SURPRISE
Seorang siswi remaja SMA terlihat sangat muram. Menatap lurus pada buku yang sedang dipegangnya. Membiarkan kesunyian di dalam kelas beralun.
Dua cowok datang mendekat, sehingga membuat Megumi kaget.
“Hai Meg, kamu belum pulang?” sapa Kyu sambil menepuk bahuku, membuatku terpaksa menoleh kearah suara seseorang yang tengah menatapku.
“Belum nih. Meg sedang membuat tugas Bahasa Indonesia” sahutku santai. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda. Lalu, tanpa diminta, Kyu mengambil kursi dan meletakkannya disampingku. Demikian pula Ryu.
Suasana di kelas siang itu memang sangat sepi karena semua teman-temanku sudah pulang ke rumah masing-masing sedari tadi.
“Kyu dan Ryu juga belum pulang??” tanyaku kemudian, tanpa menoleh kearah Kyu dan Ryu, masih tetap tekun menatap buku yang ku pegang.
“Ntar ah. Kyu malas di rumah, nggak ada temennya” sahut Kyu murung.
Meg membiarkan Kyu dan Ryu, dua sahabatnya kini larut dalam keheningan.
“Meg, nanti kamu temenin kita mau nggak?” ajak Kyu ragu-ragu sambil menatapku dalam-dalam.
Aku masih saja sibuk dengan pekerjaanku sehingga aku tidak melihat raut wajah Kyu berubah. Tanpa menolehnya, aku cepat-cepat merespon, “Memangnya Kyu dan Ryu mau kemana sih?” tanyaku penasaran.
“Ada deh…” balasnya lagi. Dan seketika raut wajahnya kembali ceria setelah aku mulai tertarik dengan ajakannya.
“Sorry, Meg nggak bisa, abis tugasnya banyak banget” protesku halus.
“Kalau githu Kyu tunggu Meg aja. Lagian, Kyu nggak sibuk kok. Gimana??” tawar Kyu baik hati.
“Emm…ok deh”. Seketika saja, senyum Kyu mengembang. Sekilas, Kyu dan Ryu saling pandang penuh arti. Aku tidak menggubrisnya.
***
Cuaca hari itu sangat panas. Kami melewati teriknya matahari dengan langkah berat.
Tidak terasa, kami telah tiba di sebuah supermarket yang megah setelah lima belas menit berjalan kaki di tengah jalan raya. Toko atau supermarket “SAGA” ini setiap hari dipadati oleh pengunjung. Tidak jarang pendapatan di supermarket ini lumayan besar dibandingkan dengan supermarket yang lainnya. Selain bangunannya yang megah dan luas, kebutuhan yang kita inginkan telah tersedia, mulai dari perlengkapan rumah tangga sampai games (itu loh yang biasa disebut anak-anak remaja sebagai TIME ZONE) serta ayam goreng kentaki (KFC). Kebanyakan dari pengunjung golongan menengah dan golongan atas saja yang berani berbelanja ke toko tersebut.
“Wah…keren banget ruangannya. Meg bener-bener nggak nyangka bisa kesini” ujarku lagi tanpa henti-hentinya mengagumi ruangan yang berada dihadapanku tanpa berkedip. Selain itu, ruangannya dipenuhi oleh AC sehingga udaranya semakin dingin.
“Kalau githu, Meg mau pesan apa?” tawar Kyu kemudian.
“Terserah Kyu aja deh. Lagian Meg belum pernah nyoba satu pun ayam goreng kentaki” ujar Meg malu.
“Ok”.
Kyu segera berpaling kepada Ryu “Ryu mau pesan apa??” tawar Kyu lagi.
“Terserah Kyu aja” sahut Ryu ramah, yang sedari tadi cuma diam.
“Kalau githu Kyu pesan makanannya dulu ya?”. Belum sempat kami menjawab pertanyaannya, dia sudah pergi memesan makanan kepada pelayan yang sedang sibuk melayani pembeli, meninggalkan kami berdua.
“Ngomong-ngomong tugas Meg tadi udah selesai?” Ryu bermaksud memulai percakapan.
“Udah kok.”
***
Tiga jam telah berlalu dan hari sudah semakin sore. Kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing dengan naik angkot.
“Kyu, thanks ya…untuk hari ini” ucapku senang sekaligus puas.
“Sama-sama” balasnya juga terlihat senang.
Pembicaraan kami berakhir ketika aku sudah turun dari taksi. Aku melambaikan tangan ke arah Kyu dan Ryu. Mereka pun membalas lambaian tanganku.
Setelah Kyu mentraktirku dan Ryu, dia tak pernah kelihatan. Ternyata Kyu bermaksud memberikan kenang-kenangan kepada kami sebelum dia pergi. Kyu tidak punya pilihan selain mengikuti orang tuanya pindah tugas. Kyu belum pernah menceritakan hal ini kepadaku sebelumnya. Bahkan, Ryu yang memberitahuku mengenai kepergiannya.
SURPRISE
Seorang siswi remaja SMA terlihat sangat muram. Menatap lurus pada buku yang sedang dipegangnya. Membiarkan kesunyian di dalam kelas beralun.
Dua cowok datang mendekat, sehingga membuat Megumi kaget.
“Hai Meg, kamu belum pulang?” sapa Kyu sambil menepuk bahuku, membuatku terpaksa menoleh kearah suara seseorang yang tengah menatapku.
“Belum nich. Meg sedang membuat tugas Bahasa Indonesia” sahutku santai. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda. Lalu, tanpa diminta, Kyu mengambil kursi dan meletakkannya disampingku. Demikian pula Ryu.
Suasana di kelas siang itu memang sangat sepi karena semua teman-temanku sudah pulang ke rumah masing-masing sedari tadi.
“Kyu dan Ryu juga belum pulang??” tanyaku kemudian, tanpa menoleh kearah Kyu dan Ryu, masih tetap tekun menatap buku yang dipegangnya.
“Ntar ah. Kyu malas di rumah, nggak ada temennya” sahut Kyu murung.
Meg membiarkan Kyu dan Ryu, dua sahabatnya kini larut dalam keheningan.
“Meg, nanti kamu temenin kita mau nggak?” ajak Kyu ragu-ragu sambil menatapku dalam-dalam.
Aku masih saja sibuk dengan pekerjaanku sehingga aku tidak melihat raut wajah Kyu berubah. Tanpa menolehnya, aku cepat-cepat merespon, “Memangnya Kyu dan Ryu mau kemana sich?” tanyaku penasaran.
“Ada dech…” balasnya lagi. Dan seketika raut wajahnya kembali ceria setelah aku mulai tertarik dengan ajakannya.
“Sorry, Meg nggak bisa, abis tugasnya banyak banget” protesku halus.
“Kalau githu Kyu tunggu Meg aja. Lagian, Kyu nggak sibuk kok. Gimana??” tawar Kyu baik hati.
“Emm…ok deh”. Seketika saja, senyum Kyu mengembang. Sekilas, Kyu dan Ryu saling pandang penuh arti. Aku tidak menggubrisnya.
Satu jam kemudian, tugas yang aku kerjakan sudah selesai. Seperti janjiku tadi, aku akan menemani Kyu dan Ryu pergi, entah kemana mereka akan mengajakku pergi. Aku semakin penasaran. Aku sudah menanyakan itu kepada Kyu berkali-kali. Tetapi, jawabannya tetap sama “Ada dech…”. Dan langkah kaki kami meninggalkan sekolah pun dimulai.
***
Cuaca hari itu sangat panas. Ditengah perjalanan, Kyu cerita banyak hal, terutama mengenai kepergiannya.
“Oh ya, sebenernya Kyu mau ngajak Meg kemana sich?” tanyaku penasaran.
“Liat aja ntar. Kebetulan Kyu sedang mendapat berkah. Sebenernya sich berkah dari Mum. Tapi, Mum memberikannya kepada Kyu” katanya menjelaskan.
“Tapi kalau uang Kyu abis, gimana??” tanyaku bingung sekaligus bercanda.
“Ya nggak lah…. Lagian uang Kyu nggak ada artinya sama sekali jika dibandingkan dengan persahabatan kita. Kyu mau memberikan kenang-kenangan ke Meg dan Ryu sebelum Kyu pindah” nada suaranya terdengar lirih.
“Pindah???? Memangnya Kyu mau pindah ke mana?”. Aku sangat kaget ketika mendengar ucapannya barusan.
“Kyu… mau pindah ke Bandung” sahutnya dengan suara terbata-bata.
“Kenapa… Ehm… maksud Meg kenapa Kyu mesti pindah? Kenapa nggak sekolah disini aja sampe lulus???” mataku mulai berkaca-kaca.
“Kyu gak bisa nglanjutin sekolah di sini. Kyu harus ikut Mum dan Dad kerja.”
Tidak terasa, kami telah tiba di sebuah supermarket yang megah setelah lima belas menit berjalan kaki di tengah jalan raya. Toko atau supermarket “SAGA” ini setiap hari dipadati oleh pengunjung. Tidak jarang pendapatan di supermarket ini lumayan besar dibandingkan dengan supermarket yang lainnya. Selain bangunannya yang megah dan luas, kebutuhan yang kita inginkan telah tersedia, mulai dari perlengkapan rumah tangga sampai games (itu loh yang biasa disebut anak-anak remaja sebagai TIME ZONE) serta ayam goreng kentaki (KFC). Kebanyakan dari pengunjung golongan menengah dan golongan atas saja yang berani berbelanja ke toko tersebut.
“Kyu yakin mau ngajak Meg kesini?. Apa nggak salah?” tanyaku bingung sambil menatapnya heran, tidak percaya.
“Salah???. Ya nggak lah. Kyu bener-bener yakin kok mau ngajak Meg kesini” balas Kyu yakin.
“Masa?!, Meg gak percaya”.
“Yah… dibilangin gak percaya” balas Kyu meyakinkan.
Sambil berjalan menyusuri tangga yang terletak di lantai dua, tiba-tiba saja Kyu menawarkan sesuatu, “Meg, kita makan ayam goreng kentaki combo 6 aja ya…” tawar Kyu kepadaku seraya tersenyum.
Aku yang nggak ngerti apa-apa langsung menyahut, “Iya dech” sahutku tersenyum geli.
“Aduh… Meg belum pernah coba kentaki aja udah sok tau lagi” Kyu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ya… abis Kyu nanya sich. He…he…he…”.
“Wah…keren banget ruangannya. Meg bener-bener nggak nyangka bisa kesini” ujarku lagi tanpa henti-hentinya mengagumi ruangan yang berada dihadapanku tanpa berkedip. Selain itu, ruangannya dipenuhi oleh AC sehingga udaranya semakin dingin.
“Halloo…, Meg, kamu nggak papa kan?” Kyu melambaikan tangannya di depan wajahku yang belum mau mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Eh, iya kok. Meg nggak papa” sahutku kaget.
“Kalau githu, Meg mau pesan apa?” tawar Kyu cepat.
“Terserah Kyu aja deh. Lagian Meg belom pernah nyoba satu pun ayam goreng kentaki” ujar Meg malu.
“Ok”.
Kyu segera berpaling kepada Ryu “Ryu mau pesan apa??” tawar Kyu lagi.
“Terserah Kyu aja” sahut Ryu ramah, yang sedari tadi cuma diam.
“Kalau githu Kyu pesan makanannya dulu ya?”. Belum sempat kami menjawab pertanyaannya, dia sudah pergi memesan makanan kepada pelayan yang sedang sibuk melayani pembeli, meninggalkan kami berdua.
“Ngomong-ngomong tugas Meg tadi udah selesai?” Ryu bermaksud memulai percakapan.
“Udah kok.”
Aku mengambil posisi tempat duduk di pojok tembok sambil menunggu pesanan datang. “Nich, pesanannya”. Tanpa aku sadari, Kyu telah mendaratkan tiga piring dan gelas minuman bersoda. Kami pun melahap kentaki yang berada di depan kami masing-masing dengan penuh selera. Tentu saja aku sangat bersemangat melahap makanan yang berada dihadapanku karena baru pertama kali ini aku ditraktir oleh temanku di toko “SAGA”. Ini benar-benar sebuah kejutan untukku.
“Meg, habisin lho… makanannya” kata Kyu mengingatkan.
“Iya. Tenang aja, Kyu. Meg akan menghabiskan semua makanannya kok” Meg berkata senang, menjejalkan sepotong ayam goreng kentaki ke mulut.
“Kyu juga pernah mentraktir temen-temen sekelas ketika Kyu ulang tahun. Dad kan kerja disini”.
Meg menatap Kyu dengan bersemangat “Oh ya…, enak donk” sela Meg senang, disaat sepotong kentaki masuk ke dalam mulutnya.
“Ya… jelas lah. Pendapatan di KFC ini juga sangat besar tiap harinya. Banyak banget yang datang ke sini. Kadang kalau Dad pulang selalu dibawain kentaki” ujar Kyu puas.
Seiring berjalannya waktu, pengunjung yang sedari tadi bersantai ria menikmati hidangannya masing-masing, kini telah beralih meninggalkan ruangan ber-AC tersebut. Hanya tinggal tiga anak remaja yang masih asyik mengobrol.
“Yuk cuci tangan. Nanti Kyu ajari Meg bagaimana menggunakan air kran disini” ajak Kyu setelah selesai makan. Aku menuruti ajakan Kyu.
Sebelum mencari taksi pulang, kami mampir sebentar di pusat pembelanjaan pakaian. Kyu juga membelikan aku sebuah kaos dan beberapa snack.
Tiga jam telah berlalu dan hari sudah semakin sore. Kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing dengan naik angkot.
“Kyu, thanks ya…untuk hari ini” ucapku senang sekaligus puas.
“Sama-sama” balasnya juga terlihat senang.
Pembicaraan kami berakhir ketika aku sudah turun dari taksi. Aku melambaikan tangan kearah Kyu dan Ryu. Mereka pun membalas lambaian tanganku.
***
Keesokan harinya, Kyu tiba-tiba mengajakku pergi.
“Kyu, kamu mau ngajak Meg kemana sich?, kelihatannya kamu buru- buru” protes Megumi tak henti-hentinya.
“Liat aja ntar” sambung Kyu pendek.
Kami menyusuri sederetan pemuda-pemudi yang tengah asyik duduk berduaan dengan mesra. Aku langsung membelalakkan mata ke arah Kyu.
“Kyu, kenapa kita kesini?. Memangnya gak ada tempat lain ya?” geram Meg marah.
Kyu berpura-pura tidak memperhatikanku. Matanya melayangkan ke sederetan pemuda-pemudi, mencari bangku yang masih kosong.
“Yuk, kita duduk disebelah sana” ajak Kyu, sementara itu tangannya teracung ke sebuah kursi yang berada diujung jendela.
Dengan setengah hati, aku berusaha tersenyum kepadanya.
“Meg, jangan cemberut terus dunk” bujuk Kyu lembut, setelah mereka mendaratkan diri ke sebuah bangku yang dipilihkan Kyu.
Aku balas mencibirnya puas. “Abis Kyu ngajak Meg ke sini. Ini tempat orang yang sedang bermesraan. Apa Kyu gak liat?.”
Ketika kejengkelanku memuncak, Kyu memberikanku sebuah kejutan yang tak terduga. Kyu membungkuk dihadapanku, terpaku menatapku dengan raut wajah serius. Dengan malu-malu, Kyu menyatakan perasaan yang selama ini dipendamnya kepadaku.
Tak kusangka, aku langsung setuju menerima cintanya, tanpa berpikir panjang.
Sudah sebulan, kami menjalin hubungan. Namun, tak terpikir oleh kami, bahwa ada seseorang yang tengah memperhatikan hubungan kami berdua.
“Lho, Ryu belom tidur ya?” sapa Kyu suatu malam, melihat Ryu tengah asyik menonton TV bersama ibu Kyu.
Pandangan Ryu beralih ke Kyu yang baru saja menutup pintu dibelakangnya, seraya berkata “Belom ngantuk” sahut Ryu datar.
“Lain waktu, Kyu usahakan jangan pulang terlalu malam ya?” ibu Kyu memberi nasihat.
“OK”. Kyu menyapu acara TV yang sedang berlangsung, lalu melanjutkan “Ngantuk nich, Kyu tidur dulu ya?” komentar Kyu lelah.
Seakan Kyu menghilang dari bumi, Ryu mulai panik. Ryu bergegas berpamitan kepada ibu Kyu yang masih memandang acara TV, “Tante, Ryu ke kamar dulu”.
Ibu Kyu hanya menganggukkan kepala pelan.
Sedetik kemudian, Ryu bergegas mengejar Kyu yang langsung menghambur ke kamar.
“Kyu, gimana hubungan kamu ama Meg?” tanya Ryu dingin, ketika berhasil mengejar Kyu.
Kyu masih menatap langit-langit, memikirkan jawaban yang akan diberikannya kepada Ryu.
Lalu, Kyu menoleh “Benar-benar lancar, tak ada hambatan satu pun” tukas Kyu nyengir.
Ryu bingung dengan jawaban yang diberikan Kyu, entah apa maksudnya.
Tak lama kemudian, Kyu dan Ryu tertidur pulas, tidak memusingkan lagi keributan acara TV yang membuat kepala pening.
Esok datang begitu cepat. Kyu merasa letih begitu beranjak dari tempat tidur. Sementara itu, Ryu sudah bertengger di meja makan, siap menikmati hidangan pagi itu. Terdengar suara nyaring Ibu Kyu yang tak bosan memanggil anaknya agar lekas menuju meja makan.
“Kyu, kamu belom bangun juga?!. Ini sudah siang!” seru Ibu Kyu kesal, mengetuk pintu kamar Kyu.
Kyu menguap lebar-lebar, membukakan pintu untuk ibunya yang sedang menceramahinya tentang “etika bangun tidur yang baik”.
“Maaf ya bu, Kyu capek banget semalam” timpal Kyu muram.
Terdengar bunyi mendesis yang dilontarkan Ibu Kyu kepada anaknya. “Kyu cepat cuci muka lalu mandi, dan setelah itu turun ke meja makan. Ryu sudah menunggu Kyu dari tadi” omel Ibu Kyu kesal.
“Iya” sahut Kyu malas.
Waktu sarapan pagi hampir lewat, ketika Kyu sedang menuruni tangga yang tak terhitung jumlahnya.
“Pagi, Ryu” sapa Kyu lemas. Ibu Kyu sudah beranjak dari kursinya. “Kyu merasa hari ini ada yang aneh” Kyu berkomentar tak jelas.
“Apa yang aneh, Kyu?” sambung Ryu lambat-lambat, alisnya terangkat.
“Mum”.
“Ibu Kyu?” lanjut Ryu masih tak mengerti.
“Ya. Mum marah-marah pagi ini. Apa tidurnya tidak pulas ya semalam?” kata Kyu terus terang, nyengir.
Ryu tak tahu harus tertawa atau simpati, melihat sahabatnya yang sedang tertimpa kemalangan. “Mungkin Ibu Kyu sedang banyak pikiran” Ryu menghibur, bangkit dari kursi seraya mengambil piring dihadapannya.
“Yeah, Ryu benar. Orang dewasa memang banyak yang dipikirkan” gumam Kyu lirih, sembari mengenyakkan diri ke kursi, tepat disamping Ryu.
Sisa hidangan pagi itu yang tersaji di meja cukup banyak. Namun, Kyu tidak bersemangat melahap hidangan tersebut. Hingga akhirnya, Kyu hanya memasukkan dua potong ayam goreng ke mulutnya dengan asal-asalan, yang hanya ditemani oleh udara dingin disekitarnya.
Kyu menghabiskan satu jam dengan memandangi meja di hadapannya dengan tatapan kosong. Ryu telah berbalik membantu Ibu Kyu mencuci piring. Sebaliknya, Kyu sekali lagi mendapat serangan bertubi-tubi dari Ibunya sendiri, yang segera dibalas Kyu dengan jawaban “YA” atau “TIDAK”.
Pertemuan Kyu dengan Meg ketika matahari hampir terbenam, bisa membuat suasana hati Kyu sedikit lebih cerah sehingga pertengkaran dengan Ibunya pagi itu telah dilupakannya dalam sekejap.
Silaunya matahari membuat wajah Kyu dan Meg memerah. Mereka menikmati keindahan panorama sore menjelang petang itu dengan bergairah.
Udara pantai semakin dingin, beberapa orang yang menikmati keindahan matahari terbenam mulai berhamburan pulang. Ada sepasang kekasih yang masih duduk-duduk di pasir. Ternyata, masih ada seorang lagi dan tak menggandeng cewek, memandang tajam ke arah sepasang kekasih tersebut.
“Ryu?!”.
Ryu terlonjak begitu mendengar suara yang dikenalnya menyapanya. Dia baru menyadari bahwa Kyu dan Meg sudah pergi dan menemukannya sedang memperhatikan mereka berdua.
Ryu berbalik menghadap Kyu dan Meg yang masih terpaku, aneh melihatnya berdiri sendirian di pantai..
“Ryu sedang mencari udara segar” sengal Ryu salah tingkah, berusaha tersenyum semanis mungkin.
“Ryu gak bohong kan?” tanya Kyu penuh curiga.
“Gak kok. Kyu gak percaya ya?” sahut Ryu masih gugup.
“Kyu tadi liat Ryu berdiri di bawah pohon ini sudah lama. Jadi, Ryu jujur aja. Ngapain Ryu memperhatikan kami?. Kyu sebenarnya sudah tahu bahwa Ryu memperhatikan kami sudah lama. Tapi, Kyu tidak tahu pasti apakah dugaan Kyu benar” kata Kyu menjelaskan panjang lebar.
Masih tersenyum, Ryu melanjutkan “Kyu ngomong apa sich?. Ryu gak ngerti?” potong Ryu bertampang polos.
Ryu yang melupakan bahwa Meg juga berada di dekatnya, langsung menyapanya “Hai, Meg”.
“Eh…ya” sengal Meg kaget.
Kyu yang baru saja mendapat suntikan es cepat-cepat berpaling kepada Meg yang masih shock. Shock antara takjub dan heran melihat perubahan suasana antara Kyu dan Ryu.
“Meg, kamu gak papa kan?” tanya Kyu cemas.
“Eh, gak papa kok” Meg berusaha tersenyum, masih kaget.
Wajah Ryu yang masih tetap tersenyum, mendahului Kyu yang akan membuka mulut “Kyu, Meg, Ryu pulang dulu ya. Ada pekerjaan yang belum Ryu selesaikan. Bye…”. Ryu berbalik memunggungi Kyu dan Meg yang masih menatapnya tak percaya.
“Sepertinya sikap Ryu tadi sedikit aneh ya, Kyu?” Meg tiba-tiba saja melontarkan pertanyaan, yang tidak langsung disambut Kyu dengan jawaban.
Kyu menarik nafas dalam-dalam.
Awan mulai menghilang. Begitu pula matahari telah kembali ke pangkuan-Nya. Sepasang kekasih telah meninggalkan aroma pantai yang mulai dingin.
Kepulangan sepasang kekasih tadi, telah dinantikan oleh keluarganya. Namun, suasana hati Kyu tidak juga membaik.
Di meja makan, suasana hati Kyu maupun Ryu tak bisa ditebak. Mereka hanya melahap hidangan di depannya dalam diam. Beberapa kali Ibu Kyu menanyai keadaan mereka berdua, jawabannya selalu sama “BAIK” dan “TAK ADA MASALAH”.
Setelah mengisi perut, Kyu dan Ryu mengunjungi kamar. Mereka berdua seakan rindu dengan kasurnya yang empuk. Masih berjalan dalam diam.
Kyu tidak memandangnya. Ryu juga tidak merasa perlu dipandang.
Lima belas menit dalam kebisuan, akhirnya Kyu memutuskan untuk memulai pembicaraan “Kyu minta maaf mengenai kejadian di pantai kemarin sore” katanya menyesal.
“Tidak… Kyu tidak salah kok. Ryu yang seharusnya minta maaf karena Ryu bersikap tidak sopan kepada Kyu” jelas Ryu panjang lebar. Tetapi, tergambar dengan jelas di wajah Ryu dia hanya berpura-pura.
Ryu berbalik memunggungi Kyu, menatap bintang yang bersinar di langit malam melalui celah jendela.
Kyu menimbang-nimbang sejenak apakah dia akan memberitahukan hal ini kepada Ryu.
“Ryu?” panggil Kyu berhati-hati, beralih memandang Ryu yang masih memunggunginya.
Ryu membalikkan tubuhnya hingga telentang, segera memandang Kyu “Ya”.
“Ryu suka Meg?” tanyanya terbata-bata.
Alis Ryu mulai mengerut. “Apa?. Kyu bicara apa?. Kyu mungkin mengantuk jadi pikirannya sudah kacau. Kita tidur saja ya?” kata Ryu membelokkan pembicaraan.
“Kyu sudah tahu kalau Ryu suka Meg sejak kita makan bersama di KFC. Jadi, Kyu mohon Ryu jujur saja”.
Darah Ryu hampir mau menetes. Akhirnya Ryu terpaksa menyerah.
“Ryu memang sudah lama menyukai Meg. Tapi, Ryu sengaja menyembunyikan semua ini dari Kyu” celutuk Ryu gusar, takut Kyu membentaknya, tapi alih-alih Kyu menyapu Ryu yang sengaja tidak memandangnya.
“Kenapa Ryu tidak mau bilang kepada Kyu?. Kita sudah lama bersahabat kan?” timpal Kyu cepat.
“Karena Ryu tahu Kyu juga menyukai Meg. Ryu gak pengen hubungan Kyu dan Meg juga berantakan” sengal Ryu, memberanikan diri mendongak ke arah Kyu.
“Ryu bicara apa sich?. Nggak mungkin kita bertengkar karena hal kecil seperti ini” bantah Kyu lembut.
Ryu baru saja mendapat suntikan segar dari Kyu. Dia lega bahwa Kyu tidak akan memutuskan persahabatan dengannya.
Lalu, tanpa disadari, Kyu melompat bangun dari tempat tidur dan menengadah memandang Ryu. “Ryu, selama ini Kyu tidak pernah minta apapun dari Ryu. Kyu mohon Ryu mau mengabulkan satu permohonan untuk Kyu” bisik Kyu memohon, ekspresi wajahnya serius.
“Apa itu, Kyu?”.
“Tolong jaga Meg baik-baik selama Kyu pergi. Ryu mau kan memenuhi permohonan Kyu?”.
Ryu menimbang-nimbang sejenak, mengapa Kyu menyuruhnya menjaga Meg. Ryu pun berkata “Baiklah, untuk Kyu. Ryu akan menjaga Meg sampai Kyu kembali”.
Kyu langsung memeluk Ryu erat-erat, yang disambut Ryu dengan pekikan kaget. “Kyu…!”.umpat Ryu kesal.
“Maaf, Ryu. Tapi, Kyu senang sekali. Kyu akan memberitahu Meg”.
“Jangan. Ryu mohon. Biarkan ini menjadi rahasia kita berdua. Ryu nggak mau Meg sedih” potong Ryu kemudian, ada nada tegas dalam suaranya.
“Baiklah” sahut Kyu ringan. Kyu melanjutkan dengan mantap “Kalau githu, Kyu berjanji kepada Ryu”.
“Apa?”.
“Itu rahasia…” sorak Kyu penuh kemenangan. Ryu membalasnya dengan seulas senyum
Tiga tahun telah berlalu, aku tidak pernah lagi melihat Kyu. Sepanjang hari, aku selalu ditemani Ryu. Ryu menepati janjinya demi Kyu. Janji bahwa mereka berdua tidak akan pernah berbohong. Dua anak yang memiliki ikatan persahabatan yang dilandasi ketulusan hati yang kuat, membawa kepercayaan penuh yang tak bisa dihancurkan oleh apapun juga. Ibu Kyu menyuruh Kyu terus mempercayai Ryu karena hanya dia yang bisa melakukannya. Itu yang paling penting. Kalau kita yakin bahwa ada orang yang selalu mempercayai diri kita, mungkin tidak akan banyak orang yang melakukan kejahatan.
Perpisahan yang mendadak membuat Meg merasa sangat terpukul oleh kepergian Kyu.
“Ryu…” panggil Meg suatu hari ketika mereka berada di taman.
“Ya?” sahut Ryu pendek.
“Kyu gak pamitan sama Ryu ya?. Kok sama Meg Kyu gak pamitan sich??” tandas Meg sedih.
“Kyu pamitan sama Ryu. Tapi, Kyu menyampaikan pesan buat Meg” hibur Ryu yang langsung disambut Meg dengan gembira.
“Kyu bilang Meg harus jaga diri baik-baik. Kalau Kyu sudah pulang, Kyu akan menghampiri Meg untuk yang pertama kali.”
“Benarkah??. Terima kasih ya, Ryu”.
“Tentu saja.”
SEULAS KENANGAN
Aku siswi SMA yang mempunyai banyak kenangan bersama teman-teman, walaupun kenangan itu hanya bisa aku rasakan sesaat saja, namun kenangan itu akan tetap terukir abadi selamanya dihatiku. Seulas kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan dalam diriku bersama orang-orang yang aku sayangi.
“Reta, kapan-kapan aku boleh tidak main ke rumah kamu?” tanya Arita ketika kami sedang mengamati kendaraan lalu lalang.
“Boleh aja” sahutku singkat.
“Emm… sekalian besok bawain biskuat cokelat krim lagi ya?. Aku mau nambah lagi nih, masih kurang” sambung Arita sambil cengengesan.
“Ok. Besok aku bawakan sekardus ya?” gurauku sambil tertawa.
“Yah… terserah kamu aja. Tapi, gratis ya?. He he he”.
“Bayar donk…, masa gratis sih”.
“Itu kan tanggung jawab penjualnya…”.
“Enak aja”. Kami tertawa bersamaan.
Kami telah berteman lama. Arita mudah menyesuaikan dengan lingkungannya. Aku bahkan pernah pergi ke rumahnya. Rumahnya sangat tersembunyi. Arita pun telah mengunjungi rumahku beberapa kali.
Satu tahun berlalu begitu cepat, sehingga tidak terasa waktu itu sudah berganti dengan hari yang ditunggu-tunggu oleh kami sekaligus hari yang menegangkan. Hari dimana kami akan mendengarkan pengumuman kelulusan. Hanya sebagian teman-temanku yang merasa santai mengenai adanya beberapa pengumuman yang akan disampaikan kepada kami. Dan salah satunya adalah teman-temanku yang jenius dalam hal pelajaran.
Sejak pengumuman itu, aku tidak pernah kembali ke sekolah lagi karena sibuk mengurusi kepindahanku. Padahal, masih ada beberapa pengumuman yang belum disampaikan oleh guru mengenai keberangkatan rekreasi minggu depan. Tetapi, semua itu sia-sia saja buatku karena aku tidak akan bisa ikut rekreasi bersama mereka.
Sampai, perpisahan itu datang. Aku tak kuasa menolaknya. Perpisahan yang sangat menyakitkan hatiku. Dengan terpaksa, aku harus meninggalkan tempat kelahiran beserta teman-temanku. Mengikuti ayahku kerja.
“Reta, aku ikut ke bandara boleh tidak?” tanyanya, saat di rumahku.
“Mau ngapain ke bandara?” tanyaku heran.
“Yah, ngantar kamu. Masa mau mandi?”.
“Boleh sih, tapi kalau orang tua kamu nyariin gimana?”.
“Aku kan cuman pergi sebentar”.
Disaat-saat detik terakhir, aku masih sempat melambaikan tangan padanya. Dia mengantarku ke bandara. Bahkan, ketika pesawat sudah melesat di udara, aku masih bisa melihatnya. Dia tersenyum padaku. Terakhir, dia berkata, “Reta, hati-hati ya?. Dan jangan lupain aku ya?”. Aku pun tersenyum simpul mengingat kata-katanya itu. Air mataku pun berjatuhan.
Begitulah, kehidupan yang aku lalui bersama Arita. Arita adalah teman yang menyenangkan buatku. Membuat hatiku menjadi lebih baik.
***
Lulus dari sekolahan itu, kami semua berpisah. Aku pun pergi meninggalkan mereka semua untuk selamanya. Hanya beberapa teman-temanku yang mengetahui kepergianku, termasuk Arita. Walaupun, aku tidak tau pasti apakah aku masih diberi kesempatan agar dapat menemui mereka lagi atau tidak.
SEBUAH KEAJAIBAN
Suasana pedesaan telah membuat hati Savira damai. Ia telah nyaman berada di tempat kelahirannya berkumpul bersama keluarga dan sahabat terbaiknya, Sandi. Ia tinggal di sebuah rumah yang tidak jauh dari kereta api. Usia mereka telah menginjak tujuh belas tahun, yang tentunya mereka telah melanjutkan di tingkat SMA. Suka dan duka mereka lalui bersama. Tak jarang, teman-temannya pun memberi sindiran mengejek kepadanya.
***
Masa SMA telah lewat. Tiga tahun dilewatkan Savira bepergian ke luar negeri untuk melanjutkan kuliahnya di Paris.. Namun, ia masih memikirkan Sandi yang jauh didalam lubuk hatinya merindukan kehadirannya. Padahal, ia telah disibukkan oleh berbagai macam tugas dari dosen. Ia menempuh hari yang terasa berat dengan gelisah.
Semester pertama, salah seorang siswa baru muncul di ruangan Savira..
“Hay… Ngomong-ngomong kita belum kenalan. Nama gue Sandi. Lo…?” sapa Sandi ramah.
Savira sangat kaget mendengar nama itu. Tidak mungkin sahabatnya kini berada dihadapannya. Bukankah dia sedang berobat??? Untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya?. Buru-buru Savira menjawab pertanyaan Sandi “Vira” sahutnya klise.
Hari liburan semester mereka telah merencanakan akan berlibur ke Paris. Sandi mengajak Savira makan malam. Tetapi… sudah hampir dua jam dia belum juga datang. Perasaan Savira menjadi gelisah. Tanpa dikomando, ia meraih handphone dari dalam sakunya. Ia mencari nomor handphone Sandi dan memanggilnya. Beberapa lama kemudian, seorang cewek diseberang menyahut
“Ya… hallo.”
“Maaf, ini dengan siapa ya??. Kalau boleh, saya bisa berbicara dengan Sandi??” perasaannya masih was-was.
“Oh… pasien yang sedang terbaring ini ya??. Tadi, dia mengalami kecelakaan, ditabrak motor.”
Sebelum suster menjelaskan lebih lanjut, Savira sudah buru-buru menyelanya “Sekarang dia dirawat dimana ya, suster?”.
“Di Rumah Sakit Harapan”.
Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, ia buru-buru memutuskan sambungan telepon dan berlari menemui Sandi.
Dia meringkuk dihadapan Sandi yang terbaring lemah di rumah sakit. Sepanjang hari, dia selalu berdoa untuk kesembuhan sahabatnya itu. Setelah lewat tiga hari Sandi koma, matanya sudah mulai terbuka dan ini yang membuat Savira bersyukur.
“Lo udah bangun??, syukurlah… Bentar ya, gue panggilin dokter dulu” sapa Savira senang begitu tiba di Rumah Sakit Harapan.
“Gue ada dimana??”.
“Di rumah sakit. Lo tertabrak motor di jalan dan lo koma selama tiga hari.”
Sandi berusaha mengingat kejadian itu. “Jadi, lo yang udah menjaga gue?.”
Savira membalasnya dengan anggukan kecil.
“Thanks ya…. Gue juga minta maaf karena kita batal ngadain makan malam waktu itu” Savira benar-benar merasa iba melihat raut wajahnya yang kusut.
“Udahlah… lupain aja. Lagian, semua ini bukan kesalahan lo. Ini kan kecelakaan.”
Setelah keadaan Sandi sudah mulai membaik, akhirnya dia diijinkan pulang ke rumah. Savira tak henti-hentinya merawat Sandi ketika ia mempunyai waktu luang.
Dua hari berlalu, dia bisa melakukan kegiatannya sehari-hari.
Malam minggu, Sandi tiba-tiba saja mengajak Savira pergi. Savira sendiri tak kuasa menolaknya. Ia berdandan di cermin tidak seperti sebelum kecelakaan itu terjadi.
“Gue udah siap” Savira berdiri tegak dihadapan Sandi yang sedang terbengong.
Dia hanya mengangguk pelan. Dan ia menyalakan motornya. Motor itu melaju kencang menuju ke sebuah kafe seperti biasanya, selalu romantis.
“Lo kok ngajak gue kesini?” tanyanya heran.
Tanpa diduga-duga dan tanpa ada kata pembuka, Sandi mengutarakan perasaanya yang membuat Savira kaget.
“Tapi…” sahut Savira terharu.
“Kalau lo nggak bisa jawab sekarang, gue nggak maksa kok”.
***
Ternyata tiga bulan yang dilalui Sandi tidak sia-sia. Kehadiran Savira dihadapannya telah mengobati rasa sakit yang dideritanya selama ini. Dokter pun memberikan kabar baik bahwa penyakit yang dideritanya telah sembuh total. Apalagi, kini Savira telah menjadi kekasihnya.
MENGAKUI KESALAHAN
“La, kita jadi ke rumah kamu kan?” bisikku kepada Lela.
“Iya donk… Shinta, Intan, Okta, Tari gimana?. Mereka jadi ikut tidak?”, Lela kembali berbisik.
“Tentu. Udah pasti mereka juga ikut”.
Ocehan Bu Pur mengenai logaritma yang segera berakhir membuat kami senang. Begitu bel berbunyi, kami berhamburan keluar kelas. Kami bermaksud akan mengadakan belajar kelompok di rumah Lela.
“Kalian masuk duluan aja” ujar Lela begitu tiba di depan rumahnya.
Tiba-tiba, Okta berteriak lantang, membuat kami ikut menoleh ke arahnya, “Tunggu dulu. Kita pesan rujak yuk… Disana ada rujak tuh” katanya seraya mengacungkan tangannya ke arah tempat rujak itu berhenti.
“Yuk. Tapi, yang beli siapa?”.
“Aku temenin deh. Uangnya patungan ya?” lanjut Intan menambahi.
“Ok” sahut kami bersamaan.
Masing-masing dari kami menyerahkan selembar uang ribuan kepada Okta. Setelah uang terkumpul, mereka berdua segera pergi. Sedangkan kami menunggu mereka berdua di rumahnya Lela.
Beberapa menit kemudian, ku lihat Okta tengah membawa seplastik yang berisi rujak. Lela segera mengambil piring dan meletakkannya. Lalu, kami pun melahap rujak itu dengan bersemangat. Alhasil, kegiatan belajar kelompok kami sedikit tertunda.
Seusai menghabiskan sepiring rujak, kami kembali menekuni tugas yang diberikan oleh Bu Rina. Beliau lah yang menggantikan mantan guru fisika kami yang terdahulu.
***
Pagi-pagi buta, teman-temanku tengah berkumpul di kelas. Mereka terlihat mondar-mandir kesana kemari mencari jawaban. Maklum, sebagian dari mereka belum mengerjakan tugas. Selain itu, belum ada tanda-tanda bel berbunyi. Kesempatan emas inilah yang digunakan mereka untuk membujuk teman-temannya agar mau memberikan jawabannya secara gratis.
“Tar, aku liat jawaban kamu boleh tidak?. Masih ada sebagian soal yang belum aku kerjain nih…” pinta temenku memelas. Sikapnya yang egois memang membuat teman-teman merasa enggan meminta bantuan kepadanya. Terkadang, Tari enggan memberikan jawabannya kepada teman-temanku. Walaupun, kadang dengan cara memelas pun tidak juga berhasil.
“Kamu kemarin ke mana aja?. Kenapa belum mengerjakan?”.
“Aku udah ngerjain. Tapi, ada yang tidak ketemu jawabannya”.
“Wah, kalau githu sorry banget. Jawaban aku juga belum lengkap” timpal Tari cuek.
Tari kembali mengitari meja teman-temanku.
***
Kantin sekolah.
“Tar, menurutku sikap kamu tadi sedikit egois deh” kataku memulai pembicaraan, menatapnya tenang.
“Maksud kamu apa?” tukas Tari mulai terpancing keadaan.
“Aku hanya ingin menasehati kamu aja. Yah… tidak ada ruginya kan kalau kita membantu teman”.
“Kamu selalu sibuk dengan urusan orang lain ya?”.
“Bukannya githu. Tapi…”.
Emosinya Tari hampir meledak. “Udahlah… Aku capek dengerin nasihat kamu setiap hari” potong Tari berang, bangkit dari kursi, dengan tatapan terhujam ke arahku.
***
Kejadian di kantin beberapa hari yang lalu membuat komunikasiku dangan Tari terputus. Sampai suatu ketika Tari mendatangiku dengan tiba-tiba.
“Rim, aku minta maaf ya atas kejadian di kantin waktu itu. Aku tidak bermaksud…”.
“Tidak masalah kok. Lagipula aku sudah maafin kamu dari dulu. Jadi, kamu tenang aja. Tapi, kenapa kamu bisa berubah secepat ini?”.
“Aku sadar karena selama ini aku terlalu egois. Karena itu, aku dibenci teman-teman” balas Tari dengan nada menyesal.
“Kamu tidak dibenci kok. Mereka menjauhi kamu karena mereka takut”.
“Takut kenapa?”.
“Emm… aku tidak bermaksud menyakiti hati kamu. Mereka sudah mengenal kamu sebagai anak yang judes. Jadi,”.
“Iya, aku tahu itu. Tidak masalah kok mereka menganggap aku seperti itu” potong Tari dengan kepala menunduk. “Sekali lagi aku minta maaf ya…” tambah Tari kemudian.
“Ok”.
***
Lela sudah menyadari kesalahannya. Lela bersedia mengulurkan tangannya demi membantu teman. Kini, dia menjadi bintang hati di kelas. Teman-temannya pun mulai menyayanginya.
Sifat manusia bisa berubah. Tergantung dari kemauan manusia itu sendiri. Setiap perubahan berawal dari kesalahan. Dengan menilai setiap kesalahan yang telah kita perbuat, kita bisa menjadikan sesuatu yang baru. Memperbaiki kesalahan dimasa lalu akan terasa ringan. Kita bisa merasakan ketentraman lahir dan bathin. Bukankah meminta maaf adalah sesuatu yang sangat mulia?.
KESADARAN BUAH SURGA
“Ren, bukankah sudah ku bilang, memetik buah miliknya orang lain itu berdosa. Apa kamu belum mengerti juga?” tanyaku kepadanya.
“Iya, iya. Aku mengerti” jawab Rendra.
“Iya, iya. Tapi, tidak dilakukan juga” kataku jengkel.
Rendra mengabaikan nasihatku. Ku lihat Rendra sudah pergi jauh. Aku hanya bisa menghela napas pasrah.
“Damar, sini” panggil Rendra dari kejauhan.
Ada apa lagi?, tanyaku dalam hati.
Aku segera menghampiri Rendra yang sedang melambaikan tangannya.
“Ada apa?” tanyaku setelah mendekatinya.
“Lihat. Buahnya merah, pasti enak” katanya lagi, menunjuk buah rambutan.
“Maaf Ren, aku tidak mau ikut. Mencuri itu perbuatan tercela. Lebih baik, urungkan saja niatmu itu” kataku menasehatinya.
“Terserah kalau kamu tidak mau” katanya.
Berhari-hari, kelakuan Rendra tak kunjung berubah. Setiap ada buah segar, pasti dia ambil, tanpa meminta ijin kepada pemiliknya. Aku juga tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk menasehatinya.
***
Tanpa diduga, Rendra melihat sesuatu yang menarik hatinya. Tampak beberapa orang berkerumun di sebuah toko, tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Rendra menuju toko tersebut. Dia berusaha menyelipkan tubuhnya diantara kerumunan orang.
“Cepat, bawa dia ke kantor polisi” bentak pemilik toko kepada seorang pemuda yang ketakutan.
“Tolong jangan bawa saya ke kantor polisi” kata pemuda itu memelas.
“Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu” kata pemilik toko.
“Pak, bawa dia ke kantor polisi” katanya lagi.
Seorang satpam bertubuh kekar, segera membawa pemuda itu dengan paksa.
“Bu, tolong jangan bawa saya ke kantor polisi. Saya akan mengganti semua kerugiannya” kata pemuda itu.
“Itu tidak cukup dengan apa yang telah Kau ambil”.
Ada perasaan bersalah menyelimuti hati Rendra. Perasaan yang selama ini tidak diketahuinya. Dia baru sadar setelah menyaksikan peristiwa yang berharga itu.
***
Setiba Rendra di rumah, dia menceritakan kejadian yang baru saja dilihatnya kepada ibunya. Matanya berkaca-kaca.
“Kamu tidak perlu bersedih. Yang terpenting sekarang, Rendra sudah sadar kalau perbuatanmu itu salah. Alangkah baiknya jika Rendra meminta maaf kepada orang yang telah kamu sakiti. Dan jangan lupa minta ampun kepada Allah. Semoga Allah mengampuni kesalahan Rendra. Tapi, Rendra harus berjanji tidak akan mengulanginya lagi” kata ibu.
“Iya, Bu. Rendra berjanji tidak akan mengulangi semua perbuatanku lagi” katanya.
***
Keesokan harinya, Rendra benar-benar membuktikan ucapannya. Dia mendatangi orang yang pernah disakitinya sekaligus meminta maaf. Tidak lupa, dia juga mendatangi sahabatnya.
“Damar, aku minta maaf kalau sikapku dulu kasar. Sekarang aku baru sadar kalau ucapanmu itu ada benarnya” kata Rendra.
“Iya, sobat. Aku sudah memaafkanmu. Aku senang kamu sudah sadar”.
SAHABAT ADA DIHATI
Terkadang, ikatan persahabatan yang kuat akan melemahkan mental seseorang. Begitulah yang dialami oleh Rahmi. Dia adalah seorang pelajar SMA. Sedangkan Andy adalah teman sebangkunya. Mereka menjalin rasa persahabatan yang semakin akrab dan hangat.
Benih-benih cinta baru diantara mereka pun mulai mekar. Dulu yang begitu percaya diri, sekarang bergetar di hati.
“Ra, sepulang sekolah nanti gue tunggu lo di taman ya?” ujar Andy serius, hendak berbalik pergi.
“Memangnya lo mau ngomong apa?” tanya Rahmi ketika mereka duduk-duduk di taman. Sekolah sudah bubar sedari tadi.
“Gini lho. Nanti malam ada acara pertemuan antar keluarga di rumah gue jam tujuh. Lo bisa datang kan?” tanya Andy lagi menjelaskan.
“Iya, Insyaallah” desah Rahmi ragu.
***
Acara pertemuan itu belum dimulai ketika Rahmi beserta keluarganya tiba. Namun, hidangan telah tertata rapi di meja makan. Rumah pun telah sedap dipandang mata.
“Ayo, silahkan duduk” sapa ibu Andy melihat keluarga Rahmi datang.
“Iya, tante” balas Rahmi kepada beliau, seraya mendaratkan tubuhnya ke sebuah kursi empuk.
Waktu dari perjanjian telah berlalu. Kami memulai acara sedikit terlambat. Bu Rizka, guru Bahasa Inggris kami terlambat datang karena anaknya sakit. Alhasil, acara dimulai pada pukul delapan. Ternyata, acara pertemuan itu membahas seputar hubungan antara Rahmi dan Andy. Bu Rizka menyarankan agar hubungan Rahmi dan Andy dibatasi. Beliau menyarankan agar mereka lebih fokus pada pelajaran. Rahmi pun baru mengetahuinya kalau Bu Rizka adalah sahabat baik ibunya Andy.
Rahmi dan Andy tidak ambil pusing mengenai nasihat Bu Rizka kemarin malam. Jalani saja apa adanya. Itulah kata kesepakatan yang telah mereka ambil. Tentu saja, Bu Rizka segera naik pitam. Mempermasalahkan hubungan kami di dalam kelas.
“Ra, nanti malam lo ada acara nggak?” celutuk Andy di kantin.
“Kayaknya nggak ada” balas Rahmi kemudian, menyeruput es jeruknya yang masih setengah.
“Kalau githu, gue jemput lo jam tujuh ya?. Ada yang mau gue omongin” Andy langsung berbalik pergi, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Udara atmosfer disekitar Rahmi sedikit berubah. Kata-kata yang diucapkan Andy tadi cukup serius.
***
Rahmi telah siap dengan kemeja hijaunya. Satu menit telah dilewatkan Rahmi menunggu Andy di depan teras. Sebuah motor melaju dengan kecepatan sedang mendarat di halaman rumahnya.
Andy memarkir motornya di sebuah restoran mewah.
Rahmi hendak memasukkan salad ke mulutnya, ketika Andy mengatakan sesuatu yang membuat ia mati rasa. “Ra, gue pengen kita putus” tukas Andy menyakitkan hatinya.
Refleks, Rahmi menjatuhkan sendoknya hingga terpelanting. “APA?!!” timpalnya shock bercampur tidak mengerti. Kontan, tatapan orang-orang langsung tertuju kepada Rahmi. Kenapa Andy mengatakan hal itu?. Bukankah kita sudah berjanji akan menjaga hubungan kita?.
“Iya, gue pengen kita putus” Andy mengulanginya lagi dengan terbata-bata.
“Kenapa??!!”. Rahmi masih tetap tidak bisa terima.
“Karena gue nggak pengen lo menderita”.
“Apa maksud lo?”.
“Udahlah, jangan tanya lagi” Andy mendorong kursinya lalu pergi.
Saat ini, suasana hati Rahmi seperti segenggam es. Bingung dengan apa yang baru saja dialaminya. Putus?!. Semudah itukah Andy mengatakan hal itu?!.
***
Telinga Rahmi masih kuasa mendengarkan berita yang telah beredar di sekolah. Kabar mengenai berakhirnya hubungan mereka berdua. Penyebab hubungan mereka telah berakhir tak lain karena Bu Rizka. Beliau berhasil membujuk ibu Andy agar menjauhkan mereka selama-lamanya.
Setahun telah mereka lewati dalam kebisuan. Tak saling menyapa satu sama lain. Bertatap muka pun jarang. Sepertinya, Andy sengaja menghindar dari Rahmi. Gosip yang beredar menjawab semuanya. Andy telah menemukan pasangannya yang baru dengan persetujuan Bu Rizka.
Memang sulit melepaskan seseorang yang kita cintai. Namun, waktu masih panjang. Kita bisa memulai sesuatu yang baru. Ikhlaskanlah kepergiannya. Mungkin, dengan cara itu hati kita bisa tenang. Asalkan, ikatan persahabatan itu masih ada di hati kita. Saat itulah kita tahu, ikatan itu akan abadi selamanya.
AKU, KAKEK dan PERUSAHAAN
Terjadi keributan di sebuah rumah mewah di desa Mawar. Perdebatan yang tak kunjung usai itu membuat beberapa tetangga penasaran. Rumah itu milik seorang kakek Saman yang telah mengelola perusahaan selama tiga puluh tahun. Perusahaan yang cukup terkemuka di daerahnya.
“Kek, Kikan tidak mau mengelola perusahaan itu. Apa Kakek masih tidak mengerti juga?!” raungku pedas.
“Tapi, ini semua demi kepentinganmu”.
“Kikan tetap tidak mau, Kek!”.
“Baiklah, kalau kamu tidak mau. Tapi, jangan harap kakek akan mengijinkanmu tinggal disini!” balas kakek naik darah.
“Ok, kalau kakek pengen Kikan pergi dari sini!. Itu tidak masalah buat Kikan. Sekarang juga Kikan akan pergi dari rumah ini. Selamat tinggal” tukas Kikan dengan berapi-api. Kikan benar-benar meninggalkan kakeknya. Membawa sebuah koper yang berisi pakaian.
Kikan melangkah dengan linglung. Tanpa tau ke mana arah tujuannya.
“Kan, kamu ngapain malam-malam disini?” sapa Brian kaget menemukan sahabatnya berjalan sendirian di jalan raya.
“Aku baru saja diusir dari rumah oleh kakek”.
Kikan menangis sesegukan.
“Terus, kamu mau kemana sekarang?”.
“Aku sendiri tidak tau mau kemana”.
“Bagaimana kalau untuk sementara ini kamu tinggal di rumah bibiku?”.
“Tapi…”.
“Udahlah. Hanya untuk sementara kok. Ok?. Kamu mau kan?. Daripada kamu mondar-mandir tidak jelas kayak gini”.
Kikan hanya bisa mengangguk pasrah. Kikan pun menceritakan masalah yang dialaminya kepada Brian. Brian hanya bisa mengelus dada.
***
“Kan, tadi malam kakek telepon aku. Dia pengen ketemu kamu” ujar Brian disela jam istirahat kampus.
“Kakek mau ketemu aku?. Apa tidak salah?” balas Kikan cuek, berbalik memunggungi Brian hendak pergi.
Brian dan Kikan telah menjalin persahabatan sejak kecil. Tidak heran, setiap ada masalah mereka saaling membantu. Namun, akhir-akhir ini hubungan antara Kikan dan kakeknya buruk. Itulah yang menyebabkan Kikan sering murung.
“Kan, bagaimana pun dia tetap kakek kamu kan?” bantah Brian tidak setuju dengan ucapannya tadi.
“Iya. Tapi, tetap aja kakek yang mengusir aku dari rumah” timpal Kikan dengan berang. Hampir saja emosi Kikan meledak.
“Udahlah… masalah itu jangan dibesar-besarkan lagi. Mungkin kakek pengen mengatakan sesuatu yang penting”. Brian mencoba membujuk Kikan. “Kamu mau kan ketemu kakek?” bujuk Brian sekali lagi dengan wajah memelas.
“Entahlah”.
Brian sudah bisa menebak pikiran Kikan. Apa yang ada dibenaknya. Namun, keputusan setiap saat bisa saja berubah.
***
Kikan telah mengambil keputusan. Dia mendatangi rumah kakek dengan langkah berat. Di wajahnya, masih tersirat keraguan. Namun, rasa cinta Kikan kepada kakeknya masih belum pudar.
Kusen pintu bergerak. Pintu menjeblak terbuka. Kakek muncul dihadapan Kikan. Dengan wajah bersinar, kakek mempersilahkan Kikan masuk.
“Kikan mendengar dari Brian kalau kakek pengen bertemu Kikan?. Ada masalah apa, Kek?”.
“Iya, memang benar”. Kakek menghela napas sebentar, lalu melanjutkan, “Begini, kakek minta maaf atas kejadian beberapa hari yang lalu. Kakek tidak bermaksud mengusir Kikan dari rumah”.
“Kakek tidak perlu mintta maaf. Kikan yang seharusnya minta maaf. Kikan juga belum siap mengelola perusahaan itu. Tapi, Kikan yakin selama perusahaan itu masih berada dibawah kendali kakek, semua akan baik-baik saja”.
“Iya, kakek mengerti dengan keputusan Kikan. Kakek tidak memaksa Kikan. Semua keputusan ada ditangan Kikan”.
***
Langit sedang muram. Cuaca sedang buruk malam itu. Bulan pun enggan menampakkan dirinya. Kikan masih merenungi perkataan kakek tadi. Belum terlambat mengubah keputusan. Dia harus mengambil suatu keputusan yang tepat.
Sekadar ingin jalan-jalan, Kikan tanpa sadar menuju rumah kakek. Tatapan Kikan langsung berubah seketika. Dia melihat Brian juga berada disana, tengah berbincang-bincang dengan kakek. Kikan tidak bisa menangkap pembicaraan mereka karena jaraknya lumayan jauh. Dia merapatkan tubuhnya ke sebuah tembok, sengaja tidak memperlihatkan diri.
***
Kikan mendatangi Brian dengan tergesa-gesa. Jam kuliah kampus telah berakhir. Beberapa mahasiswa telah bersiap-siap pulang. Kikan semakin mempercepat langkahnya menuju kelas Brian.
BRUK.
Kikan menubruk seseorang yang keluar pertama.
“Maaf” kata Kikan pelan, tanpa memandangnya.
Setelah meneliti lebih jauh, orang yang menubruk Brian ternyata, “Kikan?” sapa Brian kaget. Kikan segera mendongak ke sumber suara itu.
“Ada apa?” tanya Brian begitu kami tiba di taman.
Masih ada keraguan dihati Kikan menanyakan hal ini kepadanya. “Tadi malam aku tidak sengaja melewati rumah kakek. Dan tidak sengaja aku melihat kamu juga ada disana” kata Kikan berusaha berterus terang.
“Iya. Tadi malam aku memang ke rumah kakek. Aku cuman pengen main aja ke tempat kakek. Jadi, tadi malam kamu juga ada disana?. Kok aku tidak meliat kamu ya?” tanya Brian heran.
“Karena aku cuman lewat. Lagian, aku tidak bermaksud mau ke rumah kakek kok”.
“Ehm… ngomong-ngomong kamu sudah buat keputusan?” Brian menatapku dalam-dalam.
“Iya. Aku udah buat keputusan. Tapi, aku berubah pikiran”.
“Berubah pikiran?. Maksudnya?” timpal Brian tidak mengerti, seraya mengerutkan kening.
“Yah, githu deh” sahut Kikan dengan wajah ceria.
***
Matahari menyembul dari balik bukit. Memancarkan sinarnya yang terang.
Saat ini, Kikan menuju rumah kakek tanpa ada keraguan sedikit pun. Dia yakin keputusannya ini adalah yang terbaik. Di dalam hatinya, dia berjanji tidak akan mengecewakan kakeknya. Usaha dan kerja keras akan ia lakukan sungguh-sungguh.
Permintaan maafnya pun diterima dengan tulus oleh kakek. Kehidupan yang baru akan dimulai. Kakek mempercayakan perusahaan itu kepada Kikan. Hal itulah yang membuat Kikan bersemangat. Dia akan memegang teguh perkataannya. Mengelola perusahaan itu dengan baik. Kelak, perusahaan itu akan berkembang nantinya.