Melepas
Kepergian Anggota Keluarga
Sekitar setengah
jam, Nita sibuk berkutat dengan bolpoin dan kertas di tangannya sedang
menggoreskan sesuatu. Rencananya dia akan membuat cerita mengenai komunitas
Atsuki menjadi sebuah novel dari hasil wawancaranya dengan Kak Ali. Dia
terlihat antusias mendengarkan penjelasan dari Kak Li dan beberapa pertanyaan
juga dilontarkannya.
***
“Kak
Li, Yusuf, tunggu sebentar…” teriak Nita lantang sambil berlari dengan langkah
lebar.
Seketika,
Kak Li dan Yusuf berhenti dan menoleh ke belakang secara bersamaan sebelum
melangkah menuju pesawat yang membawa mereka ke Semarang.
Masih
dengan napas terengah-engah, Nita menyodorkan sebuah novel yang dibagian
depannya terdapat lambang komunitas Atsuki kepada Kak Li, “Ini hadiah dariku
sebagai ucapan terima kasih. Bukankah dulu aku pernah berjanji akan menerbitkan
karyaku?. Jangan pernah melupakan Atsuki ya, Kak?.” Perlahan, cairan bening
menggenang di kelopak matanya.
“Atsuki
sudah menjadi bagian dari keluargaku. Jadi, aku akan selalu mengingatnya.
Jangan lupa kabari kakak setiap ada perkembangan atau kegiatan apa saja yang
dilakukan Atsuki, ya?” sahut Kak Li sambil menerima novel yang disodorkan Nita.
“Terima kasih atas novelnya. Tapi, ini gratis, kan?” lanjutnya dengan memasang
wajah khawatir.
“Iya. Gratis
kok, Kak…”
“Sip.”
Terdengar
panggilan pengunjung dengan tujuan Semarang agar segera bersiap-siap menuju
pesawat.
“Jaga dirimu
baik-baik” kata Kak Li dengan mengusap kepala Nita sebelum dia dan Kak Yusuf
benar-benar menghilang.
Kejadian itu
mengingatkannya menuju lima tahun lalu di Bandung.
Beberapa kakak kelas mengerumuni seorang
anak perempuan di tepi jalan sepulang sekolah.
“Mana uangmu?!” teriak seorang anak
laki-laki yang bertubuh tinggi dengan marah.
“Aku tidak punya uang, Kak” sahut Nita
lirih. Tenaganya sudah terkuras habis dan wajahnya pucat.
“Cepat serahkan uangmu!” bentak anak
laki-laki yang berambut ikal. Melihat Nita masih bergeming, dia mendorongnya
hingga terjatuh.
Sayup-sayup, Nita mendengar suara langkah
kaki mendekat dalam tempo cepat sebelum beberapa detik hidungnya mengeluarkan
darah dan pingsan.
Matanya yang dalam beberapa menit tertutup,
mulai mengerjap-ngerjap gelisah. Nita terlihat bingung melihat orang-orang
mengerumuninya.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Kak Li
khawatir.
Tanpa mengindahkan pertanyaan Kak Li, Nita
balik bertanya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. “Aku ada di
mana?.”
“Kamu tadi pingsan di tepi jalan sedang
dikerumuni beberapa anak laki-laki yang memaksamu untuk menyerahkan uang. Aku
membawamu ke rumah sakit terdekat karena selama setengah jam belum sadarkan
diri” kata Kak Li menjelaskan.
“Kamu siapa?” tanya Nita lagi.
“Oh ya, lupa memperkenalkan diri. Aku Ali,
panggil saja Li. Aku tadi kebetulan melewati jalan itu dan melihatmu sedang
dalam bahaya” kata Kak Li mengulurkan tangannya. Seperti membaca pikiran Nita,
Kak Li melanjutkan, “Jangan khawatir, mereka sudah kulaporkan kepada satpam.”
“Terima kasih” sahut Nita tulus sambil membalas
uluran tangan Kak Li.
Dunia ini sempit. Kalimat itu sudah tidak
asing lagi di telinga masyarakat. Pertemuan Nita dan Kak Li terjadi lagi secara
kebetulan ketika kedua orangtua mereka menghadiri pesta pernikahan temannya.
Namun, di samping Kak Li ada seorang pemuda yang menemaninya.
Buru-buru Kak Yusuf mengulurkan tangannya
ketika sadar dirinya diperhatikan sambil menyapa, “Hallo, perkenalkan aku
Yusuf, temannya Ali. Senang bertemu denganmu.”
“Hal…lo. Saya Nita. Salam kenal” balas Nita
menyambut uluran tangan Kak Yusuf dengan kikuk.
“Apa kabar?. Kita bertemu lagi. Ternyata
orangtua kita berteman baik” kata Kak Li. Seperti teringat sesuatu, dia segera
melirik jam tangannya dan seketika wajahnya menjadi panik. “Aku terlambat.
Maaf, aku harus pergi. Lain kali kita mengobrol lagi. Yusuf, kamu mau ikut,
tidak?” lanjutnya cepat.
“Tunggu dulu. Kamu tidak berpamitan kepada
kedua orangtuamu?” teriak Kak Yusuf cepat sebelum Kak Li pergi terlalu jauh.
Tanpa menoleh ke belakang, Kak Li berkata
ringan sambil mengibaskan tangannya, “Nanti saja.”
Kak Yusuf lalu berpaling kepada Nita seraya
berkata, bermaksud promosi sebelum pergi menyusul Kak Li, “Nita, berkunjunglah
ke Taman Budaya Yogyakarta setiap hari Sabtu jam lima sore. Kami membuat sebuah
komunitas yang bernama Atsuki. Oke!.”
Nita yang masih terkejut, hanya mengangguk,
menatap kepergian Kak Li dan Kak Yusuf bingung.
Sejak saat itu, Nita sering berkunjung ke
Taman Budaya Yogyakarta dan resmi menjadi salah satu anggota keluarga mereka.
Dia menemukan arti kekeluargaan, kekompakan dan ketulusan yang sesungguhnya di
sana. Kehidupan dan teman-teman yang dulu hilang, seperti terlahir kembali.
Suka dan duka dijalani bersama. Di komunitas Atsuki kehadiran Nita benar-benar
dihargai. Tidak ada istilah pembentukan kelompok karena kami semua adalah satu
kesatuan. Setiap diakhir pertemuan, mereka selalu meneriakkan ATSUKI J-FREAK.
Itulah yang membuat seulas senyuman tersungging dibibirnya.
Lalu, Nita
berpaling menatap Kak Yusuf sambil berkata-kata, “Hati-hati ya, Kak… Semoga
kita bisa bertemu lagi.”
Serentak, Kak
Li dan Kak Yusuf mengamini doanya Nita.
“Pasti. Sampai
jumpa” sahut Kak Yusuf tersenyum. Beriringan dengan Kak Li, dia pun pergi
menuju pesawat.
Solo
Costume Festival
“Yoru…Yoru…Yoru…”
Teriakan
membahana datang dari keluarga besar komunitas Atsuki begitu Yoru mulai
memamerkan aksi costplaynya di tengah lapangan dengan disaksikan ribuan
penonton. Dia memilih memerankan salah satu tokoh dalam film tokusatsu.
Teman-teman bertepuk tangan setelah dia selesai. Sekitar lima belas menit, Yoru
dan beberapa peserta lainnya diberi penilaian mengenai penampilan mereka
sebelum diumumkan pemenang diantara tiga puluh pengunjung oleh dewan juri.
***
Di
tengah guyuran hujan, diam-diam Yoru tersenyum tulus kepada teman-teman
komunitas Atsuki yang sedang sibuk berkutat menikmati acara musik di panggung
sambil menari riang. Tanpa sadar, dia ikut menari dan menyanyi. Akhirnya, dia
tahu arti sebuah keluarga yang sesungguhnya. Disaat salah satu mengalami kesusahan,
yang lainnya memberikan dorongan semangat dan kekuatan untuk bangkit. Dan,
inilah yang dirasakan Yoru saat ini, menikmati kemenangan bersama mereka.
***
Empat
bulan di musim dingin lalu, seorang cowok tengah duduk sendiri di taman sambil
menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Orang yang lewat pun tahu, kalau dia
sedang mengalami depresi berat. Terlihat kursi roda yang didudukinya dan napas
yang tidak teratur, menandakan sedang menangis. Harapannya seketika sirna.
Kembali
terbayang di benaknya, pengakuan dari dokter satu jam yang lalu dengan
mengatakan kalau kesembuhan kakinya hanya sekitar sepuluh persen. Kemungkinan
dia akan mengalami kelumpuhan total dan tidak bisa mengikuti lomba costplay
yang akan diadakan empat bulan lagi di Solo. Padahal, itu harapan terakhir
untuk menunjukkan kemampuannya di depan Ayahnya sebelum pergi. Namun, sekarang usahanya
hanya sia-sia saja.
Sebuah
tepukan mendarat di pundak Yoru dan membuatnya langsung menoleh ke belakang.
Matanya terbelalak kaget.
“Yoru,
akhirnya kami menemukanmu” kata Yumaki riang.
“Kalian
sedang apa di sini?” tanya Yoru panik.
“Lho,
seharusnya kami yang bertanya kepadamu. Sedang apa kamu di sini?. Kami
mencarimu sejak tadi” jawab Yumaki balik bertanya, mengambil napas sejenak,
sebelum melanjutkan dengan nada lirih, “Kami sudah tahu musibah yang sedang
kamu alami. Tapi, kami yakin kakimu akan bisa berjalan lagi.” Seketika, nada
suaranya menjadi berapi-api. “Jangan patah semangat. Ingatlah kami akan selalu
memberikan kekuatan dan berdoa untuk kesembuhan kedua kakimu. Empat bulan itu
sudah lebih dari cukup untuk mengembalikan kepercayaan dirimu. Ayo, semangat!.
Bukankah kamu ingin menjadi juara pertama dan menunjukkan kemampuanmu kepada
Ayahmu?. Jangan lupakan kalimat Atsuki bahwa kita adalah satu keluarga dan
kesatuan. Susah dan senang ditanggung bersama. Jadi, kamu tidak akan sendiri.
Oke!. Kami akan selalu ada buatmu.”
Meskipun
sempat kaget dengan reaksi Yumaki, Yoru akhirnya tersenyum dan wajahnya
seketika menjadi cerah. “Terima kasih, Teman. Aku berjanji akan bangkit dan
mengalahkan penyakitku ini. Jangan lupa, kalian harus datang untuk menonton
pertunjukkanku besok di Solo” lanjutnya dengan nada mengancam.
“Siap…”
sahut teman-teman Atsuki bersamaan.
Yumaki
membalikkan telapak tangannya ke depan diikuti teman-teman yang lain, lalu
berteriak, “ATSUKI…” Jeda sejenak sambil melemparkan tangan ke atas dengan
bersemangat, dan melanjutkan, “J-FREAK.”
***
Terdengar
langkah kaki diseret sebelum pintu dibuka.
“Hallo. Silakan masuk” sapa adik
Yoru ramah begitu teman-teman Atsuki tiba di rumah Yoru.
Kesan pertama teman-teman Atsuki
adalah mewah. Terlihat dari arsitektur, desain, halaman yang luas serta
rumahnya yang tingkat. Mereka memang sengaja diundang oleh Yoru untuk menghadiri
pesta syukuran atas kemenangan Yoru .
“Kalian sudah datang. Masuklah.
Kebetulan Ayah ingin bertemu” sapa Yoru riang sambil berjalan tergesa-gesa.
“Selamat siang, Paman” sapa Yumaki
sopan.
“Selamat siang. Silakan duduk”
balas Ayah Yoru.
Beriringan, teman-teman Atsuki
memilih posisi duduk yang nyaman ketika Yoru pergi ke dapur untuk mengambil
minuman.
“Pertama-tama, Paman ingin
mengucapkan terima kasih. Kalian telah membangkitkan semangat dan kepercayaan
diri Yoru. Semenjak kelumpuhan itu, Yoru menjadi pendiam dan putus asa. Seminggu
sebelum mendengar kabar dari Dokter, Yoru mengalami tabrakan mobil di jalan
ketika dalam perjalanan pulang ke rumah. Saat itu, pengemudi mobil mengantuk
sehingga pandangannya tidak fokus karena semalaman bertugas menjaga rumah
orang, bekerja sebagai satpam. Namun, dia tidak mau mengganti kerugian dengan
membiayai pengobatan Yoru meskipun tahu kondisi yang dideritanya. Justru dia
malah menyalahkan Yoru karena tidak mengemudi dengan baik. Disaat bersamaan,
Paman menderita tumor otak stadium tiga yang baru Paman ketahui akhir-akhir
ini. Dan, inilah yang membuat Yoru semakin tertekan setelah mengetahui hal ini”
kata Ayah Yoru menjelaskan panjang lebar.
“Sebenarnya, semangat juang Yoru yang bisa membuatnya bertahan. Dia
ingin menunjukkan kemampuannya kepada Paman sebelum pergi.”
Apa yang dikhawatirkan Yoru
terjadi malam harinya pada saat semua penghuni rumah tertidur. Ayahnya
menghembuskan napas terakhir sebelum dia benar-benar pergi.
Yoru yang terbangun keesokan
harinya, terpekik melihat tubuh Ayahnya kaku & menangis histeris sambil
memanggil, “Ayah…” Cairan bening langsung mengalir turun di pipinya.
Kabar duka itu sampai juga di
telinga teman-teman komunitas Atsuki. Berbondong-bondong, mereka menghadiri
pemakaman dalam kesunyian.
“Yoru, jangan menyesali kepergian
Paman. Selama ini, dia bangga mempunyai anak sepertimu dan mengatakannya sambil
tersenyum. Dia mengucapkan terima kasih atas kesungguhanmu berusaha untuk
memenangkan perlombaan costplay dan mempersembahkan untuknya.”
Dorongan
kekuatan dan semangat yang diberikan oleh teman-teman Atsuki akhirnya
membuahkan hasil. Perlahan-lahan, Yoru bisa berjalan lagi dan mempersiapkan
diri mengikuti lomba costplay, meskipun beberapa kali terjatuh. Senyum merekah
di bibirnya. Berkat Atsuki, harapannya kembali lagi.
“Terima
kasih, teman-teman” gumam Yoru senang.
Ulang
Tahun Atsuki
Sebuah
keluarga selalu tersenyum dan tertawa lepas setiap kali mereka berkumpul.
Namun, musibah itu merenggutnya. Semenjak kejadian itu, wajah mereka terlihat pucat,
seperti orang yang kelaparan. Perlu waktu lama untuk mengembalikan semua itu. Hingga
tiba-tiba, kecelakaan yang tidak disengaja juga merenggut nyawa seorang kakak.
Kepercayaan dalam diriku telah hilang. Sejauh apapun usaha manusia untuk
menghindarinya, takdir tetap mempertemukanku dengan pelaku kejahatan.
***
“Lepaskan
tanganku!. Bukankah aku membenci Atsuki?. Kenapa kalian tetap mempertahanku?”
bentakku dengan nada meninggi sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Yuda.
“Apa
kamu pikir kita tidak peduli padamu?. Atsuki adalah satu kesatuan. Jadi, tidak
mungkin kami membencimu!” tandas Yuda tajam, semakin mempererat genggaman
tangannya.
“Bukankah
kamu membenciku?!. Kenapa juga melibatkan Atsuki?” protes Yuda tidak terima
sambil menatapku dalam-dalam, meminta penjelasan.
“Karena
kamu juga sudah menjadi bagian dari keluarga Atsuki.”
Sambil
menarik napas, Yuda kembali berkata dengan nada suara yang sudah kembali
normal, “Oke. Sekali lagi, aku minta maaf mengenai kecelakaan itu. Aku tidak
sengaja menabrak saudaramu.”
“Apakah
dengan meminta maaf kakakku akan hidup kembali?!. Semenjak kedua orangtuaku
meninggal, dia yang selalu melindungiku. Dan, sekarang kamu menghancurkan
kebahagiaanku!.” Aku menjelaskan dengan napas tersengal-sengal.
“Lalu,
aku harus bagaimana?. Apakah aku juga harus menyusulnya?!” balas Yuda
berapi-api.
Aku
langsung terdiam. “Lupakan saja” kataku mengibaskan tangan, lalu berbalik
pergi.
Yuda
sempat berteriak sebelum aku pergi terlalu jauh, “Kalau mau, kamu bisa datang
ke perkumpulan komunitas Atsuki di Taman Budaya setiap hari Sabtu jam lima
sore. Di sana, kamu bisa merasakan arti kekeluargaan dan kekompakan.”
***
Drt…drt…drt…
Aku
yang baru saja terbangun keesokan paginya, dikagetkan dengan bunyi pesan masuk.
Masih setengah memejamkan mata, dengan asal-asalan mengambil handphone di meja dan berkata dengan
nada sedikit kesal, tanpa melihat si penelepon, “Hallo.”
“Selamat
pagi, Cyntia. Kamu baru bangun tidur, ya?. Suaramu terdengar parau. Nanti sore
jam empat datang ya ke Taman Budaya Yogyakarta. Kita berencana akan mengadakan
ulang tahun Atsuki yang ke tujuh.”
Refleks,
aku menepuk dahi. “Ya ampun.Aku lupa kalau hari ini Atsuki ulang tahun. Oke
deh, aku akan datang.”
“Sip.Tapi,
lain kali jangan bangun kesiangan. Kamu kan cewek” sindir Yunita.
“Bukankah
kamu juga sama saja?” protesku tidak terima disalahkan.
Diseberang,
Yunita cengengesan, lalu buru-buru melanjutkan, “Aku tutup dulu, ya… Sampai
bertemu nanti.”
Sebelum
memberiku kesempatan untuk berbicara, sambungan telepon telah ditutup. Aku pun
memutuskan mandi dan sarapan.
***
Tepat
pukul empat sore, aku telah tiba di Taman Budaya. Ternyata menunggu seseorang
itu sangat melelahkan, mengingat teman-teman belum kunjung muncul.
“Tia,
sudah dari tadi?. Maaf, aku terlambat” kata Yunita sambil menjabat tanganku
diikuti teman-teman yang lain.
Aku
langsung menoleh ke arah datangnya suara sambil membalas jabatan tangan
teman-teman.
“Ayo,
berkumpul. Ini” teriak Cahyo sambil membagikan sebuah kertas mengenai urutan
cara melipat sebuah huruf kepada kami.
Sekitar
satu jam, semua teman berhasil menyelesaikan tugas masing-masing, setiap huruf
dirangkai menjadi kalimat Otanjoubi Omedetou Atsuki dari kertas lipat berwarna
(yang sering disebut origami dalam bahasa Jepang) diletakkan di depan dua buah
ulang tahun yang memang dibuat sendiri. Setelah bersama-sama meniup lilin dan
berdoa, pemotongan kue diwakili oleh Yuda dan Yumaki yang lalu secara bergilir
memberikan kue tersebut kepada kami. Canda tawa turut menambah keramaian
suasana dan mempererat kekeluargaan.
Meskipun
terkadang terdapat perbedaan pendapat, namun kami tetap menjadi satu kesatuan. Diacara
ini, aku melihat kekompakan, kekeluargaan dan ketulusan dimata mereka. Dalam
doa, aku meminta kepada Allah semoga kegiatan Atsuki semakin berkembang ke
depannya dan bisa bersama-sama dengan mereka. Kami juga mengulurkan tangan ke
depan, membentuk lingkaran seperti api unggun dan berteriak Atsuki J-freak,
meskipun teman cowok ada yang iseng memberikan krim kue kepada yang lain.
Diakhir akhir acara, diadakan foto bersama.
***
Dengan
langkah tergesa-gesa, aku menghampiri keluarga Atsuki berkumpul dan bersalaman
dengan mereka.
“Ayo,
kita berangkat. Bukankah semuanya sudah datang?” tanya Yumaki.
Serentak,
kami mengendarai motor dengan berboncengan menuju air terjun sri gethuk
Wonosari, Gunung Kidul. Angin sepoi-sepoi langsung menerpa wajah kami.Sudah dua
hari ini, aku tidak bisa berhenti tersenyum. Sejujurnya, aku merasa nyaman
berada didekat mereka. Entah mengapa, Atsuki memberikan kekuatan baru bagiku
menghadapi kehidupan. Mungkin, arti komunitas mereka yang mempunyai arti
membara seperti orangnya. Disaat jatuh, mereka terus bangkit dan tetap semangat
untuk menaklukkan masalah yang menghampiri.
“Jangan
hanya berjemur di atas saja. Ayo, berenang bersama kami” ajak Yumaki dengan
semangat berapi-api sambil melambaikan tangan kepadaku begitu tiba di air
terjun setelah melewati beberapa jam menunggu perahu.
Kalimat
dalam suaranya, membuatku langsung bergerak turun. Dalam beberapa detik, aku
telah berada di dalam air dengan menggunakan pelampung. Ternyata, berenang di
sini sangat sejuk. Apalagi, cuaca yang panas, membuat keringat hilang. Sekilas,
aku melirik ke atas tebing. Terlihat Cahyo, Kak Kira, Lasin, Kak Lens sedang
bersiap-siap melompat, yang membuat teman-teman yang lain berteriak histeris
dan bertepuk tangan.
Galeria
Opening Resto
“Teman-teman, ayo
cepat berkumpul!” kata Yadi dengan nada tegas dan tergesa-gesa.
Seperti
dikomando, keluarga besar komunitas Atsuki bergegas mendekat ke arah Yadi dan
bersiap-siap menata ruangan.
“Kalian
sudah datang rupanya. Silakan kalian letakkan barang-barang di sana saja” kata
Pak Arifin, pemilik kedai sushi story mendatangi kami dan bersalaman.
“Baik,
Pak” balas Yadi ramah.
Usai
meletakkan dan menata beberapa hasil origami di atas meja, Kak Lens, Kak
Marwan, Cahyo dan Tintin mulai membuka stan. Enam orang diantaranya memilih
ikut costplay dengan berperan menjadi
tokoh anime, dorama dan tokusatsu sambil berkeliling ruangan dan menyebarkan
brosur untuk mempromosikan Atsuki. Mereka bergegas mengenakan kostum pilihan
masing-masing Seminggu yang lalu, kami diminta mengisi acara di Galeria oleh
Pak Arifin.
“Hei!.
Kalau jalan hati-hati!” bentak seorang pria setengah baya.
Keramaian
itu membuat seluruh pengunjung di ruangan bergegas mendekat dengan langkah
lebar dan terlihat panik.
“Maaf
Pak, saya tadi sedang terburu-buru” sahut Tintin menyesal dengan membungkukkan
badan beberapa kali sambil mengambil barang yang berjatuhan.
“Apa
kamu tidak melihat jalan?!. Hari ini saya harus menghadiri rapat” balas Pak
Anwar dengan nada tinggi.
Yadi
yang melihat pertengkaran itu segera menengahi, “Kami mewakili Tintin meminta
maaf. Dia tidak sengaja menabrak Bapak. Apa ada kerusakan, Pak?.”
Pak
Anwar meneliti masing-masing barangnya. Awalnya Yadi dan Tintin serta
teman-teman komunitas Atsuki yang sudah berkumpul sejak tadi menarik napas lega
begitu tidak ada komentar, namun wajah Pak Anwar seketika berubah pucat,
sehingga membuat mereka khawatir.
“Ada
apa, Pak?” tanya Tintin panik.
“Saya
terlambat!. Rapat ini penting buat saya tapi kalian telah mengacaukan
semuanya!” balas Pak Anwar tajam.
“Maaf
Pak, teman saya juga terluka. Mohon Bapak mengerti dengan keadaannya. Bukankah
tadi kami sudah meminta maaf?” lanjut Yadi berusaha menahan emosi sambil
melirik Tintin yang sedang merintih pelan memegangi kakinya.
“Sebenarnya
kalian ini siapa?.”
“Kami
dari komunitas Atsuki, pecinta Jepang dari semua genre. Kami disini diminta
oleh Pak Arifin, pemilik kedai sushi story mengisi acara stan origami dan costplay.”
“Saya
mewakili Atsuki meminta maaf atas ketidaknyamanan ini. Saya mohon Bapak mau
memaafkan mereka” kata Pak Arifin, pemilik kedai sushi story di Galeria angkat
bicara.
“Sudahlah.
Lupakan saja. Masalah ini tidak perlu diperpanjang. Lagipula, saya sudah
ketinggalan rapat” sahut Pak Anwar mengalah, lalu berbalik pergi menuju Pak
Arifin.
“Bagaimana
dengan lukamu?” tanya Yadi berjongkok melihat seberapa parah luka yang dialami
Tintin.
“Sebaiknya
kita bawa Tintin ke rumah sakit” usul Bima cepat.
Buru-buru,
Tintin mengibaskan tangan begitu melihat wajah teman-teman komunitas Atsuki
yang terlihat panik sambil berkata, “Hanya luka ringan. Sebentar lagi pasti
sembuh. Jangan khawatir.”
“Jangan
biarkan mereka membuka stan. Batalkan semua kesepakatan kalian.”
“Tapi,
Pak. Mereka…” sahut Pak Arifin menimpali.
Belum
sempat Pak Arifin menyelesaikan kalimatnya, Pak Anwar menukas dengan nada
mengancam, “Apa konsekuensinya jika kamu menentang saya?.”
“Maaf,
Pak. Saya akan mengusir mereka” sahut Pak Arifin cepat.
“Maafkan
saya. Saya terpaksa harus mengusir kalian. Sebaiknya kalian segera pergi
sebelum Pak Anwar berubah pikiran” kata Pak Arifin menyesal kepada teman-teman
komunitas Atsuki sambil berbisik.
Tanpa
mengindahkan perkataan Pak Arifin, Kak Kira segera menghampiri Pak Anwar, “Pak,
tolong jangan usir kami. Tolong berikan kami kesempatan untuk membuka stan origami dan costplay di sini.”
“Apa
kalian tidak mendengar perkataanku?” balas Pak Anwar tajam.
“Maaf
Pak, tapi kami harus membuka stan. Kami sudah mempersiapkan semua ini dari
awal” sahut Yadi tegas berusaha meletakkan dan mulai menata barang-barang
diikuti teman-teman yang lain.
“Cepat,
panggilkan satpam” teriak Pak Anwar kepada Pak Arifin.
Tapi,
terlambat. Teman-teman komunitas Atsuki sudah lebih dulu selesai membuka stan,
tanpa mempedulikan Pak Anwar yang masih menggerutu.
Melihat
hal ini, Pak Arifin terpaksa turun tangan sambil mendekati Pak Anwar dan
berkata, “Pak, saya mohon berikan mereka kesempatan untuk membuka stan di sini.
Saya yakin mereka tidak akan mengecewakan Bapak dan memberikan kesan baik karena
saya sudah mengenal reputasi mereka selama ini.”
Dan,
benar saja. Dalam waktu setengah jam, sebagian besar pengunjung mulai
berkerumun dan terhanyut oleh suasana yang dibuat Atsuki. Pak Anwar akhirnya
membiarkan kami membuka stan begitu melihat usaha Atsuki yang membara dan
banyak pengunjung yang antusias ikut menyaksikan kegiatan mereka.
“Kamu
benar. Atsuki berhasil menarik perhatian pengunjung. Kamu tidak salah bekerja
sama dengan mereka” kata Pak Anwar kepada Pak Arifin senang sambil tersenyum.
Sekitar
pukul empat sore, teman-teman Atsuki mulai berkemas dan membersihkan tempat
stan bertepatan dengan waktu jam buka Galeria telah berakhir. Namun, sebelum
berpamitan, tiba-tiba Yadi mendekati Pak Anwar dan Pak Arifin dengan menarik
tangan mereka menuju kami yang sedang bersiap-siap berfoto bersama dengan
pengunjung. “Ayo, Pak. Kita berfoto bersama untuk kenang-kenangan” kata Yadi
tersenyum, tanpa mempedulikan tatapan bingung Pak Anwar dan Pak Arifin. Meskipun
enggan, Pak Anwar dan Pak Arifin akhirnya menampilkan beberapa gaya ketika
lampu kamera menyala.
“Sebelumnya,
saya minta maaf mengenai sikap Bapak kepada kalian tadi. Bapak sungguh
menyesal. Ternyata benar apa yang dikatakan Pak Arifin, kalian bisa menunjukkan
usaha dan hasil yang maksimal dan tidak mengecewakan. Terima kasih telah
meramaikan suasana di Galeria. Lain waktu, datanglah lagi kemari” kata Pak
Anwar tersenyum sambil mengulurkan tangannya.
Yadi
yang menjadi penanggung jawab dalam acara itu, membalas uluran tangan Pak Anwar
sambil berkata, “Tentu saja, Pak. Kami akan datang kemari lagi. Seharusnya kami
yang berterima kasih karena Bapak telah memberikan kesempatan dan kepercayaan
bagi kami untuk membuka stan origami
dan costplay di sini. Saya mewakili
komunitas Atsuki juga meminta maaf mengenai sikap kami yang kurang sopan tadi.”
Lalu, diikuti oleh teman-teman yang lain bersalaman dengan Pak Anwar.
“Bagaimana
dengan keadaan teman kalian yang tadi terluka?” tanya Pak Anwar khawatir.
Buru-buru,
Tintin menjawab sambil menyunggingkan senyum untuk meyakinkan Pak Anwar, “Tidak
apa-apa, Pak. Hanya luka kecil. Sebentar lagi pasti sembuh.”
“Bagaimana
pun juga lukamu harus diobati. Sebentar, saya akan ambilkan obat dulu” sahut
Pak Anwar.
“Tidak
perlu repot-repot, Pak. Lagipula, saya tadi juga salah, kurang fokus melihat
jalan dan menyebabkan Bapak ketinggalan rapat” lanjut Tintin lagi sebelum Pak
Anwar pergi.
“Kamu
tidak perlu meminta maaf. Tunggu sebentar di situ” balas Pak Anwar, lalu berlari-lari
kecil mengambil obat.
Tergesa-gesa,
Pak Anwar menghampiri Tintin dengan obat di tangannya beberapa menit kemudian dan
mengoleskan di siku kaki Tintin perlahan. Meskipun terasa perih, ia tidak
mengeluh.
“Terima
kasih, Pak” kata Tintin begitu Pak Anwar selesai mengoleskan obat di siku kakinya.
Pak
Anwar membalasnya dengan anggukan kepala.
“Baiklah,
Pak. Kalau begitu, kami permisi dulu. Hari sudah sore” kata Yadi kembali
menjabat tangan Pak Anwar dan Pak Toni, diikuti oleh teman-teman yang lain.
“Terima
kasih atas partisipasi kalian di Galeria.”