Minggu, 22 Juli 2012


MEMORIES OF THE FUTURE


Drrt drrt drrt…
Ku tengadahkan kepala dari bantal dengan malas. Mengambil handphoneku yang masih bergetar. Meletakkannya di telinga, sambil menyapa, “Hallo”.
“Rukia, lo udah sampai belum?” tanya Megumi berteriak di seberang sana.
“Gue masih ada di rumah nih. Memangnya kenapa?. Lo mau main ke rumah gue?”.
“Yee… Lo lupa ya kalau hari ini kita disuruh kumpul ama Li sebelum jam tiga!” balas Rita kesal.
Aku menepuk kening, Kenapa gue baru ingat sekarang kalau hari ini ada reuniannya Atsuki. Pasti Li marah deh karena gue terlambat datang, batinku menyesal.  “Oh iya, gue lupa. Sorry… Gue ke sana sekarang deh. Lima belas menit lagi gue sampai. Ok” jawabku datar sambil menguap.
Atsuki (Anime Tokusatsu Community) sendiri adalah sekelompok komunitas yang menyukai jejepangan. Anime adalah animasi khas Jepang, yang biasanya dicirikan melalui gambar-gambar berwarna-warni yang menampilkan tokoh-tokoh dalam berbagai macam lokasi dan cerita, yang ditujukan pada beragam jenis penonton. Anime dipengaruhi gaya gambar manga, komik khas Jepang. Tokusatsu adalah film-film Jepang yang memakai special efek. Biasanya dicirikan dengan bentuk robot, seperti ultramen, kamen rider. Film ini lebih ditujukan kepada anak-anak yang mengandung unsur bahwa kebaikan akan mengalahkan kejahatan.
“Cepetan ya, teman-teman yang lain sudah datang nih”.
“Iya, iya” jawabku kesal.
Aku bergegas menuju ke kamar mandi. Lalu, menyiapkan semua peralatan yang harus dibawa. Syukurlah, sudah ku siapkan semua keperluan yang perlu dibawa sehingga aku hanya berangkat saja.
“Kak, aku pergi dulu ya… Tolong pamitkan mama ya”.
Kakakku yang tengah membersihkan jendela, langsung menatapku. “Lo nggak makan dulu?. Kakak, lo tinggal?. Katanya mau berangkat sama-sama?” timpalnya cepat dengan tergesa-gesa.
“Maaf, Kak. Kayaknya aku nggak bisa berangkat sama kakak deh karena udah terlambat. Lupa kalau disuruh kumpul sebelum jam tiga. Aku makannya sekalian disana aja. Bye… Sampai ketemu disana”. Aku mempercepat langkahku menuju ke JNM (Jogja Nasional Museum).
“Hati-hati ya…” sambung kakakku berteriak. Aku tidak menggubrisnya karena suaranya sudah tidak terdengar.
***
Gedung JNM (Jogja Nasional Museum) sudah terlihat begitu aku tiba lima belas menit kemudian. Kembali menggerakkan otot-otot kakiku menaiki tangga dimana teman-temanku berkumpul. Ku lihat sekilas, mereka tengah mondar-mandir mengerjakan sesuatu.
“Terlambat” sapa Li singkat, berdiri dihadapanku dengan wajah mengerut.
“Maaf… Aku terlambat bangun” balasku sambil membungkukkan badan.
“Hmm ok nggak masalah. Lain kali jangan diulangi lagi”.
“Baik” balasku lagi, masih membukkukkan badan. Lalu, bergegas menghampiri teman-temanku yang lain, membantunya.
Sudah ku duga, Megumi berlari ke arahku sambil menceramahiku “Hei, lama banget sih lo datang. Gue udah capek nih”.
“Iya deh, maaf”.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga. Namun, pengunjung yang datang baru beberapa saja, termasuk member Atsuki. Masing-masing dari kami mempunyai tugas tersendiri. Seperti Mahmud, melayani bagian pendaftaran atau lebih tepatnya menjadi bendahara umum Atsuki sekaligus merangkap menjadi MC bersama Rahma. Sedangkan teman-temanku yang lain tengah asyik mengerjakan tugasnya.
Acara ini telah diumumkan melalui radio swaragama dan UTY, termasuk biaya pendaftarannya beberapa minggu yang lalu. Ternyata acara reunian Atsuki sedikit terlambat sesuai jadwal. Acara ini dimulai pada pukul setengah lima, yang seharusnya dimulai pada pukul tiga sore. Alhasil, semua pengunjung harus sabar menunggu.
Beberapa member sekaligus penanggung jawab Atsuki mempersilahkan pengunjungnya masuk. Setelah semua berkumpul, sempat ku lihat sekilas, ternyata pengunjungnya tidak terlalu banyak juga. Entah dari komunitas mana saja. Mungkin, yang terbanyak dari komunitas Atsuki sendiri karena ini memang acaranya mereka, tapi terbuka untuk umum.
Acara pembukaan dimulai dengan akustikan yang digawangi oleh tuan rumah, membawakan beberapa lagu. Sekaligus memperkenalkan personelnya. Lalu, pertunjukan sulap dengan bermain kartu. Disini, beberapa sukarelawan dimintai tolong untuk membantu.
Penampilan sebuah band dengan membawakan soundtrack anime maupun tokusatsu pun dinyanyikan seusai maghrib. Diantaranya lagu dari soundtrack anime Inuyasha.
Lalu, beranjak ke acara selanjutnya.
Ketua acara, Yusuf atau yang sering dipanggil Setsuna memberikan beberapa sambutan. Penanggung jawab Atsuki, Li chan juga memperkenalkan awal mulanya terbentuknya komunitas ini, cara yang digunakan mereka untuk memperkenalkan komunitasnya sampai event-event yang pernah diselenggarakan.
“Jika kita bergabung disuatu komunitas hanya sekadar mencari pacar itu jelas salah. Betul?” tanyanya dengan berapi-api.
“Betul” sahut kami serentak, suasana makin membahana.
“Saat ini kami sedang mengadakan suatu kegiatan, seperti Class Armor dan Class Bahasa yang bertujuan menggali potensi yang dimiliki para member. Barulah komunitas itu akan berkembang. Betul?” tanyanya lagi, masih berapi-api.
“Betul” sahut kami serentak.
“Biasanya, jika kita menonton film kartun, identik dengan “anak kecil”. Oleh karena itu, kebanyakan orang lebih bersikap acuh tak acuh mengenai hal ini. Sering kali mereka berpikir, untuk apa sih menonton film kartun?. Tapi, tanggapan kami sama sekali berbeda. Film kartun bukan saja dinikmati oleh anak kecil, bahkan orang dewasa bisa menonton. Selain itu, didalamnya terdapat pelajaran yang dapat kita ambil, seperti SEMANGAT PANTANG MENYERAH BISA MENGALAHKAN SEMUANYA. Tapi, Di komunitas ini kalian akan benar-benar dihargai, tidak dianggap seperti anak kecil. Walaupun ada yang mengejek anda demikian, yang terpenting anda memiliki hobi yang sama, yaitu menonton anime” Li berdeham sejenak, lalu melanjutkan, “Jika aku mengamati, hanya beberapa orang saja yang menyukai anime, bahkan jarang. Jadi, mulailah menyukai anime. Tidak selamanya anime itu selalu terikat kepada “anak kecil”.
Sesi istirahat ini kami dipersilahkan menikmati hidangan takoyaki (makanan Jepang, yang berasal dari kata tako atau gurita. Lebih tepatnya dikatakan bakso gurita), serta diberi stiker Atsuki dengan diiringi oleh beberapa musik jepang. Lalu, nonton bareng anime Naruto the movie yang menjadi salah satu puncak acara.
Gaya bicara yang terdapat di anime Naruto menggunakan bahasa Jepang yang tidak ku mengerti. Lalu, ditranslate ke dalam bahasa inggris yang semakin tidak ku mengerti. Aku hanya menyaksikan filmnya melalui gerakannya saja. Namun, sebagian pengunjung sudah pulang karena waktu menunjukkan pukul sembilan malam.
“Gue nggak ngerti apa yang mereka bicarakan ketika menggunakan bahasa Inggris” protesku kepada Megumi sambil menyaksikan anime naruto the movie diputar.
“Ha ha ha… Belajar donk” timpal Megumi meledek sambil tertawa terbahak-bahak. Kontan, semua pengunjung menoleh ke arahnya dan membelalakkan mata. Ternyata suara Megumi melebihi percakapan yang ada didalam anime naruto ya. He he he…
Megumi membalas tatapan mereka dengan perasaan bersalah sambil meminta maaf, “Sorry, sorry…”.
Aku yang menyaksikan kejadian barusan hanya cekikikan. Megumi menatapku dengan kesal. Lalu, memalingkan wajahnya kembali ke layar, menyaksikan anime naruto dengan antusias.
Alhasil, tokusatsu ditiadakan, bersamaan dengan itu acara ditutup.



PERSAHABATAN ITU INDAH

Matahari sudah tak tampak lagi. Riko baru saja pulang dari sekolah, seusai membersihkan kelas. Matanya tertuju kepada seorang anak seusianya di tengah lapangan. Menatap langit yang sudah mulai gelap.
Riko menghampirinya dengan langkah pelan. “Hai. Kenapa kamu masih ada disini?. Nggak pulang?” sapaku hati-hati, takut menyinggung perasaannya.
Terlihat jelas di wajahnya tersimpan kesedihan yang mendalam. Dia memandangku sekilas, lalu kembali menatap langit.
“Ada apa?” tanyanya cuek.
“Nggak ada apa-apa kok. Kalau githu, aku pulang duluan ya…” sahutku gugup. Beranjak meninggalkannya.
“Kamu sendiri kenapa baru pulang?” tanyanya tiba-tiba, menghentikan langkahku, berbalik menatapnya.
“Oh, aku piket. Jadi, baru bisa pulang sekarang. He he he” sambungku lagi sambil tersenyum, menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
Anak itu kembali terdiam.
“Bukankah kamu Riko?” tanyanya pelan tapi pasti.
Aku menatapnya kembali. Kenapa dia tahu namaku?, tanyaku dalam hati.
“Iya. Kau tahu namaku?. Apa…” jawabku menerka-nerka.
“Siapa yang tidak mengenalmu?. Kamu lupa denganku?” selanya lagi, membuatku semakin penasaran.
“Ridwan?. Benarkah itu kamu?” tanyaku memastikan.
Ridwan tetap diam, tak berkutik.
“Akhirnya kita bertemu lagi” lanjutku girang, memeluk Ridwan erat-erat.
Ridwan yang mendapat pelukan yang tiba-tiba itu, menjadi salah tingkah. Tidak ku sangka, Riko akan memeluknya seperti ini.
“Iya, iya. Udah donk” timpalnya setengah jengkel, berusaha melepaskan pelukanku.
Aku telah menemukan kembali sahabatku yang sempat terpisah beberapa tahun yang lalu karena pekerjaan. Kini, aku telah dipertemukan kembali dengannya. Entah apa yang membuatnya berada disini. Menatapnya dengan gembira. Lalu, aku pun tersenyum lebar.
“Maaf ya… he he he” jawabku, geli melihat wajahnya yang kusut.
Semenit kemudian, Ridwan kembali murung, tertunduk lemas.
“Kamu punya masalah ya?. Ceritakan saja. Mungkin aku bisa membantumu” kataku menawarkan.
Ridwan berpikir sejenak, apakah ia harus menceritakan hal ini kepadaku atau tidak.
“Ayolah. Ceritakan” kataku sedikit memaksa. Mendekatkan wajahku kepadanya. Lalu, dia cepat-cepat berpaling, menatap langit.
Saat itu juga, aku mulai mengerti kondisinya.
“Ayah Ibuku meninggal beberapa bulan yang lalu. Rumah kami juga ikut disita oleh perusahaan. Awalnya, aku bingung harus melakukan apa. Aku terlalu shock untuk bisa mencerna keadaan waktu itu. Dan, aku mulai berpikir untuk mencari tempat tinggal. Tapi, usahaku itu sia-sia. Tidak ada rumah kontrakan yang bisa menampungku” Ridwan menjelaskan panjang lebar setengah melamun.
Aku tidak menyangka Ridwan akan mendapat musibah seperti ini. Padahal, dahulu kehidupannya berkecukupan. Kini, semuanya telah sirna. Mungkin Allah sedang menguji kesabaran keluarganya.
“Aku ikut prihatin atas musibah yang menimpamu. Kamu harus bersabar karena setiap musibah pasti ada hikmahnya. Percayalah kepada Allah. Mungkin, suatu saat nanti Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik” pesanku kepadanya, menepuk pundaknya.
Ridwan masih tetap tak mau berkutik. Matanya berkaca-kaca setiap mengingat kejadian yang menimpa keluarganya.
“Bagaimana kalau kamu tinggal di rumahku saja?. Kakakku pasti setuju” usulku kemudian.
Trims. Tapi, bagaimana dengan kedua orangtuamu?” jawabnya sambil menatapku.
“Tenang saja. Mereka tidak ada di rumah. Sudah tiga bulan ini mereka pergi ke Amerika. Bagaimana?, kamu mau kan?”.
Ridwan tidak langsung menjawab, berpikir sejenak.
“Baiklah”.
Lets go” kataku dengan semangat berapi-api.
“Ke mana?”.
“Ke rumahku” aku menarik tangannya, sambil menjinjing kopernya.
Melihat aku menjinjing koper, Ridwan mendahului, “Tidak perlu. Biar aku saja yang membawanya” tolak Ridwan halus.
“Sudahlah. No problem. Ok” ucapku tetap memaksa membawakan kopernya. Mengacungkan jempol ke arahnya sambil mengedipkan mata.
***
Diam-diam, Riko senang melihat perubahan sikap sahabatnya itu yang pelan-pelan mulai mencair. Sikapnya tidak tertutup lagi ketika mereka pertama kali bertemu. Bahkan, dia bisa tertawa riang.
Tidak ku sangka, kakak juga menerima kehadiran Ridwan dengan manis. Dan mengijinkannya tinggal di rumah.
“Kamu betah tinggal di rumahku?” tanyaku suatu ketika, di depan kolam renang.
“Lumayan” katanya pendek. Melihat perubahan wajahnya, Ridwan segera menimpali, “Tentu saja aku senang. He he he”.
Aku pun tertawa melihat tingkahnya yang ketakutan.
“Lucu juga wajahmu”.
“Riko?!”.
Lalu, kami pun tertawa.
***
Tiga bulan telah berlalu begitu cepat. Kabar mengenai kepulangan kedua orang tuaku mulai terdengar. Kami bersama-sama menjemput mereka di bandara. Setelah aku menceritakan maksudku, mereka juga mengijinkan Ridwan tinggal di rumah. Dan berjanji akan menyayanginya seperti keluarganya sendiri.
“Tentu saja kami senang jika kamu mau menginap di rumah Ridwan. Jadi, dia tidak merasa kesepian lagi karena kehilangan kamu” kata Ibuku waktu itu bergurau.
Aku menjadi salah tingkah sambil tersenyum simpul.
“Benar apa yang dikatakan Ibu. Setiap hari dia menangis terus, berharap kamu kembali kepadanya”.
“Itu semua bohong kok. Nggak perlu kamu menanggapinya dengan serius” bantahku bingung.
Riko hanya tersenyum melihat kekokacakan keluarga Ridwan.
Ya Allah terima kasih atas kemurahanMu. Engkau telah memberikan hal yang lebih indah dari sebuah arti persahabatan, ungkapku penuh syukur.

Tidak ada komentar: