Kamis, 21 Juni 2012


Cerita rakyat Jepang adalah cerita dari folklore lisan yang lahir dan beredar di kalangan rakyat Jepang. Istilah yang digunakan di Jepang dalam literatur yang diterbitkan sesudah zaman Meiji hingga awal zaman Showa adalah minwa, mindan, atau ritan (cerita rakyat), kōhi (cerita yang ditulis di batu), densetsu (legenda), dōwa (cerita anak), otoginabashi (dongeng fantasi), dan mukashibanashi (cerita zaman dulu), dan sebagainya. Secara garis besar, cerita rakyat Jepang berdasarkan isi dan bentuk dibagi menjadi 3 kelompok: cerita zaman dulu (昔話, mukashibanshi?), legenda (伝説, densetsu?), dan cerita masyarakat (世間話, sekembanashi?).

Cerita zaman dulu

Lokasi cerita dan tokoh-tokoh dalam cerita bersifat fiktif, sedangkan waktu kejadian adalah masa lampau yang tidak dijelaskan secara pasti. Ciri khas adalah kata "mukashi" atau "mukashi, mukashi" (zaman dulu kala) yang digunakan untuk kalimat pembuka. Kalimat dalam cerita sering menggunakan kata "attasōna" atau "atta to sa" yang berarti "konon" atau "kabarnya menurut orang zaman dulu". Cerita sering diakhiri dengan kalimat "Dotto harai" yang berarti "Tamat" atau "Mereka bahagia selamanya".
Pencerita yang tidak memandang perlu untuk meyakinkan pendengarnya bahwa cerita yang disampaikannya benar-benar terjadi. Kebenaran cerita tidak diketahui pasti, tapi kemungkinan besar tidak pernah terjadi.
Beberapa judul cerita zaman dulu:

Legenda

Isi cerita umumnya tentang kepercayaan, dan peristiwa tentang asal-usul tempat, bangunan, kuil, desa, pohon, batu, mata air, gunung, atau bukit yang dipercaya orang sebagai pernah ada. Selain itu, isi cerita bisa berupa legenda sejarah, tokoh sejarah, asal-usul adat istiadat, dan hal-hal tabu. Tokoh, waktu, dan lokasi diceritakan dengan pasti.
Tokoh utama biasanya adalah tokoh sejarah yang benar-benar ada seperti Kobo Daishi, Minamoto no Yoshitsune, tokoh yang kalah perang dan melarikan diri untuk bersembunyi (ochūdo), atau golongan hantu (Yōkai) seperti oni, tengu, dan kappa.
Pencerita sedikitnya ingin pendengar percaya dengan cerita yang dituturkan, dan sebagian orang percaya bahwa cerita mengandung kebenaran. Beberapa judul legenda bisa digolongkan sebagai cerita zaman dulu:

Cerita masyarakat

Isi cerita berupa desas-desus tentang tokoh terkenal, keluarga, atau desa. Selain itu, cerita dapat berupa "kisah nyata" dari kejadian sehari-hari yang dialami sendiri oleh orang yang bercerita (misalnya pengalaman melihat hantu), cerita aneh, cerita lucu, atau cerita erotis. Cerita harus sudah dituturkan secara berulang-ulang, dan tidak termasuk gosip sewaktu mengobrol yang umumnya hanya diceritakan sekali.
Orang yang bercerita mengaku dirinya mengalami sendiri kejadian yang diceritakan, atau menuturkan kisah yang menurutnya benar-benar pernah terjadi. Selain orang yang bercerita, tokoh utama bisa berupa tetangga, sanak keluarga, atau kenalan. Legenda urban dapat disebut cerita masyakarat zaman modern. Sumber dari cerita mulut ke mulut biasanya pengelana yang bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain, atau orang desa yang bekerja di kota.
Cerita jenis ini tidak memiliki judul yang baku, dan bisa berupa apa saja, seperti pengalaman ditipu kitsune, atau cerita hantu Hanako di kamar kecil sekolah.

Gunung Kachi-kachi

Gunung Kachi-kachi (かちかち山 ,Kachi-kachi yama?) adalah cerita rakyat Jepang tentang kelinci yang menghukum tanuki karena perbuatannya membunuh nenek teman kelinci. Kata "kachi-kachi" merupakan onomatope dari bunyi beradunya batu api yang menurut pendengaran orang Jepang berbunyi "kachi-kachi". Cerita versi aslinya dianggap terlalu kejam, sehingga beredar versi cerita yang lebih halus. Akhir cerita juga sering diganti dengan kelinci menolong tanuki yang hampir tenggelam dan hidup rukun bersama-sama.

Naskah asli

Versi asli cerita ini awalnya hanya mengisahkan tanuki sebagai bulan-bulanan balas dendam kelinci. Perbuatan jahat tanuki baru ditambahkan sebagai bagian awal cerita di zaman Edo. Maksudnya sebagai pembenaran atas perbuatan balas dendam kelinci yang dipindahkan ke bagian tengah hingga akhir cerita. Orang di zaman Edo sangat menyukai cerita seperti ini karena mengandung ajaran moral mengenai kesetiaan dan pihak yang jahat pantas dihukum.

Jalan cerita

Di zaman dulu hidup sepasang kakek dan nenek. Setiap kali kakek bekerja di ladang, tanuki datang mengganggu dengan bernyanyi-nyanyi. Lirik lagu yang dinyanyikan tanuki berisi kutukan agar panen gagal. Bukan cuma itu, tanuki juga menggali dan memakan bibit ubi yang ditanam kakek di ladang. Kakek sangat marah dan memasang perangkap. Tanuki masuk perangkap, diikat, dan dibawa pulang. Setelah diletakkan di dapur, kakek kembali ke ladang. Nenek yang menjumpai tanuki di dapur setuju untuk melepasnya, karena sudah dibohongi tanuki yang berjanji membantu membereskan rumah. Setelah terlepas, tanuki malah memukuli nenek dan membunuhnya. Daging si nenek dimasak tanuki menjadi sup. Kepulangan kakek dari ladang disambut tanuki yang sudah berubah wujud menjadi si nenek. Kakek memakan sup yang disuguhkan "nenek" dengan enaknya. Setelah sup habis dimakan, "nenek" kembali berubah wujud menjadi tanuki dan menceritakan segalanya. Sambil tertawa-tawa, tanuki pulang ke gunung.
Kelinci sahabat si kakek mendengar peristiwa ini dan memutuskan untuk membalas dendam. Tanuki kebetulan kenal dengan kelinci dan percaya saja dengan ajakan kelinci untuk mengumpulkan kayu bakar dengan imbalan uang. Setelah ranting kering terkumpul, Tanuki berjalan di muka sambil memanggul ikatan ranting kering. Kelinci mengikuti dari belakang karena ia ingin membakar ranting kering di punggung tanuki. Tanuki bisa mendengar suara "crek-crek" dari dua buah batu api yang dibentur-benturkan kelinci, tapi pandangannya terhalang ranting kering yang sedang dipanggulnya. "Bunyi apa itu 'crek-crek'?" tanya tanuki. Kelinci menjawab, "Oh, itu suara burung Crek-crek dari Gunung Crek-crek yang ada di sebelah sana."
Setelah berhasil membakar punggung tanuki, kelinci menjenguk tanuki yang sedang sakit luka bakar. Tanuki diberi mustard yang menurut kelinci adalah salep obat luka bakar. Mustard yang dioleskan pada luka bakar di punggung tanuki makin membuat tanuki kesakitan.
Di akhir cerita, tanuki diajak kelinci pergi memancing di danau. Perahu yang dinaiki kelinci dibuat dari kayu, tapi tanuki diberi perahu yang dibuat dari lumpur. Terkena air, perahu lumpur menjadi lunak dan tenggelam. Tanuki berenang sekuat tenaga ke tepian, tapi dipukuli kelinci dengan dayung dan mati tenggelam.

Issun Bōshi

Ilustrasi cerita Issun Bōshi dalam Otogizōshi
Issun Bōshi (一寸法師 ?, Biksu Tiga Sentimeter) adalah cerita rakyat Jepang tentang pendekar berukuran tubuh tiga sentimeter. Senjatanya berupa katana dari sebatang jarum, sedangkan perahunya adalah mangkuk dari kayu yang didayung dengan sumpit. Cerita Issun Bōshi yang umum dikenal orang berasal dari buku cerita bergambar Otogizōshi.
Tahun penulisan cerita Issun Bōshi tidak diketahui, namun diperkirakan berasal dari paruh kedua zaman Muromachi. Berdasarkan ukuran fisik Issun Bōshi yang sangat kecil, kisah mitologi Jepang tentang Sukunahikona diperkirakan menjadi sumber bagi cerita ini.

Jalan cerita

Menurut cerita Issun Bōshi yang umum diketahui orang, pasangan suami istri lanjut usia yang tidak punya anak memohon kepada Sumiyoshi no Kami agar diberi anak. Permintaan mereka dikabulkan, dan lahir seorang anak yang tinggi tubuhnya hanya 1 sun (ukuran panjang yang setara dengan 3 cm). Anak itu ternyata tidak mau besar-besar, dan tingginya tetap 3 cm sehingga diberi nama Issun Bōshi yang berarti "biksu satu sun".
Pada suatu hari, Issun Bōshi ingin menjadi samurai. Ia pergi ke Kyoto membawa pedangnya berupa sebatang jarum, dan berlayar dengan perahu dari mangkuk kayu yang didayung dengan sebilah sumpit. Di Kyoto, ia diterima bekerja oleh sebuah keluarga yang tinggal di rumah besar dan mewah. Ketika putri dari keluarga tersebut ingin pergi ke kuil, Oni bermaksud menculiknya. Issun Bōshi berkelahi dengan Oni untuk melindungi sang putri. Oni menelan tubuh Issun Bōshi. Bagian dalam perut Oni ditusuk-tusuk oleh Issun Bōshi. Oni yang merasa kesakitan meminta Issun Bōshi untuk berhenti menusuk-nusuknya. Oni menyerah dan memuntahkan kembali Issun Bōshi.
Oni melarikan diri ke gunung setelah meninggalkan sebuah palu ajaib. Palu itu disebut Uchide no Kozuchi yang bisa mengabulkan permintaan atau mengeluarkan uang bila diayunkan. Issun Bōshi menggunakan palu ajaib untuk mengubah tubuhnya menjadi seukuran laki-laki dewasa. Issun Bōshi menikahi sang putri dan hidup bahagia selamanya. Mereka berdua bisa mendapat makanan enak dan uang berlimpah hanya dengan mengayunkan palu ajaib.
Cerita asli Issun Bōshi dalam Otogizōshi dikisahkan sedikit berbeda:
  • Pasangan suami istri lanjut usia merasa ketakutan setelah badan Issun Bōshi tidak juga menjadi besar, dan Issun Bōshi meninggalkan rumah orang tuanya.
  • Di Kyoto, Issun Bōshi tinggal di rumah pejabat saishō (kanselir)
  • Issun Bōshi jatuh cinta pada pandangan pertama dengan anak perempuan dari keluarga tempatnya bekerja. Ia ingin menikahinya tapi keinginannya tidak tercapai karena tubuhnya kecil. Issun Bōshi menyusun sebuah rencana. Beras persembahan diambilnya dari altar, dan ditempelkannya di bibir sang putri. Sesudah itu, ia pura-pura menangis. Sambil membawa kantong beras, ia melapor kepada sang majikan (ayah sang putri) bahwa beras miliknya dicuri sang putri. Ayah sang putri begitu marah dan hendak membunuh putrinya. Issun Bōshi mencegahnya, dan mengajak sang putri untuk pergi jauh dari rumah.
  • Perahu yang ditumpangi Issun Bōshi bersama sang putri terbawa angin hingga terdampar di pulau yang dihuni Oni. Issun Bōshi ditelan Oni, tapi tidak mati karena badannya kecil. Ia bisa keluar-masuk dari mata Oni sehingga Oni menjadi takut. Palu ajaib yang dibawanya ditinggal, dan Oni pergi melarikan diri.
  • Berita tentang Issun Bōshi tersebar luas. Ia dipanggil ke istana, dan kaisar mengangkatnya sebagai pejabat tinggi.


Kintarō

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Kintaro menunggang ikan koi, lukisan karya Tsukioka Yoshitoshi
Kintaro (金太郎 ,Kintarō?) adalah tokoh cerita rakyat Jepang berupa anak laki-laki bertenaga superkuat. Ia digambarkan sebagai anak laki-laki sehat yang memakai rompi merah bertuliskan aksara kanji (emas). Di tangannya, Kintaro membawa kapak (masakari) yang disandarkan ke bahu. Ia juga kadang-kadang digambarkan sedang menunggang beruang.
Cerita Kintaro dikaitkan dengan perayaan hari anak laki-laki di Jepang. Kintaro dijadikan tema boneka bulan lima (gogatsu ningyō) yang dipajang untuk merayakan Hari Anak-anak. Orang tua yang memajang boneka Kintaro berharap anak laki-lakinya tumbuh sehat, kuat, dan berani seperti Kintaro. Selain itu, Kintaro sering digambarkan menunggang ikan koi pada koinobori.
Cerita Kintaro konon berasal dari kisah masa kecil seorang samurai bernama Sakata Kintoki (坂田公時 atau 坂田金時 ?) dari zaman Heian. Menurut legenda, ibunya adalah seorang Yama-uba (wanita dari gunung, atau yamamba) yang hamil akibat perbuatan dewa petir Raijin. Kisah lain mengatakan, ibunya melahirkan bayi Kintaro dari hasil hubungannya dengan seekor naga merah.

Legenda

Kintaro bersama ibunya, lukisan karya Kitagawa Utamaro
Menurut catatan Kuil Kintaro di kota Oyama, Shizuoka, Kintaro konon lahir bulan 5 tahun 965. Ibunya bernama Yaegiri, putri dari ahli ukir bernama Jūbei yang bekerja di Kyoto. Kintaro adalah anaknya dengan pekerja istana bernama Sakata Kurando. Setelah mengandung, Yaegiri pulang ke kampung halaman untuk melahirkan Kintaro. Namun setelah itu, Yaegiri tidak lagi kembali ke Kyoto karena ayah Kintaro sudah meninggal dunia.
Kintaro dibesarkan ibunya di kampung halamannya di Gunung Ashigara. Kintaro tumbuh sebagai anak yang kuat, namun ramah dan berbakti kepada ibunya. Setelah besar, Kintaro bergulat sumo melawan beruang di Gunung Ashigara.
Kintaro bertemu dengan Minamoto no Yorimitsu di puncak Gunung Ashigara pada 28 April 976. Yorimitsu menjadikan Kintaro sebagai pengikutnya setelah mengetahui kekuatan fisik Kintaro yang luar biasa. Setelah namanya diganti menjadi Sakata Kintoki, ia bertugas di Kyoto, dan menjadi salah satu dari 4 pengawal Yorimitsu yang disebut kelompok Shitennō. Ketiga rekannya yang lain adalah Watanabe no Tsuna, Urabe no Suetake, dan Usui Sadamitsu. Kelompok Shitennō disebut dalam literatur klasik Konjaku Monogatari yang terbit sekitar 100 tahun setelah wafatnya Minamoto no Yorimitsu. Ketiga rekannya bisa dipastikan memang benar pernah ada, tapi Sakata Kintoki tidak pernah bisa dibuktikan keberadaannya.[1]
Pada 28 April 990, Kintoki berhasil mengusir oni bernama Shuten Dōji yang tinggal di Gunung Ōe, Provinsi Tamba (sekarang kota Fukuchiyama, Prefektur Kyoto). Shuten Dōji perlu disingkirkan karena masuk ke kota membuat kekacauan. Sewaktu menghadapi Shuten Dōji, Yorimitsu bersama keempat pengawalnya (termasuk Kintoki) menyamar sebagai biksu Yamabushi. Shuten Dōji ditaklukkan dengan sake yang dicampur obat tidur.
Pada 11 Januari 1012, Sakata Kintoki, 55 tahun, meninggal dunia di Mimasaka (sekarang kota Shōō, Prefektur Okayama) akibat panas tinggi. Pada waktu itu, Kintoki sedang dalam perjalanan menuju Kyushu untuk menumpas pemberontak. Penduduk setempat menjadikannya panutan, dan mendirikan sebuah kuil untuknya (sekarang disebut Kuil Kurigara).


Kitsune

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ini adalah halaman drafTerkini (belum ditinjau)
Langsung ke: navigasi, cari
Pangeran Hanzoku di India sedang diserang rubah berekor sembilan (lukisan ukiyo-e Utagawa Kuniyoshi dari abad ke-19)
Kitsune (?)(info dengarkan adalah sebutan untuk binatang rubah dalam bahasa Jepang. Dalam cerita rakyat Jepang, rubah sering ditampilkan dalam berbagai cerita sebagai makhluk cerdas dengan kemampuan sihirnya yang semakin sempurna sejalan dengan semakin bijak dan semakin tua rubah tersebut. Selain itu, rubah mampu berubah bentuk menjadi manusia. Dalam legenda, rubah sering diceritakan sebagai penjaga yang setia, teman, kekasih, atau istri, walaupun sering terdapat kisah rubah menipu manusia.
Di zaman Jepang kuno, rubah dan manusia hidup saling berdekatan sehingga legenda tentang kitsune muncul dari persahabatan antara manusia dan rubah. Dalam kepercayaan Shinto, kitsune disebut Inari yang bertugas sebagai pembawa pesan dari Kami. Semakin banyak ekor yang dimiliki kitsune (kitsune bisa memiliki sampai 9 ekor), maka semakin tua, semakin bijak, dan semakin kuat pula kitsune tersebut. Sebagian orang memberi persembahan untuk kitsune karena dianggap memiliki kekuatan gaib.

Asal-usul

Rubah berekor sembilan (huli jing) yang mirip dengan kitsune dalam cerita rakyat Tiongkok.
Mitos kitsune sering menjadi bahan perdebatan, karena seluruhnya mungkin berasal dari sumber asing atau bisa juga merupakan konsep asli Jepang yang berkembang di abad ke-5 SM. Sebagian mitos tentang rubah di Jepang bisa ditelusur hingga ke cerita rakyat Tiongkok, Korea, atau India. Cerita paling tua tentang kitsune berasal dari Konjaku Monogatari yang berisi koleksi cerita Jepang, India, dan Tiongkok yang berasal dari abad ke-11.[1] Cerita rakyat Tiongkok mengisahkan makhluk huli jing (arwah rubah) yang mirip kitsune dan bisa memiliki ekor hingga sembilan. Di Korea, makhluk yang disebut kumiho (rubah berekor sembilan) merupakan makhluk mistik yang telah berumur lebih dari seribu tahun. Rubah di Tiongkok dan Korea digambarkan berbeda dengan rubah di Jepang. Tidak seperti di Jepang, rubah kumiho di Korea selalu digambarkan sebagai makhluk jahat. Walaupun demikian, ilmuwan seperti Ugo A. Casal berpendapat bahwa persamaan dalam cerita tentang rubah menunjukkan bahwa mitos kitsune berasal kitab India seperti Hitopadesha yang menyebar ke Tiongkok dan Korea, hingga akhirnya sampai ke Jepang.[2]
Sebaliknya, ahli cerita rakyat Jepang, Nozaki Kiyoshi, berargumentasi bahwa kitsune sudah dianggap sebagai sahabat orang Jepang sejak abad ke-4, dan unsur-unsur yang diimpor dari Tiongkok dan Korea hanyalah sifat-sifat jelek kitsune.[3] Nozaki menyatakan bahwa dalam naskah Nihon Ryakki asal abad ke-16, terdapat cerita tentang rubah dan manusia yang hidup berdampingan di zaman kuno Jepang, sehingga menurut Nozaki merupakan latar belakang timbulnya legenda asli Jepang tentang kitsune.[4] Peneliti Inari bernama Karen Smyers berpendapat bahwa ide rubah sebagai penggoda manusia, serta hubungan mitos rubah dengan agama Buddha diperkenalkan ke dalam cerita rakyat Jepang melalui cerita serupa asal Tiongkok, namun Smyers mengatakan beberapa cerita berisi unsur-unsur cerita yang khas Jepang.[5]

Etimologi

Rubah Hokkaido sedang tidur di atas salju. Di Jepang terdapat dua subspesies rubah merah: rubah Hokkaido (Vulpes vulpes schrencki), dan rubah merah Jepang (Vulpes vulpes japonica).
Menurut Nozaki, kata "kitsune" berasal dari onomatope.[4] Kata "kitsune" berasal dari suara salakan rubah yang menurut pendengaran orang Jepang berbunyi "kitsu", sedangkan akhiran "ne" digunakan untuk menunjukkan rasa kasih sayang. Asal-usul kata kitsune juga digunakan Nozaki untuk menunjukkan bukti lebih lanjut bahwa kisah rubah baik hati dalam cerita rakyat Jepang adalah produk dalam negeri dan bukan kisah impor.[3] Bunyi "kitsu" sebagai suara rubah menyalak sudah tidak dikenal orang di zaman sekarang. Dalam bahasa Jepang modern, suara rubah ditulis sebagai "kon kon" atau "gon gon".
Asal-usul nama "kitsune" dikisahkan dalam dongeng tertua yang hingga sekarang masih sering diceritakan orang, tapi mengandung penjelasan etimologi yang sekarang dianggap tidak benar.[6] Berbeda dengan sebagian besar dongeng yang menceritakan kitsune bisa berubah wujud menjadi wanita dan menikah dengan manusia, dongeng berikut ini tidak berakhir tragis:[7][8]
Pria bernama Ono asal Mino (menurut legenda kuno Jepang tahun 545), menghabiskan musim demi musim berkhayal tentang wanita cantik yang sesuai dengan seleranya. Di suatu senja, Ono bertemu dengan wanita idealnya di padang rumput yang luas, dan mereka berdua akhirnya menikah. Bersamaan dengan kelahiran putra pertama mereka, anjing yang dipelihara Ono juga melahirkan. Anak anjing yang dilahirkan tumbuh sebagai anjing yang semakin hari semakin galak terhadap istri Ono. Permohonan sang istri untuk membunuh anjing galak tersebut ditolak Ono. Pada akhirnya di suatu hari, si anjing galak tersebut menyerang istri Ono dengan ganas. Istri Ono begitu ketakutan hingga berubah bentuk menjadi rubah, meloncat pagar dan kabur.
"Istriku, kau mungkin seekor rubah," begitu Ono memanggil-manggil istrinya agar pulang, "tapi kau tetap ibu dari anakku dan aku cinta padamu. Pulanglah bila kau berkenan, aku selalu menunggumu."
Sang istri akhirnya pulang ke rumah di setiap senja, dan tidur di pelukan Ono.[6]
Istilah "kitsune" merupakan sebutan untuk siluman rubah yang pulang ke rumah suami sebagai wanita di senja hari, tapi pergi di pagi hari sebagai rubah. Dalam bahasa Jepang kuna, kata "kitsu-ne" berarti "datang dan tidur", sedangkan kata "ki-tsune" berarti "selalu datang".[8]

Deskripsi

Patung kitsune di kuil Inari dekat Todaiji, Nara
Kitsune dipercaya memiliki kecerdasan super, kekuatan sihir, dan panjang umur. Sebagai sejenis yōkai atau makhluk halus, "kitsune" sering dijelaskan sebagai "arwah rubah" tapi bukan hantu, dan bentuk fisiknya tidak berbeda dengan rubah biasa. Semua rubah yang panjang umur juga dipercaya memiliki kemampuan supranatural.[5]
Kitsune digolongkan menjadi dua kelompok besar. Kelompok zenko yang terdiri dari rubah baik hati yang bersifat kedewaan (sering disebut rubah Inari), dan kelompok rubah padang rumput (yako) yang suka mempermainkan manusia dan bahkan bersifat jahat[9] Tradisi berbagai daerah di Jepang juga masih mengelompokkan kitsune lebih jauh lagi[10] Arwah rubah tak kasat mata yang disebut ninko misalnya, hanya bisa dilihat manusia yang sedang kerasukan ninko. Tradisi lain mengelompokkan kitsune ke dalam salah satu dari 13 jenis kitsune berdasarkan kemampuan supranatural yang dimiliki.[11][12]
Secara fisik, kitsune dipercaya bisa memiliki hingga 9 ekor.[13] Jumlah ekor yang semakin banyak biasanya menunjukkan rubah yang makin tua tapi semakin kuat. Beberapa cerita rakyat bahkan mengatakan ekor rubah hanya tumbuh kalau rubah tersebut sudah berumur 1.000 tahun[14]
Dalam cerita rakyat, kitsune sering digambarkan berekor satu, lima, tujuh, atau sembilan.[15] Ketika kitsune mendapatkan ekornya yang ke-9, bulu kitsune menjadi berwarna putih atau emas.[13] Kitsune jenis ini disebut kyūbi no kitsune (kitsune berekor sembilan) dan memiliki kemampuan untuk mendengar dan melihat segala peristiwa yang terjadi di dunia. Dongeng lain menggambarkan mereka sebagai makhluk super bijak dan serba tahu.[16]
Kartu monster (obake karuta) dari awal abad ke-19 yang bergambar kitsune
Kitsune bisa berubah wujud menjadi manusia dan kemampuan ini baru didapat setelah kitsune mencapai usia tertentu (biasanya 100 tahun), walaupun beberapa cerita mengatakan 50 tahun.[14] Siluman rubah harus meletakkan sejenis tanaman alang-alang yang tumbuh di dekat air, daun yang lebar, atau tengkorak di atas kepalanya sebagai syarat perubahan wujud.[17] Rubah bisa berubah wujud menjadi wanita cantik, anak perempuan, atau lelaki tua. Perubahan wujud ini tidak dibatasi umur atau jenis kelamin rubah, [5] dan kitsune dapat menjadi kembaran dari sosok orang tertentu.[18] Rubah sangat terkenal dengan kemampuan berubah wujud sebagai wanita cantik. Di abad pertengahan, orang Jepang percaya kalau ada wanita yang sedang berada sendirian di saat senja atau malam hari kemungkinan adalah seekor rubah.[19]
Dalam beberapa cerita, kitsune memiliki kesulitan dalam menyembunyikan ekornya ketika sedang menyamar menjadi manusia. Kitsune sering ketahuan sedang mencari-cari ekornya, mungkin kalau rubah sedang mabuk atau kurang hati-hati. Kelemahan ini bisa digunakan untuk memastikan manusia yang sedang dilihat adalah siluman kitsune.[20]
Berbagai variasi cerita mengisahkan kitsune sebagai makhluk yang masih mempertahankan ciri-ciri khas rubah, seperti tubuh yang bermantelkan bulu-bulu halus, bayangan siluman kitsune yang sama seperti bayangan rubah, atau siluman kitsune yang terlihat sebagai rubah ketika sedang berkaca.[21] Istilah "kitsune-gao" (muka kitsune) digunakan di Jepang untuk menyebut wanita yang berwajah sempit, mata yang berdekatan, alis mata yang tipis, dan tulang pipi yang tinggi. Di zaman dulu, wanita bermuka kitsune-gao dianggap cantik, dan dipercaya sebagai rubah yang sedang berubah wujud sebagai wanita dalam beberapa dongeng.[22] Kitsune takut dan sangat benci pada anjing, bahkan ketika sedang berubah wujud sebagai manusia. Sebagian kitsune bahkan gemetaran kalau melihat anjing, kembali berubah wujud menjadi rubah dan lari pontang-panting. Orang yang taat dan berbakti kabarnya gampang mengenali siluman rubah.[23]
Salah satu cerita rakyat mengisahkan ketidaksempurnaan perubahan wujud seekor kitsune yang sedang menjadi manusia bernama Koan. Menurut cerita, Koan yang bijak dan memiliki kekuatan sihir sedang mau mandi di rumah salah seorang muridnya. Air mandi ternyata dimasak terlalu panas, dan kaki Koan melepuh ketika masuk ke bak mandi. "Koan yang sedang kesakitan, lari keluar dari kamar mandi telanjang. Orang-orang di rumah yang melihatnya terkejut. Sekujur badan Koan ternyata ditumbuhi bulu seperti mantel, berikut ekor dari seekor rubah. Koan lalu berubah wujud di hadapan murid-muridnya menjadi seekor rubah tua dan melarikan diri."[24]
Kemampuan supranatural lain yang dimiliki kitsune, antara lain: mulut dan ekor yang bisa mengeluarkan api atau petir (dikenal sebagai kitsune-bi yang secara harafiah berarti "api kitsune"), membuat manusia kerasukan, memberi pesan di dalam mimpi orang agar melakukan sesuatu, terbang, tak kasat mata, dan menciptakan ilusi yang begitu mendetil hingga tidak bisa dibedakan dari kenyataan.[21][17] Pada beberapa cerita, kitsune bahkan memiliki kekuatan yang lebih besar lagi, sampai bisa mengubah ruang dan waktu, membuat orang menjadi marah, atau berubah menjadi bentuk-bentuk yang fantastis, seperti pohon yang sangat tinggi atau sebagai bulan kedua di langit.[25][26] Kitsune lainnya memiliki ciri-ciri yang mengingatkan orang pada vampir atau succubus dan memangsa roh manusia, biasanya melalui kontak seks.[27]


Kitsunetsuki

Inari dan arwah rubah membantu pandai besi Munechika sewaktu membuat pedang Ko-kitsune-maru (Rubah Kecil) di akhir abad ke-10 (tema drama noh Sanjo Kokaji)
Istilah kitsunetsuki (狐憑き atau 狐付き?) secara harafiah berarti kerasukan kitsune. Korban biasanya wanita muda yang kemasukan kitsune dari bagian kuku jari atau melalui bagian buah dada.[28] Pada beberapa kasus, wajah korban konon berubah sedemikian rupa hingga menyerupai rubah. Menurut tradisi di Jepang, kalau orang Jepang yang buta huruf sedang kerasukan kitsune, orang tersebut bisa melek huruf untuk sementara waktu.[29]
Ahli cerita rakyat Lafcadio Hearn mengisahkan peristiwa kerasukan kitsune dalam volume pertama buku karyanya Glimpses of Unfamiliar Japan:
Aneh memang kegilaan orang yang dirasuki iblis rubah. Kadang-kadang mereka berlarian telanjang sambil berteriak-teriak di jalanan. Kadang-kadang mereka tidur-tiduran dengan mulut berbuih dan menyalak seperti rubah. Dan di bagian tubuh orang yang kerasukan, terlihat benjolan yang bergerak-gerak di bawah kulit yang kelihatannya memiliki nyawa sendiri. Bila ditusuk dengan jarum, benjolan tersebut langsung berpindah ke tempat lain. Benjolan tidak bisa dicengkeram, lepas bila ditekan dengan tangan yang kuat dan lolos dari jari-jari. Orang yang sedang kerasukan kabarnya bisa berbicara dan menulis bahasa yang mereka tidak kuasai sebelum kerasukan. Mereka hanya memakan makanan yang dipercaya disenangi rubah, seperti — tahu, aburagé, azukimeshi, dan lain lain. Mereka juga makan banyak sekali dan membela diri bahwa yang sedang makan itu bukan mereka, tapi arwah rubah.[30]
Lafcadio Hearn menambahkan bahwa orang yang sudah terbebas dari kerasukan kitsune bakal tidak doyan lagi makan tahu aburage, azukimeshi, atau makanan lain yang digemari rubah.
Upacara mengusir setan dilakukan di kuil-kuil Inari untuk membujuk kitsune agar mau keluar dari tubuh orang yang sedang dimasukinya.[31] Di zaman dulu, kalau usaha lemah lembut membujuk rubah tidak berhasil atau pendeta kebetulan tidak ada, korban kitsunetsuki dipukuli atau dibakar sampai terluka parah agar kitsune mau keluar. Kalau ada seorang anggota keluarga yang kerasukan, seluruh anggota keluarga korban diasingkan oleh masyarakat.[30]
Di Jepang, kerasukan kitsune (kitsunetsuki) sudah dianggap sebagai penyakit sejak zaman Heian dan merupakan diagnosis umum untuk gejala penyakit mental hingga di awal abad ke-20.[32][33] Kerasukan digunakan sebagai penjelasan kelakuan abnormal dari penderita. Di akhir abad ke-19, Dr. Shunichi Shimamura mencatat beberapa gejala penyakit yang disebabkan demam sering dianggap sebagai kitsunetsuki.[34]
Dalam istilah kedokteran, kerasukan kitsune merupakan gejala penyakit mental yang khas dalam kebudayaan Jepang. Pasien percaya dirinya sedang dirasuki rubah.[35] Gejala kerasukan kitsune di antaranya selalu ingin makan nasi atau kacang azuki, bengong, gelisah, dan menghindari tatapan mata orang lain. Penyakit kerasukan kitsune mirip tapi berbeda jauh dari lycanthropy (manusia serigala).[36]


Hoshi no tama

Kitsune yang memancarkan cahaya kitsune-bi sedang berkumpul di dekat kota Edo (lukisan ukiyo-e karya Hiroshige)
Penggambaran kitsune dan korbannya sering mengikutsertakan benda putih yang disebut "bola bintang" (hoshi no tama) berbentuk bulat atau seperti bawang. Dalam dongeng, permata hoshi no tama berselimutkan api disebut kitsune-bi (api rubah).[37] Di dalam sebagian cerita, hoshi no tama digambarkan sebagai mutiara atau permata yang memiliki kekuatan sihir.[38] Ketika sedang tidak berubah wujud menjadi manusia atau merasuki manusia, kitsune menggigit hoshi no tama atau membawanya di bagian ekor.[14] Permata merupakan simbol yang lazim ditemukan pada Inari, dan rubah suci Inari sangat jarang digambarkan tidak memiliki permata.[39]
Sebagian orang percaya, sebagian kekuatan kitsune berada di dalam permata "bola bintang" ketika kitsune berubah wujud. Cerita lain menggambarkan mutiara sebagai perlambang nyawa kitsune. Kitsune akan mati jika terlalu lama terpisah dari mutiaranya. Orang yang berhasil mengambil bola kitsune, kabarnya bisa menukar bola tersebut dengan kekuatan sihir yang dimiliki kitsune.[40] Dalam dongeng abad ke-12, seorang laki-laki berhasil mengambil bola kitsune dan mendapat imbalan ketika mengembalikannya:
"Kau terkutuk!" maki sang rubah. "Kembalikan bolaku!" Tapi laki-laki itu mengabaikan permohonan kitsune, hingga kitsune berkata sambil menangis, "Baiklah, kau boleh ambil bolaku, tapi bola tersebut bakal tidak ada gunanya buat kau, kalau kau tidak tahu cara menggunakannya. Bagiku, bola itu adalah segala-galanya. Aku peringatkan, kalau kau tidak mau mengembalikannya, kau bakalan jadi musuhku selamanya. Tapi bila kau mau mengembalikannya, aku akan terus mendampingimu bagaikan dewa pelindung."
Nyawa laki-laki tersebut kemudian diselamatkan sang rubah yang membantunya melawan gerombolan bandit.[41]

Penggambaran

Pelayan Inari

Taira no Kiyomori bertemu dengan Inari. Lukisan ukiyo-e karya Utagawa Kuniyoshi.
Dalam kepercayaan Shinto, kitsune sering dikaitkan dengan Inari.[42] Hubungan antara Inari dan kitsune makin memperkuat kedudukan kitsune dalam dunia supranatural.[43] Kitsune mulanya merupakan pembawa pesan yang bertugas bagi dewa Inari, tapi garis pemisah antara Inari dan kitsune makin kabur sehingga Inari digambarkan sebagai seekor rubah. Kuil Shinto yang memuliakan Inari disebut kuil Inari, tempat orang memberikan sesajen[10] Kitsune kabarnya suka sekali makan potongan tahu goreng aburage. Kitsune makan aburage yang biasa diletakkan di atas masakan mi Jepang yang disebut Kitsune Udon dan Kitsune Soba. Sejenis sushi yang dimasukkan di dalam kantong dari aburage disebut Inari-zushi.[44] Ahli cerita rakyat sering berspekulasi tentang keberadaan kepercayaan rubah yang lain, karena rubah sejak dulu sudah dipuja sebagai Kami.[45]
Kitsune di kuil Inari berwarna putih yang merupakan warna pertanda baik.[10] Mereka dipercaya memiliki kekuatan untuk menangkal iblis, dan kadang-kadang bertugas sebagai pelindung arwah. Selain berjaga-jaga di kuil Inari, kitsune diminta agar melindungi penduduk setempat dari rubah liar (''nogitsune) yang suka membuat keonaran. Sama seperti kitsune berwarna putih, kitsune berwarna hitam dan kitsune berekor sembilan juga dianggap pertanda baik.[20]
Menurut kepercayaan yang berasal dari feng shui, rubah memiliki kekuatan luar biasa melawan iblis, sehingga patung kitsune konon bisa mengusir hawa kimon atau energi yang mengalir arah timur laut. Kuil Inari seperti kuil Fushimi Inari di Kyoto sering memiliki koleksi patung kitsune yang banyak sekali.

Penipu

Patung kitsune dalam berbagai ukuran di Kuil Fushimi Inari, Kyoto
Kitsune sering digambarkan sebagai penipu dengan motif yang bervariasi, mulai dari sekadar ingin berbuat nakal hingga merugikan manusia. Kitsune dikisahkan senang mempermainkan samurai yang sombong, saudagar rakus, dan rakyat biasa yang suka pamer. Kitsune yang lebih kejam konon suka mengerjai pedagang miskin, petani, dan biksu yang saleh. Korban kitsune biasa laki-laki, sedangkan perempuan hanya bisa kerasukan kitsune.[19] Kitsune misalnya, dipercaya menggunakan bola api kitsune-bi sewaktu membantu pelancong yang tersesat.[46][47] Taktik lain kitsune adalah mengelabui korban dengan ilusi dan tipuan mata.[19] Kitsune memperdaya manusia dengan maksud merayu, mencuri makanan, memberi pelajaran untuk orang yang sombong, atau membalas dendam sesudah dicederai.
Permainan tradisional kitsune-ken merupakan salah satu jenis permainan Batu-Gunting-Kertas dengan tiga bentuk telapak tangan dan jari-jari yang melambangkan rubah, pemburu, dan kepala kampung. Pemburu kalah dari kepala kampung, dan sebaliknya pemburu menang atas rubah, tapi rubah bisa memperdaya kepala kampung.[48][49]
Kitsune digambarkan suka membuat onar ditambah reputasi suka membalas dendam. Akibatnya, orang berusaha mengungkap motif tersembunyi di balik tindakan rubah. Toyotomi Hideyoshi pernah menulis surat kepada Inari. Di dalam suratnya, Hideyoshi melaporkan keonaran yang dibuat salah seekor rubah terhadap para pelayan, dan memohon agar rubah-rubah diselidiki dan ditindaklanjuti. Kalau insiden ini tidak ditanggapi, Hideyoshi mengancam akan memburu semua rubah yang ada.[50]
Tamamo-no-Mae, kitsune yang sering ditampilkan dalam noh dan kyogen. Lukisan ukiyo-e karya Yoshitoshi.
Kitsune dikenal suka menepati janji dan berusaha keras untuk bisa membalas budi. Kitsune kadang-kadang membuat onar seperti yang dikisahkan sebuah cerita asal abad ke-12. Ancaman pemilik rumah untuk membinasakan semua rubah berhasil meyakinkan kawanan rubah untuk mengubah kelakuan. Kepala keluarga kawanan rubah hadir dalam mimpi pemilik rumah untuk mohon pengampunan dari pemilik rumah, sekaligus berjanji untuk berkelakuan baik dan membalas budi dengan menjadi pelindung keluarga.[51]
Sebagian kitsune menggunakan sihir untuk menguntungkan manusia yang dianggap teman atau majikan. Sebagai golongan Yōkai, ia tidak memiliki tata krama seperti manusia. Kitsune bisa mencuri uang dari rumah tetangga untuk diberikan kepada majikan, atau mencuri uang majikan sendiri. Di zaman dulu, pemilik rumah yang memelihara kitsune selalu dicurigai tetangga.[52]
Dalam cerita rakyat sering dikisahkan tentang pembayaran atas barang atau jasa yang dilakukan kitsune. Kitsune bisa menipu penglihatan orang yang menerima pembayaran dari kitsune dengan sihir. Emas, uang, atau batu permata yang diterima dari kitsune sebenarnya hanya kertas bekas, daun-daunan, cabang dan ranting, batu, atau benda-benda sejenis.[53][54] Hadiah yang benar-benar diberikan kitsune kepada manusia biasanya berupa benda-benda yang tak berwujud, seperti perlindungan, pengetahuan, dan umur panjang.[54]

Istri dan kekasih

Kuzunoha yang memiliki bayangan seekor rubah. Karakter populer dalam kabuki (lukisan ukiyo-e karya Utagawa Kuniyoshi)
Kitsune sering digambarkan sebagai wanita penggoda dalam cerita yang melibatkan laki-laki muda.[55] Walaupun kitsune berperan sebagai wanita penggoda, cerita biasanya bersifat romantis.[56] Dalam cerita, laki-laki sering menikahi wanita cantik yang merahasiakan bahwa dirinya adalah seekor rubah. Ketika rahasia terbongkar, sang istri terpaksa meninggalkan suami. Pada sebagian cerita, laki-laki yang menikahi siluman rubah bagaikan bangun dari mimpi, kebingungan, berada jauh dari rumah, dan harus kembali ke rumah yang ditinggalinya dulu dengan membawa malu.
Beberapa cerita mengisahkan siluman rubah yang dijadikan istri melahirkan anak manusia. Anak-anak yang dilahirkan memiliki kemampuan fisik dan bakat supranatural melebihi orang biasa. Bakat ini juga diturunkan ke anak cucu bila manusia keturunan rubah kembali melahirkan anak.[20] Seorang ahli kosmologi (onmyōji) Jepang bernama Abe no Seimei dikatakan memiliki kekuatan sihir luar biasa karena keturunan kitsune.[57]
Kitsune sering dikisahkan menikahi sesama kitsune. Dalam bahasa Jepang, hujan lebat yang turun tiba-tiba ketika langit sedang cerah (hujan panas) disebut kitsune no yomeiri atau "pernikahan kitsune". Istilah tersebut berasal dari legenda yang mengisahkan kondisi cuaca pada saat upacara pernikahan kitsune.[58] Peristiwa pernikahan kitsune dianggap sebagai pertanda baik, tapi kitsune akan marah bila hadir tamu yang tidak diundang.[59]

Cerita fiksi

Kitsune tampil dalam berbagai seni budaya Jepang. Sandiwara tradisional Jepang seperti noh, kyogen, bunraku, and kabuki sering mengisahkan legenda kitsune.[60][61] Begitu pula halnya dengan budaya kontemporer seperti manga dan permainan video. Pengarang fiksi dari Barat juga mulai menulis cerita yang diilhami legenda kitsune. Penggambaran kitsune menurut orang Barat biasanya tidak berbeda jauh dengan cerita asli kitsune.
Ibu Abe no Seimei yang bernama Kuzunoha merupakan tokoh kitsune yang dikenal luas dalam seni teater tradisional Jepang. Kuzunoha ditampilkan dalam cerita sandiwara bunraku dan kabuki Ashiya Dōman Ōuchi Kagami (Kaca di Ashiya Dōman and Ōuchi) yang terdiri dari lima bagian. Bagian ke-4 yang berjudul Kuzunoha atau Rubah dari Hutan Shinoda sering dipentaskan secara terpisah. Bagian ini menceritakan terbongkarnya rahasia Kuzunoha sebagai siluman rubah dan adegan saat harus meninggalkan suami dan anaknya.[62][63]
Tamamo-no-Mae adalah tokoh fiksi yang menjadi tema drama noh berjudul Sesshoseki (Batu Kematian), dan sandiwara kabuki/kyogen berjudul Tamamonomae (Penyihir Rubah yang Cantik). Tamamo-no-Mae berbuat banyak kejahatan di India, Tiongkok, dan Jepang, tapi rahasianya terbongkar dan tewas. Arwahnya menjadi sesshoseki (batu kematian). Arwah Tamamo-no-Mae akhirnya dibebaskan biksu bernama Gennō.[64][65][66]
Genkurō adalah seekor kitsune dikenal berbakti kepada orangtua. Dalam cerita bunraku dan kabuki berjudul Yoshitsune Sembon Zakura (Yoshitsune dan Seribu Pohon Sakura), kekasih Yoshitsune yang bernama Putri Shizuka memiliki tsuzumi (gendang kecil) yang dibuat dari kulit rubah orangtua Genkurō. Dalam penyamarannya sebagai Satō Tadanobu, Genkurō berhasil menyelamatkan Putri Shizuka dari Minamoto no Yoritomo. Namun identitas Genkurō sebagai siluman rubah terbongkar karena Satō Tadanobu yang asli muncul. Genkurō mengatakan suara kedua orangtuanya terdengar setiap kali gendang tsuzumi yang dimiliki Shizuka dipukul. Yoshitsune dan Shizuka akhirnya memberikan tsuzumi tersebut kepada Genkurō. Sebagai imbalannya, Genkurō memberi perlindungan sihir untuk Yoshitsune.[67][68][69]

Momotarō

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Momotarō dan teman-teman berkelahi melawan raksasa
Momotarō (桃太郎 ?) adalah cerita rakyat Jepang yang mengisahkan anak laki-laki super kuat bernama Momotarō yang pergi membasmi raksasa. Diberi nama Momotarō karena ia dilahirkan dari dalam buah persik (momo), sedangkan "Tarō" adalah nama yang umum bagi laki-laki di Jepang.
Dari nenek, Momotarō mendapat bekal kue kibidango. Di perjalanan, anjing, monyet, dan Burung Pegar ikut bergabung sebagai pengikut Momotarō karena diberi kue.

Ringkasan cerita

Di zaman dulu kala, hiduplah seorang kakek dan nenek yang tidak punya anak. Ketika nenek sedang mencuci di sungai, sebutir buah persik yang besar sekali datang dihanyutkan air dari hulu sungai. Buah persik itu dibawanya pulang ke rumah untuk dimakan bersama kakek. Dipotongnya buah persik itu, tapi dari dalamnya keluar seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Momotarō, dan dibesarkan kakek dan nenek seperti anak sendiri. Momotarō tumbuh sebagai anak yang kuat dan mengutarakan niatnya untuk membasmi raksasa. Pada waktu itu memang di desa sering muncul para raksasa yang menyusahkan orang-orang desa. Momotarō berangkat membasmi raksasa dengan membawa bekal kue kibidango. Di tengah perjalanan menuju pulau raksasa, Momotarō secara berturut-turut bertemu dengan anjing, monyet, dan burung pegar. Setelah menerima kue dari Momotarō, anjing, monyet, dan burung pegar mau menjadi pengikutnya. Di pulau raksasa, Momotarō bertarung melawan raksasa dengan dibantu anjing, monyet, dan burung pegar. Momotarō menang dan pulang membawa harta milik raksasa.


Musashibō Benkei

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Yoshitsune dan Benkei, lukisan ukiyo-e karya Yoshitoshi Tsukioka dari zaman Meiji
Musashibō Benkei (武蔵坊弁慶?) (? - 15 Juni 1189) atau populer dengan sebutan Benkei adalah seorang sōhei (pendekar biksu) di akhir zaman Heian. Benkei adalah seorang biksu di Gunung Hiei yang menggemari seni bela diri. Pengikut setia Minamoto no Yoshitsune setelah kalah berduel dengannya di atas Jembatan Gojō, Kyoto.
Kisah kehidupan Benkei sulit dibedakan antara kisah nyata dan fiksi. Tokoh Benkei sering sekali ditampilkan dalam folklor Jepang. Dalam seni bercerita tradisional Kōdan, Benkei dikisahkan sebagai biksu eksentrik dengan kekuatan tanpa tanding. Kronologi sejarah Keshogunan Kamakura (Azuma Kagami) mencatat tentang tokoh bernama Musashibō Benkei di tahun 1185, tapi kisah kehidupan yang sebenarnya tidak diketahui pasti. Tokoh Musashibō Benkei dulunya bahkan sempat dianggap sebagai tokoh fiksi. Dalam buku Heike Monogatari, pasangan Yoshitsune dan Benkei merupakan dua tokoh utama.


Perjalanan hidup

Benkei memiliki asal-usul keluarga yang tidak jelas, namun sering disebut kelahiran Provinsi Kii. Dalam brosur pariwisata, kota Tanabe di Prefektur Wakayama sering disebut-sebut sebagai kota kelahiran Benkei. Ia dikisahkan sebagai putra dari pendeta Buddha di kuil Shinto bernama Tanzō yang menjabat penguasa wilayah sekaligus panglima angkatan laut Kumano. Dalam kisah Gikeiki, ayah Benkei disebut bernama Benshō, sedangkan dalam Benkei Monogatari ayah Benkei bernama Benshin.
Benkei lahir sebagai anak luar nikah dari putri seorang pejabat Dainagon. Menurut Gikeiki, Benkei berada dalam kandungan ibunya selama 18 bulan, tapi menurut Benkei Monogatari, ia dikandung selama 3 tahun. Sewaktu baru dilahirkan, ia sudah memiliki penampilan fisik seperti anak berusia 2 atau 3 tahun. Panjang rambutnya sampai menutupi bahu, dengan semua gigi yang sudah tumbuh lengkap. Sewaktu masih kecil, ayahnya bermaksud membunuh Benkei yang dikira anak keturunan iblis. Perbuatan ini dicegah oleh bibinya yang lalu membesarkan Benkei di Kyoto, dan memberinya nama Oniwaka (anak jin).
Selanjutnya, Oniwaka dititipkan ke kuil di Gunung Hiei namun diusir karena gemar berbuat kekerasan. Setelah mencukur sendiri rambutnya hingga gundul, Oniwaka menyebut dirinya sebagai Musashibō Benkei. Sebagai Benkei, ia berkelana ke Shikoku hingga ke Provinsi Harima, dan berulang kali menimbulkan keonaran di sana. Di Harima, Benkei sempat membakar menara di kuil Shoshazan Engyō-ji.
Sesampainya di Kyoto, Benkei bercita-cita mengumpulkan 1.000 bilah pedang (Tachi). Pedang-pedang dirampasnya dengan cara menantang duel samurai yang kebetulan sedang lewat. Ketika bertemu dengan Yoshitsune yang sedang meniup seruling di atas Jembatan Gojō, Benkei sudah berhasil mengumpulkan 999 bilah pedang dan tinggal merampas satu bilah pedang lagi. Perhatian Benkei tertuju pada pedang bagus yang dibawa Yoshitsune, dan berusaha merampasnya lewat suatu pertarungan. Yoshitsune dengan lincah melompat-lompat di atas kisi-kisi jembatan untuk menghindari serangan Benkei. Pada akhirnya, Benkei justru berhasil ditaklukkan Yoshitsune. Sejak itu pula Benkei menjadi pengikut Yoshitsune yang setia, dan ikut bersama Yoshitsune dalam menghancurkan klan Taira. Kisah duel yang terkenal antara Yoshitsune dan Benkei di atas Jembatan Gojō merupakan cerita karangan orang, karena jembatan tersebut belum dibangun sewaktu Yoshitsune masih hidup. Menurut kisah Gikeiki, pertarungan terjadi di lingkungan kuil Kiyomizu-dera.
Sewaktu Yoshitsune bertikai dengan Yoritomo, Benkei mendampingi Yoshitsune melarikan diri ke Provinsi Ōshu untuk meminta perlindungan kepada Fujiwara no Hidehira. Benkei membela Yoshitsune yang diserang pasukan Fujiwara no Yasuhira dalam pertempuran di Koromogawa no tachi. Pertempuran berjalan tidak seimbang. Benkei menghadapi pasukan lawan yang jumlahnya lebih banyak dengan mengayun-ayunkan naginata. Namun akhirnya Benkei tewas dihujani anak panah. Peristiwa kematian Benkei dikenal sebagai "Benkei tewas berdiri" (Benkei no Tachi Ōjō) karena Benkei tewas sambil berdiri kaku. Kisah kesetiaan Benkei merupakan kisah karangan orang berdasarkan buku Gikeiki. Dalam kronologi sejarah Azuma no Kagami, Benkei menyertai Yoshitsune dan Yukiie sewaktu diusir dari Kyoto, tapi tidak ditemukan catatan lebih jauh mengenai diri Benkei.
Menurut legenda, Benkei dimakamkan di kota Hiraizumi, Prefektur Iwate.

 Noh dan kabuki

Kisah pelarian Benkei dan Yoshitsune sering diangkat sebagai naskah sarugaku, noh, dan kabuki. Di antara kisah yang paling terkenal adalah peristiwa di pos pemeriksaan Ataka yang terletak di Provinsi Kaga. Ketika itu, Benkei dan Yoshitsune sedang menyamar sebagai pendeta Yamabushi yang meminta sumbangan untuk kuil Tōdai-ji di Nara. Di pos pemeriksaan, Yoshitsune dan Benkei dihentikan penjaga bernama Togashi Saemon (Togashi Suke menurut Gikeiki). Saemon meminta Benkei membacakan Kanjinchō (daftar para pemberi sumbangan) yang dibawanya. Benkei tidak memiliki daftar nama pemberi sumbangan, tapi dengan lantang membacakan nama-nama penyumbang dari gulungan kertas yang sebenarnya kosong. Saemon tahu bahwa dirinya sedang dikelabui, tapi membiarkan mereka lewat karena kagum dengan kecerdasan Benkei. Sebagai pelengkap untuk meyakinkan penjaga, Yoshitsune bahkan sempat dipukuli Benkei dengan tongkat besi.
Kisah pelarian Benkei ke Jepang bagian barat juga diangkat sebagai naskah sarugaku yang berjudul Funa Benkei. Selain itu, Benkei tampil dalam naskah kabuki berjudul Yoshitsune Senbonzakura yang menceritakan kisah hidup Yoshitsune.

Oni (cerita rakyat)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Oni merah (bertanduk dua) bersama oni biru (bertanduk satu)
Oni ( ?) adalah makhluk kuat, jahat, dan menakutkan yang dipercaya memiliki kekuatan supranatural dalam kepercayaan Jepang. Ia datang dari dunia lain membawa bencana atau nasib baik. Kekuatan spiritual yang dimilikinya begitu menakutkan, dan dipercaya memiliki kekuatan baik sekaligus jahat, sehingga menjadi obyek pemujaan sekaligus dihindari kehadirannya.[1] Oni termasuk salah satu jenis yōkai.
Dalam bahasa Tionghoa, aksara hanzi untuk oni dibaca sebagai "guǐ" yang berarti arwah orang meninggal. Bagi orang Tionghoa, nama tersebut tabu untuk disebut-sebut. Di Jepang, aksara yang sama dibaca sebagai oni (iblis), mono (arwah yang berdiam), atau kami.[1]
Sejak zaman Heian, oni digambarkan sebagai laki-laki besar berambut gondrong dan keriting. Matanya besar menakutkan. Di kepalanya terdapat dua buah tanduk (oni merah) atau sebuah tanduk (oni biru). Mulutnya dipenuhi gigi yang bertaring, dan jarinya berkuku tajam. Pakaian hanya berupa sepotong cawat (fundoshi) dari kulit harimau. Senjata yang dibawanya disebut kanebō, berbentuk sebilah gada penuh duri-duri tajam.

Asal-usul

Penggambaran sosok oni didasarkan pada konsep budaya Tiongkok dan Onmyōdō yang menetapkan mata angin timur laut sebagai arah sial atau kimon (鬼門 ?) ("gerbang oni"). Mata angin timur laut berada di antara utara ("kerbau") dan timur ("harimau"), dan ditulis sebagai ushitora ( ,kerbau-harimau?). Kerbau memiliki tanduk sehingga oni digambarkan bertanduk. Gigi taring dan kuku tajam berasal gambaran sosok harimau, sehingga perlu diperjelas dengan memakai cawat dari kulit harimau. Dalam cerita rakyat, Momotaro membasmi oni dengan bantuan monyet, burung pegar (ayam), dan anjing. Semuanya adalah nama hewan yang dijadikan nama mata angin yang berlawanan dengan arah timur laut.
Shuten Dōji adalah oni yang kabarnya tinggal di Provinsi Tamba. Ia juga digambarkan memiliki tanduk dengan rambut merah di kepala yang tumbuh menjadi satu dengan kumis, janggut, cambang, dan alis. Tangan dan kakinya seperti tangan dan kaki beruang. Walaupun demikian, orang mulanya tidak tahu sosok oni yang sebenarnya. Pada mulanya, oni adalah sosok yang tidak terlihat, dan berasal dari kata "onu" ( ?, menyembunyikan). Ia kadang-kadang digambarkan sebagai pria tampan atau wanita cantik yang suka memangsa laki-laki atau perempuan muda yang sedang diingininya. Gambaran tentang oni yang sekarang diketahui orang diperkirakan bercampur dengan sosok raksasa.
Oni dalam cerita rakyat sering digambarkan berkulit merah dengan rambut pirang atau coklat tua. Sosok oni diperkirakan berasal dari penampilan bajak laut yang datang dari perairan sekitar Rusia. Kulit mereka yang putih menjadi merah setelah terbakar matahari. Penduduk setempat yang belum pernah melihat orang asing mengira mereka adalah oni.

Otogizōshi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini mengenai cerita bergambar dari Jepang; untuk anime, lihat Otogizōshi (anime).
Ilustrasi cerita Issun bōshi
Otogizōshi (御伽草子, お伽草子, atau おとぎ草子?, buku cerita dongeng) adalah sebutan untuk buku-buku cerita bergambar asal Jepang yang disusun mulai abad ke-14 hingga abad ke-17. Isinya berupa cerita pendek (dongeng) yang dilengkapi dengan ilustrasi, dan ditujukan bagi anak-anak sekaligus orang dewasa. Nama pengarang dan ilustrator tidak diketahui.
Buku ditulis dengan maksud sebagai hiburan serta pendidikan moral dan agama[1]. Dalam bahasa Jepang, togi () berarti "hal pelipur kebosanan" atau orang yang melakukan hal tersebut.[2]
Istilah otogizōshi juga dipakai untuk buku cerita dongeng yang ditulis dengan gaya otogizōshi. Nara Ehon (buku bergambar dari Nara) adalah sebutan untuk salinan otogizōshi yang diberi tambahan ilustrasi.[3]

Tahun penulisan

Buku cerita yang tergolong ke dalam otogizōshi diperkirakan berjumlah lebih dari 400 judul[3], tapi hanya sekitar 100 judul yang diperkirakan banyak diketahui orang. Jumlah judul yang pasti tidak diketahui. Dua judul buku yang sama masing-masing dapat berisi cerita yang berbeda, dan begitu pula sebaliknya.
Walaupun buku dan ceritanya sudah dikenal sejak zaman Muromachi, istilah "otogizōshi" baru digunakan orang Jepang sejak abad ke-18. Pencetusnya adalah toko buku Shibukawa Seiemon di Osaka yang menerbitkan 23 judul buku berisi cerita pendek dengan judul seri Otogi Bunko (Pustaka Dongeng) atau Otogizōshi antara tahun 1716 dan 1736. Judul-judul cerita yang diterbitkan adalah Bunshōzōshi, Hachikazuki, Komachizōshi, Onzōshi Shimawatari, Karaitozōshi, Kohata Kitsune, Nanakusa-zōshi, Sarugenji-zōshi, Monogusa Tarō, Sazare ishi, Hamaguri no zōshi, Koatsumori, Nijūshikō, Bontenkoku, Nosezaru zōshi, Neko no sōshi, Hamaide, Izumi Shikibu, Issun Bōshi, Sakaki, Urashima Tarō, Shutendōji, dan Yokobuesōshi.

Isi

Cerita dalam otogizōshi sebagian besar diambil dari cerita dongeng zaman kuno. Walaupun demikian, sebagian cerita otogizōshi berasal dari zaman yang lebih baru, misalnya cerita Neko no sōshi asal awal abad ke-17. Selain itu, isi cerita Yokobue sōshi juga menyerupai isi cerita Hikayat Heike. Di antara cerita dongeng Otogizōshi terdapat cerita Dōjōji Engi yang sering menjadi tema cerita dalam kesenian tradisional Jepang (noh, kabuki, nihon buyo). Cerita anak-anak yang populer hingga sekarang seperti Issun Bōshi juga berasal dari otogizōshi.
Cerita otogizōshi banyak disertai ilustrasi yang sama pentingnya dengan cerita. Gaya bercerita menggunakan kalimat-kalimat sederhana. Alur cerita juga sederhana seperti lazimnya cerita dongeng, namun bisa memiliki sejumlah interpretasi. Walaupun disusun dengan kalimat dan alur sederhana, bukan berarti ceritanya hanya ditulis untuk anak-anak atau wanita.


Periuk Bunbuku

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Tanuki menjadi periuk
Periuk Bunbuku (分福茶釜 atau 文福茶釜 ,Bunbuku chagama, Bunpuku chagama?, periuk teh pembagi keuntungan) adalah legenda asal kota Tatebayashi, Prefektur Gunma yang secara turun temurun dikisahkan sebagai dongeng di Jepang. Tanuki tampil sebagai tokoh utama, bisa berganti wujud dan menipu manusia.
Sejak zaman dulu, kuil Morinji yang terletak di selatan kota Tatebayashi memiliki periuk (chagama) untuk memasak air sewaktu membuat teh. Periuk ini merupakan kesayangan seorang bhiksu yang bernama Shukaku yang tinggal di sana antara tahun 1394 sampai tahun 1428. Menurut legenda, sekali periuk diisi dengan air, air di dalam periuk tidak akan habis walaupun air terus diambili dari dalam periuk.
Salah satu cerita mengatakan bahwa periuk ini diberi nama "Bunbuku" karena periuk ini bisa membagi-bagi ( ,wakeru?) keberuntungan ( ,fuku?). Cerita lain mengatakan "Bunbuku" berasal dari onomatope bunyi periuk berisi air yang sedang mendidih yang berbunyi "buku-buku".

Jalan cerita

Di suatu hari, seorang laki-laki miskin menemukan tanuki di dalam perangkap. Merasa kasihan, binatang itu dilepaskannya. Di malam hari, ia didatangi tanuki yang telah ditolongnya. Sebagai tanda terima kasih, tanuki mengubah diri menjadi periuk agar bisa dijual untuk mendapatkan uang. Keesokan harinya, periuk itu dijual kepada seorang bhiksu. Tiba di rumah, periuk langsung dipakai untuk memasak air. Setelah api dinyalakan, tanuki kepanasan dan langsung loncat dari perapian. Dalam wujud setengah tanuki setengah periuk, tanuki lari pulang. Tanuki masih ingin mendapatkan uang lagi dan mengusulkan untuk membuka pertunjukan akrobat. Atraksi berupa periuk (tanuki) yang berjalan di atas tali. Pertunjukan mendatangkan banyak uang dan tanuki pun ikut senang tidak sendirian lagi.
Dalam cerita lain, tanuki berubah wujud menjadi bhiksu penjaga kuil bernama Shukaku yang memiliki periuk ajaib. Periuk ini bila diisi air tidak akan pernah kering. Tanuki yang diceritakan mengubah diri menjadi periuk merupakan keanehan, karena biasanya Yōkai (makhluk halus) dipercaya takut dengan besi.


Putri Kaguya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Kakek membawa pulang Putri Kaguya, lukisan karya Tosa Hiromichi
Putri Kaguya (かぐや姫の物語 ,Kaguya hime no monogatari?, Kisah Putri Kaguya) atau Taketori monogatari (竹取物語 ?, Kisah Pengambil Bambu) adalah cerita rakyat Jepang yang tertua.[1] Kisah seorang anak perempuan yang ditemukan kakek pengambil bambu dari dalam batang bambu yang bercahaya.
Cerita diperkirakan berasal dari awal zaman Heian. Di dalam Man'yōshū jilid ke-16 lemma 3791 terdapat chōka (prosa panjang) berjudul Taketori no Okina (Kakek Pengambil Bambu) yang mengisahkan seorang wanita dari kahyangan (tennyo). Kisah ini diperkirakan ada hubungannya dengan kisah Putri Kaguya yang juga dikenal sebagai Taketori no okina no monogatari (Kisah Kakek Pengambil Bambu).
  •  

Pengarang dan tokoh dalam cerita

Pengarang cerita ini sampai saat ini tidak diketahui. Namun berdasarkan persentase orang Jepang yang melek huruf saat itu, cerita ini diperkirakan ditulis oleh seseorang dari kalangan atas. Pengarang diperkirakan tinggal di sekitar ibu kota Heian-kyō, dan memiliki akses informasi tentang kalangan bangsawan. Tema cerita anti kemapanan, sehingga kemungkinan pengarang tidak berasal dari klan Fujiwara. Pengarang diperkirakan seorang laki-laki karena paham betul tentang sastra klasik Tiongkok, agama Buddha, cerita rakyat, dapat menulis aksara kana, dan kertas berharga mahal. Berdasarkan perkiraan di atas, cerita diperkirakan merupakan karya salah seorang sastrawan besar seperti Minamoto no Shitagō, Minamoto no Tōru, bhiksu Henjo, atau Ki no Tsurayuki.
Tokoh-tokoh yang ditampilkan seperti Putri Kaguya, kakek nenek pengambil bambu, dan kaisar adalah tokoh fiktif. Namun dilihat dari nama-nama bangsawan dan pejabat yang melamar Putri Kaguya, cerita ini kemungkinan besar mengambil model dari bangsawan dan pejabat yang memang pernah ada di zaman itu.[2]

Jalan cerita

Di zaman dulu hiduplah seorang kakek bersama istrinya yang juga sudah tua. Kakek bekerja dengan mengambil bambu di hutan. Bambu dibuatnya menjadi berbagai barang, dan orang-orang menyebutnya Kakek Pengambil Bambu. Pada suatu hari, ketika kakek masuk ke hutan bambu, terlihat sebatang bambu yang pangkalnya bercahaya. Kakek merasa heran dan memotong batang bambu tersebut. Keluar dari dalam batang bambu, seorang anak perempuan yang mungil, tingginya cuma sekitar 9 cm tapi manis dan lucu. Anak perempuan tersebut dibawanya pulang dan dibesarkannya seperti anak sendiri. Sejak itu, setiap hari kakek selalu menemukan emas dari dalam batang bambu. Kakek dan nenek menjadi kaya. Dalam 3 bulan, anak perempuan yang dibesarkan tumbuh menjadi seorang putri yang sangat cantik. Kecantikan putri ini sulit ditandingi, begitu cantiknya sehingga perlu diberi nama. Orang-orang menyebutnya Putri Kaguya (Nayotake no kaguya hime).
Berita kecantikan Putri Kaguya tersebar ke seluruh negeri. Pria dari berbagai kalangan, mulai dari bangsawan hingga rakyat biasa, semuanya ingin menikahi Putri Kaguya. Mereka datang berturut-turut ke rumah Putri Kaguya untuk meminangnya, namun terus menerus ditolak oleh Putri Kaguya. Walaupun tahu usaha mereka sia-sia, para pria yang ingin menikahi Putri Kaguya terus bertahan di sekeliling rumah Putri Kaguya. Satu per satu dari mereka akhirnya menyerah, dan tinggal 5 orang pria yang tersisa, yang semuanya pangeran dan pejabat tinggi.
Mereka tetap bersikeras ingin menikahi Putri Kaguya, sehingga Kakek Pengambil Bambu membujuk Putri Kaguya, "Perempuan itu menikah dengan laki-laki. Tolong pilihlah dari mereka yang ada." Dijawab Putri Kaguya dengan, "Aku hanya mau menikah dengan pria yang membawakan barang yang aku sebutkan, dan sampaikan ini kepada mereka yang menunggu di luar."
Ketika malam tiba, pesan Putri Kaguya disampaikan kepada kelima pria yang menunggu. Pelamar masing-masing diminta untuk membawakan barang yang mustahil didapat, mangkuk suci Buddha, dahan pohon emas berbuah berkilauan, kulit tikus putih asal kawah gunung berapi, mutiara naga, dan kulit kerang bercahaya milik burung walet. Pelamar pertama kembali membawa mangkuk biasa, pelamar kedua membawa barang palsu buatan pengrajin, dan pelamar ketiga membawa kulit tikus biasa yang mudah terbakar. Semuanya ditolak Putri Kaguya karena tidak membawa barang yang asli. Pelamar keempat menyerah akibat dihantam badai di perjalanan, sedangkan pelamar kelima tewas akibat patah pinggang.
Berita kegagalan ini terdengar sampai ke kaisar yang menjadi ingin bertemu dengan Putri Kaguya. Kakek Pengambil Bambu membujuk Putri Kaguya agar mau menikah dengan Putri Kaguya, tapi Putri Kaguya tetap menolak dengan berbagai alasan. Putri Kaguya bahkan tidak mau memperlihatkan dirinya di depan kaisar. Kaisar akhirnya memutuskan untuk menyerah setelah saling bertukar puisi dengan Putri Kaguya.
Putri Kaguya kembali ke bulan
Musim gugur pun tiba. Putri Kaguya menghabiskan malam demi malam dengan memandangi bulan sambil menangis. Kalau ditanya kenapa menangis, Putri Kaguya tidak mau menjawab. Namun ketika bulan 8 tanggal 15 (bulan September) semakin dekat, tangis Putri Kaguya makin menjadi. Putri Kaguya akhirnya mengaku, "Aku bukan manusia bumi, tanggal 15 ini di saat bulan purnama, aku harus kembali ke bulan." Identitas sebenarnya Putri Kaguya disampaikan kepada kaisar. Prajurit-prajurit gagah berani diutus kaisar untuk melindungi Putri Kaguya dari jemputan orang bulan.
Malam bulan purnama itu pun tiba, sekitar jam 2 malam, dari langit turun orang-orang bulan. Para prajurit dan Kakek Pengambil Bambu tidak mampu mencegah mereka membawa Putri Kaguya kembali ke bulan. Putri Kaguya adalah penduduk ibu kota bulan yang sedang menjalani hukuman buang ke bumi. Sebagai tanda mata, Putri Kaguya memberikan obat hidup kekal (不死 ,fushi?, tidak pernah mati) kepada kaisar. Namun tanpa Putri Kaguya, kaisar tidak merasa perlu hidup selama-lamanya. Diperintahkannya obat tersebut untuk dibakar di Suruga, di atas puncak gunung tertinggi di Jepang. Gunung tersebut kemudian disebut "Fushi no Yama," dan akhirnya disebut "Fujiyama" (Gunung Fuji). Obat yang dibakar di atas gunung kabarnya membuat Gunung Fuji selalu mengeluarkan asap hingga sekarang.


Pangeran Shōtoku

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Pangeran Shōtoku
Shōtoku Taishi
Pangeran Shōtoku (lukisan Kikuchi Yōsa asal zaman Meiji)
Zaman:
Tanggal lahir:
Tahun wafat:
Penggantian nama:
Kamitsumiya Umayado, Umayado Ōji (Pangeran Umayado), Umayado Kōtaishi (Putra Mahkota Umayado), Sesshō Taishi (Pangeran Sesshō)
Nama anumerta:
Shōtoku Taishi
Jabatan:
Sesshō, putra mahkota
Majikan:
Klan:
Keluarga kaisar
Orangtua:
Kakak adik:
Putra tertua dari 7 orang bersaudara, termasuk adik bernama Pangeran Kume
Istri:
Ujinokaitako no Himemiko (Putri Ujinokaitako), Tachibana no Ōiratsume, dan dua orang istri lagi
Keturunan:
sejumlah 14 putra-putri termasuk Pangeran Yamashiro



Pangeran Shōtoku (聖徳太子, Shōtoku Taishi?) (lahir 7 Februari 574 – meninggal 8 April 622 pada umur 48 tahun) adalah nama yang diberikan orang kepada negarawan Jepang yang hidup pada zaman Asuka, dari masa pemerintahan Kaisar Bidatsu hingga Kaisar Suiko. Nama aslinya adalah Pangeran Umayado.
Ayahnya konon adalah Kaisar Yōmei, sedangkan ibunya bernama Putri Anahobe no Hashihito, anak perempuan Kaisar Kimmei. Dalam Jōgū Shōtoku Hōō Teisetsu (biografi Pangeran Shōtoku) ditulis bahwa ia memiliki seorang putra bernama Pangeran Yamashiro.
Nama aslinya adalah Umayato (厩戸?). Menurut legenda, ia lahir di depan pintu (to) kandang kuda (umaya). Menurut kisah lain, Umayato adalah nama daerah tempat kelahirannya. Nama-nama lain untuk Pangeran Shōtoku termasuk di antaranya Toyosatomimi (豊聡耳?) dan Kamitsumiya Ō (上宮王?, Pangeran Kamitsumiya). Dalam Kojiki, namanya ditulis sebagai Kamitsumiya no Umayado no Toyosatomimi no Mikoto (上宮之厩戸豊聡耳命?). Selain Pangeran Umayado, namanya dalam Nihon Shoki disebut sebagai Toyomimisato Shōtoku (豊耳聡聖徳?), Toyosatomimi Hōdai Ō (豊聡耳法大王?), atau Hōshu Ō (法主王?). Pangeran Shōtoku adalah nama pemberian orang yang mulai digunakan secara luas sejak zaman Heian. Sekarang, sebagian buku pelajaran sejarah di Jepang lebih suka menyebutnya sebagai Pangeran Umayado.
Lukisan potret Pangeran Shōtoku pada uang kertas 10.000 yen
Lukisan potret Pangeran Shōtoku pernah menghiasi uang kertas Jepang pecahan 10.000 yen dari tahun 1958 hingga 1984.
  •  

Perjalanan hidup

Kisah berikut ini sebagian besar diambil dari Nihon Shoki, dan belum dipastikan dengan metode historiografi.
Pangeran Umayado lahir pada tahun 574 dari ibu bernama Putri Anahobe no Hashihito, dan ayah bernama Tachibana no Toyohino Sumeramikoto (Kaisar Yōmei). Hubungan darah Pangeran Umayado dengan klan Soga sangat erat. Nenek dari pihak ayah adalah putri Soga no Iname yang bernama Putri Kitashi. Sementara itu, nenek dari pihak ibunya adalah adik perempuan Putri Kitashi yang bernama Oane no Kimi.
Pada tahun 585, Kaisar Bidatsu mangkat dan ayah Pangeran Umayado naik tahta sebagai Kaisar Yōmei. Pada waktu itu sedang terjadi pertentangan soal penyebaran agama Buddha antara kelompok penganut Buddha pimpinan Soga no Umako dan kelompok anti-Buddhisme pimpinan Mononobe no Moriya. Setelah bertahta kurang dari dua tahun, Kaisar Yōmei mangkat. Pertikaian terjadi sehubungan suksesi tahta. Umako membunuh Pangeran Anahobe calon kaisar pihak Moriya. Pembunuhan dilakukan setelah mendapat perintah dari Putri Toyomi Kekashikiya (permaisuri almarhum Kaisar Bidatsu).
Bersama sejumlah bangsawan dan pangeran, Soga no Umako memimpin pasukan berjumlah besar untuk menghabisi Mononobe no Moriya. Pangeran Umayado juga ikut bergabung. Rumah kediaman Moriya di distrik Shibugawa, Provinsi Kawachi diserang. Pasukan klan Mononobe ternyata sangat kuat karena terdiri dari para samurai. Mereka mendirikan benteng dari dinding jerami untuk menahan serangan panah lawan. Pasukan yang dipimpin Umako sempat dipukul mundur oleh pasukan Mononobe hingga tiga kali. Pangeran Umayado lalu menebang sebatang pohon untuk diukir menjadi patung Shitennō (Raja Langit Keempat Penjuru). Setelah itu, Pangeran Umayado berdoa kepada Shitennō agar diberi kemenangan dalam pertempuran. Bila menang, ia berjanji membuat pagoda dan menyebarluaskan agama Buddha. Pasukan Umako kembali menyerang pasukan Mononobe. Tomi no Ichii dari pasukan Umako menewaskan Mononobe no Moriya dengan anak panahnya, dan pasukan Mononobe cerai-berai. Klan Mononobe yang dulunya merupakan klan besar juga ikut hancur.
Seusai perang, Pangeran Hatsusebe diangkat sebagai Kaisar Sushun oleh Soga no Umako yang menjalankan kekuasaan politik. Kaisar Sushun tidak puas, dan menjadi musuh Umako. Setelah menerima perintah dari Umako, Yamato no Ayanokoma membunuh Kaisar Sushun. Putri Toyomi Kekashikiya diangkat Umako menjadi Kaisar Suiko. Pengangkatan ini menjadikan Kaisar Suiko sebagai kaisar wanita pertama dalam sejarah Jepang. Pangeran Umayado juga diangkat sebagai putra mahkota. Pada tahun 593, Pangeran Umayado diangkat sebagai sesshō. Bersama Soga no Umako, Pangeran Umayado membantu bibinya, Kaisar Suiko dalam menjalankan pemerintahan.
Pada tahun yang sama (593), Pangeran Umayado membangun Shitennō-ji, sebuah kuil Buddha di Naniwa, Provinsi Settsu. Kuil ini dibangun untuk memenuhi janji kepada Shitennō yang dipercayanya telah memberi kemenangan melawan klan Mononobe. Tahun berikutnya (594), Kaisar Suiko mengeluarkan perintah penyebarluasan agama Buddha. Pada tahun 595, biksu Eji datang dari Goguryeo, dan menjadi guru Pangeran Umayado. Ia menerima kabar dari biksu Eji tentang Dinasti Sui sebagai negara besar dengan organisasi pemerintahan yang teratur dan melindungi Buddhisme.
Pada tahun 600, Kaisar Suiko mengirim ekspedisi penaklukan negeri Silla, dan membuatnya berjanji mengirim upeti.
Menurut Buku Dinasti Sui, pada tahun 600 dicatat tentang kedatangan Kenzui-shi atau duta kekaisaran asal negara Wa (Yamato atau Jepang) yang pertama kalinya. Namun sebaliknya di Jepang, peristiwa ini tidak dicatat dalam Nihon Shoki.
Tahun berikutnya (601), Kaisar Suiko memulai pembangunan Istana Ikaruga. Pada tahun berikutnya (602), pasukan dikumpulkan untuk diberangkatkan dalam ekspedisi penaklukan Silla. Adik kandung lain ayah dari Pangeran Umayado yang bernama Pangeran Kume diangkat sebagai pemimpin pasukan. Di Provinsi Tsukushi (Kyushu) berkumpul sejumlah 25 ribu prajurit yang siap menyeberang ke Silla, namun Pangeran Kume meninggal secara mendadak. Ada kisah yang mengatakan Pangeran Kume tewas oleh pembunuh bayaran yang tiba dari Silla. Sebagai penggantinya ditunjuk Pangeran Taima (adik Pangeran Umayado dari lain ibu), tapi ia harus kembali ke ibu kota karena istrinya meninggal. Pada akhirnya, ekspedisi penaklukan Silla dibatalkan.
Pada tahun 603, pemerintah menetapkan sistem Dua Belas Jenjang Jabatan Hiasan Kepala (Kan'i Jūnikai). Pejabat yang berprestasi bisa menempati jabatan yang tinggi tanpa mengenal asal-usul klan dan keluarga. Tahun berikutnya (604), Pangeran Shōtoku menulis Konsitusi Tujuh Belas Pasal (Jūshichijō kenpō). Konstitusi ini menekankan kepatuhan kalangan bangsawan kepada kaisar, dan penghormatan terhadap Buddha.
Patung Pangeran Shōtoku di Asuka-dera (kuil di Prefektur Nara)
Pada tahun 605, Kaisar Suiko pindah ke Istana Ikaruga yang sudah selesai dibangun. Ono no Imoko dan Kuratsukuri no Fukuri berangkat sebagai duta ke Dinasti Tang pada tahun 607. Keberangkatan mereka membawa surat kenegaraan dari Kaisar Suiko. Menurut Buku Dinasti Sui, surat tersebut dianggap berisi penghinaan, karena berisi kalimat "Dari penguasa bawah langit negeri tempat matahari terbit mengirim surat kepada penguasa bawah langit negeri tempat matahari terbenam". Kaisar Yang dari Sui tidak ingin lagi bertemu dengan utusan dari Jepang. Ada penjelasan yang mengatakan bahwa penyebab kemarahan Kaisar Yang bukanlah kata "matahari terbit" dan "matahari terbenam" melainkan penggunaan kata "penguasa bawah langit" (天子?) yang hanya boleh digunakan untuk dirinya.
Selanjutnya, Pangeran Umayado semakin mendalami agama Buddha. Penulisan buku Ulasan Tiga Sutra (Sangyō Gisho) berhasil diselesaikan tahun 615.
Pada tahun 620, Pangeran Umayado bersama Soga no Umako menyunting buku sejarah Jepang berjudul Kokuki (Kunibumi) dan Tennōki (Sumeramikoto no Fumi).
Pangeran Umayado jatuh sakit pada tahun 622 di Istana Ikaruga. Istrinya yang bernama Kashiwade no Ōiratsume berdoa untuk kesembuhannya, namun justru meninggal dunia. Keesokan harinya, Pangeran Umayado juga tutup usia.

Asal-usul nama

Semasa hidupnya, Pangeran Umayado tidak disebut sebagai Pangeran Shōtoku. Lebih dari seratus tahun setelah meninggal dunia, nama "Pangeran Shōtoku" pertama kali disebut-sebut dalam catatan sejarah Kaifūsō (diperkirakan disunting tahun 751) dan Nihon Shoki (720). Dalam Nihon Shoki, nama "Shōtoku" disebut dalam pembahasan mengenai Kaisar Bidatsu, tapi bukan "Shōtoku Taishi".
Nama Pangeran Shōtoku banyak disebut dalam buku sejarah asal zaman Heian seperti Nihon Sandai Jitsuroku, Ōkagami, Tōdai-ji Yōroku, dan Mizukagami. Semuanya tidak lagi menggunakan nama Umayado atau Toyosatomimi, sehingga diperkirakan nama Shōtoku Taishi mulai secara luas digunakan sejak zaman Heian.

Legenda

Pangeran Shōtoku sering disebut sebagai pendiri sejumlah kuil di Jepang. Walaupun demikian, sebagian dari kuil-kuil tersebut diperkirakan dibangun pada abad berikutnya untuk menghormati Pangeran Shōtoku.
Legenda yang banyak beredar tentangnya sering berasal dari Kojiki dan Nihon Shoki. Keduanya selesai disunting satu abad setelah Pangeran Shōtoku meninggal dunia. Keadaan masyarakat sudah yang berbeda tercermin dalam latar belakang cerita, serta cerita yang diperkirakan sudah didramatisasi.

Legenda bertelinga tajam

Pada suatu waktu, Pangeran Umayado menerima kelompok orang yang masing-masing ingin menyampaikan petisinya. Sepuluh orang secara sekaligus berbicara secara bersamaan. Semua pernyataan yang diungkapkan masing-masing orang bisa dipahami pangeran tanpa ada sepatah kata pun yang terlewat. Jawaban yang diberikan pangeran pun sangat memuaskan. Sejak itu pangeran diberi julukan Toyosatomimi (bertelinga tajam). Kisah lain mengatakan kesepuluh orang tersebut menemui pangeran satu demi satu. Jawaban diberikan setelah mendengarkan semua petisi didengarkan. Legenda ini ingin menunjukkan ketajaman ingatan Pangeran Shōtoku.

Kuil Shitennō-ji

Di tengah pertempuran antara klan Soga dan klan Mononobe, Pangeran Shōtoku berada di pihak klan Soga. Pangeran berjanji bila menang akan membangun kuil untuk Shitennō (Raja Langit Keempat Penjuru). Kuil Shitennō-ji yang dibangunnya berada di Naniwa, Provinsi Settsu.

Tanabata

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Tanabata (七夕 ?) atau Festival Bintang adalah salah satu perayaan yang berkaitan dengan musim di Jepang, Tiongkok, dan Korea. Perayaan besar-besaran dilakukan di kota-kota di Jepang, termasuk di antaranya kota Sendai dengan festival Sendai Tanabata. Di Tiongkok, perayaan ini disebut Qi Xi.
Tanggal festival Tanabata dulunya mengikuti kalender lunisolar yang kira-kira sebulan lebih lambat daripada kalender Gregorian. Sejak kalender Gregorian mulai digunakan di Jepang, perayaan Tanabata diadakan malam tanggal 7 Juli, hari ke-7 bulan ke-7 kalender lunisolar, atau sebulan lebih lambat sekitar tanggal 8 Agustus.
Aksara kanji yang digunakan untuk menulis Tanabata bisa dibaca sebagai shichiseki (七夕 ?, malam ke-7). Di zaman dulu, perayaan ini juga ditulis dengan aksara kanji yang berbeda, tapi tetap dibaca Tanabata (棚機 ?). Tradisi perayaan berasal dari Tiongkok yang diperkenalkan di Jepang pada zaman Nara.

Tanggal perayaan

Hiasan Tanabata di Sendai
Di zaman kuno Tiongkok terdapat tradisi merayakan pergantian musim di bulan ke-7 hari ke-7 menurut kalender Tionghoa (bulan ke-7 merupakan bulan pertama di musim gugur). Alasan dan sejak kapan hari ke-7 bulan ke-7 mulai dijadikan hari istimewa tidak diketahui dengan pasti. Literatur tertua yang menceritakan peristiwa di hari tersebut adalah Simin yueling (四民月令, almanak petani) karya Cui Shi yang menulis tentang tradisi menjemur atau mengangin-anginkan buku di bawah sinar matahari.
Menurut kalender yang pernah digunakan di Jepang seperti kalender Tempo, Tanabata dirayakan pada hari ke-7 bulan ke-7 sebelum perayaan Obon. Setelah kalender Gregorian mulai digunakan di Jepang, Tanabata dirayakan pada 7 Juli, sedangkan sebagian upacara dilakukan di malam hari tanggal 6 Juli. Di wilayah Jepang sebelah timur seperti Hokkaido dan Sendai, perayaan dilakukan sebulan lebih lambat sekitar 8 Agustus.

Sejarah

Tanabata diperkirakan merupakan sinkretisme antara tradisi Jepang kuno mendoakan arwah leluhur atas keberhasilan panen dan perayaan Qi Qiao Jie asal Tiongkok yang mendoakan kemahiran wanita dalam menenun. Pada awalnya Tanabata merupakan bagian dari perayaan Obon, tapi kemudian dijadikan perayaan terpisah. Daun bambu (sasa) digunakan sebagai hiasan dalam perayaan karena dipercaya sebagai tempat tinggal arwah leluhur.
Legenda Qi Xi pertama kali disebut dalam literatur Gushi shijiu shou (古詩十九編, 19 puisi lama) asal Dinasti Han yang dikumpulkan kitab antologi Wen Xuan (文選). Selain itu, Qi Xi juga tertulis dalam kitab Jing-Chu suishi ji (荊楚歲時記, festival dan tradisi tahunan wilayah Jing-Chu) dari zaman Dinasti Utara dan Selatan, dan kitab Catatan Sejarah Agung. Literatur Jing-Chu suishi ji mengisahkan para wanita memasukkan benang berwarna-warni indah ke lubang 7 batang jarum pada malam hari ke-7 bulan ke-7 yang merupakan malam bertemunya Qian Niu dan Zhi Nu, dan persembahan diletakkan berjajar di halaman untuk memohon kepandaian dalam pekerjaan menenun.
Legenda asli Jepang tentang Tanabatatsume dalam kitab Kojiki mengisahkan seorang pelayan wanita (miko) bernama Tanabatatsume yang harus menenun pakaian untuk dewa di tepi sungai, dan menunggu di rumah menenun untuk dijadikan istri semalam sang dewa agar desa terhindar dari bencana. Perayaan Qi Xi dihubungkan dengan legenda Tanabatatsume, dan nama perayaan diubah menjadi "Tanabata". Di zaman Nara, perayaan Tanabata dijadikan salah satu perayaan di istana kaisar yang berhubungan dengan musim. Di dalam kitab antologi puisi waka berjudul Man'yōshū terdapat puisi tentang Tanabata karya Ōtomo no Yakamochi dari zaman Nara. Setelah perayaan Tanabata meluas ke kalangan rakyat biasa di zaman Edo, tema perayaan bergeser dari pekerjaan tenun menenun menjadi kepandaian anak perempuan dalam berbagai keterampilan sebagai persiapan sebelum menikah.

Legenda

Legenda Tanabata di Jepang dan Tiongkok mengisahkan bintang Vega yang merupakan bintang tercerah dalam rasi bintang Lyra sebagai Orihime (Shokujo), putri Raja Langit yang pandai menenun. Bintang Altair yang berada di rasi bintang Aquila dikisahkan sebagai sebagai penggembala sapi bernama Hikoboshi (Kengyū). Hikoboshi rajin bekerja sehingga diizinkan Raja Langit untuk menikahi Orihime. Suami istri Hikoboshi dan Orihime hidup bahagia, tapi Orihime tidak lagi menenun dan Hikoboshi tidak lagi menggembala. Raja Langit sangat marah dan keduanya dipaksa berpisah. Orihime dan Hikoboshi tinggal dipisahkan sungai Amanogawa (galaksi Bima Sakti) dan hanya diizinkan bertemu setahun sekali di malam hari ke-7 bulan ke-7. Kalau kebetulan hujan turun, sungai Amanogawa menjadi meluap dan Orihime tidak bisa menyeberangi sungai untuk bertemu suami. Sekawanan burung kasasagi terbang menghampiri Hikoboshi dan Orihime yang sedang bersedih dan berbaris membentuk jembatan yang melintasi sungai Amanogawa supaya Hikoboshi dan Orihime bisa menyeberang dan bertemu.
Literatur klasik tentang legenda Tanabata melahirkan berbagai macam variasi cerita rakyat di berbagai daerah di Tiongkok. Di beberapa tempat, variasi legenda Tanabata dijadikan naskah sandiwara dan diangkat sebagai naskah Opera Tiongkok. Di antara naskah-naskah yang terkenal seperti Tian he pei dipentaskan sebagai Opera Beijing. Kisahnya tentang penggembala sapi bernama Niulang yang mencuri pakaian salah seorang bidadari bernama Zhinu yang sedang mandi. Niulang menikah dengan Zhinu sampai pada akhirnya bidadari Zhinu harus kembali ke langit. Niulang mengejar Zhinu sampai naik ke langit, tapi ibu Zhinu yang bernama Xi Wangmu (dewi surga) memisahkan tempat tinggal Niulang dan Zhinu dengan sebuah sungai. Cerita ini mirip dengan cerita rakyat Jepang yang berjudul Hagoromo.
Bintang bernama Zhinu dan bintang bernama Niulang pertama kali disebut dalam kitab Shi Jing (kira-kira terbitan 1000 SM), tapi tidak secara pasti menunjuk ke bintang yang spesifik. Dalam kitab Catatan Sejarah Agung asal Dinasti Han Barat, bintang Niulang menunjuk ke rasi bintang Lembu dan bintang Zhinu menunjuk ke rasi bintang Kawatsusumi. Sesuai dengan perkembangan legenda Tanabata, bintang Niulang (Hikoboshi) akhirnya menunjuk ke bintang Altair.

 Tradisi

Perayaan dilakukan di malam ke-6 bulan ke-7, atau pagi di hari ke-7 bulan ke-7. Sebagian besar upacara dimulai setelah tengah malam (pukul 1 pagi) di hari ke-7 bulan ke-7. Di tengah malam bintang-bintang naik mendekati zenith, dan merupakan saat bintang Altair, bintang Vega, dan galaksi Bima Sakti paling mudah dilihat.
Kemungkinan hari cerah pada hari ke-7 bulan ke-7 kalender Tionghoa lebih besar daripada 7 Juli yang masih merupakan musim panas. Hujan yang turun di malam Tanabata disebut Sairuiu (洒涙雨 ?), dan konon berasal dari air mata Orihime dan Hikoboshi yang menangis karena tidak bisa bertemu.
Festival Tanabata dimeriahkan tradisi menulis permohonan di atas tanzaku atau secarik kertas berwarna-warni. Tradisi ini khas Jepang dan sudah ada sejak zaman Edo. Kertas tanzaku terdiri dari 5 warna (hijau, merah, kuning, putih, dan hitam). Di Tiongkok, tali untuk mengikat terdiri dari 5 warna dan bukan kertasnya. Permohonan yang dituliskan pada tanzaku bisa bermacam-macam sesuai dengan keinginan orang yang menulis.
Kertas-kertas tanzaku yang berisi berbagai macam permohonan diikatkan di ranting daun bambu membentuk pohon harapan di hari ke-6 bulan ke-7. Orang yang kebetulan tinggal di dekat laut mempunyai tradisi melarung pohon harapan ke laut sebagai tanda puncak perayaan, tapi kebiasaan ini sekarang makin ditinggalkan orang karena hiasan banyak yang terbuat dari plastik.

Perayaan di berbagai daerah

Tanabata dirayakan secara besar-besaran di berbagai kota, seperti: Sendai, Hiratsuka, Anjo, dan Sagamihara. Perayaan dimulai setelah Perang Dunia II dengan maksud untuk menggairahkan ekonomi, terutama di wilayah Jepang bagian utara.
Di zaman dulu, Sendai sering berkali-kali dilanda kekurangan pangan akibat kekeringan dan musim dingin yang terlalu dingin. Di kalangan penduduk lahir tradisi menulis permohonan di atas secarik kertas tanzaku untuk meminta dijauhkan dari bencana alam. Date Masamune menggunakan perayaan Tanabata untuk memajukan pendidikan bagi kaum wanita, dan hiasan daun bambu mulai terlihat di rumah tinggal kalangan samurai dan penduduk kota. Di zaman Meiji dan zaman Taisho, perayaan dilangsungkan secara kecil-kecilan hingga penyelenggaraan diambil alih pusat perbelanjaan di tahun 1927. Pusat perbelanjaan memasang hiasan Tanabata secara besar-besaran, dan tradisi ini berlanjut hingga sekarang sebagai Sendai Tanabata.

Urashima Tarō

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Lukisan Urashima Tarō oleh Utagawa Kuniyoshi
Urashima Tarō (浦島太郎 ?) adalah legenda Jepang tentang seorang nelayan bernama Urashima Tarō. Ia diundang ke Istana Laut (Istana Ryūgū) setelah menyelamatkan seekor penyu.
Dalam catatan sejarah Provinsi Tango (Tango no kuni fudoki) terdapat cerita berjudul Urashima no ko (浦嶼子 ?)[1], tapi menceritakan tentang delapan bidadari yang turun dari langit. Selain itu, kisah Urashima Tarō disebut dalam Nihon Shoki dan Man'yōshū[1]. Cerita yang sekarang dikenal orang adalah versi Otogizōshi asal zaman Muromachi. Seperti lazimnya cerita rakyat, berbagai daerah di Jepang masing-masing memiliki cerita versi sendiri tentang Urashima Tarō.
Kehidupan Urashima Tarō di Istana Laut seperti diceritakan dalam Otogizōshi dianggap tidak cocok untuk anak-anak, sehingga dipotong ketika dijadikan cerita anak. Pada tahun 1910, Kementerian Pendidikan Jepang memasukkan cerita Urashima Tarō ke dalam buku teks resmi bagi murid kelas 2 sekolah dasar, dan terus bertahan dalam buku teks selama 40 tahun.[1]


Jalan cerita

Versi Otogizōshi

Di Provinsi Tango, hidup seorang nelayan bernama Urashima Tarō. Pada suatu hari, ia pergi memancing namun yang terkail adalah seekor penyu. Tarō melepas penyu tersebut kembali ke laut setelah teringat, "penyu katanya bisa hidup hingga 10.000 tahun, kasihan kalau dibunuh." Beberapa hari kemudian, seorang wanita mendekati pantai dengan mendayung sendiri perahunya. Seorang tetua meminta Tarō untuk menyambut wanita yang ternyata adalah pelayan seorang putri. Sebagai ucapan terima kasih atas penyu yang telah ditolong, Tarō diundang pergi ke Istana Laut. Ditemani pelayan sang putri, Tarō naik perahu menuju ke Istana Laut. Setibanya di sana, Tarō disambut sang putri, dan hidup bersamanya selama 3 tahun. Namun, Tarō ingin pulang karena cemas dengan ayah dan ibu yang ditinggalkan di kampung halaman. Sang putri akhirnya mengaku bahwa dirinya adalah penyu yang pernah ditolong Tarō. Sebagai hadiah perpisahan, sang putri memberikan sebuah kotak perhiasan (tamatebako). Setelah Tarō tiba di kampung halaman, desa yang dulu ditinggalinya ternyata sudah tidak ada lagi. Setelah bertanya ke sana ke mari, Tarō diberi tahu bahwa di atas bukit terdapat makam Tarō dan kedua orang tuanya. Tarō begitu sedih, dan membuka kotak dari sang putri. Asap keluar sebanyak tiga kali dari dalam kotak. Tarō berubah menjadi seekor burung jenjang, dan terbang menghilang.
Dalam Otogizōshi, Istana Laut tidak berada di dasar laut, melainkan di daratan atau di pulau lain.

Versi turunan dari Otogizōshi

Seorang nelayan bernama Urashima Tarō menolong seekor penyu yang sedang disiksa sekawanan anak-anak. Sebagai rasa terima kasih telah ditolong, penyu mengajak Tarō berkunjung ke Istana Laut. Dengan menunggang penyu, Tarō pergi ke Istana Laut yang ada di dasar laut. Di sana, Tarō bertemu putri jelita di Istana Laut yang bernama Putri Oto. Bagaikan mimpi, Tarō ditemani Putri Oto selama beberapa hari. Hingga akhirnya Tarō ingin pulang. Putri Oto mencegahnya, tapi tahu usahanya akan sia-sia. Putri Oto memberinya sebuah kotak perhiasan (tamatebako), dan berpesan agar kotak tidak dibuka. Dengan menunggang seekor penyu, Tarō tiba kembali di kampung halamannya. Namun semua orang yang dikenalnya sudah tidak ada. Tarō merasa heran, lalu membuka kotak hadiah dari Putri Oto. Asap keluar dari dalam kotak, dan seketika Tarō berubah menjadi seorang laki-laki yang sangat tua. Menurut perhitungan waktu di dasar samudra, Tarō hanya tinggal selama beberapa hari saja. Namun menurut waktu di daratan, Tarō pergi selama 700 tahun.
Dalam cerita versi ini, nasib Tarō selanjutnya tidak diceritakan.

Versi Man'yōshū

Dalam Man'yōshū volume 9 terdapat prosa karya Takahashi no Mushimaro yang merupakan prototipe kisah Urashima Tarō. Kisahnya tentang Urashima no ko dari Mizu no e. Sepulangnya dari memancing ikan selama 7 hari, ia bertemu dengan putri dewa laut bernama Putri Penyu. Setelah akrab, keduanya menikah dan hidup di istana dewa laut. Setelah tinggal di sana selama 3 tahun, ia ingin pulang memberitahukan kabar bahagia tentang pernikahannya kepada ayah dan ibunya. Sebelum berangkat, sang putri memberinya sebuah kotak yang disebut tamatebako. Setibanya di kampung halaman, desa, penduduk desa, dan rumah yang dulu ditinggalinya sudah tidak ada. Ia berpikir kalau kotak hadiah dari putri dibuka, semuanya akan kembali seperti semula. Ketika kotak dibuka, asap keluar, dan seketika rambutnya menjadi beruban semua. Urashima no ko sudah menjadi laki-laki yang sangat tua dan meninggal.





·  Aryo Hariwanjoyo (pendiri)

Penanggung Jawab Atsuki
Penanggung Jawab Atsuki ke2
Penanggung Jawab Atsuki ke3
Ketua Umum Atsuki
Wakil Ketua Umum Atsuki
Bendahara Umum

Tidak ada komentar: