dia lagi. “Nama aku kha kak, aku mau tanya guru basket kakak siapa?” jawab gue. “Guru basket gue bu Sandra. Mang kenapa?. D…iya panggil gue Pandu aja, trus kita ngobrolnya pake lo, gue aja. Kayaknya lebih akrab gitu” tawar Pandu. “Eh iya juga ya…hmpp…gurunya cewek ya? nggak papa sich kok guru cewek bisa ngelatih lo?” tanya gue. “Ya bisa aja. Emang kenapa sih? Kok nanya gitu?” balik tanya. “Nggak kok,…guru cewek bisa bikin Pandu jago main basket ya?”. Ups…apa yang gue bilang, aduh gimana nich…tapi dia kok malah ketawa ya?. “Ah lo bisa aja” celutuk Pandu. Gue hanya bisa senyum ngeliat Pandu yang lagi ke GE-Eran gitu. “Ndu, dah mulai tuch olahraganya” tunjuk gue. “Eh, iya gue kesana dulu ya!!!” gue ngangguk sambil senyum kecil. Nggak nyangka bisa ngobrol sama orang yang paling gue sayang, ternyata dia orangnya asik banget…Seandainya dia nggak lagi olahraga, pastinya gue bakal ngobrol lebih lama lagi… tapi gak papa gue seneng banget. Gue langsung nemuin Sera buat bilang makasih banget gara-gara dia gue bisa ngobrol sama Pandu. Tapi nggak lama gue dapat kabar yang nggak enakin buat diri gue, yang bikin gue sakit banget… Pandu dah punya cewek!!!!. Gila gue langsung down abizz, ancur banget gue…gue nangis nggak karuan sampe-sampe gue sering ilang keseimbangan badan, gue sering jatuh sampe keseleo deh…tapi rasanya sakit kaki gue nggak sebanding dengan sakitnya hati gue…ditambah lagi gue dapet kabar kalo Pandu suka gonta-ganti cewek, suka bolos sekolah de el el…
Banyak temen gue yang nyuruh gue lupain cowok kayak dia, tapi gue nggak bisa… Pa lagi nanti dia bakal pergi dari sekolah, bentar lagi dia lulus…
Pandu kenapa jadi kayak gini sich perasaan aku ke lo?” gumam gue terus-menerus. Gue sadar Pandu juga nggak suka sama gue beda sama mantan-mantannya yang bisa dibilang sempurna fisik…Lama kelamaan gue nggak tahan nahan rasa ini. Akhirnya, aku nulis surat buat dia…
Bandung, 21 November 2007
Dear Pandu
Hi Ndu, gimana kabar lo???. Gue harap baik-baik aja. Sorry gue lancang ngirim surat ini buat lo. Abis gue nggak tau lagi cara ngomong masalah ini. Pandu jujur kalo gue sayang banget sama lo. Satu tahun yang lalu pertama gue ketemu lo gue nggak tau perasaan ini…tapi lama-lama gue ngerti kalo gue sayang lo…
Lo nggak perlu tau gue siapa karena menurut gue itu nggak penting…
Semoga lo bahagia karena setiap senyum yang keluar dari bibir lo bikin gue bahagia banget…
Thanks
*****
(Someone)
Surat ini dikasih melalui temen gue dan pada saat itu gue ada disana. Tampak kebingungan dari mata indah dia dan ceweknya juga ada disitu. Gue nggak pernah mikirin gimana perasaan cewek itu, keliatan dari muka cewek itu rada marah tapi bodo amat… dan nggak lama gue denger Pandu putus sama cewek itu…gue jadi ngerasa bersalah sama Pandu. “Ahkk, bodo amat emang itu yang gue pengen dia putus ama cewek itu” kata-kata itu yang selalu bikin gue bertahan. Gue bertahan dengan kata-kata itu cuma beberapa minggu…akhirnya gue mutusin buat ngomong langsung sama Pandu…Gue nyari dia dari ujung kelas sampe ujung kelas lagi…Dan gue ketemu sama dia…”Pandu!!!” panggil gue. “Da pa cha” tanya dia. “Ndu, lo masih ingat soal surat 2 bulan yang lalu?” tanya gue. “Yups, lo tau siapa orang itu?” balik tanya. “Ndu orang itu…gue, gue tau lo marah dan kecewa banget sama gue tapi emang itu perasaan gue. Gue nggak tau kenapa gue gue bisa sayang sama orang kayak lo…perasaan ini datang begitu saja tapi nggak bisa pergi. gue ngomong kayak gini bukannya gue mau minta lo jadi cowok gue. Gue hanya mau nyatain doank, supaya gue tenang nantinya. Gue tau lo nggak sayang sama gue jangankan sayang suka aja nggak kan???” jelas gue dengan air mata yang mulai terurai. Emang gini rasanya cinta bertepuk sebelah tangan. Pandu hanya bisa diam dan dia hanya bilang “Trus, mau lo apa?” gue diem, mikir, bingung, nggak tau apa mau gue setelah ini. “Mau gue… gue mau lupain lo. Dan gue harap setelah kejadian ini lo nggak berubah sikap sama gue. Hanya itu gue janji bakal lupain lo” perkataan gue itu. Janji gue itu nggak tau apa gue tepatin atau nggak… “Ok, gue bakal turutin mau lo. Gue minta maaf nggak bisa balas perasaan lo. Udah jangan nangis malu diliat orang” pinta Pandu buat gue. Seandainya saat itu gue bisa meluk dia…
Setelah kejadian itu dia emang nggak berubah…
Itu yang bikin gue sayang dia…
Malah bisa dibilang lebih baik…
KEJUJURAN
Perlahan-lahan matahari mulai menutup matanya. Warna lembayung yang menghiasi kota tampak sangat menawan. Terlihat di mana-mana lampu mulai menyala. Dari mulai lampu rumah, gedung, jalan, bahkan kendaraan sekalipun. Tak hanya itu, bakul mie ayam, bakso, gorengan selalu setia berkeliling bersama gerobaknya.
Tampak di depan pintu seorang laki-laki sedang asyik menghisap batang rokoknya sambil mengikat tali sepatu. Rojali panggilannya. Pria asli Jakarta ini kesehariannya kerja malam. Terlihat dari kupluk, jaket kulit, celana panjang, kaos kaki, dan sepatu yang dikenakannya. Tiba-tiba datang seorang wanita pendek berbadan gendut menagih uang kontrakan.
“Jali, gue mau nagih uang kontrakan bulan ini,” ujar mpok Mirna.
“Besok aja dah mpok, gua bayar. Lagian gak biasanya nagih waktu-waktu gini?” jawab Rojali.
“Tapi gue lagi butuh ni Jal, buat bayar uang sekolah anak gue,” ujar janda beranak satu itu.
“Ya elah mpok. Kapan gua pernah nunggak bayar uang kontrakan, kan kagak pernah. Besok dah gua bayar,” kata Rojali.
“Beneran!!!!!!!!!!!!! Besok ya?”
“Iye besok. Kagak percayaan amat sih. Bisa gua beli ni rumah kontrakan kalau gua mau,” bisik Rojali.
Mpok Mirna yang tadinya akan mneinggalkan Rojali, baru dua langkah tiba-tiba berhenti dan membalikkan badan.
“Iye mpok gua bayar………..!” Rojali kaget.
“Kagak, bukan itu. Tadi elu bilang mau beli ni rumah kontrakan? Kagak salh lo Jal? Barang aja lo kagak punya. Pakean aja kagak ade model-modelnya gitu. Mending elu jadi laki gue aja,” kata mpok Mirna merendahkan Rojali dan pergi. Rojali malah memberikan senyum.
Mpok Mirna bahkan tetangganya yang lain tidak tahu kalau rojali telah berkeluarga. Rojali tidak pernah sama sekali menyingung tentang dirinya. Oleh karena itu, banyak cewek yang bengong melihat Rojali. Walaupun dirinya sudah berkeluarga, wajahnya tetap tampan walau dipandang dari sisi manapun.
Rojali melihat jam di tangan kanannya yang menunjukkan pukul 18.30. Dia langsung bergegas menuju jalan besar yang tidak jauh dari rumah kontrakannya. Dia berdiri di kiri jalan menunggu omprengan lewat. Pria berbadan tinggi ini sesekali memalingkan wajahnya ke arah barat jalan. Tak lama kemudian angkutan biru kecil itu tiba juga.
Rojali masuk dan langsung menempati posisi belakang pintu. Saat dirinya masuk mobil, semua mata tertuju padanya. Tidak heran karena di dalam angkot yang punya nama aneh itu tidak terlihat wajah segar, badan wangi parfum, baju rapi, dan bersemangat terkecuali Rojali. Maklum sebagian besar penumpang baru pulang kerja.
“Kiri Bang,” ujar Rojali sambil memberikan dua lembar uang ribuan ke sopir angkot.
Akhirnya Rojali sampai di terminal Priok selama hampir 15 menit perjalanan dari daerahnya Werekas. Tempat bekerja bapak dua anak ini tidak jauh dari dia turun angkot. Dari terminal sudah terlihat tempatnya mencari uang. Namanya Pelabuhan Tanjung Priok. Rojali cukup menyebrang jalan saja.
Hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Angin laut membuat benda-benda disekitarnya menari-nari. Banyak juga makhluk yang menghangatkan diri di kedai kopi. Ada juga yang kesana kemari melaksanakan tugasnya. Ada yang sekedar beristirahat.
Rojali melangkah menuju mez. Sebelum mencari uang, tak lupa ia menemui kawan-kawannya terlebih dahulu. Di rumah kecil tempat para pekerja beristirahat, Rojali bertemu dengan dua orang temannya, Joko dan Robert.
“Mana yang laen? Kok cuma kalian bedua,” mata Rojali melihat kemana-mana.
“Pada kerja. Oya jal, tadi elu dicari sama Bos. Katanya mau dikasi pekerjaan,” ujar Robert kental dengan bahasa Jakartanya.
“Iya Jal, Gue juga pengen tu pekeraan, kan lumayan. Tapi Bos kagak mau ngasih gue. Maunya elu,” gerutu Joko.
“Mana mungkin ngasih elu. Elunya aja linglung alias lupaan,” kata robrt menyindir.
“Ah elu, bisanya mojokin gue……. Aja,” kata joko kesal.
Rojali tersenyum.
“Ya udah unggu apa lagi. Ntar job lu dikasi orang laen lagi,” kata Robert.
Tanpa pikir panjang Rojali pergi. Kantor yang jauhnya tujuh puluh meter itu dia tempuh dengan jalan kaki. Sesampainya di tempat Bos, Rojali dikasih pekerjaan memegang gaji pekerja yang jumlahnya cukup besar. Dia juga diberi pekerjaan menyalin dokumen-dokumen kantor.
“Makasih Bos ude percaya ama saya,” kata Rojali.
Si Bos cuma mengangguk tersenyum sambil menepuk pundak Rojali.
Beberapa kali Rojali mendapatkan pekerjaan seperti ini. Terkadang Rojali bekerja seperti orang bingung, menariki pajak dari setiap sopir truck. Tidak hanya sedikit truck yang dimintai uang pajak, tetapi banyak sekali. Karna itulah banyak orang yang bekerja seperti Rojali.
Lembaran-lembaran uang yang mereka dapatkan tergantung dari cuaca. Jika cuaca tidak baik maka jarang kapal yang berlayar mengangkut truck yang lebih sering dikenal dangan truck tronton. Dan sebaliknya.
Suara bising mesin-mesin di pelabuhan memekakan telinga. Tak terkecuali dengan kontainer-kontainer yang tidak habis-habisnya keluar dari kapal. Bosan rasa memandang. Begitu juga dengan asap kendaraan, rokok, dan gas lainnya yang bercampur menjadi satu gas tidak sehat bagi pernafasan. Semua itu yang selalu menemani pekerja pelabuhan bekerja setiap harinya.
* * * * *
Adzan subuh pun berkumandang. Kebetulan Rojali sudah selesai dengan pekerjaannya. Dia kembali ke mez untuk melaksanakan sholat subuh. Tak lupa ia mendoakan keluarganya agar selalu sehat. Rojali adalah salah satu orang yang beragama islam yang rajin beribadah. Jarang di tempat yang biasanya untuk judi itu ada yang seperti Rojali selalu ingat terhadap Tuhannya.
Rojali berkumpul dengan teman-temannya. Mereka menghitung lembar demi lembar uang yang didapat. Alhamdulillah hasil yang mereka dapatkan lumayan banyak. Jika ada seseorang yang mendapatkan sedikit hasil kerjanya, Rojali dan kawan-kawannya membagikan hasil. Asas berbagi berlaku untuk mereka.
Sigit, Joko dan Muji sejak malam tidak ada lelahnya berhenti mencari uang. Mereka mengejar target mumpung lagi banyak truck. Banyak kontainer maka banyak pula uang. Semboyan itu yang biasa mereka gunakan.
“Bet, S.J.M kemana? Kok dari tadi malem gua kagak ngeliat.” Ujar Rojali.
“Kagak tau tu, dari kemaren disuruh leren kagak mau, katanya si mumpung lagi banyak,” kata Robert.
“Lu mau pulang bareng gua apa kagak? Apa elu mau ngelanjutin kerja kayak mereka-mereka?” ujar Rojali sambil menunjuk orang yang sedang mengurusi kendaraan raksasa itu.
“Gue mau pulang, tapi entaran siang deh. Masih pagi nih….! Ngomong-ngomong tiga hari lagi kan idul fitri, kapan elu pulang ke kampung? Kasihan istri dan anak elu.”
“Ntar sore gua pulang. Abis bayar uang kontrakan. Ya udah gua balik ya…….!!!” Rojali ngeloyor pergi.
Rojali kembali ke terminal Priok. Dilihatnya beberapa angkot berjajar rapi menunggu penumpang. Hanya satu angkot yang jurusannya ke Werekas. Tak lama kemudian angkot pun berangkat. Ini malah kebalikannya dari dia berangkat kerja. Rojali kelihatan kumel sendiri.
Mata Rojali sayup-sayup kantuk. Lambungnya yang kosong mengeluarkan suara. Begitu juga dengan badannya bergetar. Semua itu karena Rojali lapar. Tubuhnya bau asap kendaraan. Semalaman bekerja membuat kondisi jasmani Rojali tak karuan.
Sampai di depan rumah, Rojali merogoh kantong di mana dia menyimpan kunci kontrakannya. Baru memegang ganggang pintu tiba-tiba mpok Mirna memanggilnya sangat keras. Suaranya membuat sepeda yang disenderkan di pagar roboh.
“Jali………………………….!” Teriak mpok Gendut.
“Ape si mpok………..??? Masih pagi teriak-teriak,” tanya Rojali lupa dengan janjinya.
“Janji elu, katanya ni pagi elu mau bayar.”
“Oh itu….. Sory mpok gua lupa. Nih tigaratus rebu,” memberikan tiga lembar uang itu ke mpok Mirna.
“Ngomong-ngomong pagi ini lu lagi dapet duit banyak ni,” kata si mpok sambil mendekati Rojali. Matanya ijo.
“Ape lagi si mpok?” tanya Rojali.
“Kagak. Tambahin ni, kurang,” kata mpok Mirna tergiur.
“Ah ude-ude, biasanye aja segitu,” Rojali masuk ke dalam rumah.
“Pelit lu Jal. Besok gue naikin ni rumah kontrakan.”
“Terserah…………….” Sahut Rojali.
Ruangan yang pertama diuju Rojali adalah kamar mandi. Setelah membersihkan badan, Rojali membereskan pakaiannya yang akan dibawa mudik. Mumpung masih pagi Rojali ke warung Bu Watik yang keletan tiga rumah dari kontrakannya untuk beli nasi uduk. Setelah makan, dia istirahat untuk memulihakn tenaganya kembali.
Kring………….Kring………Kring. Jam weker berbunyi nyaring sekali. Jam kesayangan Rojali menunjukan pukul dua siang. Cukup lama dia tidur. Dia bangun dan langsung memeriksa barang yang akan dibawanya mudik. Takut ketinggalan kereta, Rojali cepat-cepat menuju stasiun Senen yang tidak terlalu jauh dari daerahnya. Sebelum itu dia berpamitan dulu dengan yang punya kontrakan dan tetangganya sekitar.
Di jalan tak pernah matanya menoleh selain ke foto istri dan kedua anaknya. Sesekali dia memeluk foto yang diambil lima bulan yang lalu sambil tersenyum. Hatinya berdebar-debar ingin cepat bertemu. Tak lupa ia membawa bingkisan untuk sanak saudara di kampung. Lebaran yang jatuh dibulan November ini membawa berkah di hidupnya.
Selang enam bulan kemudian kehidupannya berubah. Berkat doa yang selalu dia panjatkan, keinginannya terkabul juga. Dia diberi pekerjaan oleh si Bos di kantor. Meskipun masih bekerja malam toh pekerjaannya tetap. Dia tidak harus berjalan kesana kemari menariki uang pajak. Semua itu berkat kejujurannya.
Tidak cuma itu, Rojali membeli rumah yang dulu ia kontrakin yaitu rumah kontrakannnya mpok Mirna. Dia memboyong keluarga ke rumah barunya itu. Meskipun mpok Mirna dan tetangganya sekitar terkejut kalau Rojali yang selama ini diknalnya masih single ternyata sudah punya istri malah punya dua anak juga. Kepribadiannya yang tertutup membuat orang tidak banyak tahu tentang diri Rojali. Itulah Rojali, seorang laki-laki asli Jakarta yang jujur meski tertutup bagi orang lain.
Malam Kemenangan
“Yah, bagi duitnya donk!”.
“Huss…siapa yang ngajarin kamu ngomong nggak sopan gitu? Ulangi lagi!” ujar ayah cuek, tanpa menoleh sedikit pun dari Koran yang dibacanya sore itu.
“Upsss… sorry yah, ya dech Dewi ulangin lagi, ayahku sayang,
Dewi minta dananya donk!” ulang Dewi dengan mimik muka semanis mungkin, berharap semoga dengan ini hati ayahnya bakal terketuk dan segera mengucurkan dana buat nonton konsernya Nidji.
“Buat apa sih Wi? Kan uang bulanan kemaren baru dikasih Ibu minggu kemarin masa sudah habis sih Wi?” jawab Ayah masih cuek.
“Ya masih ada sich yah, tapi kan ini uangnya lain yah, bukan untuk urusan sekolah. Dewi minta dana buat nonton konser Nidji bareng-bareng ama temen-temen Dewi,” jelas Dewi panjang lebar dengan mata berbinar-binar.
Kali ini Ayah tersentak kaget, pandangannya langsung mengarah tajam pada Dewi, Dewi masih berbinar-binar demi mendengar jawaban dari Ayah.
“Nidji apa itu Wi?”.
“Aduh, ayah pake nggak tau segala, itu loh yah yang lagunya bagus-bagus, yang sering Dewi nyanyiin itu, ayah kan juga suka”.
“O…Nidji, yang vokalisnya rambutnya kribo itu, yang kalo nyanyi kayak kesetrum itu?. Halah, jelek gitu kok mau ditonton Wi, jelek gitu”.
“Wah…ayah nggak asyik” Dewi langsung pergi meninggalkan ayahnya yang masih asyik sama korannya, Dewi pergi dengan bibir mayun.
“Dewi!” panggil Ayah, kembali membuat hati Dewi berbunga-bunga.
“Mending, kamu bikin acara buat santunan anak yatim atau apa gitu. Bentar lagi kan ada peringatan Isra’ Mi’raj” terang ayah langsung bikin jantung Dewi lemes. Gila, baru aja terbang tinggi langsung main jatuhin gitu aja.
“Uh, capek dech” sambung Dewi ngikutin gayanya aming di Extravaganza.
Meski proporsal lisannya udah ditolak mentah-mentah sama ayahnya, Dewi nggak patah semangat. Malam ini agendanya dia mau merayu Ibu yang terkenal diantara rumah yang paling nggak tegaan. Dewi yakin banget misi kemanusiaan buatan dirinya sendiri bakal terealisasi.
Phiuuuhhhhhhh, ia menghembuskan nafas kuat-kuat untuk menambah keberaniaannya menghadapi sang ibu. Sebenarnya dia yakin banget kalau dia bakal diinterogasi habis-habisan. Tapi demi rasa yang menguasai segalanya dia kuatkan hati, Amar ma’ruf nahi munkar (halah…halah).
“Mi…Dewi mau ngomong nih. Boleh nggak, bu?” Dewi ragu-ragu.
“Ngomong aja Wi, pake minta ijin segala?” jawab ibunya sambil terus sibuk ngitungin laba pakai kalkulator.
“Gini bu, khan tadi Dewi diajakin temen-temen Dewi pergi nonton konsernya Nidji. Trus, Dewi mau minta dana ama ibu, seratus ribu aja dech bu. Boleh ya bu. Ibu paling nggak tegaan kalau ngeliat orang sengsara. Dewi pun tetap semangat 100%.
“Konser, ya ampun Wi. Kamu kan anak perempuan, pakai jilbab lagi. masa mau nonton konser. Disitu kan banyak orang, ih ibu nggak bisa ngebayangin, kamu diantara orang-orang sebanyak itu. Apalagi kan banyak anak cowoknya. Kalau ada keributan atau kecopetan gimana? Ah, nggak usah nonton begituan dech!” Ibu khawatir.
“Ibu apa-apaan sich? Porno banget! Lagian kan ibu belum pernah liat yang kayak gituan, main su’udzon segala” Dewi sewot.
“Kan diberita-berita banyak kayak begituan. Rusuh saat konser berlangsung. Ibu bukannya su’udzon, ibu Cuma ngasih tau aja. Mending duitnya buat ngadain acara santunan anak yatim piatu. Gimana? Briliant idea kan?” nasehat Ibu sambil sok British.
“Wah, ibu dimintai uang malah ngasih saran acara kayak gituan, capek dech!” Dewi nge-replay kayak yang tadi dikatakan ama Ayah.
“Ih, nich anak dibilangin malah…kebanyakan nonton Extravaganza. Heran dech!” ibu ikut-ikutan.
Secepat kilat Dewi menekuk mukanya gitu… kayak kertas dilipet-lipet. Plus, Dewi berdiri dari tempat duduk, langsung meninggalkan Ibu. Dewi langsung menuju kamarnya dan…….GUBRAAAKKK, dengan kuat dia banting kuat-kuat pintu kamarnya, Dewi jengkel.
“Uuuuhhh…norak-norak. Ayah Ibu nyebelin. Pasti mereka udah sepakat manolak rencanaku. Aduh, apa kata Rini, Ange, Risthy ma Doni kalau aku sampe nggak jadi ikutan. Pasti mereka bakal ngeledek aku, masa anak Pak Yuli seorang pengusaha ternama itu nggak ngasih duit ke anak tersayangnya. Ihh…males banget dech.
Lama Dewi terdiam, tiba-tiba seulas senyum mengembang dari bibir tipisnya. Segera dia mengobrak-abrik lemarinya. Setelah menemukan sesuatu yang diambilnya, dia langsung tersenyum puas.
*****
“Wi, gimana, kamu tetep nonton konser?” tanya seorang temen cowok Dewi yang lebih dari lumayan.
“Ya iyalag yu, rugi banget kalau nggak nonton. Nidji gitu loh!” ujar Dewi berapi-api.
“Tapi kan Wi, Bokap-Nyokapmu nggak ngasih izin apalagi dana. Terus kamu dapat uang dari mana, jangan nyolong yah!”.
Sambil menempeleng pelan kepala Bayu, Dewi menjawab “Enak aja!. Aku juga masih punya uang, Bapak-Emaknya haji anaknya nyolong. Nggak bonafid banget dech”.
“Terus kamu dapet uang darimana?” tukas Bayu penasaran.
“Dari duit tabunganku lah, eh buruan anterin aku beli tiketnya, kelamaan bisa kehabisan entar”.
Di tengah jalan mereka ke tempat tujuan mereka sempet ngeliat seorang ibu buta dengan seorang anak kecil yang menuntun lengannya. Bayu yang disamping Dewi cuek aja ngeliat yang kayak begituan, tapi beda dengan Dewi. Tiba-tiba naluri keanak hajiannya muncul (ceilee…). Dewi langsung menghentikan langkah dan mundur dan mendekati ibu buta dan anaknya itu. Pikirannya langsung berputar kebeberapa hari yang lalu. Waktu Ibu menasehatinya kalau lebih baik ngadain acara buat santunan anak yatim piatu. Bantar lagi kan ada peringatan Isra’ Mi’raj. Nah, ini bisa jadi momen bagus buat kamu berbuat yang bermanfaat lagi diridhoi sama Allah. Daripada nonton konser yang nggak jelas begitu.
Tiba-tiba saja Dewi langsung mendekati Ibu dan anaknya. Dari dekat mereka kelihatan kelaparan. Si Ibu yang hanya memakai pakaian kumal dan memegangi tongkat kayu sebagai penuntun sepertinya diambil asal-asalan dari jalan. Sedangkan anaknya juga memakai pakaian yang tak kalah lusuh. Anak itu memegangi perutnya menahan lapar yang mendera-dera lambungnya. Bayu yang melihatnya Cuma geleng-geleng kepala nggak paham.
“Dek, kamu lapar ya?” sambil dengan muka memelas.
Cuma anggukan pelan yang dia terima dan cukup menjadi jawaban buat Dewi. Iba hatinya melihat realita di depan matanya. Tapi seketika mukanya kembali cerah dan selanjutnya tanpa ragu-ragu Dewi langsung membuka dompetnya dan mengeluarkan uang lembar seratus ribunya yang direncanakannya itu. Dengan tenang, ia sodorkan uang itu.
“Dek, ini kakak ada uang. Adek ambil aja ya buat makan ama Ibu” tutur Dewi pelan dengan segenap kelembutan hati.
Malam ini dia berhasil menitipkan kebahagiaan kepada insan-Nya. Meskipun dia tidak jadi nonton dan nyanyi bareng Nidji dia nggak sedih, toh sebenarnya dia bernyanyi. Nyanyian kemenangan dimalam Isra’ Mi’raj. Nyanyian indah berimbalan surga.
PERSAHABATAN YANG ABADI
Hai! Aku Diana.
Aku anak SMA 78
Jakarta. Aku mempunyai dua orang sahabat. Dona dan Bimo. Mereka adalah sahabatku sejak kecil. Mungkin karena rumah kami bersebelahan. Jadi sejak kecil kami sudah bersama-sama. Kami selalu bersama-sama dalam suka maupun duka.
Dari pintu terdengar suara orang mengetuk pintu.
“Tok-tok.”
“Ya sebentar!” ibu membukakan pintu.
“Pagi Tante!. Diana mana Tante?” Bimo menyapa ibuku.
“Oh kalian, ayo masuk!. Biasa, Diana masih tidur, susah sekali dibangunin. Padahal sudah siang. Coba sana dibangunin barangkali nanti Diana langsung bangun.”
“Ok Tante, kami masuk dulu ya Tan” Dona dan Bimo naik menuju kamarku.
“Heh, Diana bangun! Sudah siang tau. Apa kamu nggak sekolah. Kamu yu ya, kebiasaan dech bengun kesiangan. Dasar cewek males” Bimo mencoba membangunkanku.
“Diana ayo cepat bangun. Kita harus cepat pergi sekolah nanti terlambat.”
“Ahh kalian ini, aku kan masih ngantuk.” Aku mencoba membuka mata.
“Eh cewek pemales. Ini udah jam 7 tau.”
“Apa katamu, udah jam 7. Aduh gimana nich?.”
“Kau ini selalu aja begini.”
“Diam kau, dasar cerewet. Cepet sana kalian pergi aku mau mandi!” Aku mendorong Bimo dan Dona keluar dari kamarku. Aku cepet-cepet mandi dan siap-siap untuk pergi sekolah.
“Ibu aku berangkat!.”
“Nggak makan dulu sayang?. Sarapan dulu entar kamu lapar lho.”
“Nggak Bu. Bimo dan Dona udah nunggu lama. Lagipula ini udah kesiangan entar malah terlambat. Doa Ibu…!” Aku salaman dan mencium tangan Ibu.
“Hati-hati di jalan sayang!.”
“Ok Bu!.”
“Ayo berangkat…!.”
“Dasar kau ini. Awas ya kalau besok sampai terlambat bangun lagi, gue tinggal…!” Bimo menasehatiku.
“Ok Bos. Aku nggak akan bangun terlambat lagi, mudah-mudahan.”
“Kau ini Diana, selalu aja bersemangat.” Dona melihatku sambil tersenyum.
Mereka adalah sahabat yang selalu ada disaat kami saling membutuhkan, kami selalu berangkat sekolah bersama-sama. Bahkan satu sepeda buat boncengan bertiga. Biasanya yang ngayuh sepeda Bimo, aku berdiri di tengah, dan Dona di belakang. Sebenarnya aku kasihan sama Bimo karena harus ngayuh sendirian dan boncengin aku ama Dona. Tapi semua ini udah kesepakatan.
“Ayo, cepet bentar lagi bel masuk.” Aku memberi semangat Bimo.
“Iya, ya…ini juga udah usaha tau. Kau ini bisanya cuma ngomong aja.”
“Kau ini, gue ngasih semangat malah lo uring-uringan.”
“Eh…kalian jangan berantem terus. Aku nggak mau kalian berantem. Bimo jangan kenceng-kenceng, aku takut, entar kalau jatuh gimana.” Dona terlihat pucat karena takut. Dona orangnya memang penakut dan pendiam. Dia juga sedikit pemalu.
“Udah tenang aja, nggak akan kenapa-napa kok. Aku pasti akan nganter kalian sampai di sekolah dengan selamat…!” tukas Bimo.
“Cit…cit…cit…” Suara rem sepeda.
“Akhirnya sampai juga, kakiku udah mulai pegal-pegal nich.” Aku turun dari sepeda.
“Hah…hah…hah…! Ternyata kalian semakin lama semakin berat ya, apalagi kau Diana, makin gede makin gemuk. He…he…!.”
“Apa katamu?” Aku menjitak kepala Bimo.
“Aduh…sakit tau.”
“Makanya nggak usah ngeledek aku!.”
Aku sama Bimo memang sering berantem. Kami selalu adu mulut. Kami memang seperti Tom and Jerry yang nggak bisa akur. Tapi terkadang kami juga bisa akrab.
“Udah ayo kita cepet-cepet masuk ke kelas! Entar keburu bel berbunyi.” Diana mengajak masuk ke kelas.
Kami masuk ke kelas tepat bel berbunyi. Aku sekelas dengan Bimo. Kami di kelas 2A, sedangkan Dona di kelas 2C. jam 07.30 WIB. Kami mulai belajar. Hari ini adalah hari yang membosankan. Semua pelajaran hari ini membuatku bosan dan ngantuk.
Akhirnya waktu istirahat tiba. Tiba-tiba di depan pintu aku melihat Dona masuk ke kelasku.
“Diana, ayo kita ke kantin! Aku haus nich.”
“Ok aku juga udah lapar, tadi pagi aku belum sarapan.”
“Bimo, kamu nggak ikut ke kantin?” Dona mengajak Bimo ke kantin.
“Nggak ah, aku mau ke perpustakaan mau cari buku, entar aku nyusul.”
“Tumben, sejak kapan lo suka pergi ke perpus?. Nggak salah tuh.” Aku ngledek Bimo.
“Kurang ajar lo, gue itu nggak kayak lo tau, yang cuma bisa makan aja. Udah sono lo ke kantin aja, gue buru-buru nich, entar keburu bel masuk.”
Aku dan Dona pergi ke kentin untuk mengisi perut yang lapar. Kami selalu pergi bersama ke kantin. Kami memang udah nggak bisa dipisahin.
*****
Bel berbunyi, tepat pada jam 15.00 WIB. Akhirnya kami pulang setelah seharian belajar di sekolah.
“Ayo, kita pulang!” Bimo ngajak pulang.
“Eh kalian duluan aja dulu. Masih ada yang aku lakuin dulu, entar aku nyusul.”
Aku pergi ke ruangannya bu Sisil. Biasa beliau selalu ngasih tugas matematika. Tahu sendiri kan nilai ulangan matematikaku selalu jelek.
“Bi…Bimo ada yang pengen aku omongin.” Dona terlihat gugup sekali.
“Mau ngomong apa?. Kok kayaknya kamu gugup sekali.”
“Tapi kamu jangan marah ya.”
“Kamu tu aneh, emangnya kamu ngomong apaan sich?. Jangan bikin aku penasaran donk.”
“Gini, sebenernya aku suka sama kamu.”
“Apa?” Bimo terkejut mendengar ucapan Dona.
“Maaf kalau aku udah lancing, tapi perasaan ini nggak bisa aku pendam lama-lama. Aku suka sama kamu sudah sejak lama, sejak kita SMP. Aku suka sama kamu karena kamu orangnya dewasa. Kamu juga punya rasa kasih sayang.”
“Tapi Don! Kita tu udah lama sahabatan. Aku nggak mau persahabatan kita hancur cuma gara-gara cinta. Aku sayang kalian berdua, kau dan Diana. Tapi itu tidak lebih dari sahabat. Kalian sudah aku anggap seperti adikku sendiri, kita satu keluarga. Makasih kamu udah sayang ma aku, makasaih juga kamu udah berani nyatain suka ma aku. Aku nggak nyangka kamu berani ngomongin itu. Jadi mendingan kita sahabatan aja untuk selamanya daripada kita pacaran hanya untuk sesaat. OK. Kamu nggak marah kan?. Lagipula kita harus menjaga perasaan Diana.”
“Aku mengerti, seharusnya aku nggak ngomong kayak gitu, maaf ya! Memang seharusnya kita sahabatan aja.” Terlihat dari arah pintu gerbang Diana memanggil.
“Hooiii! Kalian udah lama ya nungguin aku.”
“Kamu tu kemana aja sich? Kita udah lama nich nunggunya, ampe kering tau!” Bimo sedikit marah.
“Sorry…sorry…. Gitu aja marah, senyum donk!. Iya nggak Don…?”.
“I…Iya…” Dona tersenyum.
“Ya udah ayo kita pulang!”
Kita akan selamanya bersama sampai maut memisahkan kita. Apapun yang terjadi.
Ikatan Persaudaraan
Didha benar-benar tak mengerti apa yang harus dia lakukan. Dia gak tau harus bersyukur atau bersedih mempunyai kakak Sheila, namanya. Didha dan Sheila adalah kakak beradik. Mereka berdua dilahirkan oleh ibunya. Keluarganya bisa dibilang keluarga mampu. Ayahnya bekerja sebagai wiraswasta yaitu mendirikan sebuah butik yang cukup terkenal di Jogya. Didha dan Sheila sepasang kakak beradik yang terpaut umur sekitar 4 tahun. Keduanya begitu cere akan tetapi juga seperti kucing dan anjing. Mereka sering kali bercekcok akan tetapi pertengkaran itu munkin menjadi kasih sayang antara keduanya. Didha sekarang duduk disebuah sekolah SMA ternama di Jogja dan kakaknya seorang mahasiswi disalah satu universitas swasta.
Sore itu Didha sedang menyetrika pakaiannya. Tiba-tiba dia terkejut ketika muka kakaknya sudah ada dihadapannya. Maklum Didha hanya ada di rumah sendirian. Pikirannya sering sekali membayangkan yang tidak-tidak.
“Ngapain sich lo kak??? Ngaget-ngagetin aku aja!” ucap Didha setengah marah pada kakaknya.
“Idih…!!! Gitu aja kaget?!! Dek bikinin minum dhong…! Aku aus nih?” Sheila dengan sekuat tenaga merayu Didha.
“Lo pikir aku babu kamu!!! Bikin aja sendiri!!!”.
Sheila menghela nafas dengan kuat. Pupuslah harapannya untuk minum tanpa ia membuat sendiri. Ia bergegas ke dapur untuk membuat minuman. Selesai minum dia bergegas ke kamarnya untuk ganti pakaian. Menuju kamar dia pasti nglewatin adiknya dan seperti biasanya dia tidak melewatkan moment itu untuk menggoda adiknya.
“Cantik-cantik kok malesan??”.
“Apa kamu bilang…?”.
Didha menginginkan Sheila mempertegas kata-katanya kepada dia. Akan tetapi Sheila segera lari ke lantai atas menuju kamarnya. Baju yang dikenakan Sheila sudah ia tanggalkan. Tiba-tiba perutnya berbunyi.
“Wah perutku keroncongan.”
Tanpa pikir panjang Sheila kembali turun dari singgasana kamarnya. Dia dengan langkah pasti tanpa henti menuju ke dapur. Di tengah perjalanan, Didha pun tidak luput oleh lantaran pertanyaannya Sheila.
“Mama masak apa Dha?”
“Wah, aku juga kurang tahu!”
Tanpa berkata lagi Sheila segera pergi ke dapur mengambil makanan dan menyantapnya dengan penuh semangat. Selesai Didha menyetrika, dia juga mengikuti jejak kakaknya untuk pergi ke dapur.
“Ngapain kamu ke sini?”
“Ya mau makanlah! Masak aku mau nyuci!?!.”
“Sapa tau kamu amnesia! Terus kamu nyuci di dapur deh?!” Sheila membalas perkataan adiknya seakan tidak mau kalah dengan kata-kata Didha. Sesudah Didha mengambil makanan, dia segera duduk disamping kakaknya seakan menemani kakaknya yang telah makan duluan. Sembari mereka makan, mereka selalu bercakap-cakap. Itulah sebabnya jika mereka makan pasti waktunya lama.
“Kak, ngapain ne tumben amat jam 01.30 udah nyampe rumah?.”
“Iya nih! Tadi ada kelas yang kosong!”
“Lho kok bisa??” tanya Didha dengan rasa seribu keingintahuannya.
“Aku juga gak begitu tau! Yang jelas tadi ada dosen yang absen!.”
“O…gitu to!!!” jawab Didha yang telah jelas mendengar jawaban kakaknya itu.
“Kamu sendiri ngapain Dha…? Tumen-tumben amat jam segini nyetrika?!.”
“Ya nih! Ntar kan sekolahku ada ekskul pramuka! Jadi terpaksa deh aku nyetrika baju. Soalnya kemarin aku lupa belum nyetrika baju pramukaku.” Papar Didha menjelaskan panjang lebar.
Setelah keduanya selesai makan Sheila mencuci peralatan makan yang telah dipakai oleh keduanya. Sheila memang begitu sayang sama Didha. Dia tahu kalau adiknya akan ada ekskul di sekolahnya sore ini. Oleh karena itu dia menyuruh adiknya untuk segera pergi ke sekolah. Itulah Sheila meskipun dari luar tampaknya biasa aja tetapi kedisiplinannya begitu tinggi.
Selesai mandi dan dandan, Didha siap untuk berangkat sekolah. Rambutnya yang hitam lurus telah tersisir dengan rapi. Aura wajahnya terlihat lebih bercahaya. Dia juga telah menyiapkan sepedanya untuk berangkat sekolah. Maklum jarak antara rumah dan sekolahnya hanya 3 km. Dia memang bisa dibilang anak orang kaya akan tetapi dia tidak pernah menyombongkan kekayaannya itu. Dia juga tidak menggunakan motor untuk pergi ke sekolah. Menurut Didha naik sepeda lebih asyik dan juga dia bisa lebih hemat. Kedua orang tuanya merasa sangat beruntung sekali mempunyai dua anak, Sheila dan Didha. Sebelum Didha berangkat ia tak lupa berpamitan pada Sheila. Meskipun mereka saling bercekcok akan tetapi Didha tetap menghormati Sheila sebagai kakaknya dan Sheila juga sangat menyayangi Didha.
“Kak, aku berangkat dulu ya?!.”
“O…dah mau berangkat! Ada yang kelupaan gak?”
“Kayaknya sih gak! Udah beres semuanya kok” jelas Didha.
“Ya udah, hati-hati ya!!” pesan Sheila pada adiknya.
Sesuai dengan kebiasaannya, Didha masih saja ingin bercanda dengan kakaknya. Seusai pamitan Didha tak kunjung pergi dari hadapan Sheila.
“Lho?!! Tunggu apa lagi?? Sana berangkat!!”
“Sakunya mana?” tanya Didha pada kakaknya.
“O…gampang! Tadi udah tak kasih saku dengan sebuah doa kok!” jawab Sheila dengan senyum simpulnya.
“Dasar pelit!!!.”
“Walaupun pelit, kamu tetep sayang kan?.”
“Hehe…!.”
Pertanyaan itu hanya simple tetapi Didha cukup kesulitan menjawab lontaran pertanyaan itu. Didha segera meninggalkan rumah menuju sekolahnya.
Di tengah perjalanan, dia bertemu dengan sahabat-sahabatnya, Imas, Ardi dan Suci.
“Hai Dha!” sapa Imas dari kejauhan.
“Eh, hai juga! Kalian mau berangkat to?” jawab Imas dan tanya Didha kembali pada ketiganya.
“Iya nih!” jawab Suci.
“Tumben kok berangkatnya jam segini?” tanya Didha.
“Iya e, tadi nunggu Ardi mandi lama banget!” jelas Imas.
“Maaf! Soale aku tadi ketiduran jadi mandinya telat!” jawab Ardi.
Dalam perjalanan mereka berempat saling bercakap-cakap. Mereka bersepeda bersejajar dua-dua. Hal itu tidak begitu masalah mereka lakukan karena sekolah mereka bukan di pusat kota sehingga jalannya tidak begitu ramai. Sesampainya di sekolah mereka masih mempunyai waktu 10 menit untuk beristirahat karena jam masuknya pukul 15.00 dan sekarang baru pukul 14.50.
Untuk mengisi waktu senggang tersebut mereka pergunakan waktu jajan. Didha merasa terkejut ketika membuka dompetnya.
“Hah…!!!” dengan muka terkejut dia melihat dompetnya.
“Ada apa Dha??” tanya Imas dengan rasa penasaran.
“Uang 50 ribuku gak ada!” jawab Didha.
“Kamu yakin gak lupa naruh?” tanya Ardi.
“Gak, tadi perasaan aku taruh di dompet!”.
“Ya udah, entar pulang ekskul kita telusuri di jalan aja!” jawab Suci.
“Ya, mungkin jatuh atau bahkan mungkin kamu lupa naruh!” tambah Imas mencoba menenangkan hati Didha.
“Semoga aja begitu!!!.”
Didha pun mengikuti ekskul sampai selesai. Didha tidak bisa menyembunyikan perasaan sedihnya karena uang itu ingin dipakai olehnya untuk bayar buku. Kesedihannya bertambah saat ia mencoba mencarinya di jalan-jalan tetapi tidak menemukan. Sesampai di rumah dia bertemu dengan kakaknya.
“Napa lo?? Pulang-pulang kok mukanya dilipet-lipet!” tanya Sheila.
“Ah gak apa-apa!” dengan lemah dia menjawab dan ia pun meninggalkan Sheila.
“Hehe…!” Sheila mendekati Didha sambil tersenyum.
“Ngapain sih? Cengar-cengir gak jelas!” tanya Didha dengan sebel.
“Didha!!! Didha cantik deh?!!” goda Sheila.
“Didha…” panggil Sheila lagi. “Aku mau ngomong nih!!!”.
“Ngomong ya ngomong!” jawab Didha sambil sedikit memaksakan senyumnya.
“Didha…maaf ya! Kayaknya tadi aku nemu uang 50 ribumu! Tapi udah saya pake 10 ribu e!.”
“Apa…?” Didha benar-benar terkejut.
“Besok aku ganti deh! Aku janji!” kata Sheila.
“Ya ya…aku percaya kok kak!” jawab Didha.
“Kamu gak marah sama aku po?” tanya Sheila penasaran.
“Ngapain aku marah! Aku justru bersyukur karena uangku tidak hilang. Terima kasih ya kak, kamu sudah nemuin uangku” kata Didha.
Keduanya saling senyum satu sama lain. Memang hubungan saudara memang tidak bisa dipisahkan. Sebesar apapun kesalahan pasti akan saling memaafkan juga. Meskipun Sheila dan Didha sering sekali bercekcok akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa keduanya saling menyayangi satu sama lain.
Ternyata Pacarku Punya Gebetan
“Dasar penipu…brengsek!” Bibir Meta bergetar. Menahan emosinya ketika Ifan mendaratkan tubuh di kursi yang ada dihadapannya.
“Met, Meta….”
“Udah. Gue nggak sudi ngliat tampang lo lagi! Jijik, tau!” suara Meta terdengar keras seperti nada lagu naik dua oktaf. Dia terlihat marah.
“Meta, dengar….”
“Stop, Shut up! Diam kamu.”
Ifan tertegun, kaget dan kehilangan hak berbicara. Dia memperhatikan Meta. Ia tak percaya mata Meta yang semula begitu sejuk kini membuat Ifan gundah tak karuan.
Meta duduk, menyandarkan tubuhnya dikursi dengan lemas. Tertunduk, mematung dan menangis tersedu-sedu.
Ifan merasa risih dan mengulurkan tangannya. Memegang bahu Meta. Bermaksud menenangkan Meta. Tapi Meta langsung menepis tangan Ifan dengan tegas.
“Gue benci elo Fan. Gue benciii!!.”
Ifan tertegun, hanya pasrah mendengar ucapan Meta. Meta yang kenal ia sabar, pendiam dan hanya bicara seperlunya saja kini berubah menjadi bingas. Membuat Ifan bertanya-tanya.
“Meta,” ujar Ifan hati-hati. “Ada apa sebenarnya?. Elo nyuruh gue datang kesini apa Cuma buat elo marahin tanpa gue jelas alasannya?.”
Meta mengeluarkan selembar foto Ifan yang terselip di halaman majalah yang Meta bawa. Kemudian disodorkan kepada Ifan. Ifan tetap masih bingung apa yang dimaksud oleh Meta.
“Kenapa dengan foto ini, Ta?.”
“Malah nanya!” ketus Meta.
“Nggak usah berkelit, pura-pura nggak tau deh. Foto itu gue dapat dari TiTi, dan kenapa dia bisa punya foto kamu Fan? Kenapa?.”
Ifan terkejut, kaget dan bimbang. Tapi mencoba meredakannya. Ifan tersenyum kepada Meta.
"Ta, please…ini nggak seperti yang elo bayangin.”
“Titik yang bilang sendiri ke gue Fan?.”
“Mangatakan apa Met?” Ifan mengerutkan keningnya.
“Masih bisa berpura-pura? Wah? Gue makin nggak ngerti sama kamu. Ya, sudahlah Fan.”
“Met, Meta…Meta…tunggu Met!!! Ah bangsat!!!.”
Meta tak menghiraukan Ifan. Ia bangkit dan berlari ke dalam. Meninggalkan Ifan yang tampak bingung dengan satu bantingan pintu yang terdengar sangat keras. BRAKKKK!!!!
***** ***** *****
“Kamu sadar nggak sih Tik? Kamu mengacaukan hubungan gue ama Meta. Lo reseh banget, sih. Otak lo kemana?” ujar Ifan ketika menemui Titik di depan kelasnya.
“Gue nggak bermaksud seburuk itu, Fan” desah Titik.
“Kenyataannya Meta ngambek dan ngebenci gue. Tadi pagi gue jemput dia ke rumahnya. Tapi dia milih dianterin ama kakaknya.”
“Fan…” Titik menundukkan kepalanya.
“Lo kenapa Tik? Nekat bertindak kayak gini?.”
“Gue nggak bisa bohong sama perasaan gue selama ini ke kamu.”
“Lo tau kan Fan gue suka sama elo, gimana?.”
Ifan menghembuskan nafasnya dengan panjang.
“Gue ngerti perasaan lo ke aku selama ini. Ini berat buat kita. Gue juga sayang sama elo Tik” tatapan Ifan sangat berharap pada Titik.
“Ifan, lambat laun pasti Meta mengetahui hubungan kita.”
“Itu betul Tik.”
“Ifan. Demi Tuhan gue selalu ngejaga rahasia kita. Tapi kemarin aku lagi apes aja. Buku diaryku tertinggal di laci dan yang nemuin buku itu Meta. Dan Meta pasti membaca diary ku, Fan.”
“Oh, ceroboh! Gue kan udah pernah bilang ke elo, jangan bawa buku diary ke sekolah. Ya, ampun….”
“Iya-iya gue tau gue salah” sahut Titik. “Paginya gue nggak berkutik Fan. Lo tau kan semua kenangan kita tertulis di diary itu. Dan Meta pasti membacanya. Lancang sekali dia nggak menghargai privacy gue. Tapi, gue pengen marah juga nggak bisa, Fan.”
“Pantas saja Meta ngamuk sama gue.” Ifan menghela nafas panjang.
“Fan, sori….”
“Terus lo bilang apa ke dia?”
“Gue terpaksa cerita semuanya, Fan.”
“Titik, sayang, seharusnya lo bisa ngarang-ngarang cerita kan….”
“Ah, Fan, lo gila? Gue udah nggak bisa ngelak dari semua hal di diary itu benar, itu kenyataan, Fan.”
Ifan terlihat lemas dan menatap Titik dengan perasaan semrawut.
“Fan,” ujar Titik pelan berbisik. Diulurkan tangannya, menggenggam tangan Ifan yang tergeletak diatas meja dan menatap mata Ifan dengan tajam penuh harapan. “Fan, gue sayang sama lo. Lo sayang juga kan sama gue? Ya kan, Fan?. Elo nggak akan tinggalin gue kan?. Elo tetep milih gue kan?.”
Ifan tersenyum kecut dan mengangguk perlahan.
“Tentu saja, Tik” ifan mengeluh, senyumnya pun lepas. “Lantas rencana elo selanjutnya apa, Fan?.”
“Gue nggak akan nutup-nutupin hubungan kita. Dan gue akan milih elo. Gue akan putusin hubungan gue sama Meta. Hubungan gue sama Meta sepatutnya diakhiri.”
“Gue percaya sama elo, Fan” Titik tersenyum.
Ifan mengangguk. Dalam hati tersenyum meremehkan.
***** ***** *****
Sore harinya Ifan menemui Meta di rumahnya. Entah apa yang ada dipikiran Meta sehingga ia mau menemui Ifan. Ifan pun menjelaskan dan memutarbalikkan fakta. Ifan bilang bahwa Titik hanya merekayasa diary itu semata-mata hanya untuk memisahkan Ifan dan Meta. Dan Meta percaya pada bualan-bualan Ifan itu. Dengan puasnya Ifan merayakan kemenangannya. Kali ini Ifan menang. Selain Ifan masih pacaran sama Meta, Ifan pun masih mempunyai gebetan, yaitu Titik. Andai Meta tahu kebusukan Ifan, maka hanya kata PUTUS! Lah yang terucap dibibir Meta.
***** ***** *****
DIBALIK BUKIT BULAN BINTANG
Yogyakarta, 23 Maret 2008
Dear Brian
Brian sahabatku
Mungkin saat kau membaca surat ini
Aku telah pergi jauh meninggalkan kenangan diantara kita berdua Kenangan yang pernah kita lewati di bukit bulan bintang
Kenangan yang terukir indah disana
Sebuah kata maaf terlantun untukmu
Maafkan aku telah meninggalkanmu
Maafkan aku telah membuatku menangis
Maafkan aku yang tak bisa lagi hari-hari indahmu
Mungkin saat kau tak menemukanku dimanapun
Cobalah kau tersenyum manis untukku
Jangan kau menangis dan bersedih
Karena aku akan selalu temani malammu
Jangan kau lupakan aku dan menghilangkanku dari memori hidupmu
Aku kan temani selalu
Liatlah bintang diatas sana
Coba tunjuk satu bintang yang kau suka
Maka aku akan datang tuk memeluk bayanganmu
Karena aku selalu menjadi cahaya bintang hatimu
Dan kan menyinari gelap redupnya hatimu
Selamat tinggal sahabatku…
Selamat tinggal kenangan yang pernah terukir dalam memori hidupku
Aku ingin kau tahu…
Aku menyayangimu selalu
Tersenyumlah untukku yang terakhir kalinya…
Biarkanlah aku terus menjadi bulan dibukit kita
Dan kau tetap menjadi bintang menemaniku disana
Dari sahabatmu
KIKAN
*****
Itulah surat terakhir dari Kikan. Sejak kepergian Kikan, Brian selalu saja sedih. Keceriannya yang selalu menghiasi wajahnya kini tak tampak lagi. Ia amat terpukul dan merasa bersalah karena tidak bisa menjaga Kikan.
Setiap hari Brian selalu pergi ke bukit itu. Bukit yang diberi nama Bukit Bulan Bintang oleh Kikan. Yaa, di tempat itulah mereka berdua selalu menghabiskan waktu bersama. Brian selalu merasa di tempat itu, Kikan hadir menemaninya.
“Kikan maafkan aku karena selama ini aku telah melupakanmu. Aku tak bisa datang saat kau sedang merasakan sakit yang menyiksamu. Sahabat, macam apa aku ini. Yang tega melihat sahabatnya merasakan penderitaan.”
Yaa, Kikan gadis yang 10 tahun menjadi sahabat Brian. Yang selalu menemaninya saat sedih maupun senang. Kikan adalah gadis yang cantik, pandai bermain piano dan lincah. Persahabatannya dengan Brian berawal ketika mereka berdua dikenalkan oleh orang tuanya masing-masing. Iya, karena orang tua Kikan dan Brian bersahabat. Sejak itu, mereka menjadi akrab dan mulai menjalin persahabatan.
Setiap hari mereka selalu pulang sekolah bersama. Kikan dan Brian memang satu sekolah dan kebetulan jarak rumah mereka tidak terlalu jauh. Di bukit Bulan Bintang mereka selalu menghabiskan waktu bersama.
“Brian, kamu tahu enggak kenapa bintang dan bulan itu selalu bersinar indah?.”
“Enggak, emang kenapa?.”
“Kok, nggak tau sich! karena mereka kan nggak ingin lagit malam sedih. Kalau mereka nggak bersinar pasti langit akan cemberut.”
“Ooh…gitu!! Ooh…ya Kikan kamu mau nggak jadi bulan di langit di bukit ini dan aku yang jadi bintangnya. Biar langit di bukit ini selalu bersinar.”
“Iya aku mau. Dan aku juga berharap agar persahabatan kita selalu abadi seperti bulan dan bintang itu. Gimana?.”
“Iya, aku janji. Dan aku janji persahabatan kita takkan pernah mengenal kata benci. Itulah percakapan Brian dan Kikan disuatu malam di bukit Bulan Bintang.
Tidak terasa mereka berdua kini sudah kelas 2 SMA. Brian dan Kikan masuk di jurusan yang sama, tapi mereka tidak satu kelas seperti kelas satu. Di kelas 2 ini banyak masalah yang terjadi diantara mereka berdua.
Yaa, Lana gadis pindahan dari Singapore yang ada di kelas Brian. Ia selalu saja mengajak Brian belajar kelompok, nonton dan shopping. Itulah yang membuat Kikan sering jengkel pada Brian karena dia seringkali tidak menepati janji kalau diajak main ke bukit Bulan Bintang.
“Kan…Kikan” panggil Brian sambil berlari. Kikan terus saja berjalan tanpa menghiraukan Brian.
“Kan…tunggu donk, aku mau bicara ma kamu!.”
“Ada apa sich, Brian? Aku buru-buru!.”
“Please, Kan! Aku mau cerita ma kamu!.”
“Ohh…ternyata aku masih kau perlukan?.”
“kok kamu ngomongnya gitu?.”
“Yaa…jelaslah aku ngomongnya kayak gitu? Kemana aja waktu kamu janji ingin pergi ke bukit Bulan Bintang tapi kamu nggak datang? Aku nunggu lama banget disana.”
“Iya, maaf kemarin tuch waktu aku pergi, Lana ngajak aku nonton!.”
“Ooh, gitu! Waah… ternyata Lana lebih penting ya dibandingkan aku!” Kikan langsung meninggalkan Brian, Kikan sudah menghilang.
Di kamar Kikan.
Kikan sedang menulis diary. Dibuku diary itu Kikan menulis perasaan kecewanya kepada Brian. Dia juga nggak tahu apa besok Brian juga ingat ulang tahunnya, karena sudah lama dan Brian jarang bersama.
“Tuhan…Kikan mohon, moga besok Brian ingat ulang tahunku karena aku tak ingin merayakan ulang tahun yang terakhir tanpa kehadirannya.”
Iya, Kikan sangat optimis kalau tahun depan ia bisa ngrayain ulang tahunnya lagi. Kikan tahu kalau umurnya tidak lama lagi. Dan sampai saat ini Brian belum tahu soal itu. Kikan tidak ingin beritahu tentang penyakitnya bahkan ia selalu menutupinya didepan Brian. Itulah yang membuat Kikan sedih. Ia akan segera meninggalkan Brian tapi kenapa disaat aku membutuhkannya, Brian kini tidak mempedulikanku. Ia malah samakin jauh dengannya. Dan aku denger Brian malah dah jadian ma Lana. Tapi bagiku asalkan Brian bahagia aku juga ikut bahagia.
Keesokan harinya ternyata dugaan Kikan salah, Brian inget ulang tahun Kikan. Bahkan ia bikin kejutan buat Kikan. Dan sebagai perayaannya Brian ngajak Kikan ke bukit Bulan Bintang. Disana diadakan pesta kecil-kecilan, ya walaupun hanya mereka berdua.
“Yan, jaga dirimu baik-baik ya!.”
“Kok, kamu ngomong gitu!.”
“Yaa, nggak! Sok kalau kamu pergi kamu tetep pergi kesini kan?.”
“Kan, kamu tuch ngomong apa sich? Mang kamu mau pergi kemana?.”
“Mungkin aku akan pergi dan nggak tahu akan kembali pa enggak?.” Tiba-tiba hp Brian bunyi, ternyata itu dari Lana. Lana ingin Brian datang ke rumahnya, katanya penting. Dan Brian pun pergi kesana meninggalkan Kikan sendiri di Bukit Bulan Bintang.
“Brian, selamat tinggal! Jaga dirimu baik-baik ya!” kata Kikan sebelum Brian pergi. Brian hanya tersenyum mendengar kata Kikan.
Saat Kikan ingin pulang ternyata hujan turun. Ia lalu buru-buru pulang tanpa menghiraukan hujan. Sampai di rumah, penyakit Kikan kambuh, dan orang tuanya membawanya ke rumah sakit.
Sudah tiga hari Kikan dirawat di rumah sakit dan Brian pun belum menjenguknya. Akhirnya setelah Kikan meninggal, Brian baru tahu kalau Kikan sakit. Brian baru sadar apa kata-kata Kikan waktu di bukit Bulan Bintang. Ternyata itu adalah salam perpisahannya. Ia sangat menyesal kenapa selama ini ia terlalu sibuk dengan Lana bukan dengan Kikan yang lebih membutuhkanku. Maafkan aku Kikan, selamat jalan! Tidur yang nyenyak disana. Aku akan selalu menyayangimu, sahabat terbaikku.
*****
Mimpi
Oleh : Arini Sofiana Fadhillah
Savira Amanda Suwandi siswi SMA Yudamulya. SMA yang terkenal akan kemewahannya, semua itu didukung dengan siswa siswinya yang semuanya dari golongan elit. Sedangkan Savira Amanda Suwandi adalah anak tunggal dari Suwandi, seorang desainer terkemuka di Indonesia. Ibu dari Savira adalah Mieke Anastasya seorang direktur dari sebuah butik di daerah Jalan Simanjuntak.
Ayah : “Pagi, Vira!” (sapa ayah yang sejak tadi sudah duduk di meja makan ditemani oleh ibu Vira).
Savira : “Pagi yah! Pagi Bunda!” sapa Savira, yang kemudian ikut duduk di meja makan).
Bunda : “Savira mau makan roti pake selai apa? Strawberry? Nanas? Cokelat? Atau kacang?” (sapa Bunda sambil menyodorkan roti tawar).
Savira : “Savira pake selai kacang aja deh ma!”.
Ayah : “Vir, entar kamu dianter supir ya? Biar kamu nggak nyupir sendiri! Usia kamu kan belum genap 17 tahun, jadi ayah khawatir” (kata Ayah sambil memandang Savira yang sibuk melahap roti dengan selai kacangnya).
Savira : “Yah…! masak dianter supir sih yah?”.
Ayah : “Aduh! Savira nurut donk kata ayah.”
Savira : “Ehmmm…oke dech yah! Ayah, Bunda, Vira berangkat ya? dah siang nih!” (kata Savira yang kemudian sambil menyalami ayah dan bunda).
Bunda : “Hati-hati di jalan ya Vir, bilang ama Pak Dadang biar gak ngebut-ngebut!” kata Ibu kepada Vira yang sudah berjalan meninggalkan ruang makan).
Savira : “Iya Bunda!” (teriak Savira dibalik pintu sambil berjalan keluar).
Pak Dadang : “Nona mau berangkat sekarang?” (tanya Pak Dadang yang masih mengelap mobil berwarna putih mengkilap).
Savira : “Iya Pak! Udah siang nih!” (kata Savira sambil masuk ke mobil bermerk HONDA ku, yang pintunya telah dibukakan oleh Pak Dadang).
Tak lama kemudian, sebuah HONDA JAZZ berwarna putih melaju dengan pelan di jalanan yang sudah ramai oleh kendaraaan. Di dalam perjalanan, Savira hanya membaca novel dan ternyata hpnya berbunyi.
Savira : “Pagi Bey!” (kata Savira kepada cowok bernama Sandi Mirzon yang telah dipacarinya selama 2 tahun).
Sandi : “Ntar aku tunggu di kelas ya ada yang mau ku kasih neh!.”
Savira : “Hah? Apaan?” (tanya Savira penasaran).
Sandi : “Surprise deh!.”
Savira : “Oke deh!.”
Sandi : “Mpe ntar ya!” TUT…TUT…TUT…!” (kata Sandi diikuti suara telepon putus). Tak lama kemudian, Savira sampai di parkiran SMA Yudamulya. Yang ternyata telah penuh oleh mobil-mobil.
Savira : “Pagi Net!” (sapa Vira kepada seorang cewek yang baru turun dari mobil berwarna pink).
Soneta : “Pagi Vira! Cantik banget kamu hari ini!” (kata Soneta sambil memegang rambut Savira yang hitam lurus).
Savira : “Makasih!” (kata Savira sambil berjalan menuju kelas bersama dengan Soneta).
Soneta : “Kok kamu searah ama aku! Kelas kamu kan diatas!” (kata Soneta sambil menunjuk kelas Savira).
Savira : “Ku mau ketemu Sandi dulu Net!.”
Soneta : “Oh gitu! Oke dech!.”
Savira dan Soneta pun melanjutkan perjalanannya menuju kelas 2 IPA 2. Dan akhirnya Savira sampai di depan pintu kelas 2 IPA 2.
Savira : “Net, tolong panggilin Sandi ya?.”
Soneta : “Tunggu bentar ya!” (kata Soneta sambil masuk kelas).
“Sandi! Dicariin Vira tuh!” (teriak Soneta setelah masuk kelas).
Sandi : “Hey!” (sapa Sandi, yang pagi itu kelihatan cool banget).
Savira : “Hey, ada apa Sand? Keburu masuk nih!.”
Sandi : “Ntar malem, makan malem yuk!.”
Savira : “Ha? Makan malem? Oke dech, dimana? Tapi kok tumben banget ya? Hehehe….”
Sandi : “Ku mau ngomong sesuatu, Ehmmm…tempat byasa aja ya! Kita ketemu jam 7!.”
Savira : “Okey deh! Mpe ntar ya San! Daa…” (kata Savira sambil berlari kecil meninggalkan Sandi).
Sandi : “Daa…” (kata Sandi dengan senyum manisnya).
Savira berjalan menyusuri jalan menuju kelasnya yang sudah dipadati anak-anak baru yang sibuk mencari kelasnya masing-masing.
Nadine : "Hey kak Vira!” (sapa seorang cewek yang masih menggunakan seragam putih biru).
Savira : “Hey!” (balas Vira, melihat cewek itu yang ternyata adik kelas SMP nya. Kemudian Vira melanjutkan langkahnya ke kelas 2 IPS 4).
Dan gak disangka ternyata Bu Lestari guru sosiologi Savira telah masuk kelas.
Savira : “Permisi bu,” (sapa Savira di depan pintu kelas 2 IPS 4).
Bu Lestari: “Kemana aja kamu Vir?” (tanya bu Lestari sambil berjalan menuju Savira).
Savira : “Maaf bu, tadi di jalan macet.”
Bu Lestari : “Masuklah!.”
Savira : “Makasih bu,” (kata Vira sambil tersenyum).
Setelah sampai di mejanya Savira langsung duduk.
Dhini : “Kemana aja lo Vir?” (ceplos Dhini yang dari tadi sibuk berias).
Savira : “Wah, tadi aku nemuin Sandi dulu. Hehehe….”
Dhini : “Udah kangen neh?.”
Savira : “Enak aja!.”
Bu Lestari : “Dhini, Savira!” (bentak Bu Lestari yang dari tadi melihat Dhini dan Savira ngobrol).
Setelah itu kelas menjadi tenang. Semua anak mempelajari penjelasan dari bu Lestari yang terkenal galak dan judes. Dan denger-denger Bu Lestari adalah perawan tua, yang kata anak-anak tidak menikah gara-gara patah hati dengan kekasih pertamanya.
Malam hari pun telah tiba, Savira yang ada janji dengan Sandi sibuk merias diri. Karena dia tidak mau terlihat jelek di depan cowoknya yang terkenal cute itu.
Savira : “Aduh gimana neh! Aku harus pake baju apa? Pake warna item atau ungu ya…? Kalau aku suka ungu, tapi Sandi suka item! Duh gimana neh?” (kata Savira kepada diri sendiri, yang sibuk membedah isi lemarinya yang penuh dengan baju dan aksesoris lainnya).
TOK…TOK…TOK…
Savira : “Sapa?” (kata Savira, settelah mendengar ketukan pintu).
Bunda : “Ini Bunda.”
Savira : “Oh Bunda! Masuk aja Bun, pintunya gak Vira kunci kok!.”
Bunda pun masuk ke kamar Savira. Dan terlihat Savira masih menimbang-nimbang baju yang akan dipakainya.
Bunda : “Ya ampun Vira! Kamu lagi ngapain?.”
Savira : “Vira mau makan malem bareng Sandi bun. Bagusnya pake baju warna item atau ungu?.”
Bunda : “Oh mau pergi bareng Sandi. Kalau Bunda sih suka kamu pake baju warna ungu!” (kata Bunda sambil meraih baju warna ungu tempat Vira).
Savira : “Ungu ya Bun? Okey deh Vira ganti dulu ya?” (kata Savira sambil menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya).
Setengah jam kemudian Savira sudah ada di dalam mobil
Bunda : “Hati-hati ya Vir!” (teriak Ibu melihat putrinya sudah pergi meninggalkannya).
TIN
Savira hanya membalas ucapan ibunya dengan klakson mobilnya saja. Karena savira pikir kalau ia teriak tidak akan terdengar oleh ibu.
Vira hanya membutuhkan waktu setengah jam saja untuk sampai di café velope tempat yang sudah dijanjikan Vira dan Sandi. Café Velope setiap malam selalu ramai. Sebagian besar pengunjung café adalah para anak muda yang bosen di rumah. Savira pun langsung memarkir mobil mewahnya itu. Yang kemudian masuk ke café dan memilih tempat.
Savira : “Duh Sandi mana sih kok belum dateng juga!” (kata Savira dalam hari). “Ehmmm mendingan aku telpon Sandi aja deh” (Savira langsung mengambil HP nya yang ia taruh di dalam tas berwarna hitam).
TUT…TUT…TUT…
Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif
Atau berada diluar service area.
Savira : “Duh kok tidak aktif seh!” (gumam Savira).
Sejam sudah Savira menunggu Sandi di kursi Café Velope. Tapi Sandi belum juga nongol. Dari tadi Savira juga sudah menguhubungi Sandi tapi nomernya tidak aktif juga. Dan dua jam pun sudah berlalu jam dinding sudah menunjukkan jam 09.00 malam.
Savira : “Sudah lah aku mau pulang, terserah Sandi mau datang atau tidak.” (gumam Vira dalam hati, yang kemudian beranjak dari tempat duduknya dan menuju parkiran mobil).
Di jalan Savira mengemudikan mobilnya dengan kecepatan diatas 80 km/jam. Ia marah Sandi tidak menepati janji mereka. Tak lama kemudian Savira sampai di depan garasi rumahnya. Dan Savira langsung turun dari mobilnya.
Bunda : “Gimana Vir makan malemnya?” (tanya Ibu yang lagi duduk menemani ayah).
Savira : “Nyebelin banget Bun!” (kata Savira yang langsung berjalan menuju kamar).
Bunda : “Kenapa sih Vir?” (kata Bunda sambil ngikutin Savira dari belakang).
Sesampainya di kamar Savira langsung menjatuhkan badannya di kasur empuk berseprei ungu itu sambil menangis!.
Bunda : “Kok bunda tanya, gak dijawab sih Vir?” (tanya Bunda sambil duduk disamping Savira yang sedang menangis).
Savira : “Sandi nyebelin!.”
Bunda : “Emang Sandi kenapa Vir?.”
Savira langsung beranjak dari tidurnya dan duduk menghadap bundanya.
Savira : “Sandi bo’ong…” (kata Savira yang langsung memeluk bunda).
Bunda : “Bo’ong? Bo’ong kenapa?” (tanya Savira sambil mengelus
rambut Savira).
Savira : “Sandi gak dateng.” (kata Savira dengan suara agak bergetar)
Bunda : “Apa Vira udah ngubungin Sandi, kenapa dia gak dateng?.”
Savira : “Nomernya gak aktif” (kata Vira sambil menangis dipelukan mamanya).
Bunda : “Ya udah, Vira sekarang bobok aja ya? Besok Vira tanya aja ama Sandi.”
Savira : “Iya ma…” (kata Vira sambil melepas dari pelukan bundanya).
Bunda : “Met bobok sayang” (kata bunda sambil berjalan keluar dari kamar).
Semalaman Savira terus kepikiran tentang kejadiannya di café. Sebagai balesannya ia kesiangan bangun untuk sekolah. Tapi masih untung dia tidak terlambat.
Dandi : “Vir, Sandi udah gak ada Vir” (kata Dandi teman sekelas Sandi, yang tiba-tiba ada di depan Vira yang lagi turun dari mobil).
Savira : “Hah? Gak ada gimana? (tanya Savira penasaran).
Dandi : “Semalam Sandi kecelakaan, dan Tuhan langsung mengambil dia Vir! Sandi meninggal” (jelas Dandi dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca).
Savira : “Sandi.” (kata Savira pelan). “Sekarang Sandi mana?” (tanya Savira yang sudah gak bisa nahan tangisnya).
Dandi : “Di rumah Vir.”
Setelah mendengar itu Savira langsung menuju ke rumah Sandi. Sesampainya disana, sudah banyak siswa-siswi SMA Yudamulya di rumah Sandi. Dan Savira langsung berlari menuju dalam rumah Sandi.
Savira : “Sandi.” (kata Savira setelah melihat tubuh Sandi terbujur kaku).
Ibu Sandi : “Vira” (rangkul ibu Sandi ke Vira).
Dan tanpa disadari Savira pingsan dipelukan Ibu Sandi yang memakai baju item-item.
Bunda : “Vira, bangun Vir!” (kata bunda).
Savira : “Kok aku disini ma!” (kata Vira agak kaget).
Bunda : “Vira udah ditunggu Sandi tuh di bawah.”
Savira : “Oh…Vira cuma mimpi ya Bun” (kata Savira sambil tersenyum lebar).
Bunda : “Emang Vira mimpi apa?.”
Savira : “Vira mimpi buruk banget ma!.”
Bunda : “Ya udah turun gi! Sandi udah nungguin tuh!.”
Savira pun langsung turun ke bawah nemuin Sandi. Yang dari tadi udah nungguin Vira.
Savira : “Hey bey!.”
Sandi : “Hey….”
Setelah mimpi itu Savira menjadi gadis pengertian dan pengertian ke Sandi.
Mutiara
sebuah
keluarga
Oleh : Pricilia Ida Fitriani
Pagi hari yang sangat cerah, Lia membuka jendela kamarnya. Sorot matahari dari ufuk timur masuk lewat jendela kamar. Lia adalah seorang siswi dari SMA N 1 Yogayakarta. Usianya masih muda dan masa-masa seusianya adalah masa pencarian jati diri. Minggu pagi ini seperti minggu-minggu sebelumnya.
*****
Kakek : “Bangun Nduk!” (sambil meminum segelas teh manis yang dibuat oleh Tante Siska).
Lia : (sambil merapikan tempat tidur) “Iya kek, Lia udah bangun kok!.”
Nenek : (sambil menyapu halaman rumah) “Nyuci baju sana, mumpung cuaca hari ini panas.”
Lia : (sambil menyapu lantai rumah) “Baik Nek, nanti setelah kelar mengepel lantai.”
*****
Lia merupakan cucu dari kakek dan nenek Suri. Lia tinggal bersama kakek dan neneknya serta juga ada tantenya. Karena ayah, ibu dan adik Lia tinggal di Jakarta. Lia anak pertama dari Bapak Agus Rahmanto dan ibunya Sulistya serta adiknya bernama Mustika Dewi. Lia berusia 16 tahun berarti kelas 2 SMA.
Tante Siska : “Lia jangan lupa sarapan dulu ya, tante mau ke pasar beli sayuran.” (sambil jalan menuju teras depan rumah).
Lia : “Iya tante, nanti Lia juga pasti sarapan” (sambil mengepel lantai rumah).
Kakek : “Jaga rumah ya Nduk, kakek mau ke kebun. Kamu nggak pergi kemana-mana kan!” (sambil duduk di meja makan).
Nenek : “Nenek juga mau ke puskesmas, periksa kesehatan nenek, kamu sendiri di rumah berani kan!.”
Lia : “Iya kakek, iya nenek. Lia jagain rumah kok, tenang saja” (sambil menoleh dan tersenyum kearah kakek dan neneknya).
Kakek : “Kakek tinggal ya, hati-hati di rumah.”
Nenek : “Nenek juga mau pergi sekarang, hati-hati juga kalau ditinggal ke warung pintunya dikunci.”
Lia : “Iya…iya…!” (sambil mengantar nenek mencari angkot).
Lia : (HP Lia di kamar berbunyi, Lia cepat-cepat masuk ke kamarnya) “Hallo, Assalam’ulaikum.”
Ayah Lia : “Wa’alaikum salam. Lagi ngapain mbak? Mbak udah sarapan belum?.”
Lia : “Habis nganter nenek cari angkot yah! Tadi disuruh sarapan, tapi belum sempat.”
Ayah Lia : “Mbak mau ngomong sama adik nggak? Adik dari kemarin nanyain mbak terus.”
Lia : “Iya Yah. Lia juga kangen sama adik.”
Adik Lia : “Hallo mbak Lia, adek kangen pengen kesana.”
Lia : “Mbak juga pengen ketemu adik. Adik udah mandi belum hayoo…!.”
Adik Lia : “He he he. Belum mbak, adik kan bangun tidur.”
Lia : “Ibu lagi ngapain dik?.”
Adik Lia : “Lagi di dapur, mbak mau ngomong sama Ibu? Bentar ya Dewi panggilin dulu.”
Ibu Lia : “Hallo, Mbak. Ibu lagi bikin nasi goreng nih!.”
Lia : “Iya, Bu. Ibu pulang nggak liburan semester ini?.”
Ibu Lia : “Iya lihat. Lihat dana dulu mbak. Tahu sendiri ayah belum dapat kerjaan tetap semenjak dituduh mencuri dan di PHK dari perusahaannya dulu.”
Lia : “Lia belum bayar SPP 6 bulan Bu! Sebentar lagi ulangan umum, semua harus dilunasi.”
Ibu Lia : “Sebentar ya mbak, rizki ditangan Allah.”
Lia : “Ya udah Bu, salam buat Ayah dan adik. Lia mau nyuci dulu. Assalam’ulaikum.”
Ibu Lia : “Iya nanti Ibu sampaikan, salam juga buat kakek, nenek dan tante Siska. Wa’alaikumsalam.”
Setelah Lia menutup telepon dari keluarga yang tinggal di Jakarta Lia mencuci baju. Keluarga Lia memang keluarga yang sederhana dan ramah tamah. Siang hari Lia mengerjakan tugas di meja belajarnya. Rupanya nenek sudah pulang dan tertidur di kamar. Tante Siska setelah pulang dari pasar biasanya langsung berangkat kerja sebagai penjahit.
Pak RT : “Assalamu’alaikum.”
Lia : “Wa’alaikum salam. Ada apa Pak?.”
Pak RT : “Nduk kakekmu ditemukan pingsan di kebun.”
Lia : “Apa Pak? Kakek tadi dari rumah sehat wal afiat kok bisa pingsan.”
Pak RT : “Iya saya juga tidak tahu pasti. Sebaiknya kita segera kesana.”
Lia : “Tapi Pak, nenek masih tidur.”
Pak RT : “Sebaiknya nanti saja dikasih tahu, biar nenek istirahat.”
Lia : “Ayo Pak kita kesana sekarang saja.”
Pak RT : (sambil jalan menuju rumah Pak Parman yang letaknya berdekatan dengan kebun kakek Lia). “Tadi sewaktu Pak Parman ingin memberi makan kambingnya, Pak Parman melihat Mbah Suri tergeletak. Pak Parman langsung menggendong Mbah Suri ke dalam rumah Pak Parman.”
Lia : “Tapi kakek nggak apa-apa kan Pak?.”
Pak RT : (sambil menepuk pundak Lia). “Semoga saja kakekmu hanya kepanasan, karena terik matahari.”
Lia : (Sesampainya di rumah Pak Parman, Lia meneteskan air mata). “Assalam’ulaikum.”
Pak Parman : “Wa’alaikum salam. Mari masuk dek Lia.”
Lia : “Kok rame ada apa Pak? (sambil keheranan dan ketakutan) kakek tidak apa-apa kan Pak?.”
Pak Parman : (Hanya bisa memberi isyarat kepada Pak RT bahwa Mbah Suri telah dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Esa) “Mari Pak masuk.”
Pak RT : “Iya, terima kasih. Bagaimana nanti kepengurusan jenazah Mbah Suri?.”
Lia : (Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar jerit tangis) “Kakek…kakek…bangun kek! Katanya kakek mau bawain ketela hasil kebun kakek. Mana kek?.”
Pak Parman : “Kita bawa ke rumahnya sekarang, lalu segera kita kuburkan jenazahnya.”
Pak RT : “Iya, saya setuju Pak.”
Jenazah kakek Lia dibawa ke rumah tapi sudah dimandikan. Lia sudah tidak dapat membendung kesedihannya. Sesampainya di rumah, dia langsung manuju ke kamar neneknya. Neneknya samar-samar melihat cucunya itu meneteskan air mata, lalu nenek bangun.
Nenek : “Ada apa Nduk? Kok wajahnya murung dan pucat!.”
Lia : “Anu…ehm…anu Nek” (Lia nggak bisa ngomong).
Nenek : “Apa to Nduk? Dari tadi kok anu-anu terus.”
Lia : “Kakek kembali ke Allah Nek!” (sambil menunggu).
Nenek : “Apaaaa…?” (langsung dalam keadaan tak sadarkan diri).
Lia : (sambil memanggil orang-orang yang ada di rumahnya saat itu) “Nek…nenek…nenek…bangun Nek!!!.”
Pak RT : “Apa yang terjadi Lia?” (sambil memeriksa denyut nadi neneknya).
Lia : “Saya hanya memberitahukan bahwa kakek sudah kembali kepada-Nya Pak?” (sambil menangis tersedu-sedu).
Hari itu menurut Lia adalah tragedi yang sulit diungkapkan. Karena pada hari itu juga kakeknya sudah dipanggil menghadap Allah SWT. Dan dengan maksud baik Lia memberitahukan kepada neneknya. Dalam jangka waktu yang tidak lama Neneknya juga dipanggil menghadap Allah SWT, karena sebelumnya neneknya juga penyakit jantung yang dalam tahap penyembuhan.
Pak RT : “Sabar ya Nak…! Semua yang ada di dunia ini hanya milik Allah jadi jika salah satu milik Allah diminta maka ikhlaskanlah.”
Lia : (tak bisa berkata apa-apa, dia hanya diam menunduk dan menangis terisak-isak) “Terima kasih Pak.”
Tante Siska : “Lia…!!!” (sambil masuk kamar nenek dengan isak tangisnya).
Lia : “Tante…maafkan Lia! (sambil memeluk tantenya dengan isak tangisnya).
Tante Siska: “Ya…gak ada yang salah sayang! Kamu sudah hubungi Ayah dan Ibumu belum?.”
Lia : “Sudah tan, Ayah mau pulang naik kereta ekonomi yang sampai sini jam 6 pagi.”
****
Malam itu juga Ayah, Ibu dan Adiknya Lia berangkat dari Jakarta. Ayah dan ibunya Lia di dalam perjalanan yang memakan waktu 11 jam itu tidak bisa tidur, mereka memikirkan keadaan rumah. Jam telah menunjukkan pukul 01.30 dini hari tapi Ayah dan Ibu Lia tetap tidak bisa memejamkan mata. Setelah itu juga terjadi kecelakaan di daerah Purwokerto. Gerbong kereta api terjungkal ke jurang. Ayah dan Ibu Lia ditemukan dalam keadaan mengenaskan sedangkan adik Lia cidera pada kaki kirinya. Kabar itu langsung menyebar di media manapun.
Lia : “Tante…Lia tidak bisa tidur” (sambil melihat jam sudah menunjukkan jam 4 pagi).
Tante Siska: “Iya Tante juga gitu. Tante merasa ada yang janggal di hari ini” (sambil memeluk Lia).
Lia : “(Lia menelepon ayahnya, tapi tidak bisa)”Tante kok nomor ayah tidak bisa dihubungin ya?.”
Tante Siska : “Mungkin gak ada signal, apa batrenya habis.”
Lia : (Lia mendengar suara pak RT sedang mencari tahu keberadaannya, Lia keluar dari kamar) “Ada apa Pak?.”
Pak RT : “Kereta yang ditumpangi ayah dan ibumu kecelakaan di Purwokerto jam 02.00 dini hari tadi.”
Lia : (Terperangah…lalu membayangkan apa yang terjadi dengan keluarganya) “Bapak yakin? Berapa korban jiwanya?.”
Pak RT : “Saya yakin sekali Nak! Tadi dituliskan nama korbannya. Dan…(Pak RT tidak tega melihat kesedihan yang dialami Lia, Pak RT tidak bisa melanjutkan kata-katanya).”
Lia : “Dan…apa Pak?? (wajah Lia terlihat pucat dan panik).
Pak RT : “Dan…nama ayah dan ibumu tercantum di dalam korban kecelakaan yang meninggal dunia.”
Lia : “Bapak tidak salah liat Pak?? (Langsung pingsan di lantai).
Tante Siska : “Sebaiknya kita jangan paksa Lia untuk menerima semua kenyataan pahit ini Pak” (Tante Siska menggosokkan minyak kayu putih di hidung Lia).
Pak RT : “Iya. Saya tahu hal itu, kasihan usianya masih muda. Dia belum sanggup menerimanya dengan keikhlasan dan kesabaran.”
Lia : (Dia tersadarkan diri, namun terlihat sangat lemas). “Tante…yang Lia denger tadi bener atau nggak?.”
Tante Siska : “(Sambil mengusap kepala Lia) “Sayang…sabar ya dibalik semua hal yang terjadi pada kita, ada hikmah Mutiara yang dapat kita ambil. Ini sebuah perjalanan hidup kamu harus ikhlas menerimanya.”
*****
Dalam waktu yang dekat-dekat ini rumah Lia penuh dengan kedatangan tamu-tamu. Mereka berdatangan secara bergantian. Tapi sayang sekali karena kedatangan tamu yang hilir mudik itu berselimut duka yang mendalam. Lia sudah tidak sanggup lagi menahan kepedihan hati yang sangat menyiksa batinnya. Seakan-akan air mata Lia sudah habis dan tidak bisa dicairkan lagi. Lia sekarang ini menjadi anak yatim piatu, dia hanya mempunyai Tante Siska. Lia juga tidak dapat melihat wajah Ayah, Ibu dan adiknya untuk yang terakhir kalinya. Jenazah mereka dikabarkan ditemukan secara mengenaskan. Hari duka sudah berlalu, namun tidak dapat dibohongi hati Lia masih terluka.
Tante Siska : “Lia…kamu berangkat sekolah gak?.”
Lia : (Masih di dalam kamar memikirkan sesuatu) “Lia belum siap Tan!.”
Tante Siska : (Sambil menyiapkan sarapan di meja makan) “Ya sudah gak usah berangkat dulu, tapi makan dulu ya.”
Lia : (Sambil membereskan tempat tidur) “Iya nanti aja tan, tante berangkat kerja dulu aja gak usah terlalu mikirin Lia.”
Tante Siska: “Ya sudah, Tante tinggal ya, kamu jangan kemana-mana dan jangan lupa makan.”
Lia : “Oke deh tan!.”
Lia di rumah sendirian. Dari tadi dia hanya memandangi foto-foto keluarganya. Hingga siang hari ia terkejut wali kelasnya datang ke rumah.
Ibu Sri : “Assalam’ulaikum Wr.Wb.”
Lia : (Sedang duduk di ruang tamu langsung beranjak keluar) “Wa’alaikumsalam Wr.Wb. Ibu…silahkan masuk Bu.”
Ibu Sri : (sambil jalan kearah Lia) “Iya, terima kasih. Kok sepi, kamu di rumah sendrian ya!.”
Lia : “Iya Bu. Tante Siska kerja, jadi cuma saya sendiri.”
Ibu Sri : (Tanpa basa-basi lagi) “Gini, kemarin Ibu dipanggil Kepsek bagi yang belum lunas pembayaran SPP tidak diperbolehkan mengikuti Ujian Semester Genap. Ibu tidak bisa berbuat apa-apa. Ibu hanya bisa memberitahukan akan kemungkinan terburuk bagi yang belum lunas akan dikeluarkan dari sekolah.”
Lia : (Terdiam dan hanya bisa menunduk pucat) “Baiklah Bu, nanti saya bicarakan dengan tante Siska.”
Ibu Sri : (Berdiri dan akan berpamitan pulang) “Ya sudah, Ibu pamit pulang dulu ya.”
Lia : “Iya bu, terima kasih atas kedatangannya. Hati-hati ya Bu.”
Ibu Sri : “Sama-sama. Jangan lupa tetap belajar. Assalam’ulaikum Wr.Wb.”
Lia : “Wa’alaikumsalam.”
*****
Keesokan harinya Lia berangkat sekolah. Sampai di sekolah sudah bel masuk, Lia langsung menuju kelas. Pelajaran pertama kimia, tapi tiba-tiba Lia dipanggil Kepala Sekolah.
Kepala sekolah: “Assalam’ulaikum Wr.Wb. Permisi sebentar Bu!.”
Ibu Guru : “Wa’alaikumsalam Wr.Wb. Silahkan Pak!.”
Kepala Sekolah : “Saya ingin bertemu dengan Rosalia Amanda.”
Lia : “Iya. Saya, Pak.”
Kepala Sekolah : “Mari ikut ke ruang Bapak.”
Lia : “Baik Pak. Bi izin sebentar.”
Ibu Guru : “Iya gak apa-apa.”
Kepala Sekolah : “Mari Bu. Silahkan dilanjutkan kembali.”
Sesampainya di ruang Kepala Sekolah Lia hanya diberi surat yang berisikan Lia dikeluarkan dari sekolah itu. Lia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Setelah itu Lia masuk ke kelas lalu pulang. Sesampainya di rumah Lia tidak menyangka Tante Siska berada di rumah.
Tante Siska : “Loh kok sudah pulang?. Ada apa?.”
Lia : (Sambil menyerahkan surat bermaterai yang dibungkus amplop putih) “Ini Tan!.”
Tante Siska : (Membuka amplop, lalu dibacanya) “Tante pasrah aja, maafin Tante gak bisa berbuat apa-apa.”
Lia : (Menunduk Sedih) “Gak apa-apa tan, ini udah jadi jalan hidupku.”
*****
Selama berhari-hari Lia di rumah, dia memikirkan sesuatu. Lia ingin bekerja untuk mendapatkan uang, lalu dia ingin menggunakan uang itu untuk melanjutkan sekolahnya. Dia meminta Tante Siska mencarikan pekerjaan apa saja asalkan halal. Setelah Tante Siska kesana kemari mencari, Tante Siska mempunyai teman yang berjualan di pasar Beringharjo. Akhirnya Lia pun bekerja di tempatnya Tante Siska itu sebagai pelayan rumah makan. Lumayan juga gajinya tiap bulan bisa untuk melunasi biaya sekolah. Teman tante Siska juga baik, tiap sehabis kerja Lia dibawakan beberapa makanan. Teman Tante Siska bernama Rasti.
Lia : (Sibuk cuci piring) “Tan, makasih ya. Gara-gara Tante lho Lia bisa sekolah lagi.”
Tante Rasti: “Ah kamu bisa saja. Ini udah takdirnya tante sebagai penolong kamu, Cuma perantara, sebenarnya Allah selalu dihatimu.”
Lia : (tersipu malu) “Tan, kalau Lia Ujian kerja setengah hari boleh gak?.”
Tante Rasti: (Ragu-ragu memandang Lia) “Ehm…gimana ya. Ya udah boleh, Cuma 1 minggu kan?.”
Lia : (Tersenyum bahagia) “Iya kok tan. Makasih ya tan!.”
Tante Rasti: (sambil berpaling berjalan pulang) “Iya. Eh, itu ada anak kecil minta makan, dikasih ya. Lauknya diambilin apa aja deh. Oke.”
Lia : (Berdiri dan keget) “Apa tan? Dimana anak kecil itu?.”
Tante Rasti: (menggandeng Lia keluar) “Itu dia, sambil temenin ya!.”
Lia : “…Hah!!! Dewi kamu masih hidup dek. Ayo dek maen dulu, pasti kamu kelaparan beberapa hari hidup tak punya tujuan” (sambil menangis dan tak menyangka Lia bertemu adiknya yang dianggap sudah meninggal).
Dewi : (menangis dan memeluk Lia) “Kak Lia, Dewi kangen!!! Dewi bingung kak. Bunda dan Ayah tidak ada sama Dewi.”
Lia : “Iya kakak tau. Udah ya, ceritanya nanti aja. Sekarang makan dulu, dihabisin ya!.”
Lia berpamitan pulang. Sesampainya di rumah, Tante Siska sungguh tak menyangka Lia bahagia. Kini, dia bertemu dengan saudara satu-satunya yang dianggapnya sudah meninggal. Setelah berhari-hari bahkan berbulan-bulan Dewi hidup mengemis kesana kemari. Takdir jualah yang mempertemukan mereka. Keluarga kecil yang terdiri dari 3 perempuan itu kini telah hidup saling menyayangi. Mereka bahagia dengan apa yang ada kini. Lia melanjutkan sekolah lagi, atas biayanya sendiri. Vegitu pula Dewi adiknya juga bersekolah lagi yang dibiayai oleh Tante Siska. Tante Siska pun sudah ada yang meminang, seorang Pengusaha Kerajinan Batik di Yogyakarta.
SEBUAH KEAJAIBAN
Suasana pedesaan telah membuat hati Savira damai. Ia telah nyaman berada di tempat kelahirannya berkumpul bersama keluarga dan sahabat terbaiknya, Sandi. Ia tinggal di sebuah rumah yang tidak jauh dari kereta api. Usia mereka telah menginjak tujuh belas tahun, yang tentunya mereka telah melanjutkan di tingkat SMA. Suka dan duka mereka lalui bersama. Tak jarang, teman-temannya pun memberi sindiran mengejek kepadanya.
***
Masa SMA telah lewat. Tiga tahun dilewatkan Savira bepergian ke luar negeri untuk melanjutkan kuliahnya di Paris.. Namun, ia masih memikirkan Sandi yang jauh didalam lubuk hatinya merindukan kehadirannya. Padahal, ia telah disibukkan oleh berbagai macam tugas dari dosen. Ia menempuh hari yang terasa berat dengan gelisah.
Semester pertama, salah seorang siswa baru muncul di ruangan Savira..
“Hay… Ngomong-ngomong kita belum kenalan. Nama gue Sandi. Lo…?” sapa Sandi ramah.
Savira sangat kaget mendengar nama itu. Tidak mungkin sahabatnya kini berada dihadapannya. Bukankah dia sedang berobat??? Untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya?. Buru-buru Savira menjawab pertanyaan Sandi “Vira” sahutnya klise.
Hari liburan semester mereka telah merencanakan akan berlibur ke Paris. Sandi mengajak Savira makan malam. Tetapi… sudah hampir dua jam dia belum juga datang. Perasaan Savira menjadi gelisah. Tanpa dikomando, ia meraih handphone dari dalam sakunya. Ia mencari nomor handphone Sandi dan memanggilnya. Beberapa lama kemudian, seorang cewek diseberang menyahut
“Ya… hallo.”
“Maaf, ini dengan siapa ya??. Kalau boleh, saya bisa berbicara dengan Sandi??” perasaannya masih was-was.
“Oh… pasien yang sedang terbaring ini ya??. Tadi, dia mengalami kecelakaan, ditabrak motor.”
Sebelum suster menjelaskan lebih lanjut, Savira sudah buru-buru menyelanya “Sekarang dia dirawat dimana ya, suster?”.
“Di Rumah Sakit Harapan”.
Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, ia buru-buru memutuskan sambungan telepon dan berlari menemui Sandi.
Dia meringkuk dihadapan Sandi yang terbaring lemah di rumah sakit. Sepanjang hari, dia selalu berdoa untuk kesembuhan sahabatnya itu. Setelah lewat tiga hari Sandi koma, matanya sudah mulai terbuka dan ini yang membuat Savira bersyukur.
“Lo udah bangun??, syukurlah… Bentar ya, gue panggilin dokter dulu” sapa Savira senang begitu tiba di Rumah Sakit Harapan.
“Gue ada dimana??”.
“Di rumah sakit. Lo tertabrak motor di jalan dan lo koma selama tiga hari.”
Sandi berusaha mengingat kejadian itu. “Jadi, lo yang udah menjaga gue?.”
Savira membalasnya dengan anggukan kecil.
“Thanks ya…. Gue juga minta maaf karena kita batal ngadain makan malam waktu itu” Savira benar-benar merasa iba melihat raut wajahnya yang kusut.
“Udahlah… lupain aja. Lagian, semua ini bukan kesalahan lo. Ini kan kecelakaan.”
Setelah keadaan Sandi sudah mulai membaik, akhirnya dia diijinkan pulang ke rumah. Savira tak henti-hentinya merawat Sandi ketika ia mempunyai waktu luang.
Dua hari berlalu, dia bisa melakukan kegiatannya sehari-hari.
Malam minggu, Sandi tiba-tiba saja mengajak Savira pergi. Savira sendiri tak kuasa menolaknya. Ia berdandan di cermin tidak seperti sebelum kecelakaan itu terjadi.
“Gue udah siap” Savira berdiri tegak dihadapan Sandi yang sedang terbengong.
Dia hanya mengangguk pelan. Dan ia menyalakan motornya. Motor itu melaju kencang menuju ke sebuah kafe seperti biasanya, selalu romantis.
“Lo kok ngajak gue kesini?” tanyanya heran.
Tanpa diduga-duga dan tanpa ada kata pembuka, Sandi mengutarakan perasaanya yang membuat Savira kaget.
“Tapi…” sahut Savira terharu.
“Kalau lo nggak bisa jawab sekarang, gue nggak maksa kok”.
***
Ternyata tiga bulan yang dilalui Sandi tidak sia-sia. Kehadiran Savira dihadapannya telah mengobati rasa sakit yang dideritanya selama ini. Dokter pun memberikan kabar baik bahwa penyakit yang dideritanya telah sembuh total. Apalagi, kini Savira telah menjadi kekasihnya.
MENGAKUI KESALAHAN
“La, kita jadi ke rumah kamu kan?” bisikku kepada Lela.
“Iya donk… Shinta, Intan, Okta, Tari gimana?. Mereka jadi ikut tidak?”, Lela kembali berbisik.
“Tentu. Udah pasti mereka juga ikut”.
Ocehan Bu Pur mengenai logaritma yang segera berakhir membuat kami senang. Begitu bel berbunyi, kami berhamburan keluar kelas. Kami bermaksud akan mengadakan belajar kelompok di rumah Lela.
“Kalian masuk duluan aja” ujar Lela begitu tiba di depan rumahnya.
Tiba-tiba, Okta berteriak lantang, membuat kami ikut menoleh ke arahnya, “Tunggu dulu. Kita pesan rujak yuk… Disana ada rujak tuh” katanya seraya mengacungkan tangannya ke arah tempat rujak itu berhenti.
“Yuk. Tapi, yang beli siapa?”.
“Aku temenin deh. Uangnya patungan ya?” lanjut Intan menambahi.
“Ok” sahut kami bersamaan.
Masing-masing dari kami menyerahkan selembar uang ribuan kepada Okta. Setelah uang terkumpul, mereka berdua segera pergi. Sedangkan kami menunggu mereka berdua di rumahnya Lela.
Beberapa menit kemudian, ku lihat Okta tengah membawa seplastik yang berisi rujak. Lela segera mengambil piring dan meletakkannya. Lalu, kami pun melahap rujak itu dengan bersemangat. Alhasil, kegiatan belajar kelompok kami sedikit tertunda.
Seusai menghabiskan sepiring rujak, kami kembali menekuni tugas yang diberikan oleh Bu Rina. Beliau lah yang menggantikan mantan guru fisika kami yang terdahulu.
***
Pagi-pagi buta, teman-temanku tengah berkumpul di kelas. Mereka terlihat mondar-mandir kesana kemari mencari jawaban. Maklum, sebagian dari mereka belum mengerjakan tugas. Selain itu, belum ada tanda-tanda bel berbunyi. Kesempatan emas inilah yang digunakan mereka untuk membujuk teman-temannya agar mau memberikan jawabannya secara gratis.
“Tar, aku liat jawaban kamu boleh tidak?. Masih ada sebagian soal yang belum aku kerjain nih…” pinta temenku memelas. Sikapnya yang egois memang membuat teman-teman merasa enggan meminta bantuan kepadanya. Terkadang, Tari enggan memberikan jawabannya kepada teman-temanku. Walaupun, kadang dengan cara memelas pun tidak juga berhasil.
“Kamu kemarin ke mana aja?. Kenapa belum mengerjakan?”.
“Aku udah ngerjain. Tapi, ada yang tidak ketemu jawabannya”.
“Wah, kalau githu sorry banget. Jawaban aku juga belum lengkap” timpal Tari cuek.
Tari kembali mengitari meja teman-temanku.
***
Kantin sekolah.
“Tar, menurutku sikap kamu tadi sedikit egois deh” kataku memulai pembicaraan, menatapnya tenang.
“Maksud kamu apa?” tukas Tari mulai terpancing keadaan.
“Aku hanya ingin menasehati kamu aja. Yah… tidak ada ruginya kan kalau kita membantu teman”.
“Kamu selalu sibuk dengan urusan orang lain ya?”.
“Bukannya githu. Tapi…”.
Emosinya Tari hampir meledak. “Udahlah… Aku capek dengerin nasihat kamu setiap hari” potong Tari berang, bangkit dari kursi, dengan tatapan terhujam ke arahku.
***
Kejadian di kantin beberapa hari yang lalu membuat komunikasiku dangan Tari terputus. Sampai suatu ketika Tari mendatangiku dengan tiba-tiba.
“Rim, aku minta maaf ya atas kejadian di kantin waktu itu. Aku tidak bermaksud…”.
“Tidak masalah kok. Lagipula aku sudah maafin kamu dari dulu. Jadi, kamu tenang aja. Tapi, kenapa kamu bisa berubah secepat ini?”.
“Aku sadar karena selama ini aku terlalu egois. Karena itu, aku dibenci teman-teman” balas Tari dengan nada menyesal.
“Kamu tidak dibenci kok. Mereka menjauhi kamu karena mereka takut”.
“Takut kenapa?”.
“Emm… aku tidak bermaksud menyakiti hati kamu. Mereka sudah mengenal kamu sebagai anak yang judes. Jadi,”.
“Iya, aku tahu itu. Tidak masalah kok mereka menganggap aku seperti itu” potong Tari dengan kepala menunduk. “Sekali lagi aku minta maaf ya…” tambah Tari kemudian.
“Ok”.
***
Lela sudah menyadari kesalahannya. Lela bersedia mengulurkan tangannya demi membantu teman. Kini, dia menjadi bintang hati di kelas. Teman-temannya pun mulai menyayanginya.
Sifat manusia bisa berubah. Tergantung dari kemauan manusia itu sendiri. Setiap perubahan berawal dari kesalahan. Dengan menilai setiap kesalahan yang telah kita perbuat, kita bisa menjadikan sesuatu yang baru. Memperbaiki kesalahan dimasa lalu akan terasa ringan. Kita bisa merasakan ketentraman lahir dan bathin. Bukankah meminta maaf adalah sesuatu yang sangat mulia?.
KESADARAN BUAH SURGA
“Ren, bukankah sudah ku bilang, memetik buah miliknya orang lain itu berdosa. Apa kamu belum mengerti juga?” tanyaku kepadanya.
“Iya, iya. Aku mengerti” jawab Rendra.
“Iya, iya. Tapi, tidak dilakukan juga” kataku jengkel.
Rendra mengabaikan nasihatku. Ku lihat Rendra sudah pergi jauh. Aku hanya bisa menghela napas pasrah.
“Damar, sini” panggil Rendra dari kejauhan.
Ada apa lagi?, tanyaku dalam hati.
Aku segera menghampiri Rendra yang sedang melambaikan tangannya.
“Ada apa?” tanyaku setelah mendekatinya.
“Lihat. Buahnya merah, pasti enak” katanya lagi, menunjuk buah rambutan.
“Maaf Ren, aku tidak mau ikut. Mencuri itu perbuatan tercela. Lebih baik, urungkan saja niatmu itu” kataku menasehatinya.
“Terserah kalau kamu tidak mau” katanya.
Berhari-hari, kelakuan Rendra tak kunjung berubah. Setiap ada buah segar, pasti dia ambil, tanpa meminta ijin kepada pemiliknya. Aku juga tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk menasehatinya.
***
Tanpa diduga, Rendra melihat sesuatu yang menarik hatinya. Tampak beberapa orang berkerumun di sebuah toko, tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Rendra menuju toko tersebut. Dia berusaha menyelipkan tubuhnya diantara kerumunan orang.
“Cepat, bawa dia ke kantor polisi” bentak pemilik toko kepada seorang pemuda yang ketakutan.
“Tolong jangan bawa saya ke kantor polisi” kata pemuda itu memelas.
“Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu” kata pemilik toko.
“Pak, bawa dia ke kantor polisi” katanya lagi.
Seorang satpam bertubuh kekar, segera membawa pemuda itu dengan paksa.
“Bu, tolong jangan bawa saya ke kantor polisi. Saya akan mengganti semua kerugiannya” kata pemuda itu.
“Itu tidak cukup dengan apa yang telah Kau ambil”.
Ada perasaan bersalah menyelimuti hati Rendra. Perasaan yang selama ini tidak diketahuinya. Dia baru sadar setelah menyaksikan peristiwa yang berharga itu.
***
Setiba Rendra di rumah, dia menceritakan kejadian yang baru saja dilihatnya kepada ibunya. Matanya berkaca-kaca.
“Kamu tidak perlu bersedih. Yang terpenting sekarang, Rendra sudah sadar kalau perbuatanmu itu salah. Alangkah baiknya jika Rendra meminta maaf kepada orang yang telah kamu sakiti. Dan jangan lupa minta ampun kepada Allah. Semoga Allah mengampuni kesalahan Rendra. Tapi, Rendra harus berjanji tidak akan mengulanginya lagi” kata ibu.
“Iya, Bu. Rendra berjanji tidak akan mengulangi semua perbuatanku lagi” katanya.
***
Keesokan harinya, Rendra benar-benar membuktikan ucapannya. Dia mendatangi orang yang pernah disakitinya sekaligus meminta maaf. Tidak lupa, dia juga mendatangi sahabatnya.
“Damar, aku minta maaf kalau sikapku dulu kasar. Sekarang aku baru sadar kalau ucapanmu itu ada benarnya” kata Rendra.
“Iya, sobat. Aku sudah memaafkanmu. Aku senang kamu sudah sadar”.
SAHABAT ADA DIHATI
Terkadang, ikatan persahabatan yang kuat akan melemahkan mental seseorang. Begitulah yang dialami oleh Rahmi. Dia adalah seorang pelajar SMA. Sedangkan Andy adalah teman sebangkunya. Mereka menjalin rasa persahabatan yang semakin akrab dan hangat.
Benih-benih cinta baru diantara mereka pun mulai mekar. Dulu yang begitu percaya diri, sekarang bergetar di hati.
“Ra, sepulang sekolah nanti gue tunggu lo di taman ya?” ujar Andy serius, hendak berbalik pergi.
“Memangnya lo mau ngomong apa?” tanya Rahmi ketika mereka duduk-duduk di taman. Sekolah sudah bubar sedari tadi.
“Gini lho. Nanti malam ada acara pertemuan antar keluarga di rumah gue jam tujuh. Lo bisa datang kan?” tanya Andy lagi menjelaskan.
“Iya, Insyaallah” desah Rahmi ragu.
***
Acara pertemuan itu belum dimulai ketika Rahmi beserta keluarganya tiba. Namun, hidangan telah tertata rapi di meja makan. Rumah pun telah sedap dipandang mata.
“Ayo, silahkan duduk” sapa ibu Andy melihat keluarga Rahmi datang.
“Iya, tante” balas Rahmi kepada beliau, seraya mendaratkan tubuhnya ke sebuah kursi empuk.
Waktu dari perjanjian telah berlalu. Kami memulai acara sedikit terlambat. Bu Rizka, guru Bahasa Inggris kami terlambat datang karena anaknya sakit. Alhasil, acara dimulai pada pukul delapan. Ternyata, acara pertemuan itu membahas seputar hubungan antara Rahmi dan Andy. Bu Rizka menyarankan agar hubungan Rahmi dan Andy dibatasi. Beliau menyarankan agar mereka lebih fokus pada pelajaran. Rahmi pun baru mengetahuinya kalau Bu Rizka adalah sahabat baik ibunya Andy.
Rahmi dan Andy tidak ambil pusing mengenai nasihat Bu Rizka kemarin malam. Jalani saja apa adanya. Itulah kata kesepakatan yang telah mereka ambil. Tentu saja, Bu Rizka segera naik pitam. Mempermasalahkan hubungan kami di dalam kelas.
“Ra, nanti malam lo ada acara nggak?” celutuk Andy di kantin.
“Kayaknya nggak ada” balas Rahmi kemudian, menyeruput es jeruknya yang masih setengah.
“Kalau githu, gue jemput lo jam tujuh ya?. Ada yang mau gue omongin” Andy langsung berbalik pergi, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Udara atmosfer disekitar Rahmi sedikit berubah. Kata-kata yang diucapkan Andy tadi cukup serius.
***
Rahmi telah siap dengan kemeja hijaunya. Satu menit telah dilewatkan Rahmi menunggu Andy di depan teras. Sebuah motor melaju dengan kecepatan sedang mendarat di halaman rumahnya.
Andy memarkir motornya di sebuah restoran mewah.
Rahmi hendak memasukkan salad ke mulutnya, ketika Andy mengatakan sesuatu yang membuat ia mati rasa. “Ra, gue pengen kita putus” tukas Andy menyakitkan hatinya.
Refleks, Rahmi menjatuhkan sendoknya hingga terpelanting. “APA?!!” timpalnya shock bercampur tidak mengerti. Kontan, tatapan orang-orang langsung tertuju kepada Rahmi. Kenapa Andy mengatakan hal itu?. Bukankah kita sudah berjanji akan menjaga hubungan kita?.
“Iya, gue pengen kita putus” Andy mengulanginya lagi dengan terbata-bata.
“Kenapa??!!”. Rahmi masih tetap tidak bisa terima.
“Karena gue nggak pengen lo menderita”.
“Apa maksud lo?”.
“Udahlah, jangan tanya lagi” Andy mendorong kursinya lalu pergi.
Saat ini, suasana hati Rahmi seperti segenggam es. Bingung dengan apa yang baru saja dialaminya. Putus?!. Semudah itukah Andy mengatakan hal itu?!.
***
Telinga Rahmi masih kuasa mendengarkan berita yang telah beredar di sekolah. Kabar mengenai berakhirnya hubungan mereka berdua. Penyebab hubungan mereka telah berakhir tak lain karena Bu Rizka. Beliau berhasil membujuk ibu Andy agar menjauhkan mereka selama-lamanya.
Setahun telah mereka lewati dalam kebisuan. Tak saling menyapa satu sama lain. Bertatap muka pun jarang. Sepertinya, Andy sengaja menghindar dari Rahmi. Gosip yang beredar menjawab semuanya. Andy telah menemukan pasangannya yang baru dengan persetujuan Bu Rizka.
Memang sulit melepaskan seseorang yang kita cintai. Namun, waktu masih panjang. Kita bisa memulai sesuatu yang baru. Ikhlaskanlah kepergiannya. Mungkin, dengan cara itu hati kita bisa tenang. Asalkan, ikatan persahabatan itu masih ada di hati kita. Saat itulah kita tahu, ikatan itu akan abadi selamanya.
AKU, KAKEK dan PERUSAHAAN
Terjadi keributan di sebuah rumah mewah di desa Mawar. Perdebatan yang tak kunjung usai itu membuat beberapa tetangga penasaran. Rumah itu milik seorang kakek Saman yang telah mengelola perusahaan selama tiga puluh tahun. Perusahaan yang cukup terkemuka di daerahnya.
“Kek, Kikan tidak mau mengelola perusahaan itu. Apa Kakek masih tidak mengerti juga?!” raungku pedas.
“Tapi, ini semua demi kepentinganmu”.
“Kikan tetap tidak mau, Kek!”.
“Baiklah, kalau kamu tidak mau. Tapi, jangan harap kakek akan mengijinkanmu tinggal disini!” balas kakek naik darah.
“Ok, kalau kakek pengen Kikan pergi dari sini!. Itu tidak masalah buat Kikan. Sekarang juga Kikan akan pergi dari rumah ini. Selamat tinggal” tukas Kikan dengan berapi-api. Kikan benar-benar meninggalkan kakeknya. Membawa sebuah koper yang berisi pakaian.
Kikan melangkah dengan linglung. Tanpa tau ke mana arah tujuannya.
“Kan, kamu ngapain malam-malam disini?” sapa Brian kaget menemukan sahabatnya berjalan sendirian di jalan raya.
“Aku baru saja diusir dari rumah oleh kakek”.
Kikan menangis sesegukan.
“Terus, kamu mau kemana sekarang?”.
“Aku sendiri tidak tau mau kemana”.
“Bagaimana kalau untuk sementara ini kamu tinggal di rumah bibiku?”.
“Tapi…”.
“Udahlah. Hanya untuk sementara kok. Ok?. Kamu mau kan?. Daripada kamu mondar-mandir tidak jelas kayak gini”.
Kikan hanya bisa mengangguk pasrah. Kikan pun menceritakan masalah yang dialaminya kepada Brian. Brian hanya bisa mengelus dada.
***
“Kan, tadi malam kakek telepon aku. Dia pengen ketemu kamu” ujar Brian disela jam istirahat kampus.
“Kakek mau ketemu aku?. Apa tidak salah?” balas Kikan cuek, berbalik memunggungi Brian hendak pergi.
Brian dan Kikan telah menjalin persahabatan sejak kecil. Tidak heran, setiap ada masalah mereka saaling membantu. Namun, akhir-akhir ini hubungan antara Kikan dan kakeknya buruk. Itulah yang menyebabkan Kikan sering murung.
“Kan, bagaimana pun dia tetap kakek kamu kan?” bantah Brian tidak setuju dengan ucapannya tadi.
“Iya. Tapi, tetap aja kakek yang mengusir aku dari rumah” timpal Kikan dengan berang. Hampir saja emosi Kikan meledak.
“Udahlah… masalah itu jangan dibesar-besarkan lagi. Mungkin kakek pengen mengatakan sesuatu yang penting”. Brian mencoba membujuk Kikan. “Kamu mau kan ketemu kakek?” bujuk Brian sekali lagi dengan wajah memelas.
“Entahlah”.
Brian sudah bisa menebak pikiran Kikan. Apa yang ada dibenaknya. Namun, keputusan setiap saat bisa saja berubah.
***
Kikan telah mengambil keputusan. Dia mendatangi rumah kakek dengan langkah berat. Di wajahnya, masih tersirat keraguan. Namun, rasa cinta Kikan kepada kakeknya masih belum pudar.
Kusen pintu bergerak. Pintu menjeblak terbuka. Kakek muncul dihadapan Kikan. Dengan wajah bersinar, kakek mempersilahkan Kikan masuk.
“Kikan mendengar dari Brian kalau kakek pengen bertemu Kikan?. Ada masalah apa, Kek?”.
“Iya, memang benar”. Kakek menghela napas sebentar, lalu melanjutkan, “Begini, kakek minta maaf atas kejadian beberapa hari yang lalu. Kakek tidak bermaksud mengusir Kikan dari rumah”.
“Kakek tidak perlu mintta maaf. Kikan yang seharusnya minta maaf. Kikan juga belum siap mengelola perusahaan itu. Tapi, Kikan yakin selama perusahaan itu masih berada dibawah kendali kakek, semua akan baik-baik saja”.
“Iya, kakek mengerti dengan keputusan Kikan. Kakek tidak memaksa Kikan. Semua keputusan ada ditangan Kikan”.
***
Langit sedang muram. Cuaca sedang buruk malam itu. Bulan pun enggan menampakkan dirinya. Kikan masih merenungi perkataan kakek tadi. Belum terlambat mengubah keputusan. Dia harus mengambil suatu keputusan yang tepat.
Sekadar ingin jalan-jalan, Kikan tanpa sadar menuju rumah kakek. Tatapan Kikan langsung berubah seketika. Dia melihat Brian juga berada disana, tengah berbincang-bincang dengan kakek. Kikan tidak bisa menangkap pembicaraan mereka karena jaraknya lumayan jauh. Dia merapatkan tubuhnya ke sebuah tembok, sengaja tidak memperlihatkan diri.
***
Kikan mendatangi Brian dengan tergesa-gesa. Jam kuliah kampus telah berakhir. Beberapa mahasiswa telah bersiap-siap pulang. Kikan semakin mempercepat langkahnya menuju kelas Brian.
BRUK.
Kikan menubruk seseorang yang keluar pertama.
“Maaf” kata Kikan pelan, tanpa memandangnya.
Setelah meneliti lebih jauh, orang yang menubruk Brian ternyata, “Kikan?” sapa Brian kaget. Kikan segera mendongak ke sumber suara itu.
“Ada apa?” tanya Brian begitu kami tiba di taman.
Masih ada keraguan dihati Kikan menanyakan hal ini kepadanya. “Tadi malam aku tidak sengaja melewati rumah kakek. Dan tidak sengaja aku melihat kamu juga ada disana” kata Kikan berusaha berterus terang.
“Iya. Tadi malam aku memang ke rumah kakek. Aku cuman pengen main aja ke tempat kakek. Jadi, tadi malam kamu juga ada disana?. Kok aku tidak meliat kamu ya?” tanya Brian heran.
“Karena aku cuman lewat. Lagian, aku tidak bermaksud mau ke rumah kakek kok”.
“Ehm… ngomong-ngomong kamu sudah buat keputusan?” Brian menatapku dalam-dalam.
“Iya. Aku udah buat keputusan. Tapi, aku berubah pikiran”.
“Berubah pikiran?. Maksudnya?” timpal Brian tidak mengerti, seraya mengerutkan kening.
“Yah, githu deh” sahut Kikan dengan wajah ceria.
***
Matahari menyembul dari balik bukit. Memancarkan sinarnya yang terang.
Saat ini, Kikan menuju rumah kakek tanpa ada keraguan sedikit pun. Dia yakin keputusannya ini adalah yang terbaik. Di dalam hatinya, dia berjanji tidak akan mengecewakan kakeknya. Usaha dan kerja keras akan ia lakukan sungguh-sungguh.
Permintaan maafnya pun diterima dengan tulus oleh kakek. Kehidupan yang baru akan dimulai. Kakek mempercayakan perusahaan itu kepada Kikan. Hal itulah yang membuat Kikan bersemangat. Dia akan memegang teguh perkataannya. Mengelola perusahaan itu dengan baik. Kelak, perusahaan itu akan berkembang nantinya.
Persahabatan Sebuah Keluarga
Oleh: Maryam Yapeni
Pentas menggambarkan sebuah taman waktu pagi hari. Tampak disana beberapa bunga terlalu indah. Seorang pemudi pelajar sedang duduk-duduk di sebuah kursi. Ia bersilang tangan. Pemudi itu Rika namanya. Ia adalah sahabat Arni. Sementara Anton, teman Rika dan Arni, duduk disebelahnya, bingung.
Waktu itu hari Minggu, Rika tampak kusut. Wajahnya muram. Ia sudah mandi satu jam yang lalu. Ia terburu-buru ke rumah Anton karena mendengar berita dari Trisno, temannya, bahwa Arni tertangkap basah oleh polisi yang sedang menggunakan narkotika di jalan raya. Kini, Arni berada di dalam penjara.
Seorang pelajar lainnya, Karman, sedang berada di sebuah toko. Ia adalah anak dari seorang ayah yang berprofesi sebagai polisi.
Rika : “Karman.”
Anton : “Ya. Ada apa mencariku?”
Rika : “Aku perlu berdiskusi denganmu mengenai masalah Arni. Mungkin kita bisa meminta bantuan kepada ayah Karman agar Arni dibebaskan dari penjara”
Trisno : “Kurasa tak ada gunanya kita meminta bantuan kepada ayah Karman. Walaupun ayahnya polisi, tugas harus tetap dijalankan”
Rika : “Belum tentu, Tris. Kita coba dulu saja”
Karman datang. Napasnya terengah-engah. Peluhnya bercucuran.
Anton : “Kau dari mana saja, Man?”
Karman : “Dari toko”
Anton : “Hah?. Dari toko?”
Karman : “Aku baru saja mengantar ibuku belanja. Ada apa ini?. Kenapa kalian tiba-tiba menghubungiku agar datang kemari?”
Rika : “Begini. Aku membutuhkanmu untuk membujuk ayahmu agar mau membebaskan Arni dari penjara”
Karman : “Wah, kalau itu aku tidak tahu pasti apakah berhasil atau tidak”
Rika : “Tidak masalah. Itu urusan nanti”
Sore hari, Rika, Anton, Karman, Trisno mengunjungi Arni di penjara.
Rika : “Selamat sore, Pak” (menundukkan kepala)
Pak Polisi : “Iya, selamat sore. Ada yang bisa Bapak bantu?”
Anton : “Begini, Pak. Kami bisa bertemu dengan Pak Adi?”
Pak Polisi : “Maaf, Dik. Beliau sedang mendapat banyak tugas, sehingga tidak bisa diganggu”
Karman : “Maaf, Pak. Tapi, saya anaknya. Bolehkah saya menemui beliau?”
Pak Polisi : (Berpikir) “Ya, baiklah. Saya ijinkan”
Karman : “Terima kasih, Pak”
Pak Polisi : (Mengangguk)
Karman menemui ayahnya. Terjadi perdebatan singkat diantara mereka.
Karman : “Karman mohon ayah. Tolong bebaskan Arni dari penjara”
Ayah Adi : “Tetap tidak bisa, Man. Maafkan Ayah”
Karman : “Ayah, tapi Arni adalah salah satu sahabat Karman!. Karman mohon…”
Ayah Adi : “Tetap tidak bisa, Man. Mohon mengerti”
Karman : (memandang lantai dengan sedih) “Kalau begitu, apakah kami diperbolehkan menjenguk Arni sebentar?”
Ayah Adi : “Tentu saja boleh”
Beberapa jam kemudian. Karman muncul dengan lesu.
Trisno : “Bagaimana?”
Karman : (Menggelengkan kepala)
Anton : “Tidak berhasil ya?”
Karman : “Maaf”
Rika : “Ya sudah. Tidak apa-apa”
Trisno : (Membisu)
Karman : (Membisu)
Anton : (Membisu)
Rika : “Tapi, kita diperbolehkan menjenguk Arni?”
Karman : “Iya, boleh”
Berjalan menuju ke tempat Arni dipenjara.
Arni : (Berdiri)
Trisno : “Hai Ar, bagaimana keadaanmu?”
Arni : “Alhamdulillah baik”
Karman : “Maaf ya, Ar. Aku tidak bisa membebaskanmu dari penjara”
Arni : “Tidak masalah. Bagi Arni, kalian sudah mau menjengukku, Arni sudah bahagia”
Rika : “Teman, kau harus bersabar ya?”
Arni : “Iya. Terima kasih, Rik”
Rika : (Mengangguk) “Bukankah persahabatan kita juga salah satu sebuah keluarga?”
Arni : “Benar, Rik”
Anton : “Maaf ya, Ar. Kami hanya punya waktu sebentar menjengukmu. Kapan-kapan kami akan mengunjungimu lagi. Jaga dirimu baik-baik ya?”
Arni : “Iya. Terima kasih teman-teman. Kalian sudah mau mengunjungiku”
Anton : “Sama-sama”
Keluar dari penjara.
Rika : “Semoga Arni segera dibebaskan dari penjara ya?”
Anton : (Mengangguk)
Karman : (Mengangguk)
Trisno : (Mengangguk)
Anton : “Yang terpenting kita masih satu keluarga yang harus saling melindungi satu sama lain”
Upah dari Hasil Kerja Keras
Oleh: Maryam Yapeni
Para Pelaku:
1. Raditya, seorang pemuda yang bekerja sebagai koki di sebuah restoran, berumur 22 tahun.
2. Yuan, seorang gadis, berumur 20 tahun
3. Brian, sahabat Raditya, berumur 24 tahun
4. Pak Gunawan, pemilik restoran, berumur 35 tahun
Setting : Restoran terkemuka di sebuah dapur pada siang hari. Di dinding, ada beberapa panci. Ada beberapa meja yang berjajar. Diatasnya telah disediakan bahan masakan. Ada juga kompor gas.
Note : Kedua pemuda sedang memasak bersama-sama di dapur. Dengan kata lain, mereka bekerja sebagai koki di restoran itu. Tampak pada cara dan kebiasaan mereka memasak setiap harinya. Mereka juga memperlihatkan sebagai orang baik-baik. Hanya kerja keras yang diperlukan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Begitu layar tersingkap, tampak Raditya sedang asyik memasak. Ia menghadap ke dinding. Tangannya sibuk memegang wajan. Sedangkan Brian sedang menyiapkan bumbu di meja.
Brian : “Kau belum selesai juga memasaknya, Dit?”
Raditya : “Belum, sebentar lagi. Kau sendiri sudah menyiapkan bumbu-bumbunya?”
Brian : “Tentu saja sudah. Oh ya, aku dengar hari ini ada pelayan baru ya?. Dengar- dengar sih, dia cantik”
Raditya : (Diam saja)
Brian : (Memasukkan bumbu-bumbu ke dalam wajan)
Pak Gunawan datang dengan kemeja rapi.
Pak Gunawan : “Kalian sudah selesai memasaknya belum?”
Raditya : “Iya, Pak. Sebentar lagi juga sudah selesai”
Pak Gunawan : “Bagus. Kalau begitu, tolong kalian membantu Yuan memasak ya?”
Brian : (Bersama) “Baik, Pak”
Raditya : (Bersama) “Baik, Pak”
Brian : (Menengadahkan kepalanya, tersenyum ke arah Yuan) “Hai”
Yuan : (Diam saja)
Brian : “Oh ya, kami ucapkan selamat datang di restoran ini. Semoga kau betah bekerja di
sini ya?”
Yuan : “Ya. Terima kasih”
Brian : (Mengulurkan tangan, tersenyum) “Brian”
Yuan : (Mengangguk)
Brian : “Bagaimana kalau kita mulai sekarang?”
Yuan : “Baik”
Brian : “Begini saja. Untuk urusan memasak, biar Raditya yang akan membantumu. Aku juga tidak terlalu mahir dalam hal memasak”
Yuan : (Berjalan menuju Raditya, mengulurkan tangan) “Mohon bantuannya”
Raditya : “Kita mulai sekarang”
Dua tahun telah dilewati Yuan belajar memasak bersama Raditya. Kini, Yuan telah diterima menjadi koki di restoran itu. Dia menerima gaji yang cukup besar. Demikian pula, Brian dan Raditya. Mendapatkan imbalan yang lebih dari hasil kerja keras mereka.
Yuan : “Thanks ya…kalian sudah mau membantuku”
Raditya : (Bersama) “Kembali”
Brian : (Bersama) “Kembali”
SOLIDARITAS UNTUK JEPANG
Bencana tsunami, gempa, radiasi nuklir yang terjadi secara tiba-tiba di Jepang pada tanggal sebelas Maret lalu membuat panik masyarakat. Secara drastis, rumah beserta bangunan di bagian Jepang timur laut, seperti Miyagi, Fukushima, Iwate terendam air bercampur radiasi nuklir tersebut dalam waktu bersamaan. Sangat memprihatinkan. Di saat masyarakat membutuhkan seorang ahli yang mampu menangani kerusakan yang terjadi di PLTN Fukushima Daiji yang bermasalah akibat tidak mampu mencegah kebocoran, sosok beliau telah tiada.
Hari Minggu inilah, kami mengadakan event “Solidaritas untuk Jepang” di Taman Budaya Yogyakarta guna memberi semangat kepada warga Jepang yang terkena musibah. Dalam hal ini, kami mengajari anak-anak membuat origami burung bangau dari kertas batik sebagai lambang kekuatan. Dibagi menjadi dua kelompok, origami membuat burung bangau dan menggambar.
Disinilah diriku, masih termenung menunggu teman-teman yang lain datang.
“Hai…” sapa Yunita sambil tersenyum, seraya menghampiriku yang tengah duduk. Aku membalas senyumannya sambil melambaikan tangan bersahabat.
“Baru datang?” tanya Yunita, mendaratkan tubuhnya di sampingku lalu mengalihkan pandangannya ke seluruh sudut.
Aku kembali menatapnya. “Mencari apa?”. Aku mengerutkan kening sambil mengikuti arah pandangnya.
Belum sempat menjawab, Yunita berdiri mencari seseorang yang sudah datang selain kami. Kakak-kakak senior mulai bermunculan. Mereka mengajak kami menemui salah seorang mahasiswi yang berasal dari Miyagi yang sengaja hadir di Taman Budaya. Rencananya origami burung bangau yang nanti kami buat akan dititipkan kepada mahasiswi itu.
Ia mengulurkan tangan. Tanpa sungkan, kami menyambut uluran tangannya sambil tersenyum. Tapi, aku bisa memahami bahwa pada kenyataannya ia sedih serta memikul tanggung jawab yang besar untuk mengembalikan semangat hidupnya.
Berkumpulnya teman-teman yang lain beberapa jam kemudian, membuat suasana menjadi semakin meriah. Meskipun keringat membasahi wajah, kepedulian kami kepada masyarakat Jepang agar dapat tersenyum dan mengembalikan kepercayaan diri mereka kembali tidak akan pernah luntur. Kami semua yakin bahwa Allah tidak akan pernah memberi cobaan diatas kemampuan umat manusia.
Kak Kira menatap kami secara bergantian. “Tolong bantu sebisa kalian, ya…”.
“Iya. Bagaimana pun juga ini merupakan tanggung jawab kami untuk menolong sesama. Mengingat Yogyakarta pernah tertimpa atau mendapat musibah dan kami juga pernah merasakan kepahitannya”.
“Terima kasih”.
Diam seribu bahasa, sepertinya tidak cocok bagi kami dalam hal ini. Tapi, entah mengapa mulut kami seakan terkunci rapat. Aku hanya mengalihkan pandangan ke arah sebagian besar masyarakat Yogyakarta, terutama anak-anak kecil yang turut berpartisipasi mengikuti acara ini.
“Saat ini Jepang sedang dalam keadaan terguncang. Bencana gempa, tsunami dan radiasi nuklir yang datang bersamaan tidak pernah diperkirakan masyarakat sebelumnya” kata Kak Kira lagi.
***
Kulihat sebagian besar anak kecil sangat antusias membuat burung bangau dalam jumlah besar, dengan bantuan kakak-kakak senior. Wajah mereka menggambarkan kepedulian. Tidak kusangka mataku berkaca-kaca dan mulai tersentuh.
“Ada apa?” Kemunculan Kak Li secara tiba-tiba di belakangku, membuatku kaget.
“Tidak ada apa-apa” jawabku sekenanya sambil membalikkan badan, tersenyum.
“Wajar saja kalau kamu terharu melihat anak-anak ini begitu bersemangat dan antusias membuat origami burung bangau. Sebenarnya hati dan perasaan mereka jauh lebih kuat. Semoga kepedulian mereka terhadap keadaan Jepang dapat membuat Negara itu kembali pulih…” kata Kak Li.
“Iya, Kak… Semoga do’a mereka dikabulkan”.
Suara seorang mahasiswi Miyagi terdengar membahana melalui mikrofon. Ia berterima kasih atas kepedulian kami semua yang telah berpartisipasi menyelenggarakan event origami ini. Ia sangat mengharapkan masyarakat Jepang dapat merasakan ketulusan hati kami. Bahkan, ia pun berdoa semoga kebaikan hati kami dibalas oleh-Nya. Kebahagaian kalian juga merupakan kebahagiaan kami. Begitu juga sebaliknya.
“Oh ya, perkenalkan ini Satrio dari Miyagi. Saya sengaja mengajaknya kemari karena dia ingin ikut belajar bersama membuat origami dengan teman-teman” kata mahasiswi itu menghampiri kami dengan menggandeng tangan seorang anak yang berumur sekitar sembilan tahun.
Ia mulai berbincang-bincang dengan Kak Kira.
“Salam kenal, Kak. Saya Satrio dari Miyagi. Keadaan desaku sangat memprihatinkan tertimpa musibah sebelas Maret lalu. Semuanya hancur lebur. Saya dan masyarakat tampak ketakutan dan kekhawatiran menyelimuti wajah mereka melihat gelombang tsunami yang besar menerjang desa kami. Warga mulai panik dan segera berbondong-bondong menyelamatkan diri. Sampai saat ini, aku masih mengingat musibah mengerikan itu. Saat itu, tubuhku terlalu kaku untuk bergerak. Dan tidak kusangka, kedua orang tuaku mulai menyuruhku bergerak dan berusaha menyelamatkan diri”. Matanya mulai berkaca-kaca. “Dan… karena kesalahankulah kedua orang tuaku meninggal ditelan bencana yang mengerikan itu demi menyelamatkanku”. Kini, air matanya mengalir dengan deras.
Mahasiswi dari Miyagi, yang sedari tadi ikut mendengarkan cerita Satrio, segera mengambil alih. Setelah ia menenangkan Satrio, mengajaknya berkumpul dengan kami, mahasiswi itu segera menghampiri Kak Kira lagi.
“Maafkan sikap Satrio. Dia baru saja kehilangan anggota keluarganya akibat musibah itu. Hanya dia yang berhasil selamat. Ia bahkan menyaksikannya sendiri bagaimana gelombang tsunami menyapu Negara Jepang bagian timur laut beserta kedua orang tuanya. Saya sendiri juga tidak tahu kenapa kondisinya kembali labil. Padahal, beberapa hari sebelumnya, ia sudah bisa kembali ceria. Mungkin, ia kembali teringat dengan kepergian kedua orang tuanya. Saya mewakili Satrio meminta maaf”. Mahasiswi itu kembali terdiam, lalu melanjutkan. “Maaf, bukannya saya ingin menyalahkan kalian. Justru saya ingin berterima kasih kepada teman-teman yang sudah mau membantu mengembalikan kepercayaan diri mereka”.
“Justru kami yang seharusnya meminta maaf karena belum bisa membantu lebih banyak bagi warga Jepang”.
“Justru kalian sudah banyak membantu. Kami sangat berterima kasih”.
Mahasiswi itu mengalihkan pandangannya ke arah Satrio. Tanpa sadar, sebuah senyuman mahasiswi itu seketika terkembang. Melihat Satrio tertawa dan kembali ceria, membuat hatinya lega. Setidaknya untuk saat ini, ia dapat berbagi dengan kami.
“Sebenarnya, Satrio itu hanya membutuhkan seorang teman yang bisa berbagi dengannya. Mungkin, sejak kematian kedua orang tuanya, ia merasakan kesepian” kata Kak Kira sambil menatap Satrio.
“Iya. Mungkin memang benar ia membutuhkan seseorang yang bisa memahami dirinya. Mungkin kami akan menitipkannya kepada sebuah keluarga yang mau mengadopsinya setelah ada persetujuan dari pihak terkait”.
“Mungkin itu jalan yang terbaik. Setidaknya, ia bisa berbagi bersama mereka. Ia masih membutuhkan sosok keluarga yang selalu menyayanginya”.
Diakhir perpisahan, ia menjabat tangan kami dengan sikap bersahabat dan keharuan.
“Terima kasih atas kerja sama dan bantuan kalian dalam event yang diselenggarakan hari ini. Ini merupakan suatu penghormatan bagi kami, masyarakat Jepang. Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih banyak”. Mahasiswi tersebut menjabat tangan Kak Li.
“Kami juga senang dapat membantu masyarakat Jepang. Sejujurnya, kami ingin membantu lebih banyak lagi. Seharusnya, kami yang seharusnya berterima kasih karena Anda telah meluangkan waktu untuk berkunjung kemari”.
“Iya. Sama-sama… Kami sangat senang dengan penghormatan yang Anda berikan. Saya akan memberikan burung bangau ini kepada masyarakat Jepang agar mereka mengetahui bahwa kehidupan belum sepenuhnya berakhir. Masa depan masih menanti. Juga sebagai bukti bahwa masih ada orang yang peduli dan memperhatikan mereka”.
Lalu, ia pun berkeliling menjabat tangan kami semua sambil tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih dengan diiringi oleh Satrio. Wajahnya sudah terlihat cerah.
“Terima kasih atas bantuannya… Kalau ada waktu saya pasti akan berkunjung kemari lagi. Di Yogyakarta ini sangat menyenangkan”.
“Saya menyadari satu hal, bahwa hidup harus tetap dilanjutkan, meskipun sesulit apa pun. Saya yakin itu. Teman-teman saya yang lain pasti akan menyadari hal itu”. Lalu, ia pun tersenyum.
Kami yang berkumpul ikut tersenyum.
“Oh iya Kak, boleh saya minta satu permohonan?”.
“Apa itu?”. Giliran Kak Li ikut menyambung.
“Saya ingin berfoto dengan teman-teman semua. Bagi saya, hari ini sangat istimewa karena inilah pertama kalinya saya berkunjung ke Yogyakarta dan mempunyai teman yang memiliki semangat yang tinggi”.
“Tentu saja” kata Kak Li.
Dan, dalam sekejap, sebuah perkumpulan terbentuk. Saling merapatkan diri dan menampilkan pose yang berbeda-beda. Melihat itu semua, aku tahu hari ini adalah hari yang terindah yang tidak akan terlupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar