“Selamat…”
Teriakan
koor membahana terdengar di kerumunan teman-teman komunitas Atsuki. Kini, kami
tengah menghadiri wisuda Diah di Gor Universitas Teknologi Yogyakarta.
Diah
tertegun melihat sambutan hangat dan meriah. Air bening kebahagiaan menggenang
dikelopak matanya. Keharuan menyelimuti hatinya. “Terima kasih teman-teman,
kalian sudah mau datang.”
“Keluarga
besar Atsuki adalah satu kesatuan. Jadi, kita akan tetap bersama-sama” sahut
Yumaki riang.
“Aku
setuju dengan pendapatnya Yumaki. Atsuki sudah kuanggap sebagai keluarga kedua”
lanjut Lasin membenarkan.
***
Sebulan
yang lalu, seorang gadis berlari tergesa-gesa. Tanpa memerhatikan jalanan di
sekitarnya, ia menabrak seorang kakek yang sedang menyeberang.
“Maafkan
saya, Kek. Apakah ada yang terluka?” tanya Diah cepat, membungkuk membantu
Kakek itu berdiri.
“Tidak
apa-apa, Nak. Terima kasih.”
“Kalau
begitu, saya pergi dulu” pamit Diah berjalan terburu-buru.
Cobaan
kembali menghadangnya begitu tiba di kampus.
“Apa
ini?!. Semua pekerjaanmu salah. Ulangi lagi!” tukas Pak Rifai tajam sambil
memberi tanda dengan tinta merah dipekerjaannya.
“Baik,
Pak. Apakah besok saya bisa menemui Bapak lagi?.”
“Besok
jam sembilan temui saya di kantor.” Usai berkata demikian, Pak Rifai pergi
meninggalkan Diah seorang diri dalam kebingungan. Sedangkan deadline
pengumpulan Tugas Akhirnya tinggal seminggu lagi. Disaat gadis itu kehilangan
semangat, suara beberapa orang mampu menggugah hatinya. Ia tidak menyadari
kalau headset di telinganya
menghubungkan siaran radio di radio Swaragama yang saat itu teman-teman Atsuki
sedang memperkenalkan komunitas mereka di sana.
“Atsuki
sudah berdiri sejak tanggal 22 September 2005 dengan anggota belum begitu
banyak seperti sekarang. Awalnya, Atsuki adalah komunitas jalanan. Namun,
berkat usaha dan kerja keras semua anggota, Atsuki berhasil mengadakan event
pertama kali di Purawisata. Saya pribadi sudah menganggap komunitas Atsuki
sebagai bagian dari keluarga keduaku. Untuk lebih jelasnya, mari dengarkan
pendapat Lasin” ujar Yumaki menggebu-gebu.
“Saya
setuju dengan pendapat Yumaki. Selain mempunyai keluarga baru, saya melihat
tekad api di Atsuki. Mereka tidak pernah menyerah menghadapi rintangan yang
menghalangi. Sebaliknya, itu dijadikan tantangan untuk memompa semangat mereka
untuk terus maju dan berkarya dalam dunia jejepangan.”
Sekitar
dua jam, setelah teman-teman Atsuki menyelesaikan tugas mereka, tanpa sadar
Diah bergegas menuju rumah, memperbaiki Tugas Akhirnya.
***
“Selamat
pagi…” sapa Diah riang, begitu memasuki kelas keesokan paginya.
Sebagian
besar teman-temannya kebingungan dengan sikap Diah, yang bertolak belakang dari
kemarin. Meskipun demikian, mereka tetap menjawab salam darinya.
“Putri,
kamu tahu dimana Anwar?” tanya Diah
kepada salah satu temannya yang sedang sibuk menulis.
Putri
melirik jam tangannya. “Satu jam lagi dia akan naik pesawat ke Amerika.”
“APA?.
Naik pesawat?” pekik Diah histeris.
“Lho,
kamu belum tahu?” tanya Putri heran.
Tanpa
menggubris pertanyaan Putri, Diah bergegas berlari menuju bandara Adisucipto.
Berkali-kali, dia meminta Pak supir untuk mempercepat laju kendaraannya. Begitu
tiba, matanya awas menatap sekeliling, mencari keberadaan Anwar. Suara
seseorang dari loadspeaker menyadarkan
cewek itu.
“Penumpang
dengan tujuan Amerika diharap bersiap-siap.”
Disaat
Diah mulai putus asa, matanya menangkap seorang cowok sedang berpamitan dengan
beberapa orang. Tanpa membuang waktu, dia segera menghampiri Anwar, sambil
berteriak memanggilnya, “Anwar… Tunggu dulu.”
Mereka
serentak menoleh ke arah Diah.
“Diah…
Ada apa?” tanya Anwar kaget, begitu Diah berada di hadapannya dengan napas
terengah-engah.
“Tolong
jangan pergi. Gue mohon bantu gue” pinta Diah memasang wajah memelas sambil
menyodorkan makalah Tugas Akhirnya.
“Tapi,
gue harus pergi sekarang. Maaf…” sahut Anwar menyesal.
“Gue
mohon… Deadlinenya tinggal seminggu
lagi” bujuk Diah lagi.
“Gue
benar-benar minta maaf nggak bisa membantu lo.”
***
Harapan
dan perjuangan Diah berhenti. Penolakan Anwar membuatnya tercekat. Sekarang,
bagaimana?.
“Apa
yang bisa gue bantu?.”
Tepukan
di pundak Diah, membuatnya menoleh. “Anwar…”
“Maaf, mengenai kejadian kemarin,
ya?.”
“Nggak
papa kok. Tapi, kenapa lo sekarang berada di sini?.”
“Gue
memutuskan akan membantu lo.”
“Lalu,
gimana dengan kuliah lo di Amerika?.”
“Gue
berencana akan melanjutkannya di sini.”
“Terima
kasih.”
“Apa
kendala lo?.”
“Dua
hari lalu, gue mengajukan Tugas Akhir ini kepada Pak Rifai. Tapi, beliau
menyarankan agar gue merevisinya. Jujur, gue bingung karena sudah enam kali
bimbingan, tapi masih gagal terus.”
“Coba
lihat.” Anwar mengambil proposalku dan menelitinya.
Selama
dua jam, aku berkutat menyelesaikan Tugas Akhir dengan dibantu oleh Anwar.
“Thanks ya lo udah mau membantu gue”
kataku senang dan merasa lega.
“Oke.
Kapan dikumpulkan?.”
“Senin
depan. Semoga kali ini lolos.”
“Optimis
saja.”
***
Senin
pagi, aku menuju ruangan Pak Rifai setelah mengetuk pintu. “Permisi, Pak. Saya
ingin mengumpulkan Tugas Akhir.”
“Masuk
saja. Sudah kamu perbaiki semuanya?.”
“Sudah,
Pak.”
“Baiklah.
Bapak harap kali ini kamu tidak membuat kesalahan lagi” kata Pak Rifai, lalu
meneliti Tugas Akhirku dengan seksama. Seketika, wajahnya berubah cerah.
“Bagus.
Tidak ada kesalahan satu pun. Kamu sudah bekerja keras. Kalau begitu,
pekerjaanmu dikumpulkan.”
“Terima kasih, Pak” kata Diah
tersenyum lebar sambil mengulurkan tangannya, untuk bersalaman.
***
Kini,
Diah berada di Gor Universitas Teknologi Yogyakarta untuk menghadiri wisudanya bersama
teman-teman yang lain setelah beberapa minggu lalu mendapat kabar. Menatap
berkeliling ke seluruh ruangan. Memperhatikan teman-teman yang lain sedang
asyik mengobrol dan tertawa riang. Cewek itu masih tidak percaya mengenai
kelulusannya. Matanya tertuju ke beberapa orang yang baru saja mengambil tempat
duduk yang memang sengaja sudah dipersiapkan untuk tamu undangan.
Diah
segera menghampiri kedua orangtuanya setengah berlari. “Ibu, Ayah, terima kasih
kalian sudah mau datang” katanya riang setelah tiba di hadapan mereka.
“Wah,
lihat Ayah Diah sekarang sudah semakin dewasa. Bukankah begitu?” kata Ibu
memuji Diah.
“Benar.
Dan, semakin pintar. Bagaimana kalau nanti kita mengadakan syukuran untuk
kelulusannya Diah?” usul Ayah melanjutkan.
“Ide
bagus. Ibu setuju.”
“Tapi,
tidak perlu dirayakan seperti itu. Diah sudah senang Ibu dan Ayah datang ke
acara wisudaku.”
“Tidak
apa-apa, Sayang. Sekalian kita berkumpul bersama.”
Tanda Tanya “?”
Apa
yang dirasakan dan dipikirkannya?
Bersikap
tak acuh, seolah tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya, aku tahu sebenarnya
dia kesepian.
Diabaikan
dan tidak diakui keberadaannya.
Sendiri,
dimusuhi teman-teman
Apakah
selama ini dia tidak menyadari atau berpura-pura untuk menutupi kesedihannya
dengan cara mencari perhatian?
Aku
pernah berada diposisinya
Kenapa
dia tidak ingin memperjuangkan teman?
Sedangkan
aku malah sebaliknya
Aku
ingin berjuang agar keberadaanku diakui oleh orang-orang
Oleh
karena itu, aku tidak ingin menyerah untuk mencapai puncak
Dan,
berkat orang-orang yang pernah memberiku inspirasi, hal itu sangat membantuku
dalam mengejar kesuksesan
Aku
mengucapkan terima kasih kepada mereka karena sudah memberiku kekuatan baru
untuk bangkit

Tidak ada komentar:
Posting Komentar