SURPRISE
Seorang siswi remaja SMA terlihat sangat muram.
Menatap lurus pada buku yang sedang dipegangnya. Membiarkan kesunyian di dalam
kelas beralun.
Dua cowok datang mendekat, sehingga
membuat Megumi kaget.
“Hai Meg, kamu belum pulang?” sapa Kyu sambil
menepuk bahuku, membuatku terpaksa menoleh kearah suara seseorang yang tengah
menatapku.
“Belum nih. Meg sedang membuat tugas Bahasa Indonesia” sahutku
santai. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda. Lalu, tanpa
diminta, Kyu mengambil kursi dan meletakkannya disampingku. Demikian pula Ryu.
Suasana di kelas siang itu memang
sangat sepi karena semua teman-temanku sudah pulang ke rumah masing-masing
sedari tadi.
“Kyu dan Ryu juga belum pulang??” tanyaku kemudian, tanpa
menoleh kearah Kyu dan Ryu, masih tetap tekun menatap buku yang ku pegang.
“Ntar ah. Kyu malas di rumah, nggak ada temennya” sahut Kyu
murung.
Meg membiarkan Kyu dan Ryu, dua sahabatnya kini larut dalam
keheningan.
“Meg, nanti kamu temenin kita mau nggak?” ajak Kyu ragu-ragu
sambil menatapku dalam-dalam.
Aku masih saja sibuk dengan pekerjaanku sehingga aku tidak
melihat raut wajah Kyu berubah. Tanpa menolehnya, aku cepat-cepat merespon,
“Memangnya Kyu dan Ryu mau kemana sih?” tanyaku penasaran.
“Ada deh…” balasnya lagi.
Dan seketika raut wajahnya kembali ceria setelah aku mulai tertarik dengan
ajakannya.
“Sorry, Meg nggak bisa, abis
tugasnya banyak banget” protesku halus.
“Kalau githu Kyu
tunggu Meg aja. Lagian, Kyu nggak sibuk kok. Gimana??” tawar Kyu baik hati.
“Emm…ok
deh”. Seketika saja, senyum Kyu mengembang. Sekilas, Kyu dan Ryu saling pandang
penuh arti. Aku tidak menggubrisnya.
***
Cuaca
hari itu sangat panas. Kami melewati teriknya matahari dengan langkah berat.
Tidak terasa, kami telah tiba di sebuah supermarket yang
megah setelah lima
belas menit berjalan kaki di tengah jalan raya.
Toko atau supermarket “SAGA” ini setiap hari dipadati oleh pengunjung.
Tidak jarang pendapatan di supermarket ini lumayan besar dibandingkan dengan
supermarket yang lainnya. Selain bangunannya yang megah dan luas, kebutuhan
yang kita inginkan telah tersedia, mulai dari perlengkapan rumah tangga sampai games
(itu loh yang biasa disebut anak-anak remaja sebagai TIME ZONE) serta ayam
goreng kentaki (KFC). Kebanyakan dari
pengunjung golongan menengah dan golongan atas saja yang berani
berbelanja ke toko tersebut.
“Wah…keren banget ruangannya. Meg bener-bener nggak nyangka
bisa kesini” ujarku lagi tanpa henti-hentinya mengagumi ruangan yang berada
dihadapanku tanpa berkedip. Selain itu, ruangannya dipenuhi oleh AC sehingga
udaranya semakin dingin.
“Kalau githu, Meg mau pesan apa?” tawar Kyu kemudian.
“Terserah Kyu aja deh. Lagian Meg belum pernah nyoba satu pun ayam
goreng kentaki” ujar Meg malu.
“Ok”.
Kyu segera berpaling kepada Ryu “Ryu mau pesan apa??” tawar
Kyu lagi.
“Terserah Kyu aja” sahut Ryu ramah, yang sedari tadi cuma
diam.
“Kalau githu Kyu pesan makanannya dulu ya?”. Belum sempat
kami menjawab pertanyaannya, dia sudah pergi memesan makanan kepada pelayan
yang sedang sibuk melayani pembeli,
meninggalkan kami berdua.
“Ngomong-ngomong tugas Meg tadi udah selesai?” Ryu
bermaksud memulai percakapan.
“Udah kok.”
***
Tiga jam telah berlalu dan hari sudah semakin sore. Kami
memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing dengan naik angkot.
“Kyu, thanks ya…untuk hari ini” ucapku senang
sekaligus puas.
“Sama-sama” balasnya juga terlihat senang.
Pembicaraan kami berakhir ketika aku sudah turun dari
taksi. Aku melambaikan tangan ke arah
Kyu dan Ryu. Mereka pun membalas lambaian tanganku.
Setelah Kyu mentraktirku dan Ryu, dia tak pernah kelihatan.
Ternyata Kyu bermaksud memberikan kenang-kenangan kepada kami sebelum dia
pergi. Kyu tidak punya pilihan selain mengikuti orang tuanya pindah tugas. Kyu
belum pernah menceritakan hal ini kepadaku sebelumnya. Bahkan, Ryu yang
memberitahuku mengenai kepergiannya.
Surprise
Seorang siswi remaja SMA terlihat sangat muram.
Menatap lurus pada buku yang sedang dipegangnya. Membiarkan kesunyian di dalam
kelas beralun.
Dua cowok datang mendekat, sehingga
membuat Megumi kaget.
“Hai Meg, kamu belum pulang?” sapa Kyu sambil
menepuk bahuku, membuatku terpaksa menoleh kearah suara seseorang yang tengah
menatapku.
“Belum nich. Meg sedang membuat tugas Bahasa Indonesia” sahutku
santai. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda. Lalu, tanpa
diminta, Kyu mengambil kursi dan meletakkannya disampingku. Demikian pula Ryu.
Suasana di kelas siang itu memang sangat sepi karena semua
teman-temanku sudah pulang ke rumah masing-masing sedari tadi.
“Kyu dan Ryu juga belum pulang??” tanyaku kemudian, tanpa
menoleh kearah Kyu dan Ryu, masih tetap tekun menatap buku yang dipegangnya.
“Ntar ah. Kyu malas di rumah, nggak ada temennya” sahut Kyu
murung.
Meg membiarkan Kyu dan Ryu, dua sahabatnya kini larut dalam
keheningan.
“Meg, nanti kamu temenin kita mau nggak?” ajak Kyu
ragu-ragu sambil menatapku dalam-dalam.
Aku masih saja sibuk dengan
pekerjaanku sehingga aku tidak melihat raut wajah Kyu berubah. Tanpa
menolehnya, aku cepat-cepat merespon, “Memangnya Kyu dan Ryu mau kemana sich?”
tanyaku penasaran.
“Ada dech…” balasnya lagi.
Dan seketika raut wajahnya kembali ceria setelah aku mulai tertarik dengan
ajakannya.
“Sorry, Meg nggak bisa, abis
tugasnya banyak banget” protesku halus.
“Kalau githu Kyu tunggu
Meg aja. Lagian, Kyu nggak sibuk kok. Gimana??” tawar Kyu baik hati.
“Emm…ok
deh”. Seketika saja, senyum Kyu mengembang. Sekilas, Kyu dan Ryu saling pandang
penuh arti. Aku tidak menggubrisnya.
Satu jam kemudian, tugas yang aku kerjakan sudah selesai.
Seperti janjiku tadi, aku akan menemani Kyu dan Ryu pergi, entah kemana mereka
akan mengajakku pergi. Aku semakin penasaran. Aku sudah menanyakan itu kepada
Kyu berkali-kali. Tetapi, jawabannya tetap sama “Ada dech…”. Dan langkah kaki kami
meninggalkan sekolah pun dimulai.
*****
Cuaca
hari itu sangat panas. Ditengah perjalanan, Kyu cerita banyak hal, terutama
mengenai kepergiannya.
“Oh ya, sebenernya Kyu mau ngajak Meg kemana sich?” tanyaku
penasaran.
“Liat aja ntar. Kebetulan Kyu sedang mendapat berkah.
Sebenernya sich berkah dari Mum. Tapi, Mum memberikannya kepada
Kyu” katanya menjelaskan.
“Tapi kalau uang Kyu abis, gimana??” tanyaku bingung
sekaligus bercanda.
“Ya nggak lah…. Lagian uang Kyu nggak ada artinya sama
sekali jika dibandingkan dengan persahabatan kita. Kyu mau memberikan
kenang-kenangan ke Meg dan Ryu sebelum Kyu pindah” nada suaranya terdengar
lirih.
“Pindah???? Memangnya Kyu mau pindah ke mana?”. Aku sangat
kaget ketika mendengar ucapannya barusan.
“Kyu… mau pindah ke Bandung”
sahutnya dengan suara terbata-bata.
“Kenapa… Ehm… maksud Meg kenapa Kyu mesti pindah? Kenapa
nggak sekolah disini aja sampe lulus???” mataku mulai berkaca-kaca.
“Kyu gak bisa nglanjutin sekolah di sini. Kyu harus ikut Mum
dan Dad kerja.”
Tidak terasa, kami telah tiba di sebuah supermarket yang
megah setelah lima
belas menit berjalan kaki di tengah jalan raya.
Toko atau supermarket “SAGA” ini setiap hari dipadati oleh pengunjung.
Tidak jarang pendapatan di supermarket ini lumayan besar dibandingkan dengan
supermarket yang lainnya. Selain bangunannya yang megah dan luas, kebutuhan
yang kita inginkan telah tersedia, mulai dari perlengkapan rumah tangga sampai games
(itu loh yang biasa disebut anak-anak remaja sebagai TIME ZONE) serta ayam
goreng kentaki (KFC). Kebanyakan dari
pengunjung golongan menengah dan golongan atas saja yang berani
berbelanja ke toko tersebut.
“Kyu yakin mau ngajak Meg kesini?.
Apa nggak salah?” tanyaku bingung sambil menatapnya heran, tidak percaya.
“Salah???. Ya nggak lah. Kyu bener-bener yakin kok mau
ngajak Meg kesini” balas Kyu yakin.
“Masa?!, Meg gak percaya”.
“Yah… dibilangin gak percaya” balas Kyu meyakinkan.
Sambil berjalan menyusuri tangga yang terletak di lantai
dua, tiba-tiba saja Kyu menawarkan sesuatu, “Meg, kita makan ayam goreng
kentaki combo 6 aja ya…” tawar Kyu kepadaku seraya tersenyum.
Aku yang nggak ngerti apa-apa langsung menyahut, “Iya dech”
sahutku tersenyum geli.
“Aduh… Meg belum pernah coba kentaki aja udah sok tau lagi”
Kyu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ya… abis Kyu nanya sich. He…he…he…”.
“Wah…keren banget ruangannya. Meg bener-bener nggak nyangka
bisa kesini” ujarku lagi tanpa henti-hentinya mengagumi ruangan yang berada
dihadapanku tanpa berkedip. Selain itu, ruangannya dipenuhi oleh AC sehingga udaranya
semakin dingin.
“Halloo…, Meg, kamu nggak papa kan?” Kyu melambaikan tangannya di depan
wajahku yang belum mau mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Eh, iya kok. Meg nggak papa” sahutku kaget.
“Kalau githu, Meg mau pesan apa?” tawar Kyu cepat.
“Terserah Kyu aja deh. Lagian Meg belom pernah nyoba satu pun ayam
goreng kentaki” ujar Meg malu.
“Ok”.
Kyu segera berpaling kepada Ryu “Ryu mau pesan apa??” tawar
Kyu lagi.
“Terserah Kyu aja” sahut Ryu ramah, yang sedari tadi cuma
diam.
“Kalau githu Kyu pesan makanannya dulu ya?”. Belum sempat
kami menjawab pertanyaannya, dia sudah pergi memesan makanan kepada pelayan
yang sedang sibuk melayani pembeli,
meninggalkan kami berdua.
“Ngomong-ngomong tugas Meg tadi udah selesai?” Ryu
bermaksud memulai percakapan.
“Udah kok.”
Aku mengambil posisi tempat duduk di pojok tembok sambil
menunggu pesanan datang. “Nich, pesanannya”. Tanpa aku sadari, Kyu telah
mendaratkan tiga piring dan gelas minuman bersoda. Kami pun melahap kentaki
yang berada di depan kami masing-masing dengan penuh selera. Tentu saja aku
sangat bersemangat melahap makanan yang berada dihadapanku karena baru pertama
kali ini aku ditraktir oleh temanku di toko “SAGA”. Ini benar-benar sebuah
kejutan untukku.
“Meg, habisin lho… makanannya” kata Kyu mengingatkan.
“Iya. Tenang aja, Kyu. Meg akan menghabiskan semua
makanannya kok” Meg berkata senang, menjejalkan sepotong ayam goreng kentaki ke
mulut.
“Kyu juga pernah mentraktir temen-temen sekelas ketika Kyu
ulang tahun. Dad kan
kerja disini”.
Meg menatap Kyu dengan bersemangat “Oh ya…, enak donk” sela
Meg senang, disaat sepotong kentaki masuk ke dalam mulutnya.
“Ya… jelas lah. Pendapatan di KFC ini juga sangat besar
tiap harinya. Banyak banget yang datang ke sini. Kadang kalau Dad pulang
selalu dibawain kentaki” ujar Kyu puas.
Seiring berjalannya waktu, pengunjung yang sedari tadi
bersantai ria menikmati hidangannya masing-masing, kini telah beralih
meninggalkan ruangan ber-AC tersebut. Hanya tinggal tiga anak remaja yang masih
asyik mengobrol.
“Yuk cuci tangan. Nanti Kyu ajari Meg bagaimana menggunakan
air kran disini” ajak Kyu setelah selesai makan. Aku menuruti ajakan Kyu.
Sebelum mencari taksi pulang, kami mampir sebentar di pusat
pembelanjaan pakaian. Kyu juga membelikan aku sebuah kaos dan beberapa snack.
Tiga jam telah
berlalu dan hari sudah semakin sore. Kami memutuskan untuk pulang ke rumah
masing-masing dengan naik angkot.
“Kyu, thanks ya…untuk hari ini” ucapku senang
sekaligus puas.
“Sama-sama” balasnya juga terlihat senang.
Pembicaraan kami berakhir ketika aku sudah turun dari
taksi. Aku melambaikan tangan kearah Kyu
dan Ryu. Mereka pun membalas lambaian tanganku.
*****
Keesokan harinya, Kyu tiba-tiba mengajakku pergi.
“Kyu, kamu mau ngajak Meg kemana sich?, kelihatannya kamu
buru- buru” protes Megumi tak henti-hentinya.
“Liat aja ntar” sambung Kyu pendek.
Kami menyusuri sederetan pemuda-pemudi yang tengah asyik
duduk berduaan dengan mesra. Aku langsung membelalakkan mata ke arah Kyu.
“Kyu, kenapa kita kesini?. Memangnya gak ada tempat lain ya?”
geram Meg marah.
Kyu berpura-pura tidak memperhatikanku. Matanya melayangkan
ke sederetan pemuda-pemudi, mencari bangku yang masih kosong.
“Yuk, kita duduk disebelah sana” ajak Kyu, sementara itu tangannya
teracung ke sebuah kursi yang berada diujung jendela.
Dengan setengah hati, aku berusaha tersenyum kepadanya.
“Meg, jangan cemberut terus dunk” bujuk Kyu lembut, setelah
mereka mendaratkan diri ke sebuah bangku yang dipilihkan Kyu.
Aku balas mencibirnya puas. “Abis Kyu ngajak Meg ke sini.
Ini tempat orang yang sedang bermesraan. Apa Kyu gak liat?.”
Ketika kejengkelanku memuncak, Kyu memberikanku sebuah
kejutan yang tak terduga. Kyu membungkuk dihadapanku, terpaku menatapku dengan
raut wajah serius. Dengan malu-malu, Kyu menyatakan perasaan yang selama ini
dipendamnya kepadaku.
Tak kusangka, aku langsung setuju menerima cintanya, tanpa
berpikir panjang.
Sudah sebulan, kami menjalin hubungan. Namun, tak terpikir
oleh kami, bahwa ada seseorang yang tengah memperhatikan hubungan kami berdua.
“Lho, Ryu belom tidur ya?” sapa Kyu suatu malam, melihat
Ryu tengah asyik menonton TV bersama ibu Kyu.
Pandangan Ryu beralih ke Kyu yang baru saja menutup pintu
dibelakangnya, seraya berkata “Belom ngantuk” sahut Ryu datar.
“Lain waktu, Kyu usahakan jangan pulang terlalu malam ya?”
ibu Kyu memberi nasihat.
“OK”. Kyu menyapu acara TV yang sedang berlangsung, lalu
melanjutkan “Ngantuk nich, Kyu tidur dulu ya?” komentar Kyu lelah.
Seakan Kyu menghilang dari bumi, Ryu mulai panik. Ryu
bergegas berpamitan kepada ibu Kyu yang masih memandang acara TV, “Tante, Ryu
ke kamar dulu”.
Ibu Kyu hanya menganggukkan kepala pelan.
Sedetik kemudian, Ryu bergegas mengejar Kyu yang langsung
menghambur ke kamar.
“Kyu, gimana hubungan kamu ama Meg?” tanya Ryu dingin,
ketika berhasil mengejar Kyu.
Kyu masih menatap langit-langit, memikirkan jawaban yang
akan diberikannya kepada Ryu.
Lalu, Kyu menoleh “Benar-benar lancar, tak ada hambatan
satu pun” tukas Kyu nyengir.
Ryu bingung dengan jawaban yang diberikan Kyu, entah apa
maksudnya.
Tak lama kemudian, Kyu dan Ryu tertidur pulas, tidak
memusingkan lagi keributan acara TV yang membuat kepala pening.
Esok datang begitu cepat. Kyu merasa letih begitu beranjak
dari tempat tidur. Sementara itu, Ryu sudah bertengger di meja makan, siap
menikmati hidangan pagi itu. Terdengar suara nyaring Ibu Kyu yang tak bosan
memanggil anaknya agar lekas menuju meja makan.
“Kyu, kamu belom bangun juga?!. Ini sudah siang!” seru Ibu
Kyu kesal, mengetuk pintu kamar Kyu.
Kyu menguap lebar-lebar, membukakan pintu untuk ibunya yang
sedang menceramahinya tentang “etika bangun tidur yang baik”.
“Maaf ya bu, Kyu capek banget semalam” timpal Kyu muram.
Terdengar bunyi mendesis yang dilontarkan Ibu Kyu kepada
anaknya. “Kyu cepat cuci muka lalu mandi, dan setelah itu turun ke meja makan.
Ryu sudah menunggu Kyu dari tadi” omel Ibu Kyu kesal.
“Iya” sahut Kyu malas.
Waktu sarapan pagi hampir lewat, ketika Kyu sedang menuruni
tangga yang tak terhitung jumlahnya.
“Pagi, Ryu” sapa Kyu lemas. Ibu Kyu sudah beranjak dari
kursinya. “Kyu merasa hari ini ada yang aneh” Kyu berkomentar tak jelas.
“Apa yang aneh, Kyu?” sambung Ryu lambat-lambat, alisnya
terangkat.
“Mum”.
“Ibu Kyu?” lanjut Ryu masih tak mengerti.
“Ya. Mum marah-marah pagi ini. Apa tidurnya tidak
pulas ya semalam?” kata Kyu terus terang, nyengir.
Ryu tak tahu harus tertawa atau simpati, melihat sahabatnya
yang sedang tertimpa kemalangan. “Mungkin Ibu Kyu sedang banyak pikiran” Ryu
menghibur, bangkit dari kursi seraya mengambil piring dihadapannya.
“Yeah, Ryu benar. Orang dewasa memang banyak yang
dipikirkan” gumam Kyu lirih, sembari mengenyakkan diri ke kursi, tepat
disamping Ryu.
Sisa hidangan pagi itu yang tersaji di meja cukup banyak.
Namun, Kyu tidak bersemangat melahap hidangan tersebut. Hingga akhirnya, Kyu
hanya memasukkan dua potong ayam goreng ke mulutnya dengan asal-asalan, yang
hanya ditemani oleh udara dingin disekitarnya.
Kyu menghabiskan satu jam dengan memandangi meja di
hadapannya dengan tatapan kosong. Ryu telah berbalik membantu Ibu Kyu mencuci
piring. Sebaliknya, Kyu sekali lagi mendapat serangan bertubi-tubi dari Ibunya
sendiri, yang segera dibalas Kyu dengan jawaban “YA” atau “TIDAK”.
Pertemuan Kyu dengan Meg ketika matahari hampir terbenam,
bisa membuat suasana hati Kyu sedikit lebih cerah sehingga pertengkaran dengan
Ibunya pagi itu telah dilupakannya dalam sekejap.
Silaunya matahari membuat wajah Kyu dan Meg memerah. Mereka
menikmati keindahan panorama sore menjelang petang itu dengan bergairah.
Udara pantai semakin dingin, beberapa orang yang menikmati
keindahan matahari terbenam mulai berhamburan pulang. Ada sepasang kekasih yang masih duduk-duduk
di pasir. Ternyata, masih ada seorang lagi dan tak menggandeng cewek, memandang
tajam ke arah sepasang kekasih tersebut.
“Ryu?!”.
Ryu terlonjak begitu mendengar suara yang dikenalnya
menyapanya. Dia baru menyadari bahwa Kyu dan Meg sudah pergi dan menemukannya
sedang memperhatikan mereka berdua.
Ryu berbalik menghadap Kyu dan Meg yang masih terpaku, aneh
melihatnya berdiri sendirian di pantai..
“Ryu sedang mencari udara segar” sengal Ryu salah tingkah,
berusaha tersenyum semanis mungkin.
“Ryu gak bohong kan?”
tanya Kyu penuh curiga.
“Gak kok. Kyu gak percaya ya?” sahut Ryu masih gugup.
“Kyu tadi liat Ryu berdiri di bawah pohon ini sudah lama.
Jadi, Ryu jujur aja. Ngapain Ryu memperhatikan kami?. Kyu sebenarnya sudah tahu
bahwa Ryu memperhatikan kami sudah lama. Tapi, Kyu tidak tahu pasti apakah
dugaan Kyu benar” kata Kyu menjelaskan panjang lebar.
Masih tersenyum, Ryu melanjutkan “Kyu ngomong apa sich?.
Ryu gak ngerti?” potong Ryu bertampang polos.
Ryu yang melupakan bahwa Meg juga berada di dekatnya,
langsung menyapanya “Hai, Meg”.
“Eh…ya” sengal Meg kaget.
Kyu yang baru saja mendapat suntikan es cepat-cepat
berpaling kepada Meg yang masih shock. Shock antara takjub dan heran melihat
perubahan suasana antara Kyu dan Ryu.
“Meg, kamu gak papa kan?”
tanya Kyu cemas.
“Eh, gak papa kok” Meg berusaha tersenyum, masih
kaget.
Wajah Ryu yang masih tetap tersenyum, mendahului Kyu yang
akan membuka mulut “Kyu, Meg, Ryu pulang dulu ya. Ada pekerjaan yang belum Ryu selesaikan. Bye…”.
Ryu berbalik memunggungi Kyu dan Meg yang masih menatapnya tak percaya.
“Sepertinya sikap Ryu tadi sedikit aneh ya, Kyu?” Meg
tiba-tiba saja melontarkan pertanyaan, yang tidak langsung disambut Kyu dengan
jawaban.
Kyu menarik nafas dalam-dalam.
Awan mulai menghilang. Begitu pula matahari telah kembali
ke pangkuan-Nya. Sepasang kekasih telah meninggalkan aroma pantai yang mulai
dingin.
Kepulangan sepasang kekasih tadi, telah dinantikan oleh
keluarganya. Namun, suasana hati Kyu tidak juga membaik.
Di meja makan, suasana hati Kyu maupun Ryu tak bisa
ditebak. Mereka hanya melahap hidangan di depannya dalam diam. Beberapa kali
Ibu Kyu menanyai keadaan mereka berdua, jawabannya selalu sama “BAIK” dan “TAK
ADA MASALAH”.
Setelah mengisi perut, Kyu dan Ryu mengunjungi kamar.
Mereka berdua seakan rindu dengan kasurnya yang empuk. Masih berjalan dalam
diam.
Kyu tidak memandangnya. Ryu juga tidak merasa perlu
dipandang.
Lima belas menit dalam kebisuan, akhirnya Kyu memutuskan untuk
memulai pembicaraan “Kyu minta maaf mengenai kejadian di pantai kemarin sore”
katanya menyesal.
“Tidak… Kyu tidak salah kok. Ryu yang seharusnya minta maaf
karena Ryu bersikap tidak sopan kepada Kyu” jelas Ryu panjang lebar. Tetapi,
tergambar dengan jelas di wajah Ryu dia hanya berpura-pura.
Ryu berbalik memunggungi Kyu, menatap bintang yang bersinar
di langit malam melalui celah jendela.
Kyu menimbang-nimbang sejenak apakah dia akan
memberitahukan hal ini kepada Ryu.
“Ryu?” panggil Kyu berhati-hati, beralih memandang Ryu yang
masih memunggunginya.
Ryu membalikkan tubuhnya hingga telentang, segera memandang
Kyu “Ya”.
“Ryu suka Meg?” tanyanya terbata-bata.
Alis Ryu mulai mengerut. “Apa?. Kyu bicara apa?. Kyu
mungkin mengantuk jadi pikirannya sudah kacau. Kita tidur saja ya?” kata Ryu
membelokkan pembicaraan.
“Kyu sudah tahu kalau Ryu suka Meg sejak kita makan bersama
di KFC. Jadi, Kyu mohon Ryu jujur saja”.
Darah Ryu hampir mau menetes. Akhirnya Ryu terpaksa
menyerah.
“Ryu memang sudah lama menyukai Meg. Tapi, Ryu sengaja
menyembunyikan semua ini dari Kyu” celutuk Ryu gusar, takut Kyu membentaknya,
tapi alih-alih Kyu menyapu Ryu yang sengaja tidak memandangnya.
“Kenapa Ryu tidak mau bilang kepada Kyu?. Kita sudah lama bersahabat
kan?” timpal
Kyu cepat.
“Karena Ryu tahu Kyu juga menyukai Meg. Ryu gak pengen
hubungan Kyu dan Meg juga berantakan” sengal Ryu, memberanikan diri mendongak
ke arah Kyu.
“Ryu bicara apa sich?. Nggak mungkin kita bertengkar karena
hal kecil seperti ini” bantah Kyu lembut.
Ryu baru saja mendapat suntikan segar dari Kyu. Dia lega
bahwa Kyu tidak akan memutuskan persahabatan dengannya.
Lalu, tanpa disadari, Kyu melompat bangun dari tempat tidur
dan menengadah memandang Ryu. “Ryu, selama ini Kyu tidak pernah minta apapun
dari Ryu. Kyu mohon Ryu mau mengabulkan satu permohonan untuk Kyu” bisik Kyu
memohon, ekspresi wajahnya serius.
“Apa itu, Kyu?”.
“Tolong jaga Meg baik-baik selama Kyu pergi. Ryu mau kan memenuhi permohonan
Kyu?”.
Ryu menimbang-nimbang sejenak, mengapa Kyu menyuruhnya
menjaga Meg. Ryu pun berkata “Baiklah, untuk Kyu. Ryu akan menjaga Meg sampai
Kyu kembali”.
Kyu langsung memeluk Ryu erat-erat, yang disambut Ryu
dengan pekikan kaget. “Kyu…!”.umpat Ryu kesal.
“Maaf, Ryu. Tapi, Kyu senang sekali. Kyu akan memberitahu
Meg”.
“Jangan. Ryu mohon. Biarkan ini menjadi rahasia kita
berdua. Ryu nggak mau Meg sedih” potong Ryu kemudian, ada nada tegas dalam
suaranya.
“Baiklah” sahut Kyu ringan. Kyu melanjutkan dengan mantap
“Kalau githu, Kyu berjanji kepada Ryu”.
“Apa?”.
“Itu rahasia…” sorak Kyu penuh kemenangan. Ryu membalasnya
dengan seulas senyum
Tiga tahun telah berlalu, aku tidak
pernah lagi melihat Kyu. Sepanjang hari, aku selalu ditemani Ryu. Ryu menepati
janjinya demi Kyu. Janji bahwa mereka berdua tidak akan pernah berbohong. Dua
anak yang memiliki ikatan persahabatan yang dilandasi ketulusan hati yang kuat,
membawa kepercayaan penuh yang tak bisa dihancurkan oleh apapun juga. Ibu Kyu
menyuruh Kyu terus mempercayai Ryu karena hanya dia yang bisa melakukannya. Itu
yang paling penting. Kalau kita yakin bahwa ada orang yang selalu mempercayai
diri kita, mungkin tidak akan banyak orang yang melakukan kejahatan.
Perpisahan yang mendadak membuat
Meg merasa sangat terpukul oleh kepergian Kyu.
“Ryu…” panggil Meg suatu hari
ketika mereka berada di taman.
“Ya?” sahut Ryu pendek.
“Kyu gak pamitan sama Ryu ya?. Kok
sama Meg Kyu gak pamitan sich??” tandas Meg sedih.
“Kyu pamitan sama Ryu. Tapi, Kyu
menyampaikan pesan buat Meg” hibur Ryu yang langsung disambut Meg dengan
gembira.
“Kyu bilang Meg harus jaga diri
baik-baik. Kalau Kyu sudah pulang, Kyu akan menghampiri Meg untuk yang pertama
kali.”
“Benarkah??. Terima kasih ya, Ryu”.
“Tentu saja.”
SELF
Akhir-akhir
ini aku selalu merasakan kesepian. Aku telah kehilangan orang-orang terdekatku
yang selalu membuatku selalu ceria dan bersemangat setiap hari. Entah mengapa
mereka begitu cepat meninggalkanku seorang diri sehingga aku merasa kesepian.
Namaku Fina. Itulah nama yang biasa
dipanggil oleh teman-temanku di dalam kelas. Aku mempunyai sahabat, bernama
Santi. Kami selalu bermain bersama. Maklumlah, kami memang tetangga dekat. Dia
yang selalu menemani aku dalam suka maupun duka semenjak kecil. Tidak jarang
aku setiap hari bermain ke rumahnya. Begitu juga sebaliknya. Kami selalu kompak
dalam berbagai hal, terutama berangkat dan pulang sekolah selalu bersama-sama.
Took,
took, took. Suara ketukan pintu dari luar rumahku terdengar. Aku yakin pasti Santi sudah datang. Ternyata
benar. Dia memang selalu datang pagi ketika akan pergi sekolah. Dia berdiri
menungguku didepan pintu rumahku. Langsung saja aku bukakan pintu.
Ternyata kebahagiaanku bersama kedua
sahabatku merupakan langkah menuju kesedihan yang akan aku alami sepanjang
hidup, karena kehadiran mereka telah menggantikan ruang hatiku yang kosong.
Kini, ruang itu sudah tidak memiliki kebahagiaan lagi. Rosa
telah pergi ke Sorong dan bersekolah disana, sedangkan Santi pergi ke Jawa
mengikuti ortunya. Walaupun aku tahu, masa depan yang akan aku lalui masih
terasa sangat panjang. Namun, kepergian mereka yang telah membuat hidupku
menjadi tak berarti lagi. Aku sudah berusaha tegar dalam kondisi apapun, tapi
tetap saja hal itu tidak bisa mengubah semuanya. Itu yang membuatku sangat
terpukul oleh kepergian kedua sahabatku. Satu hal yang tidak akan pernah aku
hilangkan dari hatiku, aku akan tetap mengenangnya sebagai sahabat terbaikku.
Teacher
Berbicara
mengenai guru, aku merasa bersalah mengingat peristiwa itu. Peristiwa yang
tidak akan pernah kulupakan sepanjang hidup. Aku benar-benar sangat menyesal
telah menyia-nyiakan hari-hari terakhir bersama dengan seseorang yang aku
kagumi. Dan aku baru menyadarinya setelah beliau pergi meninggalkan kami. Aku
tidak ingin berpisah dengan beliau. Aku ingin beliau mengajar kami lagi selama
setahun, sebelum kami meninggalkan sekolah selama-lamanya.
***
Kubuka jendela lebar-lebar. Udara pagi langsung
menyergap tubuhku. Dalam waktu lima
belas menit untuk semua keperluan sekolah telah siap.
Aku bernafas lega ketika pintu gerbang sekolah mulai
terlihat, tepat ketika bel masuk berbunyi.
Pak Haryanto berjalan terburu-buru dengan beberapa
buku di tangannya.
“Selamat pagi, anak-anak” sapa Pak Haryanto masuk kelas siap dengan
materi yang akan disampaikan.
“Pagi, Pak…” Semua temanku menyapa beliau dengan bersemangat.
“Baik, kita buka buku halaman tiga. Harap semuanya memperhatikan.” Itulah
satu pesan dari beliau untuk memulai pembelajaran.
Kegiatan
belajar mengajar berlangsung dengan tertib. Tak seorang pun murid yang berbicara.
Mereka semua memperhatikan materi yang disampaikan oleh Pak Haryanto di depan
kelas.
Tiba-tiba
saja…
Plak…
Penghapus mendarat mengenai wajah Doni. Ia terbelalak kaget begitu penghapus
terjatuh tepat di depan mejanya.
“Jangan
berbicara. Bicaranya nanti saja saat istirahat. PAHAM?!” tukas beliau marah.
Wajahnya berlipat lima.
“Maaf,
Pak” desah Doni pelan, menahan sakit di wajahnya sambil menundukkan kepala.
“Bukankah
Bapak tadi sudah memberitahu kalian, disaat guru menerangkan jangan ada yang
berbicara?!” celutuk beliau masih dengan muka berlipat lima. “Baiklah, kita kembali lagi ke materi”
lanjut beliau lagi, kembali menghadap papan tulis, berusaha meredakan emosi.
Kantin sekolah.
Semua
teman-temanku sedang berkumpul membicarakan sesuatu yang asyik.
“Gak
nyangka lho, ternyata Pak Haryanto orangnya kejam. Masa, Doni ribut aja
langsung dilempar pake penghapus. Kan
sakit…” Sita memulai bercerita.
“Iya…
bener juga. Lagian Doni gak harus dilempar pake penghapus, kan?. Sebaiknya beliau menegurnya terlebih dahulu”
sambung Nisa yang duduk disamping Sita.
Berbeda
dengan pendapat Kilan.
“Kalau
gue sih, wajar aja dengan cara mengajar Pak Haryanto. Itu kan lebih mendidik, sehingga murid-muridnya
bisa semakin rajin dan disiplin” sergah Kilan tidak setuju dengan pendapat
teman sepermainannya.
“Disiplin
sih disiplin. Tapi… gak seharusnya memperlakukan muridnya dengan cara kasar, kan?” Sari membantah
ucapan Kilan.
“Terserah
deh. Sampai kapan pun lo gak ngerti maksud gue” jawab Kilan putus asa, berbalik
pergi.
Jujur, aku
senang dengan cara mengajar beliau. Tapi aku tidak terlalu suka apabila beliau
memperlakukan murid dengan cara kasar. Ada
yang bilang memperlakukan seseorang dengan cara kasar, orang tersebut bisa
menjadi lebih kasar lagi. Oleh karena itu, kita harus memperlakukan seseorang
dengan baik, lembut. Setidaknya kita harus saling pengertian satu sama lain. Pak
Haryanto membuka les dimasjid. Bisa dibilang masjid adalah rumahnya juga karena
beliau memang tinggal di atas masjid.
Selama privat di
Pak Haryanto, aku merasa ada yang berubah, terutama tentang nilai ulangan dan
tugas. Memang di privat, Pak Haryanto mengharuskan anak-anak privat lebih
banyak menguasai ilmu fisika daripada murid beliau yang tidak mengikuti les.
Beliau tetap disiplin dan tegas. Namun, ada satu hal yang berubah dalam sikap
beliau selama di privat. Beliau menerapkan sikap santai tapi serius dalam
menyampaikan materi. Beliau menyuruhku, Sirta, Wilna, Suti, Ersa, Writa, Rosna
dan tentu saja Al Rizna membaca materi fisika yang terdapat dibuku paket
sebelum masuk les. Tujuannya supaya kami dapat mengerti dan paham serta apabila
beliau memberi soal, kami dapat menjawabnya dengan benar.
Setengah tahun
aku mengikuti privatnya Pak Haryanto. Banyak pelajaran yang dapat kuambil
hikmahnya dari beliau. Kita harus lebih giat belajar supaya mendapatkan nilai
yang baik. Itulah pesan terakhir yang disampaikan beliau kepada kami sebelum
beliau pergi. Beliau melanjutkan tugasnya di Sorong sehingga beliau tidak dapat
membuka les privat lagi di sekolah kami. Les privat itu sudah ditutup, tidak
akan ada lagi yang mengikuti les privat di Pak Haryanto.
Lain sekali
dengan Wilna yang sangat menyukai cara mengajar beliau. Dia senang sekali diajar
oleh beliau. Bahkan disaat Pak Haryanto tidak mengajar ataupun terlambat masuk
kelas, Wilna langsung menjemput Pak Haryanto di masjid. Hanya Wilna yang sangat
sedih atas kepergian beliau. Dia sampai mengeluarkan air mata. Padahal
teman-temannya yang lain tidak sesedih itu. Aku sampai kasihan melihatnya. Dia
sangat terpukul sekali.
Suasana saat itu
dipenuhi oleh tangis dan kesedihan. Mungkin aku tidak akan pernah bisa bertatap
muka dengan beliau lagi selamanya karena jarak tempat kami terlalu jauh. Orang
yang sangat aku kagumi, kini telah meninggalkanku. Aku sangat terpukul oleh kepergian
beliau. Sejak saat itu, aku pun berjanji tidak akan menilai seseorang dari
luarnya saja, tapi dari dalam hatinya juga karena aku tidak ingin menyesal
untuk yang kedua kalinya.
***
SEULAS KENANGAN
Aku siswi SMA
yang mempunyai banyak kenangan bersama teman-teman, walaupun kenangan itu hanya
bisa aku rasakan sesaat saja, namun kenangan itu akan tetap terukir abadi
selamanya dihatiku. Seulas kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan dalam
diriku bersama orang-orang yang aku sayangi.
“Reta,
kapan-kapan aku boleh tidak main ke rumah kamu?” tanya Arita ketika kami sedang
mengamati kendaraan lalu lalang.
“Boleh aja”
sahutku singkat.
“Emm… sekalian
besok bawain biskuat cokelat krim lagi ya?. Aku mau nambah lagi nih, masih
kurang” sambung Arita sambil cengengesan.
“Ok. Besok aku
bawakan sekardus ya?” gurauku sambil tertawa.
“Yah… terserah
kamu aja. Tapi, gratis ya?. He he he”.
“Bayar donk…,
masa gratis sih”.
“Itu kan tanggung jawab
penjualnya…”.
“Enak aja”. Kami
tertawa bersamaan.
Kami telah
berteman lama. Arita mudah menyesuaikan dengan lingkungannya. Aku bahkan pernah
pergi ke rumahnya. Rumahnya sangat tersembunyi. Arita pun telah mengunjungi
rumahku beberapa kali.
Satu tahun
berlalu begitu cepat, sehingga tidak terasa waktu itu sudah berganti dengan
hari yang ditunggu-tunggu oleh kami sekaligus hari yang menegangkan. Hari
dimana kami akan mendengarkan pengumuman kelulusan. Hanya sebagian
teman-temanku yang merasa santai mengenai adanya beberapa pengumuman yang akan
disampaikan kepada kami. Dan salah satunya adalah teman-temanku yang jenius
dalam hal pelajaran.
Sejak pengumuman
itu, aku tidak pernah kembali ke sekolah lagi karena sibuk mengurusi
kepindahanku. Padahal, masih ada beberapa pengumuman yang belum disampaikan
oleh guru mengenai keberangkatan rekreasi minggu depan. Tetapi, semua itu
sia-sia saja buatku karena aku tidak akan bisa ikut rekreasi bersama mereka.
Sampai,
perpisahan itu datang. Aku tak kuasa menolaknya. Perpisahan yang sangat
menyakitkan hatiku. Dengan terpaksa, aku harus meninggalkan tempat kelahiran
beserta teman-temanku. Mengikuti ayahku kerja.
“Reta, aku ikut
ke bandara boleh tidak?” tanyanya, saat di rumahku.
“Mau ngapain ke
bandara?” tanyaku heran.
“Yah,
ngantar kamu. Masa mau mandi?”.
“Boleh sih, tapi
kalau orang tua kamu nyariin gimana?”.
“Aku kan cuman pergi sebentar”.
Disaat-saat
detik terakhir, aku masih sempat melambaikan tangan padanya. Dia mengantarku ke
bandara. Bahkan, ketika pesawat sudah melesat di udara, aku masih bisa
melihatnya. Dia tersenyum padaku. Terakhir, dia berkata, “Reta, hati-hati ya?.
Dan jangan lupain aku ya?”. Aku pun tersenyum simpul mengingat kata-katanya
itu. Air mataku pun berjatuhan.
Begitulah,
kehidupan yang aku lalui bersama Arita. Arita adalah teman yang menyenangkan
buatku. Membuat hatiku menjadi lebih baik.
***
Lulus dari
sekolahan itu, kami semua berpisah. Aku pun pergi meninggalkan mereka semua
untuk selamanya. Hanya beberapa teman-temanku yang mengetahui kepergianku,
termasuk Arita. Walaupun, aku tidak tau pasti apakah aku masih diberi
kesempatan agar dapat menemui mereka lagi atau tidak.
Kalau Cupid Lagi Jatuh Cinta
Oleh : Erlita
Hallo!. Kenalin namaku Aline. Dulu aku cuma cewek
biasa aja lho, tapi semenjak temenku minta bantuan buat dipecahin masalah
cintanya, dan sukses total. Maka, mulai saat itu aku dikenal dengan sebutan
Cupid Girl. Ada kebanggaan tersendiri sih, karena aku sekarang udah punya
penghasilan sendiri, jadi aku nggak usah minta uang sama ortu. Biasanya aku
dibayar sama orang untuk tiap masalah cinta, itupun cuma seikhlasnya, alias
terserah aja.
Oh, ya temenku itu juga
banyak banget lho, dari anak kelas 1, 2 dan 3 SMA, nggak ketinggalan juga
anak-anak OSISnya, secara aku kan anak OSIS, pokoknya satu sekolah itu
temen-temenku semua deh. Makanya aku jadi betah di sekolah.
Masalah temen-temen itu
buanyak banget. Salah satunya kayak masalah Laras ini, “Lin, gue masalah nih,
lo mesti bantuin gue!!” pinta Laras.
“Emang apa yang bisa gue
banting, eh dibantu?” tanyaku. “Gini, gue suka ma cowok, namanya Randi. Dia
nggak kenal gue sih. Tapi, gue pingin banget dia kenal gue and jadi temen gue,
tapi ya kalo bisa dia jadi cowok gue, bisa ya!. Ntar gue bayar dobel deh!” kata
Laras memelas.
“Oke, oke deh. Serahin
semua sama gue, tapi urusan pembayaran dibayar setengahnya dulu donk, ok!”
kataku. “Ok!. Nih, sorry gue Cuma bisa mbayar segini soalnya gue tadi
terburu-buru sih ke sekolah. Sisanya gue bayar besok ya!. Ya udah sekarang
mulai beraksi dong, gue tunggu hasilnya ya!” katanya ceria sambil ninggalin
aku.
Lalu, aku mulai beraksi
deh. Waktu itu si Randi lagi berdiri sendirian dan lagi mbaca isi madding, ini
sih gampang nanyain dia sambil ngeliat mading.
“Isi mading hari ini,
kurang menarik and seru ya, “kataku mengganggu.
“Apanya yang nggak
menarik, ini termasuk yang menarik dan isinya bagus banget” katanya sedikit
bingung. “Iya, terserah orang nilainya gimana, lagian gak papa kan kita nggak
sependapat” kataku mengelak.
“Lo apa nggak kasihan
ama cewek lo, ditinggal ngeliat mading ama lo, mending sekarang lo ketemuan deh
ama cewek lo!” kataku asal.
“Cewek??. Gue belum
punya cewek tuh, jadi gue bebas ngeliat isi mading ini sepuas gue” katanya
tenang. “Oh gitu, berarti kebetulan dong!” kataku bersemangat. “Kebetulan gimana
maksud lo??” tanyanya bingung.
“Gini, daripada lo
disini Cuma ngeliat mading aja, mending lu ikut gue deh” kataku. “Ayo, malah
bengong!!” kataku lagi. “Tuh, ada cewek lagi sendirian pengen ketemu ama lo,
anaknya cantik lho, entar lo rugi lagi nggak ketemuan ma dia” kataku membujuk.
“Oke deh, gue samperin ya! Da…” katanya ceria. “Akhirnya mereka ketemuan and
ngobrol juga, lega deh gue. Rencana gue berhasil. Yess!!” kataku dalam hati.
Tiba-tiba aja ada cowok
yang melintas dengan temannya di depan aku, dan aku langsung terpaku
ngeliatnya, serasa tersihir gitu. Cakep banget…anak mana sih dia, apa ini yang
dinamain Love At First Sight. “Aduh…” kataku tiba-tiba. Ternyata aku jalan
sambil ngelamun dan nggak ngeliat ada tiang basket di depan aku. Untung aja nggak
ada yang ngeliat.
Ketika di dalam kelas…
“Aline, lo kenapa sih
kok bengong, apa ada masalah ama dient lo ya! sampai lo bengong gitu” tanya
Rini penasaran. Rini adalah teman satu bangkuku. Lalu dengan sedikit senyum aku
langsung menjawab. “Nggak…nggak ada apa-apa kok, ke kantin yuk, gue belum jajan
nih!” kataku. “Yuk!” kata Rini.
Sesampainya di kantin
aku masih ngebayangin tampang cowok itu dan akhirnya kebawa ngelamun juga.
Trus, Rini menepuk bahuku dan berkata, “Lo tu mau pesen apa, dari tadi masih belum
pesen, jangan ngelamun dong!” katanya mengingatkan.
“Siapa yang ngelamun,
orang gue lagi mikir mau pesen apa kok!” kataku mengelak. “Mbak pesen bakso ma
es the ya!” kataku. Lalu setelah menerima makanannya aku dan Rini duduk,
langsung aja Rini nyerocos. “Lo tau nggak sebulan yang lalu Tia ma Doni dah
putus lho, padahal mereka termasuk pasangan yang serasi, trus…”.
Rini terus aja ngobrol
tanpa henti, daripada aku ngedengerin dia mendingan ngebayangin cowok itu deh.
Aku ngebayangin aku ama cowok itu lagi jalan berdua di tepi pantai, trus… “Lin,
lin sadar!!” katanya membuyarkan lamunanku.
“Ada apa sih, lo ganggu
aja!” kataku ketus. “Lo sadar nggak, lo masukin saos kebanyakan tuh!” kata Rini
sambil nunjuk baksoku. “Eh iya, gue lahi pingin nyobain bakso ditambah banyak
saos. He he “ kataku asal.
Ketika aku minum es tes,
nggak sengaja aku ngeliat cowok yang aku sukai. Dia lagi duduk ma
temen-temennya. Ini kesempatanku buat ngedeketin dia, tapi tunggu
temen-temennya pergi dulu aja ah, baru deh aku beraksi. Tapi selang beberapa
menit, tiba-tiba aja dia ninggalin temen-temennya gitu aja. Ini saatnya aku
beraksi!. Langsung aja aku tinggalin Rini yang lagi asyik makan bakso, dia
kayaknya bingung sih, tapi biarin aja.
Setelah aku pergi
ninggalin kantin, aku ngikutin kemana cowok itu pergi, oh ternyata dia ke
kelasnya. Lalu aku tunggu dia sampai keluar kelas. Sambil nunggu dia keluar
kelas, aku mikirin kata-kata yang mau aku ucapin. Aduh…bingung mau ngomong apa.
Terus, aku ngeliat dia keluar kelas, tapi yang ada aku Cuma ngeliatin dia.
Tiba-tiba aja ada yang jatuh dari saku celananya, sebuah dompet. Langsung aja
aku pungut. Dan aku langsung lari dan teriak-teriak.
“Hey, hey!” kataku
sambil lari. Lalu cowok itu berhenti dan akhirnya aku juga ikut berhenti, trus
kita tatap-tatapan gitu. “Ada apa?” katanya membuyarkan tatapanku.
“Mmm…anu…anu…, dompet lo jatuh tadi” kataku salting. “Eh iya, bener, makasih
ya!. Wah gue mesti balas budi ni ama lo” katanya lagi. “Balas budi!. Nggak usah
aja, tapi mending iya aja deh” kataku salting lagi.
“Lo mau apa?. Ditraktir
atau apa?” katanya. “Ditraktir aja , tapi besok aja ya, soalnya tadi gue udah
makan. Kalo boleh tau, nama lo siapa sih?” tanyaku penasaran. “Gue Tio anak XI
IPA 2, met kenal ya!” katanya sambil jabat tangan. “O…Tio, gue Aline anak XI
IPA 3, met kenal juga!” kataku sambil menjabat tangan.
“Eh lo anak baru ya,
soalnya gue baru ngeliat lo hari ini” tanyaku memastikan. “Nggak, gue anak
lama. Gue tau kok, lo Cupid Girl itu kan!” katanya lagi.
“Iya!. Wah, ternyata lo
tau gue juga ya. Berarti gue ketinggalan kereta donk!” kataku. “Lho, kok
kereta?” tanyanya penasaran. “Iya, abisnya gue nggak tau lo sich!” kataku
bercanda. “Eh udah dulu ya, gue mau ke tempat temen-temen ngumpul dulu!”
katanya buru-buru. “Eh ok deh, jangan
lupa traktir gue lho!” kataku lagi. “Ok deh, sampai ketemu besok ya!” katanya
meyakinkan.
Esok harinya, pas jam
istirahat…
Aku nungguin Tio di
kantin. Ternyata kantin masih sepi, oh ya tadi Rini aku tinggalin gitu aja. Hi,
hi kasihan sih, tapi biarin deh. Yang penting aku bisa ditraktir ma Tio. Selang
beberapa menit, Tio pun datang ke kantin. Langsung aja aku ngelambaiin
tanganku. Habis itu Tio datang deh ke mejaku. “Hai sorry ya, tadi ada tugas
gitu jadi lama deh kesininya” kata Tio. “Iya, gak papa kok” kataku lagi.
Lalu aku ngobrol panjang
lebar ma dia, kita cerita-ceritanya macem-macem gitu. Tentang temen-temen,
keluarga pokoknya banyak banget deh. Dan yang pasti seru deh. Sehabis dari itu
kita jadi akrab dan deket. Dan pada akhirnya, saat-saat yang aku tunggu-tunggu.
Dia ngajak aku jalan pas malam minggu, kabarnya pingin mbicarain sesuatu yang
penting sih. Otomatis aku harus tampil cantik, biar aku nggak ngecewain dia.
Malam minggunya, aku ma
dia ketemuan di café. Dia tampil dengan jas hitamnya dan senyuman yang hangat.
Pokoknya dia cakep banget deh. Setelah itu kita pesen makanan sambil
ngobrol-ngobrol. “Aline, selama ini kan kita udah deket, mmm…” katanya nervous.
“Trus…” kataku
penasaran. “Lo mau nggak jadi pacar gue?” katanya lagi”. Aku yang udah lama
suka ma dia pun langsung mengangguk. “Gue mau kok jadi cewek lo!” kataku lagi.
“He…he…” Tio ketawa. Aku langsung bingung dan langsung nanya. “Lho, kok
ketawa?” tanyaku penasaran. “Ternyata Cupid bisa jatuh cinta ya!” kata Tio
ngelanjutin. Aku hanya tersenyum dan sepanjang malam itu aku bahagia banget.
Oops…tapi besok aku harus nyelesein masalah cinta dientku, moga aja bisa
sukses. Dan satu hal lagi, Rini. Aku harus ceritain hal ini sama dia.
Kenapa
Gue Bisa Sayang Dia?
Oleh
: Erna Noviani
Pernah nggak kalian
ngerasa atau bertanya dalam hati. Kenapa kita bisa sayang sama orang itu?. Itu
yang lagi gue pikirin akhir-akhir ini. Gue khan yang lagi sayang sama cowok
bernama Pandu. Pertama gue ketemu, udah ada rasa yang nggak pernah gue rasain
sebelumnya.
Hari ini gue mau ke sekolah ngejalanin aktivitas
kayak biasa. Semangat banget gue hari ini karena pastinya gue ketemu sama
Pandu. Di sekolah jam ke 3 pelajaran gue kosong karena guru gue lagi shopping
gitu… Kebetulan Pandu gi pelajaran olahraga, pastinya gue keluar kelas mulu.
Pas di kelas temen gue Sera nagih janji sama gue “Cha, gue tagih janji ama
lo!!” omong dia sambil narik baju gue. “Janji pa Ser?” bales gue sambil
ngelepasin tarikan tangan dia. “Janji, lo dah kalah kan. Kita bikin perjanjian
lo bikin 2 cerpen buat gue dan gue bikin 2 gambar “sakura” buat lo. Gue dah
nyerahin 2 gambar dan lo baru ngasih 1 cerpen buat gue” jelas Sera. “Trus, lo
mau hukum gue apa?” tanya gue. “Gue pengen hukum lo apa ya?????. lo nggak
mungkin gue suruh bersihin toilet rumah gue, hmp…gimana kalau lo tanyain ke
Pandu tentang basket atau hobi dia???” tawar Sera. “Gila lo, bisa mati berdiri
gue…” tolak gue. “Kenapa harus mati berdiri??. Cepet sana!!! Kebetulan dia lagi
sendirian… kalo lo nggak mau gue bakal marah sama lo!!!” ancem Sera. “Jangan
gitu donk…iya…iya…jangan ngambek ya…?” gue emang nggak bisa ngeliat Sera marah.
Akhirnya gue
brani-braniin nyamperin dia. “Kak Pandu!!” panggil gue dengan deg-degan. “Iya,
ada apa?” tanya dia dengan muka coolnya. “Kak, kakak anak basket ya??” balik
tanya gue. “Iya, mang kenapa, boleh tau nama lo siapa?” tanya dia lagi. “Nama
aku kha kak, aku mau tanya guru basket kakak siapa?” jawab gue. “Guru basket
gue bu Sandra. Mang kenapa?. D…iya panggil gue Pandu aja, trus kita ngobrolnya
pake lo, gue aja. Kayaknya lebih akrab gitu” tawar Pandu. “Eh iya juga
ya…hmpp…gurunya cewek ya? nggak papa sich kok guru cewek bisa ngelatih lo?”
tanya gue. “Ya bisa aja. Emang kenapa sih? Kok nanya gitu?” balik tanya. “Nggak
kok,…guru cewek bisa bikin Pandu jago main basket ya?”. Ups…apa yang gue
bilang, aduh gimana nich…tapi dia kok malah ketawa ya?. “Ah lo bisa aja”
celutuk Pandu. Gue hanya bisa senyum ngeliat Pandu yang lagi ke GE-Eran gitu.
“Ndu, dah mulai tuch olahraganya” tunjuk gue. “Eh, iya gue kesana dulu ya!!!”
gue ngangguk sambil senyum kecil. Nggak nyangka bisa ngobrol sama orang yang
paling gue sayang, ternyata dia orangnya asik banget…Seandainya dia nggak lagi
olahraga, pastinya gue bakal ngobrol lebih lama lagi… tapi gak papa gue seneng
banget. Gue langsung nemuin Sera buat bilang makasih banget gara-gara dia gue
bisa ngobrol sama Pandu. Tapi nggak lama gue dapat kabar yang nggak enakin buat
diri gue, yang bikin gue sakit banget… Pandu dah punya cewek!!!!. Gila gue
langsung down abizz, ancur banget gue…gue nangis nggak karuan sampe-sampe gue
sering ilang keseimbangan badan, gue sering jatuh sampe keseleo deh…tapi
rasanya sakit kaki gue nggak sebanding dengan sakitnya hati gue…ditambah lagi
gue dapet kabar kalo Pandu suka gonta-ganti cewek, suka bolos sekolah de el el…
Banyak temen gue yang
nyuruh gue lupain cowok kayak dia, tapi gue nggak bisa… Pa lagi nanti dia bakal
pergi dari sekolah, bentar lagi dia lulus…
Pandu kenapa jadi kayak gini sich perasaan aku ke lo?” gumam gue
terus-menerus. Gue sadar Pandu juga nggak suka sama gue beda sama
mantan-mantannya yang bisa dibilang sempurna fisik…Lama kelamaan gue nggak
tahan nahan rasa ini. Akhirnya, aku nulis surat buat dia…
Bandung, 21 November 2007
Dear Pandu
Hi Ndu, gimana kabar
lo???. Gue harap baik-baik aja. Sorry gue lancang ngirim surat ini buat lo.
Abis gue nggak tau lagi cara ngomong masalah ini. Pandu jujur kalo gue sayang
banget sama lo. Satu tahun yang lalu pertama gue ketemu lo gue nggak tau
perasaan ini…tapi lama-lama gue ngerti kalo gue sayang lo…
Lo nggak perlu tau gue siapa karena menurut gue itu nggak penting…
Semoga lo bahagia karena setiap senyum yang keluar dari bibir lo bikin
gue bahagia banget…
Thanks
*****
(Someone)
Surat ini dikasih
melalui temen gue dan pada saat itu gue ada disana. Tampak kebingungan dari
mata indah dia dan ceweknya juga ada disitu. Gue nggak pernah mikirin gimana
perasaan cewek itu, keliatan dari muka cewek itu rada marah tapi bodo amat… dan
nggak lama gue denger Pandu putus sama cewek itu…gue jadi ngerasa bersalah sama
Pandu. “Ahkk, bodo amat emang itu yang gue pengen dia putus ama cewek itu”
kata-kata itu yang selalu bikin gue bertahan. Gue bertahan dengan kata-kata itu
cuma beberapa minggu…akhirnya gue mutusin buat ngomong langsung sama Pandu…Gue
nyari dia dari ujung kelas sampe ujung kelas lagi…Dan gue ketemu sama
dia…”Pandu!!!” panggil gue. “Da pa cha” tanya dia. “Ndu, lo masih ingat soal
surat 2 bulan yang lalu?” tanya gue. “Yups, lo tau siapa orang itu?” balik
tanya. “Ndu orang itu…gue, gue tau lo marah dan kecewa banget sama gue tapi
emang itu perasaan gue. Gue nggak tau kenapa gue gue bisa sayang sama orang
kayak lo…perasaan ini datang begitu saja tapi nggak bisa pergi. gue ngomong
kayak gini bukannya gue mau minta lo jadi cowok gue. Gue hanya mau nyatain
doank, supaya gue tenang nantinya. Gue tau lo nggak sayang sama gue jangankan
sayang suka aja nggak kan???” jelas gue dengan air mata yang mulai terurai.
Emang gini rasanya cinta bertepuk sebelah tangan. Pandu hanya bisa diam dan dia
hanya bilang “Trus, mau lo apa?” gue diem, mikir, bingung, nggak tau apa mau
gue setelah ini. “Mau gue… gue mau lupain lo. Dan gue harap setelah kejadian
ini lo nggak berubah sikap sama gue. Hanya itu gue janji bakal lupain lo”
perkataan gue itu. Janji gue itu nggak tau apa gue tepatin atau nggak… “Ok, gue
bakal turutin mau lo. Gue minta maaf nggak bisa balas perasaan lo. Udah jangan
nangis malu diliat orang” pinta Pandu buat gue. Seandainya saat itu gue bisa
meluk dia…
Setelah kejadian itu dia emang nggak berubah…
Itu yang bikin gue sayang dia…
Malah bisa
dibilang lebih baik…
KEJUJURAN
Oleh : Chodijah
Perlahan-lahan matahari mulai menutup matanya. Warna lembayung yang
menghiasi kota tampak sangat menawan. Terlihat di mana-mana lampu mulai
menyala. Dari mulai lampu rumah, gedung, jalan, bahkan kendaraan sekalipun. Tak
hanya itu, bakul mie ayam, bakso, gorengan selalu setia berkeliling bersama
gerobaknya.
Tampak di depan pintu seorang laki-laki sedang asyik
menghisap batang rokoknya sambil mengikat tali sepatu. Rojali panggilannya.
Pria asli Jakarta ini kesehariannya kerja malam. Terlihat dari kupluk, jaket
kulit, celana panjang, kaos kaki, dan sepatu yang dikenakannya. Tiba-tiba
datang seorang wanita pendek berbadan gendut menagih uang kontrakan.
“Jali, gue mau
nagih uang kontrakan bulan ini,” ujar mpok Mirna.
“Besok aja dah mpok, gua
bayar. Lagian gak biasanya nagih waktu-waktu gini?” jawab Rojali.
“Tapi gue lagi butuh ni
Jal, buat bayar uang sekolah anak gue,” ujar janda beranak satu itu.
“Ya elah mpok. Kapan gua
pernah nunggak bayar uang kontrakan, kan kagak pernah. Besok dah gua bayar,”
kata Rojali.
“Beneran!!!!!!!!!!!!!
Besok ya?”
“Iye besok. Kagak
percayaan amat sih. Bisa gua beli ni rumah kontrakan kalau gua mau,” bisik
Rojali.
Mpok Mirna yang tadinya
akan mneinggalkan Rojali, baru dua langkah tiba-tiba berhenti dan membalikkan
badan.
“Iye mpok gua
bayar………..!” Rojali kaget.
“Kagak, bukan itu. Tadi
elu bilang mau beli ni rumah kontrakan? Kagak salh lo Jal? Barang aja lo kagak
punya. Pakean aja kagak ade model-modelnya gitu. Mending elu jadi laki gue
aja,” kata mpok Mirna merendahkan Rojali dan pergi. Rojali malah memberikan
senyum.
Mpok Mirna bahkan
tetangganya yang lain tidak tahu kalau rojali telah berkeluarga. Rojali tidak
pernah sama sekali menyingung tentang dirinya. Oleh karena itu, banyak cewek
yang bengong melihat Rojali. Walaupun dirinya sudah berkeluarga, wajahnya tetap
tampan walau dipandang dari sisi manapun.
Rojali melihat jam di
tangan kanannya yang menunjukkan pukul 18.30. Dia langsung bergegas menuju
jalan besar yang tidak jauh dari rumah kontrakannya. Dia berdiri di kiri jalan
menunggu omprengan lewat. Pria berbadan tinggi ini sesekali memalingkan
wajahnya ke arah barat jalan. Tak lama kemudian angkutan biru kecil itu tiba
juga.
Rojali masuk dan
langsung menempati posisi belakang pintu. Saat dirinya masuk mobil, semua mata
tertuju padanya. Tidak heran karena di dalam angkot yang punya nama aneh itu
tidak terlihat wajah segar, badan wangi parfum, baju rapi, dan bersemangat
terkecuali Rojali. Maklum sebagian besar penumpang baru pulang kerja.
“Kiri Bang,” ujar Rojali
sambil memberikan dua lembar uang ribuan ke sopir angkot.
Akhirnya Rojali sampai
di terminal Priok selama hampir 15 menit perjalanan dari daerahnya Werekas.
Tempat bekerja bapak dua anak ini tidak jauh dari dia turun angkot. Dari
terminal sudah terlihat tempatnya mencari uang. Namanya Pelabuhan Tanjung
Priok. Rojali cukup menyebrang jalan saja.
Hawa dingin menusuk
hingga ke tulang. Angin laut membuat benda-benda disekitarnya menari-nari.
Banyak juga makhluk yang menghangatkan diri di kedai kopi. Ada juga yang kesana
kemari melaksanakan tugasnya. Ada yang sekedar beristirahat.
Rojali melangkah menuju
mez. Sebelum mencari uang, tak lupa ia menemui kawan-kawannya terlebih dahulu.
Di rumah kecil tempat para pekerja beristirahat, Rojali bertemu dengan dua
orang temannya, Joko dan Robert.
“Mana yang laen? Kok
cuma kalian bedua,” mata Rojali melihat kemana-mana.
“Pada
kerja. Oya jal, tadi elu dicari sama Bos. Katanya mau dikasi pekerjaan,” ujar
Robert kental dengan bahasa Jakartanya.
“Iya Jal, Gue juga
pengen tu pekeraan, kan lumayan. Tapi Bos kagak mau ngasih gue. Maunya elu,”
gerutu Joko.
“Mana mungkin ngasih
elu. Elunya aja linglung alias lupaan,” kata robrt menyindir.
“Ah elu, bisanya mojokin
gue……. Aja,” kata joko kesal.
Rojali tersenyum.
“Ya udah unggu apa lagi. Ntar job lu dikasi orang laen lagi,” kata
Robert.
Tanpa pikir panjang
Rojali pergi. Kantor yang jauhnya tujuh puluh meter itu dia tempuh dengan jalan
kaki. Sesampainya di tempat Bos, Rojali dikasih pekerjaan memegang gaji pekerja
yang jumlahnya cukup besar. Dia juga diberi pekerjaan menyalin dokumen-dokumen
kantor.
“Makasih Bos ude percaya
ama saya,” kata Rojali.
Si Bos cuma
mengangguk tersenyum sambil menepuk pundak Rojali.
Beberapa kali Rojali
mendapatkan pekerjaan seperti ini. Terkadang Rojali bekerja seperti orang
bingung, menariki pajak dari setiap sopir truck. Tidak hanya sedikit truck yang
dimintai uang pajak, tetapi banyak sekali. Karna itulah banyak orang yang
bekerja seperti Rojali.
Lembaran-lembaran uang
yang mereka dapatkan tergantung dari cuaca. Jika cuaca tidak baik maka jarang
kapal yang berlayar mengangkut truck yang lebih sering dikenal dangan truck
tronton. Dan sebaliknya.
Suara bising mesin-mesin
di pelabuhan memekakan telinga. Tak terkecuali dengan kontainer-kontainer yang
tidak habis-habisnya keluar dari kapal. Bosan rasa memandang. Begitu juga
dengan asap kendaraan, rokok, dan gas lainnya yang bercampur menjadi satu gas
tidak sehat bagi pernafasan. Semua itu yang selalu menemani pekerja pelabuhan
bekerja setiap harinya.
* *
* * *
Adzan subuh pun
berkumandang. Kebetulan Rojali sudah selesai dengan pekerjaannya. Dia kembali
ke mez untuk melaksanakan sholat subuh. Tak lupa ia mendoakan keluarganya agar
selalu sehat. Rojali adalah salah satu orang yang beragama islam yang rajin
beribadah. Jarang di tempat yang biasanya untuk judi itu ada yang seperti
Rojali selalu ingat terhadap Tuhannya.
Rojali berkumpul dengan
teman-temannya. Mereka menghitung lembar demi lembar uang yang didapat.
Alhamdulillah hasil yang mereka dapatkan lumayan banyak. Jika ada seseorang
yang mendapatkan sedikit hasil kerjanya, Rojali dan kawan-kawannya membagikan
hasil. Asas berbagi berlaku untuk mereka.
Sigit, Joko dan Muji
sejak malam tidak ada lelahnya berhenti mencari uang. Mereka mengejar target
mumpung lagi banyak truck. Banyak kontainer maka banyak pula uang. Semboyan itu
yang biasa mereka gunakan.
“Bet, S.J.M kemana? Kok
dari tadi malem gua kagak ngeliat.” Ujar Rojali.
“Kagak tau tu, dari
kemaren disuruh leren kagak mau, katanya si mumpung lagi banyak,” kata Robert.
“Lu mau pulang bareng
gua apa kagak? Apa elu mau ngelanjutin kerja kayak mereka-mereka?” ujar Rojali
sambil menunjuk orang yang sedang mengurusi kendaraan raksasa itu.
“Gue mau pulang, tapi
entaran siang deh. Masih pagi nih….! Ngomong-ngomong tiga hari lagi kan idul
fitri, kapan elu pulang ke kampung? Kasihan istri dan anak elu.”
“Ntar sore gua pulang.
Abis bayar uang kontrakan. Ya udah gua balik ya…….!!!” Rojali ngeloyor pergi.
Rojali kembali ke
terminal Priok. Dilihatnya beberapa angkot berjajar rapi menunggu penumpang.
Hanya satu angkot yang jurusannya ke Werekas. Tak lama kemudian angkot pun
berangkat. Ini malah kebalikannya dari dia berangkat kerja. Rojali kelihatan
kumel sendiri.
Mata Rojali sayup-sayup
kantuk. Lambungnya yang kosong mengeluarkan suara. Begitu juga dengan badannya
bergetar. Semua itu karena Rojali lapar. Tubuhnya bau asap kendaraan. Semalaman
bekerja membuat kondisi jasmani Rojali tak karuan.
Sampai di depan rumah,
Rojali merogoh kantong di mana dia menyimpan kunci kontrakannya. Baru memegang
ganggang pintu tiba-tiba mpok Mirna memanggilnya sangat keras. Suaranya membuat
sepeda yang disenderkan di pagar roboh.
“Jali………………………….!”
Teriak mpok Gendut.
“Ape si mpok………..???
Masih pagi teriak-teriak,” tanya Rojali lupa dengan janjinya.
“Janji elu, katanya ni
pagi elu mau bayar.”
“Oh itu….. Sory mpok gua
lupa. Nih tigaratus rebu,” memberikan tiga lembar uang itu ke mpok Mirna.
“Ngomong-ngomong pagi
ini lu lagi dapet duit banyak ni,” kata si mpok sambil mendekati Rojali.
Matanya ijo.
“Ape lagi si mpok?”
tanya Rojali.
“Kagak. Tambahin ni,
kurang,” kata mpok Mirna tergiur.
“Ah ude-ude, biasanye
aja segitu,” Rojali masuk ke dalam rumah.
“Pelit lu Jal. Besok gue
naikin ni rumah kontrakan.”
“Terserah…………….” Sahut
Rojali.
Ruangan yang pertama
diuju Rojali adalah kamar mandi. Setelah membersihkan badan, Rojali membereskan
pakaiannya yang akan dibawa mudik. Mumpung masih pagi Rojali ke warung Bu Watik
yang keletan tiga rumah dari kontrakannya untuk beli nasi uduk. Setelah makan,
dia istirahat untuk memulihakn tenaganya kembali.
Kring………….Kring………Kring.
Jam weker berbunyi nyaring sekali. Jam kesayangan Rojali menunjukan pukul dua
siang. Cukup lama dia tidur. Dia bangun dan langsung memeriksa barang yang akan
dibawanya mudik. Takut ketinggalan kereta, Rojali cepat-cepat menuju stasiun
Senen yang tidak terlalu jauh dari daerahnya. Sebelum itu dia berpamitan dulu
dengan yang punya kontrakan dan tetangganya sekitar.
Di jalan tak pernah
matanya menoleh selain ke foto istri dan kedua anaknya. Sesekali dia memeluk
foto yang diambil lima bulan yang lalu sambil tersenyum. Hatinya berdebar-debar
ingin cepat bertemu. Tak lupa ia membawa bingkisan untuk sanak saudara di
kampung. Lebaran yang jatuh dibulan November ini membawa berkah di hidupnya.
Selang enam bulan
kemudian kehidupannya berubah. Berkat doa yang selalu dia panjatkan,
keinginannya terkabul juga. Dia diberi pekerjaan oleh si Bos di kantor.
Meskipun masih bekerja malam toh pekerjaannya tetap. Dia tidak harus berjalan
kesana kemari menariki uang pajak. Semua itu berkat kejujurannya.
Tidak cuma itu, Rojali
membeli rumah yang dulu ia kontrakin yaitu rumah kontrakannnya mpok Mirna. Dia
memboyong keluarga ke rumah barunya itu. Meskipun mpok Mirna dan tetangganya
sekitar terkejut kalau Rojali yang selama ini diknalnya masih single ternyata
sudah punya istri malah punya dua anak juga. Kepribadiannya yang tertutup
membuat orang tidak banyak tahu tentang diri Rojali. Itulah Rojali, seorang
laki-laki asli Jakarta yang jujur meski tertutup bagi orang lain.
Malam Kemenangan
Oleh : Tiara
“Yah, bagi duitnya donk!”.
“Huss…siapa
yang ngajarin kamu ngomong nggak sopan gitu? Ulangi lagi!” ujar ayah cuek,
tanpa menoleh sedikit pun dari Koran yang dibacanya sore itu.
“Upsss…
sorry yah, ya dech Dewi ulangin lagi, ayahku sayang,
Dewi minta dananya donk!” ulang Dewi dengan
mimik muka semanis mungkin, berharap semoga dengan ini hati ayahnya bakal
terketuk dan segera mengucurkan dana buat nonton konsernya Nidji.
“Buat
apa sih Wi? Kan uang bulanan kemaren baru dikasih Ibu minggu kemarin masa sudah
habis sih Wi?” jawab Ayah masih cuek.
“Ya
masih ada sich yah, tapi kan ini uangnya lain yah, bukan untuk urusan sekolah.
Dewi minta dana buat nonton konser Nidji bareng-bareng ama temen-temen Dewi,”
jelas Dewi panjang lebar dengan mata berbinar-binar.
Kali
ini Ayah tersentak kaget, pandangannya langsung mengarah tajam pada Dewi, Dewi
masih berbinar-binar demi mendengar jawaban dari Ayah.
“Nidji
apa itu Wi?”.
“Aduh,
ayah pake nggak tau segala, itu loh yah yang lagunya bagus-bagus, yang sering
Dewi nyanyiin itu, ayah kan juga suka”.
“O…Nidji,
yang vokalisnya rambutnya kribo itu, yang kalo nyanyi kayak kesetrum itu?. Halah, jelek gitu kok mau
ditonton Wi, jelek gitu”.
“Wah…ayah
nggak asyik” Dewi langsung pergi meninggalkan ayahnya yang masih asyik sama
korannya, Dewi pergi dengan bibir mayun.
“Dewi!”
panggil Ayah, kembali membuat hati Dewi berbunga-bunga.
“Mending,
kamu bikin acara buat santunan anak yatim atau apa gitu. Bentar lagi kan ada
peringatan Isra’ Mi’raj” terang ayah langsung bikin jantung Dewi lemes. Gila,
baru aja terbang tinggi langsung main jatuhin gitu aja.
“Uh,
capek dech” sambung Dewi ngikutin gayanya aming di Extravaganza.
Meski
proporsal lisannya udah ditolak mentah-mentah sama ayahnya, Dewi nggak patah
semangat. Malam ini agendanya dia mau merayu Ibu yang terkenal diantara rumah
yang paling nggak tegaan. Dewi yakin banget
misi kemanusiaan buatan dirinya sendiri bakal terealisasi.
Phiuuuhhhhhhh,
ia menghembuskan nafas kuat-kuat untuk menambah keberaniaannya menghadapi sang
ibu. Sebenarnya dia yakin banget kalau dia bakal diinterogasi habis-habisan.
Tapi demi rasa yang menguasai segalanya dia kuatkan hati, Amar ma’ruf nahi
munkar (halah…halah).
“Mi…Dewi
mau ngomong nih. Boleh nggak, bu?” Dewi ragu-ragu.
“Ngomong
aja Wi, pake minta ijin segala?” jawab ibunya sambil terus sibuk ngitungin laba
pakai kalkulator.
“Gini
bu, khan tadi Dewi diajakin temen-temen Dewi pergi nonton konsernya Nidji.
Trus, Dewi mau minta dana ama ibu, seratus ribu aja dech bu. Boleh ya bu. Ibu
paling nggak tegaan kalau ngeliat orang sengsara. Dewi pun tetap semangat 100%.
“Konser,
ya ampun Wi. Kamu kan anak perempuan, pakai jilbab lagi. masa mau nonton
konser. Disitu kan banyak orang, ih ibu nggak bisa ngebayangin, kamu diantara
orang-orang sebanyak itu. Apalagi kan banyak anak cowoknya. Kalau ada keributan
atau kecopetan gimana? Ah, nggak usah nonton begituan dech!” Ibu khawatir.
“Ibu
apa-apaan sich? Porno banget! Lagian kan ibu belum pernah liat yang kayak
gituan, main su’udzon segala” Dewi sewot.
“Kan
diberita-berita banyak kayak begituan. Rusuh saat konser berlangsung. Ibu
bukannya su’udzon, ibu Cuma ngasih tau aja. Mending duitnya buat ngadain acara
santunan anak yatim piatu. Gimana? Briliant idea kan?” nasehat Ibu sambil sok
British.
“Wah,
ibu dimintai uang malah ngasih saran acara kayak gituan, capek dech!” Dewi
nge-replay kayak yang tadi dikatakan ama Ayah.
“Ih,
nich anak dibilangin malah…kebanyakan nonton Extravaganza. Heran dech!” ibu
ikut-ikutan.
Secepat
kilat Dewi menekuk mukanya gitu… kayak kertas dilipet-lipet. Plus, Dewi berdiri
dari tempat duduk, langsung meninggalkan Ibu. Dewi langsung menuju kamarnya dan…….GUBRAAAKKK,
dengan kuat dia banting kuat-kuat pintu kamarnya, Dewi jengkel.
“Uuuuhhh…norak-norak. Ayah Ibu nyebelin. Pasti mereka udah sepakat
manolak rencanaku. Aduh, apa kata Rini, Ange, Risthy ma Doni kalau aku sampe
nggak jadi ikutan. Pasti mereka bakal ngeledek aku, masa anak Pak Yuli seorang
pengusaha ternama itu nggak ngasih duit ke anak tersayangnya. Ihh…males banget
dech.
Lama
Dewi terdiam, tiba-tiba seulas senyum mengembang dari bibir tipisnya. Segera
dia mengobrak-abrik lemarinya. Setelah menemukan sesuatu yang diambilnya, dia
langsung tersenyum puas.
*****
“Wi,
gimana, kamu tetep nonton konser?” tanya seorang temen cowok Dewi yang lebih
dari lumayan.
“Ya
iyalag yu, rugi banget kalau nggak nonton. Nidji gitu loh!” ujar Dewi
berapi-api.
“Tapi
kan Wi, Bokap-Nyokapmu nggak ngasih izin
apalagi dana. Terus kamu dapat uang dari mana, jangan nyolong yah!”.
Sambil
menempeleng pelan kepala Bayu, Dewi menjawab “Enak aja!. Aku juga masih punya
uang, Bapak-Emaknya haji anaknya nyolong. Nggak bonafid banget dech”.
“Terus
kamu dapet uang darimana?” tukas Bayu penasaran.
“Dari
duit tabunganku lah, eh buruan anterin aku beli tiketnya, kelamaan bisa
kehabisan entar”.
Di
tengah jalan mereka ke tempat tujuan mereka sempet ngeliat seorang ibu buta dengan
seorang anak kecil yang menuntun lengannya. Bayu yang disamping Dewi cuek aja
ngeliat yang kayak begituan, tapi beda dengan Dewi. Tiba-tiba naluri keanak
hajiannya muncul (ceilee…). Dewi langsung menghentikan langkah dan mundur dan
mendekati ibu buta dan anaknya itu. Pikirannya langsung berputar kebeberapa
hari yang lalu. Waktu Ibu menasehatinya kalau lebih baik ngadain acara buat
santunan anak yatim piatu. Bantar lagi kan ada peringatan Isra’ Mi’raj. Nah,
ini bisa jadi momen bagus buat kamu berbuat yang bermanfaat lagi diridhoi sama
Allah. Daripada nonton konser yang nggak jelas begitu.
Tiba-tiba
saja Dewi langsung mendekati Ibu dan anaknya. Dari dekat mereka kelihatan
kelaparan. Si Ibu yang hanya memakai pakaian kumal dan memegangi tongkat kayu
sebagai penuntun sepertinya diambil asal-asalan dari jalan. Sedangkan anaknya
juga memakai pakaian yang tak kalah lusuh. Anak itu memegangi perutnya menahan
lapar yang mendera-dera lambungnya. Bayu yang melihatnya Cuma geleng-geleng
kepala nggak paham.
“Dek,
kamu lapar ya?” sambil dengan muka memelas.
Cuma
anggukan pelan yang dia terima dan cukup menjadi jawaban buat Dewi. Iba hatinya
melihat realita di depan matanya. Tapi seketika mukanya kembali cerah dan
selanjutnya tanpa ragu-ragu Dewi langsung membuka dompetnya dan mengeluarkan
uang lembar seratus ribunya yang direncanakannya itu. Dengan tenang, ia
sodorkan uang itu.
“Dek,
ini kakak ada uang. Adek ambil aja ya buat makan ama Ibu” tutur Dewi pelan
dengan segenap kelembutan hati.
Malam
ini dia berhasil menitipkan kebahagiaan kepada insan-Nya. Meskipun dia tidak
jadi nonton dan nyanyi bareng Nidji dia nggak sedih, toh sebenarnya dia
bernyanyi. Nyanyian kemenangan dimalam Isra’ Mi’raj. Nyanyian indah berimbalan
surga.
PERSAHABATAN YANG ABADI
Oleh : Syamsiah Ulfa
Hai! Aku Diana.
Aku anak SMA 78
Jakarta. Aku
mempunyai dua orang sahabat. Dona dan Bimo. Mereka adalah sahabatku sejak
kecil. Mungkin karena rumah kami bersebelahan. Jadi sejak kecil kami sudah
bersama-sama. Kami selalu bersama-sama dalam suka maupun duka.
Dari pintu terdengar suara orang mengetuk pintu.
“Tok-tok.”
“Ya sebentar!” ibu membukakan
pintu.
“Pagi Tante!. Diana mana Tante?” Bimo menyapa
ibuku.
“Oh kalian, ayo masuk!. Biasa, Diana masih
tidur, susah sekali dibangunin. Padahal sudah siang. Coba sana dibangunin
barangkali nanti Diana langsung bangun.”
“Ok
Tante, kami masuk dulu ya Tan” Dona dan Bimo naik menuju kamarku.
“Heh, Diana bangun! Sudah siang tau. Apa kamu
nggak sekolah. Kamu yu ya, kebiasaan dech bengun kesiangan. Dasar cewek males”
Bimo mencoba membangunkanku.
“Diana ayo cepat bangun. Kita harus cepat pergi sekolah nanti
terlambat.”
“Ahh kalian ini, aku kan masih ngantuk.” Aku
mencoba membuka mata.
“Eh cewek pemales. Ini udah jam 7 tau.”
“Apa katamu, udah jam 7. Aduh gimana nich?.”
“Kau ini selalu aja begini.”
“Diam
kau, dasar cerewet. Cepet sana kalian pergi aku mau mandi!” Aku mendorong Bimo
dan Dona keluar dari kamarku. Aku cepet-cepet mandi dan siap-siap untuk pergi
sekolah.
“Ibu
aku berangkat!.”
“Nggak makan dulu sayang?. Sarapan dulu entar kamu lapar lho.”
“Nggak Bu. Bimo dan Dona udah nunggu lama. Lagipula ini udah kesiangan
entar malah terlambat. Doa Ibu…!” Aku salaman dan mencium tangan Ibu.
“Hati-hati di jalan sayang!.”
“Ok Bu!.”
“Ayo berangkat…!.”
“Dasar kau ini. Awas ya kalau besok sampai
terlambat bangun lagi, gue tinggal…!” Bimo menasehatiku.
“Ok
Bos. Aku nggak akan bangun terlambat lagi, mudah-mudahan.”
“Kau
ini Diana, selalu aja bersemangat.” Dona melihatku sambil tersenyum.
Mereka
adalah sahabat yang selalu ada disaat kami saling membutuhkan, kami selalu
berangkat sekolah bersama-sama. Bahkan satu sepeda buat boncengan bertiga.
Biasanya yang ngayuh sepeda Bimo, aku berdiri di tengah, dan Dona di belakang.
Sebenarnya aku kasihan sama Bimo karena harus ngayuh sendirian dan boncengin
aku ama Dona. Tapi semua ini udah kesepakatan.
“Ayo,
cepet bentar lagi bel masuk.” Aku memberi semangat Bimo.
“Iya,
ya…ini juga udah usaha tau. Kau ini bisanya cuma ngomong aja.”
“Kau
ini, gue ngasih semangat malah lo uring-uringan.”
“Eh…kalian
jangan berantem terus. Aku nggak mau kalian berantem. Bimo jangan
kenceng-kenceng, aku takut, entar kalau jatuh gimana.” Dona terlihat pucat
karena takut. Dona orangnya memang penakut dan pendiam. Dia juga sedikit pemalu.
“Udah tenang aja, nggak akan kenapa-napa kok.
Aku pasti akan nganter kalian sampai di sekolah dengan selamat…!” tukas Bimo.
“Cit…cit…cit…”
Suara rem sepeda.
“Akhirnya sampai juga, kakiku udah mulai
pegal-pegal nich.” Aku turun dari sepeda.
“Hah…hah…hah…! Ternyata kalian semakin lama
semakin berat ya, apalagi kau Diana, makin gede makin gemuk. He…he…!.”
“Apa katamu?” Aku menjitak kepala Bimo.
“Aduh…sakit tau.”
“Makanya nggak usah ngeledek aku!.”
Aku
sama Bimo memang sering berantem. Kami selalu adu mulut. Kami memang seperti
Tom and Jerry yang nggak bisa akur. Tapi terkadang kami juga bisa akrab.
“Udah ayo kita cepet-cepet masuk ke kelas!
Entar keburu bel berbunyi.” Diana mengajak masuk ke kelas.
Kami
masuk ke kelas tepat bel berbunyi. Aku sekelas dengan Bimo. Kami di kelas 2A,
sedangkan Dona di kelas 2C. jam 07.30 WIB. Kami mulai belajar. Hari ini adalah
hari yang membosankan. Semua pelajaran hari ini membuatku bosan dan ngantuk.
Akhirnya waktu istirahat tiba. Tiba-tiba di
depan pintu aku melihat Dona masuk ke kelasku.
“Diana, ayo kita ke kantin! Aku haus nich.”
“Ok aku juga udah lapar, tadi pagi aku belum
sarapan.”
“Bimo, kamu nggak ikut ke kantin?” Dona
mengajak Bimo ke kantin.
“Nggak
ah, aku mau ke perpustakaan mau cari buku, entar aku nyusul.”
“Tumben,
sejak kapan lo suka pergi ke perpus?. Nggak salah tuh.” Aku ngledek Bimo.
“Kurang
ajar lo, gue itu nggak kayak lo tau, yang cuma bisa makan aja. Udah sono lo ke
kantin aja, gue buru-buru nich, entar keburu bel masuk.”
Aku
dan Dona pergi ke kentin untuk mengisi perut yang lapar. Kami selalu pergi
bersama ke kantin. Kami memang udah nggak bisa dipisahin.
*****
Bel berbunyi, tepat pada jam 15.00 WIB.
Akhirnya kami pulang setelah seharian belajar di sekolah.
“Ayo, kita pulang!” Bimo ngajak pulang.
“Eh kalian duluan aja dulu. Masih ada yang
aku lakuin dulu, entar aku nyusul.”
Aku
pergi ke ruangannya bu Sisil. Biasa beliau selalu ngasih tugas matematika. Tahu
sendiri kan nilai ulangan matematikaku selalu jelek.
“Bi…Bimo ada yang pengen aku omongin.” Dona
terlihat gugup sekali.
“Mau ngomong apa?. Kok kayaknya kamu gugup
sekali.”
“Tapi kamu jangan marah ya.”
“Kamu tu aneh, emangnya kamu ngomong apaan
sich?. Jangan bikin aku penasaran donk.”
“Gini, sebenernya aku suka sama kamu.”
“Apa?” Bimo terkejut mendengar ucapan Dona.
“Maaf
kalau aku udah lancing, tapi perasaan ini nggak bisa aku pendam lama-lama. Aku
suka sama kamu sudah sejak lama, sejak kita SMP. Aku suka sama kamu karena kamu
orangnya dewasa. Kamu juga punya rasa kasih sayang.”
“Tapi
Don! Kita tu udah lama sahabatan. Aku nggak mau persahabatan kita hancur cuma
gara-gara cinta. Aku sayang kalian berdua, kau dan Diana. Tapi itu tidak lebih
dari sahabat. Kalian sudah aku anggap seperti adikku sendiri, kita satu
keluarga. Makasih kamu udah sayang ma aku, makasaih juga kamu udah berani
nyatain suka ma aku. Aku nggak nyangka kamu berani ngomongin itu. Jadi
mendingan kita sahabatan aja untuk selamanya daripada kita pacaran hanya untuk
sesaat. OK. Kamu nggak marah kan?. Lagipula kita harus menjaga perasaan Diana.”
“Aku
mengerti, seharusnya aku nggak ngomong kayak gitu, maaf ya! Memang seharusnya
kita sahabatan aja.” Terlihat dari arah pintu gerbang Diana memanggil.
“Hooiii! Kalian udah lama ya nungguin aku.”
“Kamu tu kemana aja sich? Kita udah lama nich
nunggunya, ampe kering tau!” Bimo sedikit marah.
“Sorry…sorry…. Gitu aja marah, senyum donk!.
Iya nggak Don…?”.
“I…Iya…” Dona tersenyum.
“Ya udah ayo kita pulang!”
Kita
akan selamanya bersama sampai maut memisahkan kita. Apapun yang terjadi.
Ikatan Persaudaraan
Oleh : Erni
Hastuti
Didha
benar-benar tak mengerti apa yang harus dia lakukan. Dia gak tau harus
bersyukur atau bersedih mempunyai kakak Sheila, namanya. Didha dan Sheila
adalah kakak beradik. Mereka berdua dilahirkan oleh ibunya. Keluarganya bisa
dibilang keluarga mampu. Ayahnya bekerja sebagai wiraswasta yaitu mendirikan
sebuah butik yang cukup terkenal di Jogya. Didha dan Sheila sepasang kakak
beradik yang terpaut umur sekitar 4 tahun. Keduanya begitu cere akan tetapi
juga seperti kucing dan anjing. Mereka sering kali bercekcok akan tetapi
pertengkaran itu munkin menjadi kasih sayang antara keduanya. Didha sekarang
duduk disebuah sekolah SMA ternama di Jogja dan kakaknya seorang mahasiswi
disalah satu universitas swasta.
***
Sore itu Didha
sedang menyetrika pakaiannya. Tiba-tiba dia terkejut ketika muka kakaknya sudah
ada dihadapannya. Maklum Didha hanya ada di rumah sendirian. Pikirannya sering
sekali membayangkan yang tidak-tidak.
“Ngapain
sich lo kak??? Ngaget-ngagetin aku aja!” ucap Didha setengah marah pada
kakaknya.
“Idih…!!!
Gitu aja kaget?!! Dek bikinin minum dhong…! Aku aus nih?” Sheila dengan sekuat
tenaga merayu Didha.
“Lo
pikir aku babu kamu!!! Bikin aja sendiri!!!”.
Sheila
menghela nafas dengan kuat. Pupuslah harapannya untuk minum tanpa ia membuat
sendiri. Ia bergegas ke dapur untuk membuat minuman. Selesai minum dia bergegas
ke kamarnya untuk ganti pakaian. Menuju kamar dia pasti nglewatin adiknya dan
seperti biasanya dia tidak melewatkan moment itu untuk menggoda adiknya.
“Cantik-cantik
kok malesan??”.
“Apa
kamu bilang…?”.
Didha
menginginkan Sheila mempertegas kata-katanya kepada dia. Akan tetapi Sheila
segera lari ke lantai atas menuju kamarnya. Baju yang dikenakan Sheila sudah ia
tanggalkan. Tiba-tiba perutnya berbunyi.
“Wah
perutku keroncongan.”
Tanpa
pikir panjang Sheila kembali turun dari singgasana kamarnya. Dia dengan langkah
pasti tanpa henti menuju ke dapur. Di tengah perjalanan, Didha pun tidak luput
oleh lantaran pertanyaannya Sheila.
“Mama
masak apa Dha?”
“Wah,
aku juga kurang tahu!”
Tanpa
berkata lagi Sheila segera pergi ke dapur mengambil makanan dan menyantapnya
dengan penuh semangat. Selesai Didha menyetrika, dia juga mengikuti jejak
kakaknya untuk pergi ke dapur.
“Ngapain
kamu ke sini?”
“Ya
mau makanlah! Masak aku mau nyuci!?!.”
“Sapa
tau kamu amnesia! Terus kamu nyuci di dapur deh?!” Sheila membalas perkataan
adiknya seakan tidak mau kalah dengan kata-kata Didha. Sesudah Didha mengambil
makanan, dia segera duduk disamping kakaknya seakan menemani kakaknya yang
telah makan duluan. Sembari mereka makan, mereka selalu bercakap-cakap. Itulah
sebabnya jika mereka makan pasti waktunya lama.
“Kak,
ngapain ne tumben amat jam 01.30 udah nyampe rumah?.”
“Iya
nih! Tadi ada kelas yang kosong!”
“Lho
kok bisa??” tanya Didha dengan rasa seribu keingintahuannya.
“Aku
juga gak begitu tau! Yang jelas tadi ada dosen yang absen!.”
“O…gitu
to!!!” jawab Didha yang telah jelas mendengar jawaban kakaknya itu.
“Kamu
sendiri ngapain Dha…? Tumen-tumben amat jam segini nyetrika?!.”
“Ya
nih! Ntar kan sekolahku ada ekskul pramuka! Jadi terpaksa deh aku nyetrika
baju. Soalnya kemarin aku lupa belum nyetrika baju pramukaku.” Papar Didha
menjelaskan panjang lebar.
Setelah
keduanya selesai makan Sheila mencuci peralatan makan yang telah dipakai oleh
keduanya. Sheila memang begitu sayang sama Didha. Dia tahu kalau adiknya akan
ada ekskul di sekolahnya sore ini. Oleh karena itu dia menyuruh adiknya untuk
segera pergi ke sekolah. Itulah Sheila meskipun dari luar tampaknya biasa aja
tetapi kedisiplinannya begitu tinggi.
Selesai
mandi dan dandan, Didha siap untuk berangkat sekolah. Rambutnya yang hitam
lurus telah tersisir dengan rapi. Aura wajahnya terlihat lebih bercahaya. Dia
juga telah menyiapkan sepedanya untuk berangkat sekolah. Maklum jarak antara
rumah dan sekolahnya hanya 3 km. Dia memang bisa dibilang anak orang kaya akan
tetapi dia tidak pernah menyombongkan kekayaannya itu. Dia juga tidak
menggunakan motor untuk pergi ke sekolah. Menurut Didha naik sepeda lebih asyik
dan juga dia bisa lebih hemat. Kedua orang tuanya merasa sangat beruntung
sekali mempunyai dua anak, Sheila dan Didha. Sebelum Didha berangkat ia tak
lupa berpamitan pada Sheila. Meskipun mereka saling bercekcok akan tetapi Didha
tetap menghormati Sheila sebagai kakaknya dan Sheila juga sangat menyayangi
Didha.
“Kak,
aku berangkat dulu ya?!.”
“O…dah
mau berangkat! Ada yang kelupaan gak?”
“Kayaknya
sih gak! Udah beres semuanya kok” jelas Didha.
“Ya
udah, hati-hati ya!!” pesan Sheila pada adiknya.
Sesuai
dengan kebiasaannya, Didha masih saja ingin bercanda dengan kakaknya. Seusai
pamitan Didha tak kunjung pergi dari hadapan Sheila.
“Lho?!!
Tunggu apa lagi?? Sana berangkat!!”
“Sakunya
mana?” tanya Didha pada kakaknya.
“O…gampang!
Tadi udah tak kasih saku dengan sebuah doa kok!” jawab Sheila dengan senyum
simpulnya.
“Dasar
pelit!!!.”
“Walaupun
pelit, kamu tetep sayang kan?.”
“Hehe…!.”
Pertanyaan
itu hanya simple tetapi Didha cukup kesulitan menjawab lontaran pertanyaan itu.
Didha segera meninggalkan rumah menuju sekolahnya.
Di
tengah perjalanan, dia bertemu dengan sahabat-sahabatnya, Imas, Ardi dan Suci.
“Hai
Dha!” sapa Imas dari kejauhan.
“Eh,
hai juga! Kalian mau berangkat to?” jawab Imas dan tanya Didha kembali pada
ketiganya.
“Iya
nih!” jawab Suci.
“Tumben
kok berangkatnya jam segini?” tanya Didha.
“Iya
e, tadi nunggu Ardi mandi lama banget!” jelas Imas.
“Maaf!
Soale aku tadi ketiduran jadi mandinya telat!” jawab Ardi.
Dalam
perjalanan mereka berempat saling bercakap-cakap. Mereka bersepeda bersejajar
dua-dua. Hal itu tidak begitu masalah mereka lakukan karena sekolah mereka
bukan di pusat kota sehingga jalannya tidak begitu ramai. Sesampainya di
sekolah mereka masih mempunyai waktu 10
menit untuk beristirahat karena jam masuknya pukul 15.00 dan sekarang
baru pukul 14.50.
Untuk
mengisi waktu senggang tersebut mereka pergunakan waktu jajan. Didha merasa
terkejut ketika membuka dompetnya.
“Hah…!!!”
dengan muka terkejut dia melihat dompetnya.
“Ada
apa Dha??” tanya Imas dengan rasa penasaran.
“Uang
50 ribuku gak ada!” jawab Didha.
“Kamu
yakin gak lupa naruh?” tanya Ardi.
“Gak,
tadi perasaan aku taruh di dompet!”.
“Ya
udah, entar pulang ekskul kita telusuri di jalan aja!” jawab Suci.
“Ya,
mungkin jatuh atau bahkan mungkin kamu lupa naruh!” tambah Imas mencoba
menenangkan hati Didha.
“Semoga
aja begitu!!!.”
Didha
pun mengikuti ekskul sampai selesai. Didha tidak bisa menyembunyikan perasaan
sedihnya karena uang itu ingin dipakai olehnya untuk bayar buku. Kesedihannya
bertambah saat ia mencoba mencarinya di jalan-jalan tetapi tidak menemukan.
Sesampai di rumah dia bertemu dengan kakaknya.
“Napa
lo?? Pulang-pulang kok mukanya dilipet-lipet!” tanya Sheila.
“Ah
gak apa-apa!” dengan lemah dia menjawab dan ia pun meninggalkan Sheila.
“Hehe…!”
Sheila mendekati Didha sambil tersenyum.
“Ngapain
sih? Cengar-cengir gak jelas!” tanya Didha dengan sebel.
“Didha!!!
Didha cantik deh?!!” goda Sheila.
“Didha…”
panggil Sheila lagi. “Aku mau ngomong nih!!!”.
“Ngomong
ya ngomong!” jawab Didha sambil sedikit memaksakan senyumnya.
“Didha…maaf
ya! Kayaknya tadi aku nemu uang 50 ribumu! Tapi udah saya pake 10 ribu e!.”
“Apa…?”
Didha benar-benar terkejut.
“Besok
aku ganti deh! Aku janji!” kata Sheila.
“Ya
ya…aku percaya kok kak!” jawab Didha.
“Kamu
gak marah sama aku po?” tanya Sheila penasaran.
“Ngapain
aku marah! Aku justru bersyukur karena uangku tidak hilang. Terima kasih ya
kak, kamu sudah nemuin uangku” kata Didha.
Keduanya
saling senyum satu sama lain. Memang hubungan saudara memang tidak bisa
dipisahkan. Sebesar apapun kesalahan pasti akan saling memaafkan juga. Meskipun
Sheila dan Didha sering sekali bercekcok akan tetapi tidak bisa dipungkiri
bahwa keduanya saling menyayangi satu sama lain.
Ternyata
Pacarku Punya Gebetan
Oleh
: Dyah Hartanti
“Dasar
penipu…brengsek!” Bibir Meta bergetar. Menahan emosinya ketika Ifan mendaratkan
tubuh di kursi yang ada dihadapannya.
“Met,
Meta….”
“Udah.
Gue nggak sudi ngliat tampang lo lagi! Jijik, tau!” suara Meta terdengar keras
seperti nada lagu naik dua oktaf. Dia terlihat marah.
“Meta,
dengar….”
“Stop,
Shut up! Diam kamu.”
Ifan
tertegun, kaget dan kehilangan hak berbicara. Dia memperhatikan Meta. Ia tak
percaya mata Meta yang semula begitu sejuk kini membuat Ifan gundah tak karuan.
Meta
duduk, menyandarkan tubuhnya dikursi dengan lemas. Tertunduk, mematung dan
menangis tersedu-sedu.
Ifan
merasa risih dan mengulurkan tangannya. Memegang bahu Meta. Bermaksud
menenangkan Meta. Tapi Meta langsung menepis tangan Ifan dengan tegas.
“Gue
benci elo Fan. Gue benciii!!.”
Ifan
tertegun, hanya pasrah mendengar ucapan Meta. Meta yang kenal ia sabar, pendiam
dan hanya bicara seperlunya saja kini berubah menjadi bingas. Membuat Ifan
bertanya-tanya.
“Meta,”
ujar Ifan hati-hati. “Ada apa sebenarnya?. Elo nyuruh gue datang kesini apa
Cuma buat elo marahin tanpa gue jelas alasannya?.”
Meta
mengeluarkan selembar foto Ifan yang terselip di halaman majalah yang Meta
bawa. Kemudian disodorkan kepada Ifan. Ifan tetap masih bingung apa yang
dimaksud oleh Meta.
“Kenapa
dengan foto ini, Ta?.”
“Malah
nanya!” ketus Meta.
“Nggak
usah berkelit, pura-pura nggak tau deh. Foto itu gue dapat dari TiTi, dan
kenapa dia bisa punya foto kamu Fan? Kenapa?.”
Ifan
terkejut, kaget dan bimbang. Tapi mencoba meredakannya. Ifan tersenyum kepada
Meta.
"Ta,
please…ini nggak seperti yang elo bayangin.”
“Titik
yang bilang sendiri ke gue Fan?.”
“Mangatakan
apa Met?” Ifan mengerutkan keningnya.
“Masih
bisa berpura-pura? Wah? Gue makin nggak ngerti sama kamu. Ya, sudahlah Fan.”
“Met,
Meta…Meta…tunggu Met!!! Ah bangsat!!!.”
Meta
tak menghiraukan Ifan. Ia bangkit dan berlari ke dalam. Meninggalkan Ifan yang
tampak bingung dengan satu bantingan pintu yang terdengar sangat keras.
BRAKKKK!!!!
***
“Kamu
sadar nggak sih Tik? Kamu mengacaukan hubungan gue ama Meta. Lo reseh banget,
sih. Otak lo kemana?” ujar Ifan ketika menemui Titik di depan kelasnya.
“Gue
nggak bermaksud seburuk itu, Fan” desah Titik.
“Kenyataannya
Meta ngambek dan ngebenci gue. Tadi pagi gue jemput dia ke rumahnya. Tapi dia
milih dianterin ama kakaknya.”
“Fan…”
Titik menundukkan kepalanya.
“Lo
kenapa Tik? Nekat bertindak kayak gini?.”
“Gue
nggak bisa bohong sama perasaan gue selama ini ke kamu.”
“Lo
tau kan Fan gue suka sama elo, gimana?.”
Ifan
menghembuskan nafasnya dengan panjang.
“Gue
ngerti perasaan lo ke aku selama ini. Ini berat buat kita. Gue juga sayang sama
elo Tik” tatapan Ifan sangat berharap pada Titik.
“Ifan,
lambat laun pasti Meta mengetahui hubungan kita.”
“Itu
betul Tik.”
“Ifan.
Demi Tuhan gue selalu ngejaga rahasia kita. Tapi kemarin aku lagi apes aja.
Buku diaryku tertinggal di laci dan yang nemuin buku itu Meta. Dan Meta pasti
membaca diary ku, Fan.”
“Oh,
ceroboh! Gue kan udah pernah bilang ke elo, jangan bawa buku diary ke sekolah.
Ya, ampun….”
“Iya-iya
gue tau gue salah” sahut Titik. “Paginya gue nggak berkutik Fan. Lo tau kan
semua kenangan kita tertulis di diary itu. Dan Meta pasti membacanya. Lancang
sekali dia nggak menghargai privacy gue. Tapi, gue pengen marah juga nggak
bisa, Fan.”
“Pantas
saja Meta ngamuk sama gue.” Ifan menghela nafas panjang.
“Fan,
sori….”
“Terus
lo bilang apa ke dia?”
“Gue
terpaksa cerita semuanya, Fan.”
“Titik,
sayang, seharusnya lo bisa ngarang-ngarang cerita kan….”
“Ah,
Fan, lo gila? Gue udah nggak bisa ngelak dari semua hal di diary itu benar, itu
kenyataan, Fan.”
Ifan
terlihat lemas dan menatap Titik dengan perasaan semrawut.
“Fan,”
ujar Titik pelan berbisik. Diulurkan tangannya, menggenggam tangan Ifan yang
tergeletak diatas meja dan menatap mata Ifan dengan tajam penuh harapan. “Fan,
gue sayang sama lo. Lo sayang juga kan sama gue? Ya kan, Fan?. Elo nggak akan
tinggalin gue kan?. Elo tetep milih gue kan?.”
Ifan
tersenyum kecut dan mengangguk perlahan.
“Tentu
saja, Tik” ifan mengeluh, senyumnya pun lepas. “Lantas rencana elo selanjutnya
apa, Fan?.”
“Gue
nggak akan nutup-nutupin hubungan kita. Dan gue akan milih elo. Gue akan
putusin hubungan gue sama Meta. Hubungan gue sama Meta sepatutnya diakhiri.”
“Gue
percaya sama elo, Fan” Titik tersenyum.
Ifan
mengangguk. Dalam hati tersenyum meremehkan.
***
Sore
harinya Ifan menemui Meta di rumahnya. Entah apa yang ada dipikiran Meta
sehingga ia mau menemui Ifan. Ifan pun menjelaskan dan memutarbalikkan fakta.
Ifan bilang bahwa Titik hanya merekayasa diary itu semata-mata hanya untuk
memisahkan Ifan dan Meta. Dan Meta percaya pada bualan-bualan Ifan itu. Dengan
puasnya Ifan merayakan kemenangannya. Kali ini Ifan menang. Selain Ifan masih
pacaran sama Meta, Ifan pun masih mempunyai gebetan, yaitu Titik. Andai Meta
tahu kebusukan Ifan, maka hanya kata PUTUS! Lah yang terucap dibibir Meta.
Dibalik
Bukit Bulan Bintang
Oleh : Yuli Andriana
Yogyakarta, 23
Maret 2008
Dear Brian
Brian sahabatku
Mungkin saat kau membaca surat
ini
Aku telah pergi jauh meninggalkan
kenangan diantara kita berdua Kenangan yang pernah kita lewati di bukit bulan
bintang
Kenangan yang terukir indah
disana
Sebuah kata maaf terlantun
untukmu
Maafkan aku telah meninggalkanmu
Maafkan aku telah membuatku menangis
Maafkan aku yang tak bisa lagi
hari-hari indahmu
Mungkin saat kau tak menemukanku
dimanapun
Cobalah kau tersenyum manis
untukku
Jangan kau menangis dan bersedih
Karena aku akan selalu temani
malammu
Jangan kau lupakan aku dan
menghilangkanku dari memori hidupmu
Aku kan temani selalu
Liatlah bintang diatas sana
Coba tunjuk satu bintang yang kau
suka
Maka aku akan datang tuk memeluk
bayanganmu
Karena aku selalu menjadi cahaya
bintang hatimu
Dan kan menyinari gelap redupnya
hatimu
Selamat tinggal sahabatku…
Selamat tinggal kenangan yang
pernah terukir dalam memori hidupku
Aku ingin kau tahu…
Aku menyayangimu selalu
Tersenyumlah untukku yang
terakhir kalinya…
Biarkanlah aku terus menjadi
bulan dibukit kita
Dan kau tetap menjadi bintang
menemaniku disana
Dari
sahabatmu
KIKAN
*****
Itulah surat
terakhir dari Kikan. Sejak kepergian Kikan, Brian selalu saja sedih.
Keceriannya yang selalu menghiasi wajahnya kini tak tampak lagi. Ia amat
terpukul dan merasa bersalah karena tidak bisa menjaga Kikan.
Setiap
hari Brian selalu pergi ke bukit itu. Bukit yang diberi nama Bukit Bulan
Bintang oleh Kikan. Yaa, di tempat itulah mereka berdua selalu menghabiskan
waktu bersama. Brian selalu merasa di tempat itu, Kikan hadir menemaninya.
“Kikan
maafkan aku karena selama ini aku telah melupakanmu. Aku tak bisa datang saat
kau sedang merasakan sakit yang menyiksamu. Sahabat, macam apa aku ini. Yang
tega melihat sahabatnya merasakan penderitaan.”
Yaa,
Kikan gadis yang 10 tahun menjadi sahabat Brian. Yang selalu menemaninya saat
sedih maupun senang. Kikan adalah gadis yang cantik, pandai bermain piano dan
lincah. Persahabatannya dengan Brian berawal ketika mereka berdua dikenalkan
oleh orang tuanya masing-masing. Iya, karena orang tua Kikan dan Brian
bersahabat. Sejak itu, mereka menjadi akrab dan mulai menjalin persahabatan
.
Setiap
hari mereka selalu pulang sekolah bersama. Kikan dan Brian memang satu sekolah
dan kebetulan jarak rumah mereka tidak terlalu jauh. Di bukit Bulan Bintang
mereka selalu menghabiskan waktu bersama.
“Brian,
kamu tahu enggak kenapa bintang dan bulan itu selalu bersinar indah?.”
“Enggak,
emang kenapa?.”
“Kok,
nggak tau sich! karena mereka kan nggak ingin lagit malam sedih. Kalau mereka
nggak bersinar pasti langit akan cemberut.”
“Ooh…gitu!!
Ooh…ya Kikan kamu mau nggak jadi bulan di langit di bukit ini dan aku yang jadi
bintangnya. Biar langit di bukit ini selalu bersinar.”
“Iya
aku mau. Dan aku juga berharap agar persahabatan kita selalu abadi seperti
bulan dan bintang itu. Gimana?.”
“Iya,
aku janji. Dan aku janji persahabatan kita takkan pernah mengenal kata benci.
Itulah percakapan Brian dan Kikan disuatu malam di bukit Bulan Bintang.
Tidak
terasa mereka berdua kini sudah kelas 2 SMA. Brian dan Kikan masuk di jurusan yang
sama, tapi mereka tidak satu kelas seperti kelas satu. Di kelas 2 ini banyak
masalah yang terjadi diantara mereka berdua.
Yaa,
Lana gadis pindahan dari Singapore yang ada di kelas Brian. Ia selalu saja
mengajak Brian belajar kelompok, nonton dan shopping. Itulah yang membuat Kikan
sering jengkel pada Brian karena dia seringkali tidak menepati janji kalau
diajak main ke bukit Bulan Bintang.
“Kan…Kikan”
panggil Brian sambil berlari. Kikan terus saja berjalan tanpa menghiraukan
Brian.
“Kan…tunggu
donk, aku mau bicara ma kamu!.”
“Ada
apa sich, Brian? Aku buru-buru!.”
“Please,
Kan! Aku mau cerita ma kamu!.”
“Ohh…ternyata
aku masih kau perlukan?.”
“kok
kamu ngomongnya gitu?.”
“Yaa…jelaslah
aku ngomongnya kayak gitu? Kemana aja waktu kamu janji ingin pergi ke bukit
Bulan Bintang tapi kamu nggak datang? Aku nunggu lama banget disana.”
“Iya,
maaf kemarin tuch waktu aku pergi, Lana ngajak aku nonton!.”
“Ooh,
gitu! Waah… ternyata Lana lebih penting ya dibandingkan aku!” Kikan langsung
meninggalkan Brian, Kikan sudah menghilang.
Di kamar Kikan.
Kikan
sedang menulis diary. Dibuku diary itu Kikan menulis perasaan kecewanya kepada
Brian. Dia juga nggak tahu apa besok Brian juga ingat ulang tahunnya, karena
sudah lama dan Brian jarang bersama.
“Tuhan…Kikan
mohon, moga besok Brian ingat ulang tahunku karena aku tak ingin merayakan
ulang tahun yang terakhir tanpa kehadirannya.”
Iya,
Kikan sangat optimis kalau tahun depan ia bisa ngrayain ulang tahunnya lagi.
Kikan tahu kalau umurnya tidak lama lagi. Dan sampai saat ini Brian belum tahu
soal itu. Kikan tidak ingin beritahu tentang penyakitnya bahkan ia selalu
menutupinya didepan Brian. Itulah yang membuat Kikan sedih. Ia akan segera
meninggalkan Brian tapi kenapa disaat aku membutuhkannya, Brian kini tidak mempedulikanku.
Ia malah samakin jauh dengannya. Dan aku denger Brian malah dah jadian ma Lana.
Tapi bagiku asalkan Brian bahagia aku juga ikut bahagia.
Keesokan
harinya ternyata dugaan Kikan salah, Brian inget ulang tahun Kikan. Bahkan ia
bikin kejutan buat Kikan. Dan sebagai perayaannya Brian ngajak Kikan ke bukit
Bulan Bintang. Disana diadakan pesta kecil-kecilan, ya walaupun hanya mereka
berdua.
“Yan,
jaga dirimu baik-baik ya!.”
“Kok,
kamu ngomong gitu!.”
“Yaa,
nggak! Sok kalau kamu pergi kamu tetep pergi kesini kan?.”
“Kan,
kamu tuch ngomong apa sich? Mang kamu mau pergi kemana?.”
“Mungkin
aku akan pergi dan nggak tahu akan kembali pa enggak?.” Tiba-tiba hp Brian
bunyi, ternyata itu dari Lana. Lana ingin Brian datang ke rumahnya, katanya
penting. Dan Brian pun pergi kesana meninggalkan Kikan sendiri di Bukit Bulan
Bintang.
“Brian,
selamat tinggal! Jaga dirimu baik-baik ya!” kata Kikan sebelum Brian pergi.
Brian hanya tersenyum mendengar kata Kikan.
Saat
Kikan ingin pulang ternyata hujan turun. Ia lalu buru-buru pulang tanpa
menghiraukan hujan. Sampai di rumah, penyakit Kikan kambuh, dan orang tuanya
membawanya ke rumah sakit.
Sudah
tiga hari Kikan dirawat di rumah sakit dan Brian pun belum menjenguknya.
Akhirnya setelah Kikan meninggal, Brian baru tahu kalau Kikan sakit. Brian baru
sadar apa kata-kata Kikan waktu di bukit Bulan Bintang. Ternyata itu adalah
salam perpisahannya. Ia sangat menyesal kenapa selama ini ia terlalu sibuk
dengan Lana bukan dengan Kikan yang lebih membutuhkanku. Maafkan aku Kikan,
selamat jalan! Tidur yang nyenyak disana. Aku akan selalu menyayangimu, sahabat
terbaikku.
Mimpi
Oleh
: Arini Sofiana Fadhillah
Savira Amanda Suwandi
siswi SMA Yudamulya. SMA yang terkenal akan kemewahannya, semua itu didukung
dengan siswa siswinya yang semuanya dari golongan elit. Sedangkan Savira Amanda
Suwandi adalah anak tunggal dari Suwandi, seorang desainer terkemuka di
Indonesia. Ibu dari Savira adalah Mieke Anastasya seorang direktur dari sebuah
butik di daerah Jalan Simanjuntak.
Ayah :
“Pagi, Vira!” (sapa ayah yang sejak tadi sudah duduk di meja makan ditemani
oleh ibu Vira).
Savira : “Pagi yah! Pagi Bunda!” sapa Savira, yang
kemudian ikut duduk di meja makan).
Bunda : “Savira mau makan roti pake selai apa?
Strawberry? Nanas? Cokelat? Atau kacang?” (sapa Bunda sambil menyodorkan roti
tawar).
Savira : “Savira pake selai kacang aja deh ma!”.
Ayah : “Vir, entar kamu dianter supir ya?
Biar kamu nggak nyupir sendiri! Usia kamu kan belum genap 17 tahun, jadi ayah
khawatir” (kata Ayah sambil memandang Savira yang sibuk melahap roti dengan
selai kacangnya).
Savira : “Yah…! masak dianter supir sih yah?”.
Ayah : “Aduh! Savira nurut donk kata ayah.”
Savira : “Ehmmm…oke dech yah! Ayah, Bunda, Vira
berangkat ya? dah siang nih!” (kata Savira yang kemudian sambil menyalami ayah
dan bunda).
Bunda : “Hati-hati di jalan ya Vir, bilang ama
Pak Dadang biar gak ngebut-ngebut!” kata Ibu kepada Vira yang sudah berjalan
meninggalkan ruang makan).
Savira : “Iya Bunda!” (teriak Savira dibalik
pintu sambil berjalan keluar).
Pak Dadang : “Nona
mau berangkat sekarang?” (tanya Pak Dadang yang masih mengelap mobil berwarna
putih mengkilap).
Savira : “Iya Pak! Udah siang nih!” (kata Savira
sambil masuk ke mobil bermerk HONDA ku,
yang pintunya telah dibukakan oleh Pak Dadang).
Tak lama kemudian, sebuah HONDA JAZZ berwarna putih melaju dengan pelan
di jalanan yang sudah ramai oleh kendaraaan. Di dalam perjalanan, Savira hanya
membaca novel dan ternyata hpnya berbunyi.
Savira : “Pagi Bey!” (kata Savira kepada cowok
bernama Sandi Mirzon yang
telah dipacarinya selama 2 tahun).
Sandi : “Ntar aku tunggu di kelas ya ada yang mau
ku kasih neh!.”
Savira : “Hah? Apaan?” (tanya Savira penasaran).
Sandi : “Surprise deh!.”
Savira : “Oke deh!.”
Sandi : “Mpe ntar ya!” TUT…TUT…TUT…!” (kata Sandi diikuti suara telepon
putus). Tak lama kemudian, Savira sampai di parkiran SMA Yudamulya. Yang
ternyata telah penuh oleh mobil-mobil.
Savira : “Pagi Net!” (sapa Vira kepada seorang
cewek yang baru turun dari mobil berwarna pink).
Soneta : “Pagi Vira! Cantik banget kamu hari ini!”
(kata Soneta sambil memegang rambut Savira yang hitam lurus).
Savira : “Makasih!” (kata Savira sambil berjalan
menuju kelas bersama dengan Soneta).
Soneta : “Kok kamu searah ama aku! Kelas kamu kan
diatas!” (kata Soneta sambil menunjuk kelas Savira).
Savira : “Ku mau ketemu Sandi dulu Net!.”
Soneta : “Oh gitu! Oke dech!.”
Savira dan Soneta pun
melanjutkan perjalanannya menuju kelas 2 IPA 2. Dan akhirnya Savira sampai di
depan pintu kelas 2 IPA 2.
Savira : “Net, tolong panggilin Sandi ya?.”
Soneta : “Tunggu bentar ya!” (kata Soneta sambil
masuk kelas).
“Sandi! Dicariin Vira tuh!” (teriak
Soneta setelah masuk kelas).
Sandi : “Hey!” (sapa Sandi, yang pagi itu
kelihatan cool banget).
Savira : “Hey, ada apa Sand? Keburu masuk nih!.”
Sandi : “Ntar malem, makan malem yuk!.”
Savira : “Ha? Makan malem? Oke dech, dimana? Tapi
kok tumben banget ya? Hehehe….”
Sandi : “Ku mau ngomong sesuatu, Ehmmm…tempat
byasa aja ya! Kita ketemu jam 7!.”
Savira : “Okey deh! Mpe ntar ya San! Daa…” (kata
Savira sambil berlari kecil meninggalkan Sandi).
Sandi : “Daa…” (kata Sandi dengan senyum
manisnya).
Savira berjalan menyusuri
jalan menuju kelasnya yang sudah dipadati anak-anak baru yang sibuk mencari
kelasnya masing-masing.
Nadine : "Hey kak Vira!” (sapa seorang cewek
yang masih menggunakan seragam putih biru).
Savira : “Hey!” (balas Vira, melihat cewek itu yang
ternyata adik kelas SMP nya. Kemudian Vira melanjutkan langkahnya ke kelas 2
IPS 4).
Dan gak disangka
ternyata Bu Lestari guru sosiologi Savira telah masuk kelas.
Savira : “Permisi bu,” (sapa Savira di depan
pintu kelas 2 IPS 4).
Bu Lestari: “Kemana aja kamu Vir?” (tanya bu Lestari sambil berjalan menuju Savira).
Savira : “Maaf bu, tadi di jalan macet.”
Bu Lestari : “Masuklah!.”
Savira : “Makasih bu,” (kata Vira sambil
tersenyum).
Setelah sampai di
mejanya Savira langsung duduk.
Dhini : “Kemana aja lo Vir?”
(ceplos Dhini yang dari tadi sibuk berias).
Savira : “Wah, tadi aku nemuin
Sandi dulu. Hehehe….”
Dhini : “Udah kangen neh?.”
Savira : “Enak aja!.”
Bu Lestari : “Dhini, Savira!” (bentak Bu Lestari yang dari tadi melihat
Dhini dan Savira ngobrol).
Setelah itu kelas
menjadi tenang. Semua anak mempelajari penjelasan dari bu Lestari yang terkenal
galak dan judes. Dan denger-denger Bu Lestari adalah perawan tua, yang kata
anak-anak tidak menikah gara-gara patah hati dengan kekasih pertamanya.
Malam hari pun telah tiba, Savira yang
ada janji dengan Sandi sibuk merias diri. Karena dia tidak mau terlihat jelek
di depan cowoknya yang terkenal cute itu.
Savira : “Aduh gimana neh! Aku harus pake baju
apa? Pake warna item atau ungu ya…? Kalau aku suka ungu, tapi Sandi suka item!
Duh gimana neh?” (kata Savira kepada diri sendiri, yang sibuk membedah isi
lemarinya yang penuh dengan baju dan aksesoris lainnya).
TOK…TOK…TOK…
Savira :
“Sapa?” (kata Savira, settelah mendengar ketukan pintu).
Bunda :
“Ini Bunda.”
Savira :
“Oh Bunda! Masuk aja Bun, pintunya gak Vira kunci kok!.”
Bunda pun masuk ke
kamar Savira. Dan terlihat Savira masih menimbang-nimbang baju yang akan
dipakainya.
Bunda : “Ya ampun Vira! Kamu lagi ngapain?.”
Savira : “Vira mau makan malem bareng Sandi bun.
Bagusnya pake baju warna item atau ungu?.”
Bunda : “Oh mau pergi bareng Sandi. Kalau
Bunda sih suka kamu pake baju warna ungu!” (kata Bunda sambil meraih baju warna
ungu tempat Vira).
Savira : “Ungu ya Bun? Okey deh Vira ganti dulu
ya?” (kata Savira sambil menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya).
Setengah jam kemudian
Savira sudah ada di dalam mobil
Bunda : “Hati-hati ya Vir!” (teriak Ibu melihat
putrinya sudah pergi meninggalkannya).
TIN
Savira hanya membalas
ucapan ibunya dengan klakson mobilnya saja. Karena savira pikir kalau ia teriak
tidak akan terdengar oleh ibu.
Vira hanya membutuhkan waktu setengah jam saja untuk sampai di café
velope tempat yang sudah dijanjikan Vira dan Sandi. Café Velope setiap malam
selalu ramai. Sebagian besar pengunjung café adalah para anak muda yang bosen
di rumah. Savira pun langsung memarkir mobil mewahnya itu. Yang kemudian masuk
ke café dan memilih tempat.
Savira : “Duh Sandi mana sih kok belum
dateng juga!” (kata Savira dalam
hari). “Ehmmm mendingan aku telpon Sandi aja deh” (Savira langsung mengambil HP
nya yang ia taruh di dalam tas berwarna hitam).
TUT…TUT…TUT…
Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif
Atau berada diluar service area.
Savira :
“Duh kok tidak aktif seh!” (gumam Savira).
Sejam sudah Savira
menunggu Sandi di kursi Café Velope. Tapi Sandi belum juga nongol. Dari tadi
Savira juga sudah menguhubungi Sandi tapi nomernya tidak aktif juga. Dan dua
jam pun sudah berlalu jam dinding sudah menunjukkan jam 09.00 malam.
Savira :
“Sudah lah aku mau pulang, terserah Sandi mau datang atau tidak.” (gumam Vira
dalam hati, yang kemudian beranjak dari tempat duduknya dan menuju parkiran
mobil).
Di jalan Savira mengemudikan mobilnya
dengan kecepatan diatas 80 km/jam. Ia marah Sandi tidak menepati janji mereka.
Tak lama kemudian Savira sampai di depan garasi rumahnya. Dan Savira langsung
turun dari mobilnya.
Bunda : “Gimana Vir makan malemnya?” (tanya Ibu
yang lagi duduk menemani ayah).
Savira : “Nyebelin banget Bun!” (kata Savira yang
langsung berjalan menuju kamar).
Bunda : “Kenapa sih Vir?” (kata Bunda sambil
ngikutin Savira dari belakang).
Sesampainya di kamar
Savira langsung menjatuhkan badannya di kasur empuk berseprei ungu itu sambil
menangis!.
Bunda : “Kok bunda tanya, gak dijawab sih Vir?”
(tanya Bunda sambil duduk disamping Savira yang sedang menangis).
Savira : “Sandi nyebelin!.”
Bunda : “Emang Sandi kenapa Vir?.”
Savira langsung
beranjak dari tidurnya dan duduk menghadap bundanya.
Savira : “Sandi bo’ong…” (kata Savira yang langsung
memeluk bunda).
Bunda : “Bo’ong? Bo’ong kenapa?” (tanya Savira
sambil mengelus
rambut Savira).
Savira : “Sandi gak dateng.” (kata Savira dengan
suara agak bergetar)
Bunda : “Apa Vira udah ngubungin Sandi, kenapa
dia gak dateng?.”
Savira : “Nomernya gak aktif” (kata Vira sambil
menangis dipelukan mamanya).
Bunda : “Ya udah, Vira sekarang bobok aja ya?
Besok Vira tanya aja ama Sandi.”
Savira : “Iya
ma…” (kata Vira sambil melepas dari pelukan bundanya).
Bunda : “Met bobok sayang” (kata bunda sambil
berjalan keluar dari kamar).
Semalaman Savira terus kepikiran
tentang kejadiannya di café. Sebagai balesannya ia kesiangan bangun untuk
sekolah. Tapi masih untung dia tidak terlambat.
Dandi : “Vir, Sandi udah gak ada Vir”
(kata Dandi teman sekelas Sandi, yang tiba-tiba ada di depan Vira yang lagi
turun dari mobil).
Savira : “Hah? Gak ada gimana? (tanya Savira
penasaran).
Dandi : “Semalam Sandi kecelakaan, dan Tuhan
langsung mengambil
dia Vir! Sandi meninggal” (jelas Dandi dengan suara bergetar dan mata
berkaca-kaca).
Savira : “Sandi.” (kata Savira pelan). “Sekarang
Sandi mana?” (tanya Savira yang sudah gak bisa nahan tangisnya).
Dandi : “Di rumah Vir.”
Setelah mendengar itu Savira
langsung menuju ke rumah Sandi. Sesampainya disana, sudah banyak siswa-siswi
SMA Yudamulya di rumah Sandi. Dan Savira langsung berlari menuju dalam rumah
Sandi.
Savira : “Sandi.” (kata Savira setelah melihat
tubuh Sandi terbujur kaku).
Ibu Sandi : “Vira” (rangkul ibu Sandi ke Vira).
Dan tanpa disadari
Savira pingsan dipelukan Ibu Sandi yang memakai baju item-item.
Bunda : “Vira, bangun Vir!” (kata bunda).
Savira : “Kok aku disini ma!” (kata Vira agak
kaget).
Bunda : “Vira udah ditunggu Sandi tuh di bawah.”
Savira : “Oh…Vira cuma mimpi ya Bun” (kata Savira
sambil tersenyum lebar).
Bunda : “Emang Vira mimpi apa?.”
Savira : “Vira mimpi buruk banget ma!.”
Bunda : “Ya udah turun gi! Sandi udah nungguin
tuh!.”
Savira pun langsung
turun ke bawah nemuin Sandi. Yang dari tadi udah nungguin Vira.
Savira : “Hey bey!.”
Sandi : “Hey….”
Setelah mimpi itu
Savira menjadi gadis pengertian dan pengertian ke Sandi.
Mutiara Sebuah Keluarga
Oleh : Pricilia Ida Fitriani
Pagi hari yang sangat cerah, Lia membuka jendela
kamarnya. Sorot matahari dari ufuk timur masuk lewat jendela kamar. Lia adalah
seorang siswi dari SMA N 1 Yogayakarta. Usianya masih muda dan masa-masa
seusianya adalah masa pencarian jati diri. Minggu pagi ini seperti
minggu-minggu sebelumnya.
*****
Kakek : “Bangun Nduk!” (sambil meminum
segelas teh manis
yang dibuat oleh Tante Siska).
Lia : (sambil merapikan tempat
tidur) “Iya kek, Lia udah bangun kok!.”
Nenek : (sambil menyapu halaman rumah)
“Nyuci baju sana, mumpung cuaca hari ini panas.”
Lia : (sambil menyapu lantai
rumah) “Baik Nek, nanti setelah kelar mengepel lantai.”
*****
Lia merupakan cucu
dari kakek dan nenek Suri. Lia tinggal bersama kakek dan neneknya serta juga
ada tantenya. Karena ayah, ibu dan adik Lia tinggal di Jakarta. Lia anak
pertama dari Bapak Agus Rahmanto dan ibunya Sulistya serta adiknya bernama
Mustika Dewi. Lia berusia 16 tahun berarti kelas 2 SMA.
Tante Siska : “Lia
jangan lupa sarapan dulu ya, tante mau ke pasar beli sayuran.” (sambil jalan
menuju teras depan rumah).
Lia : “Iya tante, nanti Lia juga
pasti sarapan” (sambil mengepel lantai rumah).
Kakek : “Jaga rumah ya Nduk, kakek mau ke kebun.
Kamu nggak pergi kemana-mana kan!”
(sambil duduk di meja makan).
Nenek : “Nenek juga mau ke puskesmas,
periksa kesehatan nenek, kamu sendiri di rumah berani kan!.”
Lia : “Iya kakek, iya nenek. Lia
jagain rumah kok, tenang saja” (sambil menoleh dan tersenyum kearah kakek dan
neneknya).
Kakek : “Kakek tinggal ya, hati-hati di
rumah.”
Nenek : “Nenek juga mau pergi sekarang,
hati-hati juga kalau ditinggal ke warung pintunya dikunci.”
Lia : “Iya…iya…!” (sambil mengantar
nenek mencari angkot).
Lia : (HP Lia di kamar berbunyi,
Lia cepat-cepat masuk ke kamarnya) “Hallo, Assalam’ulaikum.”
Ayah Lia : “Wa’alaikum salam. Lagi ngapain mbak?
Mbak udah sarapan belum?.”
Lia : “Habis nganter nenek cari
angkot yah! Tadi disuruh sarapan, tapi belum sempat.”
Ayah Lia : “Mbak mau ngomong sama adik nggak? Adik
dari kemarin nanyain mbak terus.”
Lia : “Iya Yah. Lia juga kangen
sama adik.”
Adik Lia : “Hallo mbak Lia, adek kangen pengen
kesana.”
Lia : “Mbak juga pengen ketemu
adik. Adik udah mandi belum hayoo…!.”
Adik Lia : “He he he. Belum mbak, adik kan bangun
tidur.”
Lia : “Ibu lagi ngapain dik?.”
Adik Lia : “Lagi di dapur, mbak mau ngomong sama
Ibu? Bentar ya Dewi panggilin dulu.”
Ibu Lia : “Hallo, Mbak. Ibu lagi bikin nasi
goreng nih!.”
Lia : “Iya, Bu. Ibu pulang nggak
liburan semester ini?.”
Ibu Lia : “Iya lihat. Lihat dana dulu mbak.
Tahu sendiri ayah belum dapat kerjaan tetap semenjak dituduh mencuri dan di PHK
dari perusahaannya dulu.”
Lia : “Lia belum bayar SPP 6 bulan
Bu! Sebentar lagi ulangan umum, semua harus dilunasi.”
Ibu Lia : “Sebentar ya mbak, rizki ditangan
Allah.”
Lia : “Ya udah Bu, salam buat Ayah
dan adik. Lia mau nyuci dulu. Assalam’ulaikum.”
Ibu Lia : “Iya nanti Ibu sampaikan, salam
juga buat kakek, nenek dan tante Siska. Wa’alaikumsalam.”
Setelah Lia menutup
telepon dari keluarga yang tinggal di Jakarta Lia mencuci baju. Keluarga Lia
memang keluarga yang sederhana dan ramah tamah. Siang hari Lia mengerjakan
tugas di meja belajarnya. Rupanya nenek sudah pulang dan tertidur di kamar.
Tante Siska setelah pulang dari pasar biasanya langsung berangkat kerja sebagai
penjahit.
Pak RT : “Assalamu’alaikum.”
Lia : “Wa’alaikum salam. Ada apa
Pak?.”
Pak RT : “Nduk kakekmu ditemukan pingsan di
kebun.”
Lia :
“Apa Pak? Kakek tadi dari rumah sehat wal afiat kok bisa pingsan.”
Pak RT : “Iya saya juga tidak tahu pasti.
Sebaiknya kita segera kesana.”
Lia : “Tapi Pak, nenek masih tidur.”
Pak RT : “Sebaiknya nanti saja dikasih tahu, biar
nenek istirahat.”
Lia : “Ayo Pak kita kesana sekarang saja.”
Pak RT : (sambil jalan menuju rumah Pak
Parman yang letaknya berdekatan dengan kebun kakek Lia). “Tadi sewaktu Pak
Parman ingin memberi makan kambingnya, Pak Parman melihat Mbah Suri tergeletak.
Pak Parman langsung menggendong Mbah Suri ke dalam rumah Pak Parman.”
Lia : “Tapi kakek nggak apa-apa
kan Pak?.”
Pak RT : (sambil menepuk pundak Lia).
“Semoga saja kakekmu hanya kepanasan, karena terik matahari.”
Lia : (Sesampainya di rumah Pak
Parman, Lia meneteskan air mata). “Assalam’ulaikum.”
Pak Parman : “Wa’alaikum salam. Mari masuk dek Lia.”
Lia : “Kok rame ada apa Pak?
(sambil keheranan dan ketakutan) kakek tidak apa-apa kan Pak?.”
Pak Parman : (Hanya
bisa memberi isyarat kepada Pak RT bahwa Mbah Suri telah dipanggil oleh Tuhan
Yang Maha Esa) “Mari Pak masuk.”
Pak RT : “Iya, terima kasih. Bagaimana
nanti kepengurusan jenazah Mbah Suri?.”
Lia : (Tiba-tiba dari dalam
rumah terdengar jerit tangis) “Kakek…kakek…bangun kek! Katanya kakek mau bawain
ketela hasil kebun kakek. Mana kek?.”
Pak Parman : “Kita
bawa ke rumahnya sekarang, lalu segera kita kuburkan jenazahnya.”
Pak RT : “Iya, saya setuju Pak.”
Jenazah kakek Lia
dibawa ke rumah tapi sudah dimandikan. Lia sudah tidak dapat membendung kesedihannya.
Sesampainya di rumah, dia langsung manuju ke kamar neneknya. Neneknya
samar-samar melihat cucunya itu meneteskan air mata, lalu nenek bangun.
Nenek : “Ada apa Nduk? Kok wajahnya
murung dan pucat!.”
Lia : “Anu…ehm…anu Nek” (Lia
nggak bisa ngomong).
Nenek : “Apa to Nduk? Dari tadi kok
anu-anu terus.”
Lia : “Kakek kembali ke Allah
Nek!” (sambil menunggu).
Nenek : “Apaaaa…?” (langsung dalam
keadaan tak sadarkan diri).
Lia : (sambil memanggil
orang-orang yang ada di rumahnya saat itu) “Nek…nenek…nenek…bangun Nek!!!.”
Pak RT : “Apa yang terjadi Lia?” (sambil
memeriksa denyut nadi neneknya).
Lia : “Saya hanya memberitahukan
bahwa kakek sudah kembali kepada-Nya Pak?” (sambil menangis tersedu-sedu).
Hari itu menurut Lia adalah tragedi yang sulit
diungkapkan. Karena pada hari itu juga kakeknya sudah dipanggil menghadap Allah
SWT. Dan dengan maksud baik Lia memberitahukan kepada neneknya. Dalam jangka
waktu yang tidak lama Neneknya juga dipanggil menghadap Allah SWT, karena
sebelumnya neneknya juga penyakit jantung yang dalam tahap penyembuhan.
Pak RT : “Sabar ya Nak…! Semua yang ada di dunia
ini hanya milik Allah jadi jika salah satu milik Allah diminta maka
ikhlaskanlah.”
Lia :
(tak bisa berkata apa-apa, dia hanya diam menunduk dan menangis terisak-isak)
“Terima kasih Pak.”
Tante Siska :
“Lia…!!!” (sambil masuk kamar nenek dengan isak tangisnya).
Lia : “Tante…maafkan Lia!
(sambil memeluk tantenya dengan isak tangisnya).
Tante Siska: “Ya…gak
ada yang salah sayang! Kamu sudah hubungi Ayah dan Ibumu belum?.”
Lia : “Sudah tan, Ayah mau
pulang naik kereta ekonomi yang sampai sini jam 6 pagi.”
****
Malam itu juga Ayah, Ibu dan Adiknya Lia berangkat
dari Jakarta. Ayah dan ibunya Lia di dalam perjalanan yang memakan waktu 11 jam
itu tidak bisa tidur, mereka memikirkan keadaan rumah. Jam telah menunjukkan
pukul 01.30 dini hari tapi Ayah dan Ibu Lia tetap tidak bisa memejamkan mata.
Setelah itu juga terjadi kecelakaan di daerah Purwokerto. Gerbong kereta api
terjungkal ke jurang. Ayah dan Ibu Lia ditemukan dalam keadaan mengenaskan
sedangkan adik Lia cidera pada kaki kirinya. Kabar itu langsung menyebar di
media manapun.
Lia :
“Tante…Lia tidak bisa tidur” (sambil melihat jam sudah menunjukkan jam 4 pagi).
Tante Siska: “Iya Tante juga gitu. Tante merasa ada
yang janggal di hari ini” (sambil memeluk Lia).
Lia :
“(Lia menelepon ayahnya, tapi tidak bisa)”Tante kok nomor ayah tidak bisa
dihubungin ya?.”
Tante Siska : “Mungkin gak ada signal, apa batrenya
habis.”
Lia :
(Lia mendengar suara pak RT sedang mencari tahu keberadaannya, Lia keluar dari
kamar) “Ada apa Pak?.”
Pak RT :
“Kereta yang ditumpangi ayah dan ibumu kecelakaan di Purwokerto jam 02.00 dini
hari tadi.”
Lia :
(Terperangah…lalu membayangkan apa yang terjadi dengan keluarganya) “Bapak
yakin? Berapa korban jiwanya?.”
Pak RT :
“Saya yakin sekali Nak! Tadi dituliskan nama korbannya. Dan…(Pak RT tidak tega
melihat kesedihan yang dialami Lia, Pak
RT tidak bisa melanjutkan kata-katanya).”
Lia :
“Dan…apa Pak?? (wajah Lia terlihat pucat dan panik).
Pak RT :
“Dan…nama ayah dan ibumu tercantum di dalam korban kecelakaan yang meninggal
dunia.”
Lia :
“Bapak tidak salah liat Pak?? (Langsung pingsan di lantai).
Tante Siska : “Sebaiknya kita jangan paksa Lia untuk
menerima semua kenyataan pahit ini Pak” (Tante Siska menggosokkan minyak kayu
putih di hidung Lia).
Pak RT :
“Iya. Saya tahu hal itu, kasihan usianya masih muda. Dia belum sanggup
menerimanya dengan keikhlasan dan kesabaran.”
Lia :
(Dia tersadarkan diri, namun terlihat sangat lemas). “Tante…yang Lia denger
tadi bener atau nggak?.”
Tante Siska : “(Sambil mengusap kepala Lia)
“Sayang…sabar ya dibalik semua hal yang terjadi pada kita, ada hikmah Mutiara
yang dapat kita ambil. Ini sebuah perjalanan hidup kamu harus ikhlas
menerimanya.”
*****
Dalam waktu yang dekat-dekat ini rumah Lia penuh
dengan kedatangan tamu-tamu. Mereka berdatangan secara bergantian. Tapi sayang
sekali karena kedatangan tamu yang hilir mudik itu berselimut duka yang
mendalam. Lia sudah tidak sanggup lagi menahan kepedihan hati yang sangat menyiksa
batinnya. Seakan-akan air mata Lia sudah habis dan tidak bisa dicairkan lagi.
Lia sekarang ini menjadi anak yatim piatu, dia hanya mempunyai Tante Siska. Lia
juga tidak dapat melihat wajah Ayah, Ibu dan adiknya untuk yang terakhir
kalinya. Jenazah mereka dikabarkan ditemukan secara mengenaskan. Hari duka
sudah berlalu, namun tidak dapat dibohongi hati Lia masih terluka.
Tante Siska :
“Lia…kamu berangkat sekolah gak?.”
Lia :
(Masih di dalam kamar memikirkan sesuatu) “Lia belum siap Tan!.”
Tante Siska : (Sambil menyiapkan sarapan di meja
makan) “Ya sudah gak usah berangkat dulu, tapi makan dulu ya.”
Lia :
(Sambil membereskan tempat tidur) “Iya nanti aja tan, tante berangkat kerja
dulu aja gak usah terlalu mikirin Lia.”
Tante Siska: “Ya sudah, Tante tinggal ya,
kamu jangan kemana-mana dan jangan lupa makan.”
Lia :
“Oke deh tan!.”
Lia di rumah sendirian. Dari tadi dia hanya
memandangi foto-foto keluarganya. Hingga siang hari ia terkejut wali kelasnya
datang ke rumah.
Ibu Sri :
“Assalam’ulaikum Wr.Wb.”
Lia :
(Sedang duduk di ruang tamu langsung beranjak keluar) “Wa’alaikumsalam Wr.Wb.
Ibu…silahkan masuk Bu.”
Ibu Sri :
(sambil jalan kearah Lia) “Iya, terima kasih. Kok sepi, kamu di rumah sendrian
ya!.”
Lia :
“Iya Bu. Tante Siska kerja, jadi cuma saya sendiri.”
Ibu Sri :
(Tanpa basa-basi lagi) “Gini, kemarin Ibu dipanggil Kepsek bagi yang belum
lunas pembayaran SPP tidak diperbolehkan mengikuti Ujian Semester Genap. Ibu
tidak bisa berbuat apa-apa. Ibu hanya bisa memberitahukan akan kemungkinan
terburuk bagi yang belum lunas akan dikeluarkan dari sekolah.”
Lia :
(Terdiam dan hanya bisa menunduk pucat) “Baiklah Bu, nanti saya bicarakan
dengan tante Siska.”
Ibu Sri :
(Berdiri dan akan berpamitan pulang) “Ya sudah, Ibu pamit pulang dulu ya.”
Lia : “Iya bu, terima
kasih atas kedatangannya.
Hati-hati ya Bu.”
Ibu Sri
: “Sama-sama. Jangan lupa tetap belajar.
Assalam’ulaikum Wr.Wb.”
Lia :
“Wa’alaikumsalam.”
*****
Keesokan harinya Lia berangkat sekolah. Sampai di
sekolah sudah bel masuk, Lia langsung menuju kelas. Pelajaran pertama kimia,
tapi tiba-tiba Lia dipanggil Kepala Sekolah.
Kepala sekolah: “Assalam’ulaikum Wr.Wb. Permisi
sebentar Bu!.”
Ibu Guru :
“Wa’alaikumsalam Wr.Wb. Silahkan Pak!.”
Kepala Sekolah :
“Saya ingin bertemu dengan Rosalia Amanda.”
Lia :
“Iya. Saya, Pak.”
Kepala Sekolah :
“Mari ikut ke ruang Bapak.”
Lia :
“Baik Pak. Bi izin sebentar.”
Ibu Guru :
“Iya gak apa-apa.”
Kepala Sekolah :
“Mari Bu. Silahkan dilanjutkan kembali.”
Sesampainya di ruang Kepala Sekolah Lia hanya diberi
surat yang berisikan Lia dikeluarkan dari sekolah itu. Lia tidak bisa berkata
apa-apa lagi. Setelah itu Lia masuk ke kelas lalu pulang. Sesampainya di rumah
Lia tidak menyangka Tante Siska berada di rumah.
Tante Siska :
“Loh kok sudah pulang?. Ada apa?.”
Lia :
(Sambil menyerahkan surat bermaterai yang dibungkus amplop putih) “Ini Tan!.”
Tante Siska :
(Membuka amplop, lalu dibacanya) “Tante pasrah aja, maafin Tante gak bisa
berbuat apa-apa.”
Lia :
(Menunduk Sedih) “Gak apa-apa tan, ini udah jadi jalan hidupku.”
*****
Selama berhari-hari Lia di rumah, dia
memikirkan sesuatu. Lia ingin bekerja untuk mendapatkan uang, lalu dia ingin
menggunakan uang itu untuk melanjutkan sekolahnya. Dia meminta Tante Siska
mencarikan pekerjaan apa saja asalkan halal. Setelah Tante Siska kesana kemari
mencari, Tante Siska mempunyai teman yang berjualan di pasar Beringharjo.
Akhirnya Lia pun bekerja di tempatnya Tante Siska itu sebagai pelayan rumah
makan. Lumayan juga gajinya tiap bulan
bisa untuk melunasi biaya sekolah. Teman tante Siska juga baik, tiap sehabis
kerja Lia dibawakan beberapa makanan. Teman Tante Siska bernama Rasti.
Lia : (Sibuk cuci piring) “Tan, makasih ya.
Gara-gara Tante lho Lia bisa sekolah lagi.”
Tante Rasti: “Ah kamu bisa saja. Ini udah takdirnya
tante sebagai penolong kamu, Cuma perantara, sebenarnya Allah selalu dihatimu.”
Lia :
(tersipu malu) “Tan, kalau Lia Ujian kerja setengah hari boleh gak?.”
Tante Rasti: (Ragu-ragu memandang Lia)
“Ehm…gimana ya. Ya udah boleh, Cuma 1 minggu kan?.”
Lia :
(Tersenyum bahagia) “Iya kok tan. Makasih ya tan!.”
Tante Rasti: (sambil berpaling berjalan
pulang) “Iya. Eh, itu ada anak kecil minta makan, dikasih ya. Lauknya diambilin
apa aja deh. Oke.”
Lia :
(Berdiri dan keget) “Apa tan? Dimana anak kecil itu?.”
Tante Rasti: (menggandeng Lia keluar) “Itu dia,
sambil temenin ya!.”
Lia :
“…Hah!!! Dewi kamu masih hidup dek. Ayo dek maen dulu, pasti kamu kelaparan
beberapa hari hidup tak punya tujuan” (sambil menangis dan tak menyangka Lia
bertemu adiknya yang dianggap sudah meninggal).
Dewi :
(menangis dan memeluk Lia) “Kak Lia, Dewi kangen!!! Dewi bingung kak. Bunda dan
Ayah tidak ada sama Dewi.”
Lia :
“Iya kakak tau. Udah ya, ceritanya nanti aja. Sekarang makan dulu, dihabisin
ya!.”
Lia berpamitan pulang. Sesampainya di rumah, Tante
Siska sungguh tak menyangka Lia bahagia. Kini, dia bertemu dengan saudara
satu-satunya yang dianggapnya sudah meninggal. Setelah berhari-hari bahkan
berbulan-bulan Dewi hidup mengemis kesana kemari. Takdir jualah yang
mempertemukan mereka. Keluarga kecil yang terdiri dari 3 perempuan itu kini
telah hidup saling menyayangi. Mereka bahagia dengan apa yang ada kini. Lia
melanjutkan sekolah lagi, atas biayanya sendiri. Vegitu pula Dewi adiknya juga
bersekolah lagi yang dibiayai oleh Tante Siska. Tante Siska pun sudah ada yang
meminang, seorang Pengusaha Kerajinan Batik di Yogyakarta.
SEBUAH KEAJAIBAN
Suasana
pedesaan telah membuat hati Savira damai. Ia telah nyaman berada di tempat
kelahirannya berkumpul bersama keluarga dan sahabat terbaiknya, Sandi. Ia
tinggal di sebuah rumah yang tidak jauh dari kereta api. Usia mereka telah
menginjak tujuh belas tahun, yang tentunya mereka telah melanjutkan di tingkat
SMA. Suka dan duka mereka lalui bersama. Tak jarang, teman-temannya pun memberi
sindiran mengejek kepadanya.
***
Masa SMA
telah lewat. Tiga tahun dilewatkan Savira bepergian ke luar negeri untuk
melanjutkan kuliahnya di Paris.. Namun, ia masih memikirkan Sandi yang jauh
didalam lubuk hatinya merindukan kehadirannya. Padahal, ia telah disibukkan
oleh berbagai macam tugas dari dosen. Ia menempuh hari yang terasa berat dengan
gelisah.
Semester
pertama, salah seorang siswa baru muncul di ruangan Savira..
“Hay…
Ngomong-ngomong kita belum kenalan. Nama gue Sandi. Lo…?” sapa Sandi ramah.
Savira
sangat kaget mendengar nama itu. Tidak mungkin sahabatnya kini berada
dihadapannya. Bukankah dia sedang berobat??? Untuk menyembuhkan penyakit yang
dideritanya?. Buru-buru Savira menjawab pertanyaan Sandi “Vira” sahutnya klise.
Hari
liburan semester mereka telah merencanakan akan berlibur ke Paris. Sandi mengajak Savira makan malam.
Tetapi… sudah hampir dua jam dia belum juga datang. Perasaan Savira menjadi
gelisah. Tanpa dikomando, ia meraih handphone
dari dalam sakunya. Ia mencari nomor handphone Sandi dan memanggilnya.
Beberapa lama kemudian, seorang cewek diseberang menyahut
“Ya…
hallo.”
“Maaf,
ini dengan siapa ya??. Kalau boleh, saya bisa berbicara dengan Sandi??”
perasaannya masih was-was.
“Oh…
pasien yang sedang terbaring ini ya??. Tadi, dia mengalami kecelakaan, ditabrak
motor.”
Sebelum
suster menjelaskan lebih lanjut, Savira sudah buru-buru menyelanya “Sekarang
dia dirawat dimana ya, suster?”.
“Di Rumah
Sakit Harapan”.
Tanpa
mengucapkan sepatah kata lagi, ia buru-buru memutuskan sambungan telepon dan
berlari menemui Sandi.
Dia
meringkuk dihadapan Sandi yang terbaring lemah di rumah sakit. Sepanjang hari,
dia selalu berdoa untuk kesembuhan sahabatnya itu. Setelah lewat tiga hari
Sandi koma, matanya sudah mulai terbuka dan ini yang membuat Savira bersyukur.
“Lo udah
bangun??, syukurlah… Bentar ya, gue panggilin dokter dulu” sapa Savira senang
begitu tiba di Rumah Sakit Harapan.
“Gue ada
dimana??”.
“Di rumah
sakit. Lo tertabrak motor di jalan dan lo koma selama tiga hari.”
Sandi
berusaha mengingat kejadian itu. “Jadi, lo yang udah menjaga gue?.”
Savira
membalasnya dengan anggukan kecil.
“Thanks
ya…. Gue juga minta maaf karena kita batal ngadain makan malam waktu itu”
Savira benar-benar merasa iba melihat raut wajahnya yang kusut.
“Udahlah…
lupain aja. Lagian, semua ini bukan kesalahan lo. Ini kan kecelakaan.”
Setelah
keadaan Sandi sudah mulai membaik, akhirnya dia diijinkan pulang ke rumah.
Savira tak henti-hentinya merawat Sandi
ketika ia mempunyai waktu luang.
Dua hari
berlalu, dia bisa melakukan kegiatannya sehari-hari.
Malam
minggu, Sandi tiba-tiba saja mengajak Savira pergi. Savira sendiri tak kuasa
menolaknya. Ia berdandan di cermin tidak seperti sebelum kecelakaan itu
terjadi.
“Gue
udah siap” Savira berdiri tegak dihadapan Sandi yang sedang terbengong.
Dia
hanya mengangguk pelan. Dan ia menyalakan motornya. Motor itu melaju kencang
menuju ke sebuah kafe seperti biasanya, selalu romantis.
“Lo
kok ngajak gue kesini?” tanyanya heran.
Tanpa
diduga-duga dan tanpa ada kata pembuka, Sandi mengutarakan perasaanya yang
membuat Savira kaget.
“Tapi…”
sahut Savira terharu.
“Kalau lo nggak bisa
jawab sekarang, gue nggak maksa kok”.
***
Ternyata tiga bulan yang dilalui Sandi tidak
sia-sia. Kehadiran Savira dihadapannya telah mengobati rasa sakit yang
dideritanya selama ini. Dokter pun memberikan kabar baik bahwa penyakit yang
dideritanya telah sembuh total. Apalagi, kini Savira telah menjadi kekasihnya.
MENGAKUI KESALAHAN
“La,
kita jadi ke rumah kamu kan?”
bisikku kepada Lela.
“Iya
donk… Shinta, Intan, Okta, Tari gimana?. Mereka jadi ikut tidak?”, Lela kembali
berbisik.
“Tentu.
Udah pasti mereka juga ikut”.
Ocehan Bu
Pur mengenai logaritma yang segera berakhir membuat kami senang. Begitu bel
berbunyi, kami berhamburan keluar kelas. Kami bermaksud akan mengadakan belajar
kelompok di rumah Lela.
“Kalian
masuk duluan aja” ujar Lela begitu tiba di depan rumahnya.
Tiba-tiba,
Okta berteriak lantang, membuat kami ikut menoleh ke arahnya, “Tunggu dulu.
Kita pesan rujak yuk… Disana ada rujak tuh” katanya seraya mengacungkan
tangannya ke arah tempat rujak itu berhenti.
“Yuk.
Tapi, yang beli siapa?”.
“Aku
temenin deh. Uangnya patungan ya?” lanjut Intan menambahi.
“Ok”
sahut kami bersamaan.
Masing-masing
dari kami menyerahkan selembar uang ribuan kepada Okta. Setelah uang terkumpul,
mereka berdua segera pergi. Sedangkan kami menunggu mereka berdua di rumahnya
Lela.
Beberapa
menit kemudian, ku lihat Okta tengah membawa seplastik yang berisi rujak. Lela
segera mengambil piring dan meletakkannya. Lalu, kami pun melahap rujak itu
dengan bersemangat. Alhasil, kegiatan belajar kelompok kami sedikit tertunda.
Seusai
menghabiskan sepiring rujak, kami kembali menekuni tugas yang diberikan oleh Bu
Rina. Beliau lah yang menggantikan mantan guru fisika kami yang terdahulu.
***
Pagi-pagi
buta, teman-temanku tengah berkumpul di kelas. Mereka terlihat mondar-mandir
kesana kemari mencari jawaban. Maklum, sebagian dari mereka belum mengerjakan
tugas. Selain itu, belum ada tanda-tanda bel berbunyi. Kesempatan emas inilah
yang digunakan mereka untuk membujuk teman-temannya agar mau memberikan
jawabannya secara gratis.
“Tar,
aku liat jawaban kamu boleh tidak?. Masih ada sebagian soal yang belum aku
kerjain nih…” pinta temenku memelas. Sikapnya yang egois memang membuat
teman-teman merasa enggan meminta bantuan kepadanya. Terkadang, Tari enggan
memberikan jawabannya kepada teman-temanku. Walaupun, kadang dengan cara
memelas pun tidak juga berhasil.
“Kamu
kemarin ke mana aja?. Kenapa belum mengerjakan?”.
“Aku udah
ngerjain. Tapi, ada yang tidak ketemu jawabannya”.
“Wah,
kalau githu sorry banget. Jawaban aku juga belum lengkap” timpal Tari
cuek.
Tari
kembali mengitari meja teman-temanku.
***
Kantin
sekolah.
“Tar,
menurutku sikap kamu tadi sedikit egois deh” kataku memulai pembicaraan,
menatapnya tenang.
“Maksud
kamu apa?” tukas Tari mulai terpancing keadaan.
“Aku
hanya ingin menasehati kamu aja. Yah… tidak ada ruginya kan kalau kita membantu teman”.
“Kamu
selalu sibuk dengan urusan orang lain ya?”.
“Bukannya
githu. Tapi…”.
Emosinya Tari
hampir meledak. “Udahlah… Aku capek dengerin nasihat kamu setiap hari” potong
Tari berang, bangkit dari kursi, dengan tatapan terhujam ke arahku.
***
Kejadian
di kantin beberapa hari yang lalu membuat komunikasiku dangan Tari terputus.
Sampai suatu ketika Tari mendatangiku dengan tiba-tiba.
“Rim, aku minta maaf ya atas kejadian di
kantin waktu itu. Aku tidak bermaksud…”.
“Tidak
masalah kok. Lagipula aku sudah maafin kamu dari dulu. Jadi, kamu tenang aja.
Tapi, kenapa kamu bisa berubah secepat ini?”.
“Aku
sadar karena selama ini aku terlalu egois. Karena itu, aku dibenci teman-teman”
balas Tari dengan nada menyesal.
“Kamu
tidak dibenci kok. Mereka menjauhi kamu karena mereka takut”.
“Takut
kenapa?”.
“Emm… aku
tidak bermaksud menyakiti hati kamu. Mereka sudah mengenal kamu sebagai anak
yang judes. Jadi,”.
“Iya, aku
tahu itu. Tidak masalah kok mereka menganggap aku seperti itu” potong Tari
dengan kepala menunduk. “Sekali lagi aku minta maaf ya…” tambah Tari kemudian.
“Ok”.
***
Lela
sudah menyadari kesalahannya. Lela bersedia mengulurkan tangannya demi membantu
teman. Kini, dia menjadi bintang hati di kelas. Teman-temannya pun mulai
menyayanginya.
Sifat
manusia bisa berubah. Tergantung dari kemauan manusia itu sendiri. Setiap
perubahan berawal dari kesalahan. Dengan menilai setiap kesalahan yang telah
kita perbuat, kita bisa menjadikan sesuatu yang baru. Memperbaiki kesalahan
dimasa lalu akan terasa ringan. Kita bisa merasakan ketentraman lahir dan
bathin. Bukankah meminta maaf adalah sesuatu yang sangat mulia?.
KESADARAN BUAH
SURGA
“Ren,
bukankah sudah ku bilang, memetik buah miliknya orang lain itu berdosa. Apa kamu belum
mengerti juga?” tanyaku kepadanya.
“Iya,
iya. Aku mengerti” jawab Rendra.
“Iya,
iya. Tapi, tidak dilakukan juga” kataku jengkel.
Rendra
mengabaikan nasihatku. Ku lihat Rendra sudah pergi jauh. Aku hanya bisa
menghela napas pasrah.
“Damar,
sini” panggil Rendra dari kejauhan.
Ada apa lagi?, tanyaku dalam hati.
Aku
segera menghampiri Rendra yang sedang melambaikan tangannya.
“Ada apa?” tanyaku setelah
mendekatinya.
“Lihat.
Buahnya merah, pasti enak” katanya lagi, menunjuk buah rambutan.
“Maaf Ren, aku
tidak mau ikut. Mencuri itu perbuatan tercela. Lebih baik, urungkan saja niatmu itu” kataku
menasehatinya.
“Terserah
kalau kamu tidak mau” katanya.
Berhari-hari,
kelakuan Rendra tak kunjung berubah. Setiap ada buah segar, pasti dia ambil,
tanpa meminta ijin kepada pemiliknya. Aku juga tidak tahu harus berbuat apa
lagi untuk menasehatinya.
***
Tanpa diduga, Rendra melihat sesuatu yang
menarik hatinya. Tampak beberapa orang berkerumun di
sebuah toko, tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Rendra menuju toko tersebut. Dia berusaha
menyelipkan tubuhnya diantara kerumunan orang.
“Cepat, bawa dia ke kantor polisi” bentak pemilik toko kepada
seorang pemuda yang ketakutan.
“Tolong jangan bawa saya ke kantor polisi” kata pemuda itu memelas.
“Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu”
kata pemilik toko.
“Pak, bawa dia ke kantor polisi” katanya lagi.
Seorang satpam bertubuh kekar, segera membawa
pemuda itu dengan paksa.
“Bu, tolong jangan bawa saya ke kantor polisi. Saya akan
mengganti semua kerugiannya” kata pemuda itu.
“Itu tidak cukup dengan apa yang telah Kau
ambil”.
Ada perasaan bersalah menyelimuti hati Rendra. Perasaan yang selama
ini tidak diketahuinya. Dia baru sadar setelah menyaksikan peristiwa yang
berharga itu.
***
Setiba Rendra di rumah, dia menceritakan
kejadian yang baru saja dilihatnya kepada ibunya. Matanya berkaca-kaca.
“Kamu tidak perlu bersedih. Yang terpenting sekarang,
Rendra sudah sadar kalau perbuatanmu itu salah. Alangkah
baiknya jika Rendra meminta maaf kepada orang
yang telah kamu sakiti. Dan jangan lupa minta ampun kepada Allah. Semoga Allah
mengampuni kesalahan Rendra. Tapi, Rendra harus berjanji tidak akan
mengulanginya lagi” kata ibu.
“Iya, Bu. Rendra berjanji tidak akan mengulangi
semua perbuatanku lagi” katanya.
***
Keesokan harinya, Rendra benar-benar
membuktikan ucapannya. Dia mendatangi orang
yang pernah disakitinya sekaligus meminta maaf. Tidak lupa, dia juga mendatangi
sahabatnya.
“Damar, aku minta maaf kalau sikapku dulu
kasar. Sekarang aku baru sadar kalau ucapanmu itu ada benarnya” kata Rendra.
“Iya, sobat. Aku sudah memaafkanmu. Aku senang
kamu sudah sadar”.
SAHABAT ADA DIHATI
Terkadang,
ikatan persahabatan yang kuat akan melemahkan mental seseorang. Begitulah yang
dialami oleh Rahmi. Dia adalah seorang pelajar SMA. Sedangkan Andy adalah teman
sebangkunya. Mereka menjalin rasa persahabatan yang semakin akrab dan hangat.
Benih-benih cinta baru diantara mereka pun
mulai mekar. Dulu yang begitu percaya diri, sekarang bergetar di hati.
“Ra, sepulang sekolah nanti gue tunggu lo di taman
ya?” ujar Andy serius, hendak berbalik pergi.
“Memangnya lo mau ngomong apa?” tanya Rahmi
ketika mereka duduk-duduk di taman. Sekolah sudah bubar sedari tadi.
“Gini lho. Nanti malam ada acara pertemuan
antar keluarga di rumah gue jam tujuh. Lo bisa datang kan?” tanya Andy lagi menjelaskan.
“Iya, Insyaallah” desah Rahmi ragu.
***
Acara pertemuan itu belum dimulai ketika Rahmi
beserta keluarganya tiba. Namun, hidangan telah tertata rapi di meja makan.
Rumah pun telah sedap dipandang mata.
“Ayo, silahkan duduk” sapa ibu Andy melihat
keluarga Rahmi datang.
“Iya, tante” balas Rahmi kepada beliau, seraya
mendaratkan tubuhnya ke sebuah kursi empuk.
Waktu dari perjanjian telah berlalu. Kami
memulai acara sedikit terlambat. Bu Rizka, guru Bahasa Inggris kami terlambat
datang karena anaknya sakit. Alhasil, acara dimulai pada pukul delapan.
Ternyata, acara pertemuan itu membahas seputar hubungan antara Rahmi dan Andy.
Bu Rizka menyarankan agar hubungan Rahmi dan Andy dibatasi. Beliau menyarankan
agar mereka lebih fokus pada pelajaran. Rahmi pun baru mengetahuinya kalau Bu
Rizka adalah sahabat baik ibunya Andy.
Rahmi dan Andy tidak ambil pusing mengenai
nasihat Bu Rizka kemarin malam. Jalani saja apa adanya. Itulah kata kesepakatan
yang telah mereka ambil. Tentu saja, Bu Rizka segera naik pitam.
Mempermasalahkan hubungan kami di dalam kelas.
“Ra, nanti malam lo ada acara nggak?” celutuk
Andy di kantin.
“Kayaknya nggak ada” balas Rahmi kemudian,
menyeruput es jeruknya yang masih setengah.
“Kalau githu, gue jemput lo jam tujuh ya?. Ada yang mau gue omongin”
Andy langsung berbalik pergi, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Udara
atmosfer disekitar Rahmi sedikit berubah. Kata-kata yang diucapkan Andy tadi
cukup serius.
***
Rahmi telah siap dengan kemeja hijaunya. Satu
menit telah dilewatkan Rahmi menunggu Andy di depan teras. Sebuah motor melaju
dengan kecepatan sedang mendarat di halaman rumahnya.
Andy memarkir motornya di sebuah restoran
mewah.
Rahmi hendak memasukkan salad ke mulutnya,
ketika Andy mengatakan sesuatu yang membuat ia mati rasa. “Ra, gue pengen kita
putus” tukas Andy menyakitkan hatinya.
Refleks, Rahmi menjatuhkan sendoknya hingga
terpelanting. “APA?!!” timpalnya shock bercampur
tidak mengerti. Kontan, tatapan orang-orang langsung tertuju kepada Rahmi.
Kenapa Andy mengatakan hal itu?. Bukankah kita sudah berjanji akan menjaga
hubungan kita?.
“Iya, gue pengen kita putus” Andy mengulanginya
lagi dengan terbata-bata.
“Kenapa??!!”. Rahmi masih tetap tidak bisa
terima.
“Karena gue nggak pengen lo menderita”.
“Apa maksud lo?”.
“Udahlah, jangan tanya lagi” Andy mendorong
kursinya lalu pergi.
Saat ini, suasana hati Rahmi seperti segenggam
es. Bingung dengan apa yang baru saja dialaminya. Putus?!. Semudah itukah Andy
mengatakan hal itu?!.
***
Telinga Rahmi masih kuasa mendengarkan berita
yang telah beredar di sekolah. Kabar mengenai berakhirnya hubungan mereka berdua.
Penyebab hubungan mereka telah berakhir tak lain karena Bu Rizka. Beliau
berhasil membujuk ibu Andy agar menjauhkan mereka selama-lamanya.
Setahun telah mereka lewati dalam kebisuan. Tak
saling menyapa satu sama lain. Bertatap muka pun jarang. Sepertinya, Andy
sengaja menghindar dari Rahmi. Gosip yang beredar menjawab semuanya. Andy telah
menemukan pasangannya yang baru dengan persetujuan Bu Rizka.
Memang sulit melepaskan seseorang yang kita
cintai. Namun, waktu masih panjang. Kita bisa memulai sesuatu yang baru.
Ikhlaskanlah kepergiannya. Mungkin, dengan cara itu hati kita bisa tenang.
Asalkan, ikatan persahabatan itu masih ada di hati kita. Saat itulah kita tahu,
ikatan itu akan abadi selamanya.
AKU, KAKEK dan PERUSAHAAN
Terjadi keributan di sebuah rumah mewah di desa
Mawar. Perdebatan yang tak kunjung usai itu membuat beberapa tetangga
penasaran. Rumah itu milik seorang kakek Saman yang telah mengelola perusahaan
selama tiga puluh tahun. Perusahaan yang cukup terkemuka di daerahnya.
“Kek, Kikan tidak mau mengelola perusahaan itu.
Apa Kakek masih tidak mengerti juga?!” raungku pedas.
“Tapi, ini semua demi kepentinganmu”.
“Kikan tetap tidak mau, Kek!”.
“Baiklah, kalau kamu tidak mau. Tapi, jangan
harap kakek akan mengijinkanmu tinggal disini!” balas kakek naik darah.
“Ok, kalau kakek pengen Kikan pergi dari sini!.
Itu tidak masalah buat Kikan. Sekarang juga Kikan akan pergi dari rumah ini.
Selamat tinggal” tukas Kikan dengan berapi-api. Kikan benar-benar meninggalkan
kakeknya. Membawa sebuah koper yang berisi pakaian.
Kikan melangkah dengan linglung. Tanpa tau ke mana
arah tujuannya.
“Kan,
kamu ngapain malam-malam disini?” sapa Brian kaget menemukan sahabatnya
berjalan sendirian di jalan raya.
“Aku baru saja diusir dari rumah oleh kakek”.
Kikan menangis sesegukan.
“Terus, kamu mau kemana sekarang?”.
“Aku sendiri tidak tau mau kemana”.
“Bagaimana kalau untuk sementara ini kamu
tinggal di rumah bibiku?”.
“Tapi…”.
“Udahlah. Hanya untuk sementara kok. Ok?. Kamu
mau kan?.
Daripada kamu mondar-mandir tidak jelas kayak gini”.
Kikan hanya bisa mengangguk pasrah. Kikan pun
menceritakan masalah yang dialaminya kepada Brian. Brian hanya bisa mengelus
dada.
***
“Kan,
tadi malam kakek telepon aku. Dia pengen ketemu kamu” ujar Brian disela jam
istirahat kampus.
“Kakek mau ketemu aku?. Apa tidak salah?” balas
Kikan cuek, berbalik memunggungi Brian hendak pergi.
Brian dan Kikan telah menjalin persahabatan
sejak kecil. Tidak heran, setiap ada masalah mereka saaling membantu. Namun, akhir-akhir
ini hubungan antara Kikan dan kakeknya buruk. Itulah yang menyebabkan Kikan
sering murung.
“Kan, bagaimana
pun dia tetap kakek kamu kan?”
bantah Brian tidak setuju dengan ucapannya tadi.
“Iya. Tapi, tetap aja kakek yang mengusir aku
dari rumah” timpal Kikan dengan berang. Hampir saja emosi Kikan meledak.
“Udahlah… masalah itu jangan dibesar-besarkan
lagi. Mungkin kakek pengen mengatakan sesuatu yang penting”. Brian mencoba
membujuk Kikan. “Kamu mau kan
ketemu kakek?” bujuk Brian sekali lagi dengan wajah memelas.
“Entahlah”.
Brian sudah bisa menebak pikiran Kikan. Apa
yang ada dibenaknya. Namun, keputusan setiap saat bisa saja berubah.
***
Kikan telah mengambil keputusan. Dia mendatangi
rumah kakek dengan langkah berat. Di wajahnya, masih tersirat keraguan. Namun,
rasa cinta Kikan kepada kakeknya masih belum pudar.
Kusen pintu bergerak. Pintu menjeblak terbuka.
Kakek muncul dihadapan Kikan. Dengan wajah bersinar, kakek mempersilahkan Kikan
masuk.
“Kikan mendengar dari Brian kalau kakek pengen
bertemu Kikan?. Ada
masalah apa, Kek?”.
“Iya, memang benar”. Kakek menghela napas
sebentar, lalu melanjutkan, “Begini, kakek minta maaf atas kejadian beberapa
hari yang lalu. Kakek tidak bermaksud mengusir Kikan dari rumah”.
“Kakek tidak perlu mintta maaf. Kikan yang
seharusnya minta maaf. Kikan juga belum siap mengelola perusahaan itu. Tapi,
Kikan yakin selama perusahaan itu masih berada dibawah kendali kakek, semua
akan baik-baik saja”.
“Iya, kakek mengerti dengan keputusan Kikan.
Kakek tidak memaksa Kikan. Semua keputusan ada ditangan Kikan”.
***
Langit sedang muram. Cuaca sedang buruk malam
itu. Bulan pun enggan menampakkan dirinya. Kikan masih merenungi perkataan
kakek tadi. Belum terlambat mengubah keputusan. Dia harus mengambil suatu
keputusan yang tepat.
Sekadar ingin jalan-jalan, Kikan tanpa sadar
menuju rumah kakek. Tatapan Kikan langsung berubah seketika. Dia melihat Brian
juga berada disana, tengah berbincang-bincang dengan kakek. Kikan tidak bisa
menangkap pembicaraan mereka karena jaraknya lumayan jauh. Dia merapatkan
tubuhnya ke sebuah tembok, sengaja tidak memperlihatkan diri.
***
Kikan mendatangi
Brian dengan tergesa-gesa. Jam kuliah kampus telah berakhir. Beberapa mahasiswa
telah bersiap-siap pulang. Kikan semakin mempercepat langkahnya menuju kelas
Brian.
BRUK.
Kikan menubruk
seseorang yang keluar pertama.
“Maaf” kata Kikan pelan, tanpa
memandangnya.
Setelah meneliti
lebih jauh, orang yang menubruk Brian ternyata, “Kikan?” sapa Brian kaget.
Kikan segera mendongak ke sumber suara itu.
“Ada apa?” tanya Brian begitu kami tiba di
taman.
Masih ada keraguan
dihati Kikan menanyakan hal ini kepadanya. “Tadi malam aku tidak sengaja
melewati rumah kakek. Dan tidak sengaja aku melihat kamu juga ada disana” kata
Kikan berusaha berterus terang.
“Iya. Tadi malam
aku memang ke rumah kakek. Aku cuman pengen main aja ke tempat kakek. Jadi,
tadi malam kamu juga ada disana?. Kok aku tidak meliat kamu ya?” tanya Brian
heran.
“Karena aku cuman
lewat. Lagian, aku tidak bermaksud mau ke rumah kakek kok”.
“Ehm…
ngomong-ngomong kamu sudah buat keputusan?” Brian menatapku dalam-dalam.
“Iya. Aku udah buat
keputusan. Tapi, aku berubah pikiran”.
“Berubah pikiran?.
Maksudnya?” timpal Brian tidak mengerti, seraya mengerutkan kening.
“Yah, githu deh”
sahut Kikan dengan wajah ceria.
***
Matahari
menyembul dari balik bukit. Memancarkan sinarnya yang terang.
Saat ini, Kikan
menuju rumah kakek tanpa ada keraguan sedikit pun. Dia yakin keputusannya ini
adalah yang terbaik. Di dalam hatinya, dia berjanji tidak akan mengecewakan
kakeknya. Usaha dan kerja keras akan ia lakukan sungguh-sungguh.
Permintaan maafnya
pun diterima dengan tulus oleh kakek. Kehidupan yang baru akan dimulai. Kakek
mempercayakan perusahaan itu kepada Kikan. Hal itulah yang membuat Kikan
bersemangat. Dia akan memegang teguh perkataannya. Mengelola perusahaan itu
dengan baik. Kelak, perusahaan itu akan berkembang nantinya.
Persahabatan Sebuah Keluarga
Oleh: Maryam Yapeni
Pentas menggambarkan
sebuah taman waktu pagi hari. Tampak disana beberapa bunga terlalu indah.
Seorang pemudi pelajar sedang duduk-duduk di sebuah kursi. Ia bersilang tangan.
Pemudi itu Rika namanya. Ia adalah sahabat Arni. Sementara Anton, teman Rika
dan Arni, duduk disebelahnya, bingung.
Waktu itu hari
Minggu, Rika tampak kusut. Wajahnya muram. Ia sudah mandi satu jam yang lalu. Ia
terburu-buru ke rumah Anton karena mendengar berita dari Trisno, temannya,
bahwa Arni tertangkap basah oleh polisi yang sedang menggunakan narkotika di
jalan raya. Kini, Arni berada di dalam penjara.
Seorang pelajar
lainnya, Karman, sedang berada di sebuah toko. Ia adalah anak dari seorang ayah
yang berprofesi sebagai polisi.
Rika : “Karman.”
Anton : “Ya. Ada apa mencariku?”
Rika
: “Aku perlu berdiskusi denganmu mengenai masalah Arni. Mungkin
kita bisa meminta bantuan kepada ayah
Karman agar Arni dibebaskan dari penjara”
Trisno
: “Kurasa tak ada gunanya kita meminta bantuan kepada ayah Karman.
Walaupun ayahnya polisi, tugas harus tetap dijalankan”
Rika : “Belum tentu, Tris. Kita coba dulu
saja”
Karman datang. Napasnya terengah-engah.
Peluhnya bercucuran.
Anton
: “Kau dari mana saja, Man?”
Karman
: “Dari toko”
Anton : “Hah?. Dari toko?”
Karman
: “Aku baru saja mengantar ibuku belanja. Ada apa ini?. Kenapa kalian tiba-tiba
menghubungiku agar datang kemari?”
Rika
: “Begini. Aku membutuhkanmu untuk membujuk ayahmu agar mau
membebaskan Arni dari penjara”
Karman
: “Wah, kalau itu aku tidak tahu pasti apakah berhasil atau tidak”
Rika : “Tidak masalah. Itu urusan nanti”
Sore hari, Rika, Anton, Karman, Trisno
mengunjungi Arni di penjara.
Rika : “Selamat sore, Pak” (menundukkan
kepala)
Pak Polisi
: “Iya, selamat sore. Ada
yang bisa Bapak bantu?”
Anton : “Begini, Pak. Kami bisa bertemu
dengan Pak Adi?”
Pak Polisi
: “Maaf, Dik. Beliau sedang mendapat banyak tugas, sehingga tidak bisa
diganggu”
Karman
: “Maaf, Pak. Tapi, saya anaknya. Bolehkah saya menemui beliau?”
Pak Polisi
: (Berpikir) “Ya, baiklah. Saya ijinkan”
Karman
: “Terima kasih, Pak”
Pak Polisi
: (Mengangguk)
Karman menemui ayahnya. Terjadi perdebatan
singkat diantara mereka.
Karman
: “Karman mohon ayah. Tolong bebaskan Arni dari penjara”
Ayah Adi
: “Tetap tidak bisa, Man. Maafkan Ayah”
Karman
: “Ayah, tapi Arni adalah salah satu sahabat Karman!. Karman mohon…”
Ayah Adi
: “Tetap tidak bisa, Man. Mohon mengerti”
Karman
: (memandang lantai dengan sedih) “Kalau begitu, apakah kami
diperbolehkan menjenguk Arni sebentar?”
Ayah Adi
: “Tentu saja boleh”
Beberapa jam kemudian. Karman muncul dengan
lesu.
Trisno : “Bagaimana?”
Karman
: (Menggelengkan kepala)
Anton : “Tidak berhasil ya?”
Karman
: “Maaf”
Rika : “Ya sudah. Tidak apa-apa”
Trisno : (Membisu)
Karman
: (Membisu)
Anton
: (Membisu)
Rika
: “Tapi, kita diperbolehkan menjenguk Arni?”
Karman
: “Iya, boleh”
Berjalan menuju ke tempat Arni dipenjara.
Arni : (Berdiri)
Trisno : “Hai Ar,
bagaimana keadaanmu?”
Arni : “Alhamdulillah baik”
Karman : “Maaf ya, Ar. Aku
tidak bisa membebaskanmu dari penjara”
Arni : “Tidak
masalah. Bagi Arni, kalian sudah mau menjengukku, Arni sudah bahagia”
Rika : “Teman, kau
harus bersabar ya?”
Arni : “Iya. Terima
kasih, Rik”
Rika : (Mengangguk)
“Bukankah persahabatan kita juga salah satu sebuah keluarga?”
Arni : “Benar, Rik”
Anton : “Maaf ya, Ar. Kami hanya punya waktu
sebentar menjengukmu. Kapan-kapan kami akan mengunjungimu lagi. Jaga dirimu
baik-baik ya?”
Arni : “Iya. Terima
kasih teman-teman. Kalian sudah mau mengunjungiku”
Anton : “Sama-sama”
Keluar dari penjara.
Rika : “Semoga Arni
segera dibebaskan dari penjara ya?”
Anton : (Mengangguk)
Karman : (Mengangguk)
Trisno : (Mengangguk)
Anton : “Yang terpenting
kita masih satu keluarga yang harus saling melindungi satu sama lain”
Upah dari
Hasil Kerja Keras
Oleh : Maryam Yapeni
Para Pelaku:
1. Raditya, seorang pemuda yang bekerja sebagai
koki di sebuah restoran, berumur 22 tahun.
2.
Yuan,
seorang gadis, berumur 20 tahun
3.
Brian,
sahabat Raditya, berumur 24 tahun
4.
Pak
Gunawan, pemilik restoran, berumur 35 tahun
Setting : Restoran terkemuka di sebuah dapur pada
siang hari. Di dinding, ada
beberapa panci. Ada beberapa meja yang berjajar. Diatasnya
telah disediakan bahan masakan. Ada juga kompor gas.
Note : Kedua pemuda sedang
memasak bersama-sama di dapur. Dengan kata lain, mereka bekerja sebagai koki di
restoran itu. Tampak pada cara dan kebiasaan mereka memasak setiap harinya.
Mereka juga memperlihatkan sebagai orang baik-baik. Hanya kerja keras yang
diperlukan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Begitu layar tersingkap, tampak Raditya sedang
asyik memasak. Ia menghadap ke dinding. Tangannya sibuk memegang wajan.
Sedangkan Brian sedang menyiapkan bumbu di meja.
Brian : “Kau belum selesai juga
memasaknya, Dit?”
Raditya
: “Belum, sebentar lagi. Kau sendiri sudah
menyiapkan bumbu-bumbunya?”
Brian : “Tentu saja sudah. Oh ya, aku
dengar hari ini ada pelayan baru ya?. Dengar-
dengar sih, dia cantik”
Raditya : (Diam
saja)
Brian : (Memasukkan bumbu-bumbu ke dalam wajan)
Pak Gunawan datang dengan kemeja rapi.
Pak Gunawan : “Kalian sudah selesai memasaknya belum?”
Raditya : “Iya, Pak. Sebentar lagi juga sudah
selesai”
Pak Gunawan : “Bagus. Kalau begitu, tolong kalian
membantu Yuan memasak ya?”
Brian : (Bersama)
“Baik, Pak”
Raditya : (Bersama)
“Baik, Pak”
Brian : (Menengadahkan
kepalanya, tersenyum ke arah Yuan) “Hai”
Yuan : (Diam
saja)
Brian : “Oh ya, kami ucapkan
selamat datang di restoran ini. Semoga kau betah bekerja di
sini
ya?”
Yuan : “Ya. Terima kasih”
Brian : (Mengulurkan tangan,
tersenyum) “Brian”
Yuan : (Mengangguk)
Brian : “Bagaimana kalau kita
mulai sekarang?”
Yuan : “Baik”
Brian : “Begini saja. Untuk
urusan memasak, biar Raditya yang akan membantumu. Aku juga tidak terlalu mahir
dalam hal memasak”
Yuan : (Berjalan menuju
Raditya, mengulurkan tangan) “Mohon bantuannya”
Raditya : “Kita mulai sekarang”
Dua tahun telah
dilewati Yuan belajar memasak bersama Raditya. Kini, Yuan telah diterima
menjadi koki di restoran itu. Dia menerima gaji yang cukup besar. Demikian
pula, Brian dan Raditya. Mendapatkan imbalan yang lebih dari hasil kerja keras
mereka.
Yuan : “Thanks
ya…kalian sudah mau membantuku”
Raditya : (Bersama)
“Kembali”
Brian : (Bersama)
“Kembali”
SOLIDARITAS UNTUK JEPANG
Bencana tsunami, gempa, radiasi nuklir yang
terjadi secara tiba-tiba di Jepang pada tanggal sebelas Maret lalu membuat
panik masyarakat. Secara drastis, rumah beserta bangunan di bagian Jepang timur
laut, seperti Miyagi, Fukushima, Iwate terendam air bercampur radiasi nuklir
tersebut dalam waktu bersamaan. Sangat memprihatinkan. Di saat masyarakat
membutuhkan seorang ahli yang mampu menangani kerusakan yang terjadi di PLTN
Fukushima Daiji yang bermasalah akibat tidak mampu mencegah kebocoran, sosok beliau
telah tiada.
Hari
Minggu inilah, kami mengadakan event “Solidaritas untuk Jepang” di Taman Budaya
Yogyakarta guna memberi semangat kepada warga Jepang yang terkena musibah.
Dalam hal ini, kami mengajari anak-anak membuat origami burung bangau dari
kertas batik sebagai lambang kekuatan. Dibagi menjadi dua kelompok, origami
membuat burung bangau dan menggambar.
Disinilah
diriku, masih termenung menunggu teman-teman yang lain datang.
“Hai…”
sapa Yunita sambil tersenyum, seraya menghampiriku yang tengah duduk. Aku membalas
senyumannya sambil melambaikan tangan bersahabat.
“Baru
datang?” tanya Yunita, mendaratkan tubuhnya di sampingku lalu mengalihkan pandangannya
ke seluruh sudut.
Aku
kembali menatapnya. “Mencari apa?”. Aku mengerutkan kening sambil mengikuti
arah pandangnya.
Belum
sempat menjawab, Yunita berdiri mencari seseorang
yang sudah datang selain kami. Kakak-kakak senior mulai bermunculan. Mereka
mengajak kami menemui salah seorang mahasiswi yang berasal dari Miyagi yang
sengaja hadir di Taman Budaya. Rencananya origami burung bangau yang nanti kami
buat akan dititipkan kepada mahasiswi itu.
Ia
mengulurkan tangan. Tanpa sungkan, kami menyambut uluran tangannya sambil
tersenyum. Tapi, aku bisa memahami bahwa pada kenyataannya ia sedih serta
memikul tanggung jawab yang besar untuk mengembalikan semangat hidupnya.
Berkumpulnya
teman-teman yang lain beberapa jam kemudian, membuat suasana menjadi semakin
meriah. Meskipun keringat membasahi wajah, kepedulian kami kepada masyarakat
Jepang agar dapat tersenyum dan mengembalikan kepercayaan diri mereka kembali
tidak akan pernah luntur. Kami semua yakin bahwa Allah tidak akan pernah
memberi cobaan diatas kemampuan umat manusia.
Kak
Kira menatap kami secara bergantian. “Tolong bantu sebisa kalian, ya…”.
“Iya.
Bagaimana pun juga ini merupakan tanggung jawab kami untuk menolong sesama.
Mengingat Yogyakarta pernah tertimpa atau mendapat musibah dan kami juga pernah
merasakan kepahitannya”.
“Terima
kasih”.
Diam
seribu bahasa, sepertinya tidak cocok bagi kami dalam hal ini. Tapi, entah
mengapa mulut kami seakan terkunci rapat. Aku hanya mengalihkan pandangan ke arah
sebagian besar masyarakat Yogyakarta, terutama anak-anak kecil yang turut
berpartisipasi mengikuti acara ini.
“Saat
ini Jepang sedang dalam keadaan terguncang. Bencana gempa, tsunami dan radiasi
nuklir yang datang bersamaan tidak pernah diperkirakan masyarakat sebelumnya”
kata Kak Kira lagi.
***
Kulihat sebagian besar anak kecil sangat
antusias membuat burung bangau dalam jumlah besar, dengan bantuan kakak-kakak
senior. Wajah mereka menggambarkan kepedulian. Tidak kusangka mataku
berkaca-kaca dan mulai tersentuh.
“Ada
apa?” Kemunculan Kak Li secara tiba-tiba di belakangku, membuatku kaget.
“Tidak
ada apa-apa” jawabku sekenanya sambil membalikkan badan, tersenyum.
“Wajar
saja kalau kamu terharu melihat anak-anak ini begitu bersemangat dan antusias
membuat origami burung bangau. Sebenarnya hati dan perasaan mereka jauh lebih
kuat. Semoga kepedulian mereka terhadap keadaan Jepang dapat membuat Negara itu
kembali pulih…” kata Kak Li.
“Iya,
Kak… Semoga do’a mereka dikabulkan”.
Suara
seorang mahasiswi Miyagi terdengar membahana melalui mikrofon. Ia berterima
kasih atas kepedulian kami semua yang telah berpartisipasi menyelenggarakan
event origami ini. Ia sangat mengharapkan masyarakat Jepang dapat merasakan
ketulusan hati kami. Bahkan, ia pun berdoa semoga kebaikan hati kami dibalas
oleh-Nya. Kebahagaian kalian juga merupakan kebahagiaan kami. Begitu juga
sebaliknya.
“Oh ya, perkenalkan
ini Satrio dari Miyagi. Saya sengaja mengajaknya kemari karena dia ingin ikut
belajar bersama membuat origami dengan teman-teman” kata mahasiswi itu
menghampiri kami dengan menggandeng tangan seorang anak yang berumur sekitar
sembilan tahun.
Ia mulai berbincang-bincang
dengan Kak Kira.
“Salam kenal, Kak.
Saya Satrio dari Miyagi. Keadaan desaku sangat memprihatinkan tertimpa musibah
sebelas Maret lalu. Semuanya hancur lebur. Saya dan masyarakat tampak ketakutan
dan kekhawatiran menyelimuti wajah mereka melihat gelombang tsunami yang besar
menerjang desa kami. Warga mulai panik dan segera berbondong-bondong
menyelamatkan diri. Sampai saat ini, aku masih mengingat musibah mengerikan
itu. Saat itu, tubuhku terlalu kaku untuk bergerak. Dan tidak kusangka, kedua orang
tuaku mulai menyuruhku bergerak dan berusaha menyelamatkan diri”. Matanya mulai
berkaca-kaca. “Dan… karena kesalahankulah kedua orang tuaku meninggal ditelan
bencana yang mengerikan itu demi menyelamatkanku”. Kini, air matanya mengalir
dengan deras.
Mahasiswi dari
Miyagi, yang sedari tadi ikut mendengarkan cerita Satrio, segera mengambil
alih. Setelah ia menenangkan Satrio, mengajaknya berkumpul dengan kami,
mahasiswi itu segera menghampiri Kak Kira lagi.
“Maafkan sikap
Satrio. Dia baru saja kehilangan anggota keluarganya akibat musibah itu. Hanya
dia yang berhasil selamat. Ia bahkan menyaksikannya sendiri bagaimana gelombang
tsunami menyapu Negara Jepang bagian timur laut beserta kedua orang tuanya.
Saya sendiri juga tidak tahu kenapa kondisinya kembali labil. Padahal, beberapa
hari sebelumnya, ia sudah bisa kembali ceria. Mungkin, ia kembali teringat
dengan kepergian kedua orang tuanya. Saya mewakili Satrio meminta maaf”.
Mahasiswi itu kembali terdiam, lalu melanjutkan. “Maaf, bukannya saya ingin
menyalahkan kalian. Justru saya ingin berterima kasih kepada teman-teman yang
sudah mau membantu mengembalikan kepercayaan diri mereka”.
“Justru kami yang
seharusnya meminta maaf karena belum bisa membantu lebih banyak bagi warga
Jepang”.
“Justru kalian sudah
banyak membantu. Kami sangat berterima kasih”.
Mahasiswi itu
mengalihkan pandangannya ke arah Satrio. Tanpa sadar, sebuah senyuman mahasiswi
itu seketika terkembang. Melihat Satrio tertawa dan kembali ceria, membuat
hatinya lega. Setidaknya untuk saat ini, ia dapat berbagi dengan kami.
“Sebenarnya, Satrio
itu hanya membutuhkan seorang teman yang bisa berbagi dengannya. Mungkin, sejak
kematian kedua orang tuanya, ia merasakan kesepian” kata Kak Kira sambil
menatap Satrio.
“Iya. Mungkin memang
benar ia membutuhkan seseorang yang bisa memahami dirinya. Mungkin kami akan
menitipkannya kepada sebuah keluarga yang mau mengadopsinya setelah ada
persetujuan dari pihak terkait”.
“Mungkin itu jalan
yang terbaik. Setidaknya, ia bisa berbagi bersama mereka. Ia masih membutuhkan
sosok keluarga yang selalu menyayanginya”.
Diakhir perpisahan, ia menjabat tangan kami
dengan sikap bersahabat dan keharuan.
“Terima
kasih atas kerja sama dan bantuan kalian dalam event yang diselenggarakan hari
ini. Ini merupakan suatu penghormatan bagi kami, masyarakat Jepang. Sekali lagi
kami mengucapkan terima kasih banyak”. Mahasiswi tersebut menjabat tangan Kak
Li.
“Kami juga senang
dapat membantu masyarakat Jepang. Sejujurnya, kami ingin membantu lebih banyak
lagi. Seharusnya, kami yang seharusnya
berterima kasih karena Anda telah meluangkan waktu untuk berkunjung kemari”.
“Iya. Sama-sama… Kami
sangat senang dengan penghormatan yang Anda berikan. Saya akan memberikan
burung bangau ini kepada masyarakat Jepang agar mereka mengetahui bahwa kehidupan
belum sepenuhnya berakhir. Masa depan masih menanti. Juga sebagai bukti bahwa
masih ada orang yang peduli dan memperhatikan mereka”.
Lalu, ia pun berkeliling
menjabat tangan kami semua sambil tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih
dengan diiringi oleh Satrio. Wajahnya sudah terlihat cerah.
“Terima
kasih atas bantuannya… Kalau ada waktu saya pasti akan berkunjung kemari lagi.
Di Yogyakarta ini sangat menyenangkan”.
“Saya
menyadari satu hal, bahwa hidup harus tetap dilanjutkan, meskipun sesulit apa
pun. Saya yakin itu. Teman-teman saya yang lain pasti akan menyadari hal itu”.
Lalu, ia pun tersenyum.
Kami
yang berkumpul ikut tersenyum.
“Oh
iya Kak, boleh saya minta satu permohonan?”.
“Apa
itu?”. Giliran Kak Li ikut menyambung.
“Saya
ingin berfoto dengan teman-teman semua. Bagi saya, hari ini sangat istimewa
karena inilah pertama kalinya saya berkunjung ke Yogyakarta dan mempunyai teman
yang memiliki semangat yang tinggi”.
“Tentu saja” kata Kak Li.
Dan, dalam sekejap, sebuah perkumpulan terbentuk.
Saling merapatkan diri dan menampilkan pose yang berbeda-beda. Melihat itu
semua, aku tahu hari ini adalah hari yang terindah yang tidak akan terlupakan.