MEMORIES OF THE FUTURE
Drrt drrt drrt…
Ku tengadahkan
kepala dari bantal dengan malas. Mengambil handphoneku
yang masih bergetar. Meletakkannya di telinga, sambil menyapa, “Hallo”.
“Rukia, lo udah
sampai belum?” tanya Megumi berteriak di seberang sana.
“Gue masih ada di
rumah nih. Memangnya kenapa?. Lo mau main ke rumah gue?”.
“Yee… Lo lupa ya
kalau hari ini kita disuruh kumpul ama Li sebelum jam tiga!” balas Rita kesal.
Aku menepuk
kening, Kenapa gue baru ingat sekarang kalau hari ini ada reuniannya Atsuki.
Pasti Li marah deh karena gue terlambat datang, batinku menyesal. “Oh iya, gue lupa. Sorry… Gue ke sana sekarang deh. Lima belas menit lagi gue sampai.
Ok” jawabku datar sambil menguap.
Atsuki (Anime
Tokusatsu Community) sendiri adalah sekelompok komunitas yang menyukai
jejepangan. Anime adalah animasi khas Jepang, yang biasanya dicirikan melalui
gambar-gambar berwarna-warni yang menampilkan tokoh-tokoh dalam berbagai macam
lokasi dan cerita, yang ditujukan pada beragam jenis penonton. Anime dipengaruhi
gaya gambar manga, komik khas Jepang. Tokusatsu adalah film-film Jepang yang
memakai special efek. Biasanya dicirikan dengan bentuk robot, seperti ultramen,
kamen rider. Film ini lebih ditujukan kepada anak-anak yang mengandung unsur
bahwa kebaikan akan mengalahkan kejahatan.
“Cepetan ya,
teman-teman yang lain sudah datang nih”.
“Iya, iya”
jawabku kesal.
Aku bergegas
menuju ke kamar mandi. Lalu, menyiapkan semua peralatan yang harus dibawa.
Syukurlah, sudah ku siapkan semua keperluan yang perlu dibawa sehingga aku
hanya berangkat saja.
“Kak, aku pergi
dulu ya… Tolong pamitkan mama ya”.
Kakakku yang
tengah membersihkan jendela, langsung menatapku. “Lo nggak makan dulu?. Kakak,
lo tinggal?. Katanya mau berangkat sama-sama?” timpalnya cepat dengan tergesa-gesa.
“Maaf, Kak.
Kayaknya aku nggak bisa berangkat sama kakak deh karena udah terlambat. Lupa
kalau disuruh kumpul sebelum jam tiga. Aku makannya sekalian disana aja. Bye… Sampai ketemu disana”. Aku
mempercepat langkahku menuju ke JNM (Jogja Nasional Museum).
“Hati-hati ya…”
sambung kakakku berteriak. Aku tidak menggubrisnya karena suaranya sudah tidak
terdengar.
***
Gedung JNM (Jogja
Nasional Museum) sudah terlihat begitu aku tiba lima belas menit kemudian.
Kembali menggerakkan otot-otot kakiku menaiki tangga dimana teman-temanku
berkumpul. Ku lihat sekilas, mereka tengah mondar-mandir mengerjakan sesuatu.
“Terlambat” sapa
Li singkat, berdiri dihadapanku dengan wajah mengerut.
“Maaf… Aku
terlambat bangun” balasku sambil membungkukkan badan.
“Hmm ok nggak
masalah. Lain kali jangan diulangi lagi”.
“Baik” balasku
lagi, masih membukkukkan badan. Lalu, bergegas menghampiri teman-temanku yang
lain, membantunya.
Sudah ku duga,
Megumi berlari ke arahku sambil menceramahiku “Hei, lama banget sih lo datang.
Gue udah capek nih”.
“Iya deh, maaf”.
***
Waktu sudah
menunjukkan pukul tiga. Namun, pengunjung yang datang baru beberapa saja,
termasuk member Atsuki. Masing-masing dari kami mempunyai tugas tersendiri.
Seperti Mahmud, melayani bagian pendaftaran atau lebih tepatnya menjadi
bendahara umum Atsuki sekaligus merangkap menjadi MC bersama Rahma. Sedangkan
teman-temanku yang lain tengah asyik mengerjakan tugasnya.
Acara ini telah
diumumkan melalui radio swaragama dan UTY, termasuk biaya pendaftarannya
beberapa minggu yang lalu. Ternyata acara reunian Atsuki sedikit terlambat
sesuai jadwal. Acara ini dimulai pada pukul setengah lima, yang seharusnya
dimulai pada pukul tiga sore. Alhasil, semua pengunjung harus sabar menunggu.
Beberapa member
sekaligus penanggung jawab Atsuki mempersilahkan pengunjungnya masuk. Setelah
semua berkumpul, sempat ku lihat sekilas, ternyata pengunjungnya tidak terlalu
banyak juga. Entah dari komunitas mana saja. Mungkin, yang terbanyak dari
komunitas Atsuki sendiri karena ini memang acaranya mereka, tapi terbuka untuk
umum.
Acara pembukaan
dimulai dengan akustikan yang digawangi oleh tuan rumah, membawakan beberapa
lagu. Sekaligus memperkenalkan personelnya. Lalu, pertunjukan sulap dengan
bermain kartu. Disini, beberapa sukarelawan dimintai tolong untuk membantu.
Penampilan sebuah
band dengan membawakan soundtrack
anime maupun tokusatsu pun dinyanyikan seusai maghrib. Diantaranya lagu dari soundtrack anime Inuyasha.
Lalu, beranjak ke
acara selanjutnya.
Ketua acara,
Yusuf atau yang sering dipanggil Setsuna memberikan beberapa sambutan.
Penanggung jawab Atsuki, Li chan juga memperkenalkan awal mulanya terbentuknya
komunitas ini, cara yang digunakan mereka untuk memperkenalkan komunitasnya
sampai event-event yang pernah diselenggarakan.
“Jika kita
bergabung disuatu komunitas hanya sekadar mencari pacar itu jelas salah.
Betul?” tanyanya dengan berapi-api.
“Betul” sahut
kami serentak, suasana makin membahana.
“Saat ini kami
sedang mengadakan suatu kegiatan, seperti Class Armor dan Class Bahasa yang bertujuan
menggali potensi yang dimiliki para member. Barulah komunitas itu akan
berkembang. Betul?” tanyanya lagi, masih berapi-api.
“Betul” sahut
kami serentak.
“Biasanya, jika
kita menonton film kartun, identik dengan “anak kecil”. Oleh karena itu, kebanyakan
orang lebih bersikap acuh tak acuh mengenai hal ini. Sering kali mereka
berpikir, untuk apa sih menonton film kartun?. Tapi, tanggapan kami sama sekali
berbeda. Film kartun bukan saja dinikmati oleh anak kecil, bahkan orang dewasa
bisa menonton. Selain itu, didalamnya terdapat pelajaran yang dapat kita ambil,
seperti SEMANGAT PANTANG MENYERAH BISA MENGALAHKAN SEMUANYA. Tapi, Di komunitas
ini kalian akan benar-benar dihargai, tidak dianggap seperti anak kecil.
Walaupun ada yang mengejek anda demikian, yang terpenting anda memiliki hobi
yang sama, yaitu menonton anime” Li berdeham sejenak, lalu melanjutkan, “Jika
aku mengamati, hanya beberapa orang saja yang menyukai anime, bahkan jarang.
Jadi, mulailah menyukai anime. Tidak selamanya anime itu selalu terikat kepada
“anak kecil”.
Sesi istirahat
ini kami dipersilahkan menikmati hidangan takoyaki (makanan Jepang, yang
berasal dari kata tako atau gurita. Lebih tepatnya dikatakan bakso gurita),
serta diberi stiker Atsuki dengan diiringi oleh beberapa musik jepang. Lalu,
nonton bareng anime Naruto the movie yang menjadi salah satu puncak acara.
Gaya bicara yang
terdapat di anime Naruto menggunakan bahasa Jepang yang tidak ku mengerti.
Lalu, ditranslate ke dalam bahasa
inggris yang semakin tidak ku mengerti. Aku hanya menyaksikan filmnya melalui
gerakannya saja. Namun, sebagian pengunjung sudah pulang karena waktu
menunjukkan pukul sembilan malam.
“Gue nggak ngerti
apa yang mereka bicarakan ketika menggunakan bahasa Inggris” protesku kepada
Megumi sambil menyaksikan anime naruto the movie diputar.
“Ha ha ha…
Belajar donk” timpal Megumi meledek sambil tertawa terbahak-bahak. Kontan,
semua pengunjung menoleh ke arahnya dan membelalakkan mata. Ternyata suara
Megumi melebihi percakapan yang ada didalam anime naruto ya. He he he…
Megumi membalas
tatapan mereka dengan perasaan bersalah sambil meminta maaf, “Sorry, sorry…”.
Aku yang
menyaksikan kejadian barusan hanya cekikikan. Megumi menatapku dengan kesal.
Lalu, memalingkan wajahnya kembali ke layar, menyaksikan anime naruto dengan
antusias.
Alhasil,
tokusatsu ditiadakan, bersamaan dengan itu acara ditutup.
PERSAHABATAN ITU INDAH
Matahari
sudah tak tampak lagi. Riko baru saja pulang dari sekolah, seusai membersihkan
kelas. Matanya tertuju kepada seorang anak seusianya di tengah lapangan.
Menatap langit yang sudah mulai gelap.
Riko
menghampirinya dengan langkah pelan. “Hai. Kenapa kamu masih ada disini?. Nggak
pulang?” sapaku hati-hati, takut menyinggung perasaannya.
Terlihat
jelas di wajahnya tersimpan kesedihan yang mendalam. Dia memandangku sekilas,
lalu kembali menatap langit.
“Ada apa?” tanyanya cuek.
“Nggak
ada apa-apa kok. Kalau githu, aku pulang duluan ya…” sahutku gugup. Beranjak
meninggalkannya.
“Kamu
sendiri kenapa baru pulang?” tanyanya tiba-tiba, menghentikan langkahku,
berbalik menatapnya.
“Oh,
aku piket. Jadi, baru bisa pulang sekarang. He he he” sambungku lagi sambil
tersenyum, menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
Anak
itu kembali terdiam.
“Bukankah
kamu Riko?” tanyanya pelan tapi pasti.
Aku
menatapnya kembali. Kenapa dia tahu namaku?, tanyaku dalam hati.
“Iya.
Kau tahu namaku?. Apa…” jawabku menerka-nerka.
“Siapa
yang tidak mengenalmu?. Kamu lupa denganku?” selanya lagi, membuatku semakin
penasaran.
“Ridwan?.
Benarkah itu kamu?” tanyaku memastikan.
Ridwan
tetap diam, tak berkutik.
“Akhirnya
kita bertemu lagi” lanjutku girang, memeluk Ridwan erat-erat.
Ridwan
yang mendapat pelukan yang tiba-tiba itu, menjadi salah tingkah. Tidak ku
sangka, Riko akan memeluknya seperti ini.
“Iya,
iya. Udah donk” timpalnya setengah jengkel, berusaha melepaskan pelukanku.
Aku
telah menemukan kembali sahabatku yang sempat terpisah beberapa tahun yang lalu
karena pekerjaan. Kini, aku telah dipertemukan kembali dengannya. Entah apa
yang membuatnya berada disini. Menatapnya dengan gembira. Lalu, aku pun
tersenyum lebar.
“Maaf
ya… he he he” jawabku, geli melihat wajahnya yang kusut.
Semenit
kemudian, Ridwan kembali murung, tertunduk lemas.
“Kamu
punya masalah ya?. Ceritakan saja. Mungkin aku bisa membantumu” kataku
menawarkan.
Ridwan
berpikir sejenak, apakah ia harus menceritakan hal ini kepadaku atau tidak.
“Ayolah.
Ceritakan” kataku sedikit memaksa. Mendekatkan wajahku kepadanya. Lalu, dia cepat-cepat
berpaling, menatap langit.
Saat
itu juga, aku mulai mengerti kondisinya.
“Ayah
Ibuku meninggal beberapa bulan yang lalu. Rumah kami juga ikut disita oleh
perusahaan. Awalnya, aku bingung harus melakukan apa. Aku terlalu shock untuk
bisa mencerna keadaan waktu itu. Dan, aku mulai berpikir untuk mencari tempat
tinggal. Tapi, usahaku itu sia-sia. Tidak ada rumah kontrakan yang bisa
menampungku” Ridwan menjelaskan panjang lebar setengah melamun.
Aku
tidak menyangka Ridwan akan mendapat musibah seperti ini. Padahal, dahulu
kehidupannya berkecukupan. Kini, semuanya telah sirna. Mungkin Allah sedang
menguji kesabaran keluarganya.
“Aku
ikut prihatin atas musibah yang menimpamu. Kamu harus bersabar karena setiap
musibah pasti ada hikmahnya. Percayalah kepada Allah. Mungkin, suatu saat nanti
Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik” pesanku kepadanya, menepuk
pundaknya.
Ridwan
masih tetap tak mau berkutik. Matanya berkaca-kaca setiap mengingat kejadian
yang menimpa keluarganya.
“Bagaimana
kalau kamu tinggal di rumahku saja?. Kakakku pasti setuju” usulku kemudian.
“Trims. Tapi, bagaimana dengan kedua
orangtuamu?” jawabnya sambil menatapku.
“Tenang
saja. Mereka tidak ada di rumah. Sudah tiga bulan ini mereka pergi ke Amerika.
Bagaimana?, kamu mau kan?”.
Ridwan
tidak langsung menjawab, berpikir sejenak.
“Baiklah”.
“Lets go” kataku dengan semangat
berapi-api.
“Ke
mana?”.
“Ke
rumahku” aku menarik tangannya, sambil menjinjing kopernya.
Melihat
aku menjinjing koper, Ridwan mendahului, “Tidak perlu. Biar aku saja yang
membawanya” tolak Ridwan halus.
“Sudahlah.
No problem. Ok” ucapku tetap memaksa
membawakan kopernya. Mengacungkan jempol ke arahnya sambil mengedipkan mata.
***
Diam-diam,
Riko senang melihat perubahan sikap sahabatnya itu yang pelan-pelan mulai
mencair. Sikapnya tidak tertutup lagi ketika mereka pertama kali bertemu.
Bahkan, dia bisa tertawa riang.
Tidak
ku sangka, kakak juga menerima kehadiran Ridwan dengan manis. Dan
mengijinkannya tinggal di rumah.
“Kamu
betah tinggal di rumahku?” tanyaku suatu ketika, di depan kolam renang.
“Lumayan”
katanya pendek. Melihat perubahan wajahnya, Ridwan segera menimpali, “Tentu
saja aku senang. He he he”.
Aku
pun tertawa melihat tingkahnya yang ketakutan.
“Lucu
juga wajahmu”.
“Riko?!”.
Lalu,
kami pun tertawa.
***
Tiga
bulan telah berlalu begitu cepat. Kabar mengenai kepulangan kedua orang tuaku
mulai terdengar. Kami bersama-sama menjemput mereka di bandara. Setelah aku
menceritakan maksudku, mereka juga mengijinkan Ridwan tinggal di rumah. Dan
berjanji akan menyayanginya seperti keluarganya sendiri.
“Tentu
saja kami senang jika kamu mau menginap di rumah Ridwan. Jadi, dia tidak merasa
kesepian lagi karena kehilangan kamu” kata Ibuku waktu itu bergurau.
Aku
menjadi salah tingkah sambil tersenyum simpul.
“Benar
apa yang dikatakan Ibu. Setiap hari dia menangis terus, berharap kamu kembali
kepadanya”.
“Itu
semua bohong kok. Nggak perlu kamu menanggapinya dengan serius” bantahku
bingung.
Riko
hanya tersenyum melihat kekokacakan keluarga Ridwan.
Ya
Allah terima kasih atas kemurahanMu. Engkau telah memberikan hal yang lebih
indah dari sebuah arti persahabatan, ungkapku penuh syukur.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar