Rabu, 16 Januari 2013



Wisuda



            “Selamat…”
            Teriakan koor membahana terdengar di kerumunan teman-teman komunitas Atsuki. Kini, kami tengah menghadiri wisuda Diah di Gor Universitas Teknologi Yogyakarta.
            Diah tertegun melihat sambutan hangat dan meriah. Air bening kebahagiaan menggenang dikelopak matanya. Keharuan menyelimuti hatinya. “Terima kasih teman-teman, kalian sudah mau datang.”
            “Keluarga besar Atsuki adalah satu kesatuan. Jadi, kita akan tetap bersama-sama” sahut Yumaki riang.
            “Aku setuju dengan pendapatnya Yumaki. Atsuki sudah kuanggap sebagai keluarga kedua” lanjut Lasin membenarkan.
***
            Sebulan yang lalu, seorang gadis berlari tergesa-gesa. Tanpa memerhatikan jalanan di sekitarnya, ia menabrak seorang kakek yang sedang menyeberang.
            “Maafkan saya, Kek. Apakah ada yang terluka?” tanya Diah cepat, membungkuk membantu Kakek itu berdiri.
            “Tidak apa-apa, Nak. Terima kasih.”
            “Kalau begitu, saya pergi dulu” pamit Diah berjalan terburu-buru.
            Cobaan kembali menghadangnya begitu tiba di kampus.
            “Apa ini?!. Semua pekerjaanmu salah. Ulangi lagi!” tukas Pak Rifai tajam sambil memberi tanda dengan tinta merah dipekerjaannya.
            “Baik, Pak. Apakah besok saya bisa menemui Bapak lagi?.”
            “Besok jam sembilan temui saya di kantor.” Usai berkata demikian, Pak Rifai pergi meninggalkan Diah seorang diri dalam kebingungan. Sedangkan deadline pengumpulan Tugas Akhirnya tinggal seminggu lagi. Disaat gadis itu kehilangan semangat, suara beberapa orang mampu menggugah hatinya. Ia tidak menyadari kalau headset di telinganya menghubungkan siaran radio di radio Swaragama yang saat itu teman-teman Atsuki sedang memperkenalkan komunitas mereka di sana.
            “Atsuki sudah berdiri sejak tanggal 22 September 2005 dengan anggota belum begitu banyak seperti sekarang. Awalnya, Atsuki adalah komunitas jalanan. Namun, berkat usaha dan kerja keras semua anggota, Atsuki berhasil mengadakan event pertama kali di Purawisata. Saya pribadi sudah menganggap komunitas Atsuki sebagai bagian dari keluarga keduaku. Untuk lebih jelasnya, mari dengarkan pendapat Lasin” ujar Yumaki menggebu-gebu.
            “Saya setuju dengan pendapat Yumaki. Selain mempunyai keluarga baru, saya melihat tekad api di Atsuki. Mereka tidak pernah menyerah menghadapi rintangan yang menghalangi. Sebaliknya, itu dijadikan tantangan untuk memompa semangat mereka untuk terus maju dan berkarya dalam dunia jejepangan.”
            Sekitar dua jam, setelah teman-teman Atsuki menyelesaikan tugas mereka, tanpa sadar Diah bergegas menuju rumah, memperbaiki Tugas Akhirnya.
***
            “Selamat pagi…” sapa Diah riang, begitu memasuki kelas keesokan paginya.
            Sebagian besar teman-temannya kebingungan dengan sikap Diah, yang bertolak belakang dari kemarin. Meskipun demikian, mereka tetap menjawab salam darinya.
            “Putri, kamu tahu  dimana Anwar?” tanya Diah kepada salah satu temannya yang sedang sibuk menulis.
            Putri melirik jam tangannya. “Satu jam lagi dia akan naik pesawat ke Amerika.”
            “APA?. Naik pesawat?” pekik Diah histeris.
            “Lho, kamu belum tahu?” tanya Putri heran.
            Tanpa menggubris pertanyaan Putri, Diah bergegas berlari menuju bandara Adisucipto. Berkali-kali, dia meminta Pak supir untuk mempercepat laju kendaraannya. Begitu tiba, matanya awas menatap sekeliling, mencari keberadaan Anwar. Suara seseorang dari loadspeaker menyadarkan cewek itu.
            “Penumpang dengan tujuan Amerika diharap bersiap-siap.”
            Disaat Diah mulai putus asa, matanya menangkap seorang cowok sedang berpamitan dengan beberapa orang. Tanpa membuang waktu, dia segera menghampiri Anwar, sambil berteriak memanggilnya, “Anwar… Tunggu dulu.”
            Mereka serentak menoleh ke arah Diah.
            “Diah… Ada apa?” tanya Anwar kaget, begitu Diah berada di hadapannya dengan napas terengah-engah.
            “Tolong jangan pergi. Gue mohon bantu gue” pinta Diah memasang wajah memelas sambil menyodorkan makalah Tugas Akhirnya.
            “Tapi, gue harus pergi sekarang. Maaf…” sahut Anwar menyesal.
            “Gue mohon… Deadlinenya tinggal seminggu lagi” bujuk Diah lagi.
            “Gue benar-benar minta maaf nggak bisa membantu lo.”
***
            Harapan dan perjuangan Diah berhenti. Penolakan Anwar membuatnya tercekat. Sekarang, bagaimana?.
            “Apa yang bisa gue bantu?.”
            Tepukan di pundak Diah, membuatnya menoleh. “Anwar…”
            “Maaf, mengenai kejadian kemarin, ya?.”                               
            “Nggak papa kok. Tapi, kenapa lo sekarang berada di sini?.”
            “Gue memutuskan akan membantu lo.”
            “Lalu, gimana dengan kuliah lo di Amerika?.”
            “Gue berencana akan melanjutkannya di sini.”
            “Terima kasih.”
            “Apa kendala lo?.”
            “Dua hari lalu, gue mengajukan Tugas Akhir ini kepada Pak Rifai. Tapi, beliau menyarankan agar gue merevisinya. Jujur, gue bingung karena sudah enam kali bimbingan, tapi masih gagal terus.”
            “Coba lihat.” Anwar mengambil proposalku dan menelitinya.
            Selama dua jam, aku berkutat menyelesaikan Tugas Akhir dengan dibantu oleh Anwar.
            Thanks ya lo udah mau membantu gue” kataku senang dan merasa lega.
            “Oke. Kapan dikumpulkan?.”
            “Senin depan. Semoga kali ini lolos.”
            “Optimis saja.”
***
            Senin pagi, aku menuju ruangan Pak Rifai setelah mengetuk pintu. “Permisi, Pak. Saya ingin mengumpulkan Tugas Akhir.”
            “Masuk saja. Sudah kamu perbaiki semuanya?.”
            “Sudah, Pak.”
            “Baiklah. Bapak harap kali ini kamu tidak membuat kesalahan lagi” kata Pak Rifai, lalu meneliti Tugas Akhirku dengan seksama. Seketika, wajahnya berubah cerah.
            “Bagus. Tidak ada kesalahan satu pun. Kamu sudah bekerja keras. Kalau begitu, pekerjaanmu dikumpulkan.”
“Terima kasih, Pak” kata Diah tersenyum lebar sambil mengulurkan tangannya, untuk bersalaman.
***
            Kini, Diah berada di Gor Universitas Teknologi Yogyakarta untuk menghadiri wisudanya bersama teman-teman yang lain setelah beberapa minggu lalu mendapat kabar. Menatap berkeliling ke seluruh ruangan. Memperhatikan teman-teman yang lain sedang asyik mengobrol dan tertawa riang. Cewek itu masih tidak percaya mengenai kelulusannya. Matanya tertuju ke beberapa orang yang baru saja mengambil tempat duduk yang memang sengaja sudah dipersiapkan untuk tamu undangan.
            Diah segera menghampiri kedua orangtuanya setengah berlari. “Ibu, Ayah, terima kasih kalian sudah mau datang” katanya riang setelah tiba di hadapan mereka.
            “Wah, lihat Ayah Diah sekarang sudah semakin dewasa. Bukankah begitu?” kata Ibu memuji Diah.
            “Benar. Dan, semakin pintar. Bagaimana kalau nanti kita mengadakan syukuran untuk kelulusannya Diah?” usul Ayah melanjutkan.
            “Ide bagus. Ibu setuju.”
            “Tapi, tidak perlu dirayakan seperti itu. Diah sudah senang Ibu dan Ayah datang ke acara wisudaku.”
            “Tidak apa-apa, Sayang. Sekalian kita berkumpul bersama.”

 
Tanda Tanya “?”


Apa yang dirasakan dan dipikirkannya?
Bersikap tak acuh, seolah tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya, aku tahu sebenarnya dia kesepian.
Diabaikan dan tidak diakui keberadaannya.
Sendiri, dimusuhi teman-teman
Apakah selama ini dia tidak menyadari atau berpura-pura untuk menutupi kesedihannya dengan cara mencari perhatian?
Aku pernah berada diposisinya
Kenapa dia tidak ingin memperjuangkan teman?
Sedangkan aku malah sebaliknya
Aku ingin berjuang agar keberadaanku diakui oleh orang-orang
Oleh karena itu, aku tidak ingin menyerah untuk mencapai puncak
Dan, berkat orang-orang yang pernah memberiku inspirasi, hal itu sangat membantuku dalam mengejar kesuksesan
Aku mengucapkan terima kasih kepada mereka karena sudah memberiku kekuatan baru untuk bangkit

Tidak ada komentar: