Kamis, 27 Desember 2012



KEHIDUPAN


Betapa pentingnya keberadaan seseorang
Mengisi hari-hari kita lebih bermakna
Dengan senyuman dan arti ketulusan
Kini, keberadaannya menghilang, entah kemana
Musibah itu telah menelannya
Tak ada jejak apa pun yang bisa dilacak
Jika doaku dikabulkan, tentunya aku ingin dipertemukan kembali dengannya dalam keadaan sehat
Mengukir tawa dan menghapus kesedihan
Kehidupan tidak diukur dari lamanya seseorang hidup, melainkan seberapa berartinya kita hidup buat orang lain
Berbagi ilmu dan kebahagiaan bersama
Saling membantu meringankan beban
Serta menjalin kasih saying diantara sesame
Ketika mereka menutup mata untuk selamanya, akan terlihat senyuman ketulusan
Yang menandakan bahwa mereka pernah hidup dan menikmati indahnya dunia
Hal itulah yang membuat kehidupan mereka lebih bermakna

Senin, 17 Desember 2012



Melepas Kepergian Anggota Keluarga


            Sekitar setengah jam, Nita sibuk berkutat dengan bolpoin dan kertas di tangannya sedang menggoreskan sesuatu. Rencananya dia akan membuat cerita mengenai komunitas Atsuki menjadi sebuah novel dari hasil wawancaranya dengan Kak Ali. Dia terlihat antusias mendengarkan penjelasan dari Kak Li dan beberapa pertanyaan juga dilontarkannya.
***
            “Kak Li, Yusuf, tunggu sebentar…” teriak Nita lantang sambil berlari dengan langkah lebar.
            Seketika, Kak Li dan Yusuf berhenti dan menoleh ke belakang secara bersamaan sebelum melangkah menuju pesawat yang membawa mereka ke Semarang.
            Masih dengan napas terengah-engah, Nita menyodorkan sebuah novel yang dibagian depannya terdapat lambang komunitas Atsuki kepada Kak Li, “Ini hadiah dariku sebagai ucapan terima kasih. Bukankah dulu aku pernah berjanji akan menerbitkan karyaku?. Jangan pernah melupakan Atsuki ya, Kak?.” Perlahan, cairan bening menggenang di kelopak matanya.
            “Atsuki sudah menjadi bagian dari keluargaku. Jadi, aku akan selalu mengingatnya. Jangan lupa kabari kakak setiap ada perkembangan atau kegiatan apa saja yang dilakukan Atsuki, ya?” sahut Kak Li sambil menerima novel yang disodorkan Nita. “Terima kasih atas novelnya. Tapi, ini gratis, kan?” lanjutnya dengan memasang wajah khawatir.
“Iya. Gratis kok, Kak…”
“Sip.”
Terdengar panggilan pengunjung dengan tujuan Semarang agar segera bersiap-siap menuju pesawat.
“Jaga dirimu baik-baik” kata Kak Li dengan mengusap kepala Nita sebelum dia dan Kak Yusuf benar-benar menghilang.
Kejadian itu mengingatkannya menuju lima tahun lalu di Bandung.
Beberapa kakak kelas mengerumuni seorang anak perempuan di tepi jalan sepulang sekolah.
“Mana uangmu?!” teriak seorang anak laki-laki yang bertubuh tinggi dengan marah.
“Aku tidak punya uang, Kak” sahut Nita lirih. Tenaganya sudah terkuras habis dan wajahnya pucat.
“Cepat serahkan uangmu!” bentak anak laki-laki yang berambut ikal. Melihat Nita masih bergeming, dia mendorongnya hingga terjatuh.
Sayup-sayup, Nita mendengar suara langkah kaki mendekat dalam tempo cepat sebelum beberapa detik hidungnya mengeluarkan darah dan pingsan.
Matanya yang dalam beberapa menit tertutup, mulai mengerjap-ngerjap gelisah. Nita terlihat bingung melihat orang-orang mengerumuninya.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Kak Li khawatir.
Tanpa mengindahkan pertanyaan Kak Li, Nita balik bertanya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. “Aku ada di mana?.”
“Kamu tadi pingsan di tepi jalan sedang dikerumuni beberapa anak laki-laki yang memaksamu untuk menyerahkan uang. Aku membawamu ke rumah sakit terdekat karena selama setengah jam belum sadarkan diri” kata Kak Li menjelaskan.
“Kamu siapa?” tanya Nita lagi.
“Oh ya, lupa memperkenalkan diri. Aku Ali, panggil saja Li. Aku tadi kebetulan melewati jalan itu dan melihatmu sedang dalam bahaya” kata Kak Li mengulurkan tangannya. Seperti membaca pikiran Nita, Kak Li melanjutkan, “Jangan khawatir, mereka sudah kulaporkan kepada satpam.”
“Terima kasih” sahut Nita tulus sambil membalas uluran tangan Kak Li.
Dunia ini sempit. Kalimat itu sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Pertemuan Nita dan Kak Li terjadi lagi secara kebetulan ketika kedua orangtua mereka menghadiri pesta pernikahan temannya. Namun, di samping Kak Li ada seorang pemuda yang menemaninya.
Buru-buru Kak Yusuf mengulurkan tangannya ketika sadar dirinya diperhatikan sambil menyapa, “Hallo, perkenalkan aku Yusuf, temannya Ali. Senang bertemu denganmu.”
“Hal…lo. Saya Nita. Salam kenal” balas Nita menyambut uluran tangan Kak Yusuf dengan kikuk.
“Apa kabar?. Kita bertemu lagi. Ternyata orangtua kita berteman baik” kata Kak Li. Seperti teringat sesuatu, dia segera melirik jam tangannya dan seketika wajahnya menjadi panik. “Aku terlambat. Maaf, aku harus pergi. Lain kali kita mengobrol lagi. Yusuf, kamu mau ikut, tidak?” lanjutnya cepat.
“Tunggu dulu. Kamu tidak berpamitan kepada kedua orangtuamu?” teriak Kak Yusuf cepat sebelum Kak Li pergi terlalu jauh.
Tanpa menoleh ke belakang, Kak Li berkata ringan sambil mengibaskan tangannya, “Nanti saja.”
Kak Yusuf lalu berpaling kepada Nita seraya berkata, bermaksud promosi sebelum pergi menyusul Kak Li, “Nita, berkunjunglah ke Taman Budaya Yogyakarta setiap hari Sabtu jam lima sore. Kami membuat sebuah komunitas yang bernama Atsuki. Oke!.”
Nita yang masih terkejut, hanya mengangguk, menatap kepergian Kak Li dan Kak Yusuf  bingung.
Sejak saat itu, Nita sering berkunjung ke Taman Budaya Yogyakarta dan resmi menjadi salah satu anggota keluarga mereka. Dia menemukan arti kekeluargaan, kekompakan dan ketulusan yang sesungguhnya di sana. Kehidupan dan teman-teman yang dulu hilang, seperti terlahir kembali. Suka dan duka dijalani bersama. Di komunitas Atsuki kehadiran Nita benar-benar dihargai. Tidak ada istilah pembentukan kelompok karena kami semua adalah satu kesatuan. Setiap diakhir pertemuan, mereka selalu meneriakkan ATSUKI J-FREAK. Itulah yang membuat seulas senyuman tersungging dibibirnya.
Lalu, Nita berpaling menatap Kak Yusuf sambil berkata-kata, “Hati-hati ya, Kak… Semoga kita bisa bertemu lagi.”
Serentak, Kak Li dan Kak Yusuf mengamini doanya Nita.
“Pasti. Sampai jumpa” sahut Kak Yusuf tersenyum. Beriringan dengan Kak Li, dia pun pergi menuju pesawat.



Solo Costume Festival

            “Yoru…Yoru…Yoru…”
            Teriakan membahana datang dari keluarga besar komunitas Atsuki begitu Yoru mulai memamerkan aksi costplaynya di tengah lapangan dengan disaksikan ribuan penonton. Dia memilih memerankan salah satu tokoh dalam film tokusatsu. Teman-teman bertepuk tangan setelah dia selesai. Sekitar lima belas menit, Yoru dan beberapa peserta lainnya diberi penilaian mengenai penampilan mereka sebelum diumumkan pemenang diantara tiga puluh pengunjung oleh dewan juri.
***
            Di tengah guyuran hujan, diam-diam Yoru tersenyum tulus kepada teman-teman komunitas Atsuki yang sedang sibuk berkutat menikmati acara musik di panggung sambil menari riang. Tanpa sadar, dia ikut menari dan menyanyi. Akhirnya, dia tahu arti sebuah keluarga yang sesungguhnya. Disaat salah satu mengalami kesusahan, yang lainnya memberikan dorongan semangat dan kekuatan untuk bangkit. Dan, inilah yang dirasakan Yoru saat ini, menikmati kemenangan bersama mereka.
***
            Empat bulan di musim dingin lalu, seorang cowok tengah duduk sendiri di taman sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Orang yang lewat pun tahu, kalau dia sedang mengalami depresi berat. Terlihat kursi roda yang didudukinya dan napas yang tidak teratur, menandakan sedang menangis. Harapannya seketika sirna.
            Kembali terbayang di benaknya, pengakuan dari dokter satu jam yang lalu dengan mengatakan kalau kesembuhan kakinya hanya sekitar sepuluh persen. Kemungkinan dia akan mengalami kelumpuhan total dan tidak bisa mengikuti lomba costplay yang akan diadakan empat bulan lagi di Solo. Padahal, itu harapan terakhir untuk menunjukkan kemampuannya di depan Ayahnya sebelum pergi. Namun, sekarang usahanya hanya sia-sia saja.
            Sebuah tepukan mendarat di pundak Yoru dan membuatnya langsung menoleh ke belakang. Matanya terbelalak kaget.
            “Yoru, akhirnya kami menemukanmu” kata Yumaki riang.
            “Kalian sedang apa di sini?” tanya Yoru panik.
            “Lho, seharusnya kami yang bertanya kepadamu. Sedang apa kamu di sini?. Kami mencarimu sejak tadi” jawab Yumaki balik bertanya, mengambil napas sejenak, sebelum melanjutkan dengan nada lirih, “Kami sudah tahu musibah yang sedang kamu alami. Tapi, kami yakin kakimu akan bisa berjalan lagi.” Seketika, nada suaranya menjadi berapi-api. “Jangan patah semangat. Ingatlah kami akan selalu memberikan kekuatan dan berdoa untuk kesembuhan kedua kakimu. Empat bulan itu sudah lebih dari cukup untuk mengembalikan kepercayaan dirimu. Ayo, semangat!. Bukankah kamu ingin menjadi juara pertama dan menunjukkan kemampuanmu kepada Ayahmu?. Jangan lupakan kalimat Atsuki bahwa kita adalah satu keluarga dan kesatuan. Susah dan senang ditanggung bersama. Jadi, kamu tidak akan sendiri. Oke!. Kami akan selalu ada buatmu.”
            Meskipun sempat kaget dengan reaksi Yumaki, Yoru akhirnya tersenyum dan wajahnya seketika menjadi cerah. “Terima kasih, Teman. Aku berjanji akan bangkit dan mengalahkan penyakitku ini. Jangan lupa, kalian harus datang untuk menonton pertunjukkanku besok di Solo” lanjutnya dengan nada mengancam.
            “Siap…” sahut teman-teman Atsuki bersamaan.
            Yumaki membalikkan telapak tangannya ke depan diikuti teman-teman yang lain, lalu berteriak, “ATSUKI…” Jeda sejenak sambil melemparkan tangan ke atas dengan bersemangat, dan melanjutkan, “J-FREAK.”
***
            Terdengar langkah kaki diseret sebelum pintu dibuka.
“Hallo. Silakan masuk” sapa adik Yoru ramah begitu teman-teman Atsuki tiba di rumah Yoru.
Kesan pertama teman-teman Atsuki adalah mewah. Terlihat dari arsitektur, desain, halaman yang luas serta rumahnya yang tingkat. Mereka memang sengaja diundang oleh Yoru untuk menghadiri pesta syukuran atas kemenangan Yoru .
“Kalian sudah datang. Masuklah. Kebetulan Ayah ingin bertemu” sapa Yoru riang sambil berjalan tergesa-gesa.
“Selamat siang, Paman” sapa Yumaki sopan.
“Selamat siang. Silakan duduk” balas Ayah Yoru.
Beriringan, teman-teman Atsuki memilih posisi duduk yang nyaman ketika Yoru pergi ke dapur untuk mengambil minuman.
“Pertama-tama, Paman ingin mengucapkan terima kasih. Kalian telah membangkitkan semangat dan kepercayaan diri Yoru. Semenjak kelumpuhan itu, Yoru menjadi pendiam dan putus asa. Seminggu sebelum mendengar kabar dari Dokter, Yoru mengalami tabrakan mobil di jalan ketika dalam perjalanan pulang ke rumah. Saat itu, pengemudi mobil mengantuk sehingga pandangannya tidak fokus karena semalaman bertugas menjaga rumah orang, bekerja sebagai satpam. Namun, dia tidak mau mengganti kerugian dengan membiayai pengobatan Yoru meskipun tahu kondisi yang dideritanya. Justru dia malah menyalahkan Yoru karena tidak mengemudi dengan baik. Disaat bersamaan, Paman menderita tumor otak stadium tiga yang baru Paman ketahui akhir-akhir ini. Dan, inilah yang membuat Yoru semakin tertekan setelah mengetahui hal ini” kata Ayah Yoru menjelaskan panjang lebar.
“Sebenarnya, semangat  juang Yoru yang bisa membuatnya bertahan. Dia ingin menunjukkan kemampuannya kepada Paman sebelum pergi.”
Apa yang dikhawatirkan Yoru terjadi malam harinya pada saat semua penghuni rumah tertidur. Ayahnya menghembuskan napas terakhir sebelum dia benar-benar pergi.
Yoru yang terbangun keesokan harinya, terpekik melihat tubuh Ayahnya kaku & menangis histeris sambil memanggil, “Ayah…” Cairan bening langsung mengalir turun di pipinya.
Kabar duka itu sampai juga di telinga teman-teman komunitas Atsuki. Berbondong-bondong, mereka menghadiri pemakaman dalam kesunyian.
“Yoru, jangan menyesali kepergian Paman. Selama ini, dia bangga mempunyai anak sepertimu dan mengatakannya sambil tersenyum. Dia mengucapkan terima kasih atas kesungguhanmu berusaha untuk memenangkan perlombaan costplay dan mempersembahkan untuknya.”

            Dorongan kekuatan dan semangat yang diberikan oleh teman-teman Atsuki akhirnya membuahkan hasil. Perlahan-lahan, Yoru bisa berjalan lagi dan mempersiapkan diri mengikuti lomba costplay, meskipun beberapa kali terjatuh. Senyum merekah di bibirnya. Berkat Atsuki, harapannya kembali lagi.
            “Terima kasih, teman-teman” gumam Yoru senang.

            

Ulang Tahun Atsuki


            Kisah Masa Lalu
            Sebuah keluarga selalu tersenyum dan tertawa lepas setiap kali mereka berkumpul. Namun, musibah itu merenggutnya. Semenjak kejadian itu, wajah mereka terlihat pucat, seperti orang yang kelaparan. Perlu waktu lama untuk mengembalikan semua itu. Hingga tiba-tiba, kecelakaan yang tidak disengaja juga merenggut nyawa seorang kakak. Kepercayaan dalam diriku telah hilang. Sejauh apapun usaha manusia untuk menghindarinya, takdir tetap mempertemukanku dengan pelaku kejahatan.
***
            “Lepaskan tanganku!. Bukankah aku membenci Atsuki?. Kenapa kalian tetap mempertahanku?” bentakku dengan nada meninggi sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Yuda.
            “Apa kamu pikir kita tidak peduli padamu?. Atsuki adalah satu kesatuan. Jadi, tidak mungkin kami membencimu!” tandas Yuda tajam, semakin mempererat genggaman tangannya.
            “Bukankah kamu membenciku?!. Kenapa juga melibatkan Atsuki?” protes Yuda tidak terima sambil menatapku dalam-dalam, meminta penjelasan.
            “Karena kamu juga sudah menjadi bagian dari keluarga Atsuki.”
            Sambil menarik napas, Yuda kembali berkata dengan nada suara yang sudah kembali normal, “Oke. Sekali lagi, aku minta maaf mengenai kecelakaan itu. Aku tidak sengaja menabrak saudaramu.”
            “Apakah dengan meminta maaf kakakku akan hidup kembali?!. Semenjak kedua orangtuaku meninggal, dia yang selalu melindungiku. Dan, sekarang kamu menghancurkan kebahagiaanku!.” Aku menjelaskan dengan napas tersengal-sengal.
            “Lalu, aku harus bagaimana?. Apakah aku juga harus menyusulnya?!” balas Yuda berapi-api.
            Aku langsung terdiam. “Lupakan saja” kataku mengibaskan tangan, lalu berbalik pergi.
            Yuda sempat berteriak sebelum aku pergi terlalu jauh, “Kalau mau, kamu bisa datang ke perkumpulan komunitas Atsuki di Taman Budaya setiap hari Sabtu jam lima sore. Di sana, kamu bisa merasakan arti kekeluargaan dan kekompakan.”
***
Drt…drt…drt…
            Aku yang baru saja terbangun keesokan paginya, dikagetkan dengan bunyi pesan masuk. Masih setengah memejamkan mata, dengan asal-asalan mengambil handphone di meja dan berkata dengan nada sedikit kesal, tanpa melihat si penelepon, “Hallo.”
            “Selamat pagi, Cyntia. Kamu baru bangun tidur, ya?. Suaramu terdengar parau. Nanti sore jam empat datang ya ke Taman Budaya Yogyakarta. Kita berencana akan mengadakan ulang tahun Atsuki yang ke tujuh.”
            Refleks, aku menepuk dahi. “Ya ampun.Aku lupa kalau hari ini Atsuki ulang tahun. Oke deh, aku akan datang.”
            “Sip.Tapi, lain kali jangan bangun kesiangan. Kamu kan cewek” sindir Yunita.
            “Bukankah kamu juga sama saja?” protesku tidak terima disalahkan.
            Diseberang, Yunita cengengesan, lalu buru-buru melanjutkan, “Aku tutup dulu, ya… Sampai bertemu nanti.”
            Sebelum memberiku kesempatan untuk berbicara, sambungan telepon telah ditutup. Aku pun memutuskan mandi dan sarapan.
***
            Tepat pukul empat sore, aku telah tiba di Taman Budaya. Ternyata menunggu seseorang itu sangat melelahkan, mengingat teman-teman belum kunjung muncul.
            “Tia, sudah dari tadi?. Maaf, aku terlambat” kata Yunita sambil menjabat tanganku diikuti teman-teman yang lain.
            Aku langsung menoleh ke arah datangnya suara sambil membalas jabatan tangan teman-teman.
            “Ayo, berkumpul. Ini” teriak Cahyo sambil membagikan sebuah kertas mengenai urutan cara melipat sebuah huruf kepada kami.
            Sekitar satu jam, semua teman berhasil menyelesaikan tugas masing-masing, setiap huruf dirangkai menjadi kalimat Otanjoubi Omedetou Atsuki dari kertas lipat berwarna (yang sering disebut origami dalam bahasa Jepang) diletakkan di depan dua buah ulang tahun yang memang dibuat sendiri. Setelah bersama-sama meniup lilin dan berdoa, pemotongan kue diwakili oleh Yuda dan Yumaki yang lalu secara bergilir memberikan kue tersebut kepada kami. Canda tawa turut menambah keramaian suasana dan mempererat kekeluargaan.
            Meskipun terkadang terdapat perbedaan pendapat, namun kami tetap menjadi satu kesatuan. Diacara ini, aku melihat kekompakan, kekeluargaan dan ketulusan dimata mereka. Dalam doa, aku meminta kepada Allah semoga kegiatan Atsuki semakin berkembang ke depannya dan bisa bersama-sama dengan mereka. Kami juga mengulurkan tangan ke depan, membentuk lingkaran seperti api unggun dan berteriak Atsuki J-freak, meskipun teman cowok ada yang iseng memberikan krim kue kepada yang lain. Diakhir akhir acara, diadakan foto bersama.
***
            Dengan langkah tergesa-gesa, aku menghampiri keluarga Atsuki berkumpul dan bersalaman dengan mereka.
            “Ayo, kita berangkat. Bukankah semuanya sudah datang?” tanya Yumaki.
            Serentak, kami mengendarai motor dengan berboncengan menuju air terjun sri gethuk Wonosari, Gunung Kidul. Angin sepoi-sepoi langsung menerpa wajah kami.Sudah dua hari ini, aku tidak bisa berhenti tersenyum. Sejujurnya, aku merasa nyaman berada didekat mereka. Entah mengapa, Atsuki memberikan kekuatan baru bagiku menghadapi kehidupan. Mungkin, arti komunitas mereka yang mempunyai arti membara seperti orangnya. Disaat jatuh, mereka terus bangkit dan tetap semangat untuk menaklukkan masalah yang menghampiri.
            “Jangan hanya berjemur di atas saja. Ayo, berenang bersama kami” ajak Yumaki dengan semangat berapi-api sambil melambaikan tangan kepadaku begitu tiba di air terjun setelah melewati beberapa jam menunggu perahu.
            Kalimat dalam suaranya, membuatku langsung bergerak turun. Dalam beberapa detik, aku telah berada di dalam air dengan menggunakan pelampung. Ternyata, berenang di sini sangat sejuk. Apalagi, cuaca yang panas, membuat keringat hilang. Sekilas, aku melirik ke atas tebing. Terlihat Cahyo, Kak Kira, Lasin, Kak Lens sedang bersiap-siap melompat, yang membuat teman-teman yang lain berteriak histeris dan bertepuk tangan.


Galeria Opening Resto


            “Teman-teman, ayo cepat berkumpul!” kata Yadi dengan nada tegas dan tergesa-gesa.
Seperti dikomando, keluarga besar komunitas Atsuki bergegas mendekat ke arah Yadi dan bersiap-siap menata ruangan.
            “Kalian sudah datang rupanya. Silakan kalian letakkan barang-barang di sana saja” kata Pak Arifin, pemilik kedai sushi story mendatangi kami dan bersalaman.
            “Baik, Pak” balas Yadi ramah.
            Usai meletakkan dan menata beberapa hasil origami di atas meja, Kak Lens, Kak Marwan, Cahyo dan Tintin mulai membuka stan. Enam orang diantaranya memilih ikut costplay dengan berperan menjadi tokoh anime, dorama dan tokusatsu sambil berkeliling ruangan dan menyebarkan brosur untuk mempromosikan Atsuki. Mereka bergegas mengenakan kostum pilihan masing-masing Seminggu yang lalu, kami diminta mengisi acara di Galeria oleh Pak Arifin.
            “Hei!. Kalau jalan hati-hati!” bentak seorang pria setengah baya.
            Keramaian itu membuat seluruh pengunjung di ruangan bergegas mendekat dengan langkah lebar dan terlihat panik.
            “Maaf Pak, saya tadi sedang terburu-buru” sahut Tintin menyesal dengan membungkukkan badan beberapa kali sambil mengambil barang yang berjatuhan.
            “Apa kamu tidak melihat jalan?!. Hari ini saya harus menghadiri rapat” balas Pak Anwar dengan nada tinggi.
            Yadi yang melihat pertengkaran itu segera menengahi, “Kami mewakili Tintin meminta maaf. Dia tidak sengaja menabrak Bapak. Apa ada kerusakan, Pak?.”
            Pak Anwar meneliti masing-masing barangnya. Awalnya Yadi dan Tintin serta teman-teman komunitas Atsuki yang sudah berkumpul sejak tadi menarik napas lega begitu tidak ada komentar, namun wajah Pak Anwar seketika berubah pucat, sehingga membuat mereka khawatir.
            “Ada apa, Pak?” tanya Tintin panik.
            “Saya terlambat!. Rapat ini penting buat saya tapi kalian telah mengacaukan semuanya!” balas Pak Anwar tajam.
            “Maaf Pak, teman saya juga terluka. Mohon Bapak mengerti dengan keadaannya. Bukankah tadi kami sudah meminta maaf?” lanjut Yadi berusaha menahan emosi sambil melirik Tintin yang sedang merintih pelan memegangi kakinya.
            “Sebenarnya kalian ini siapa?.”
            “Kami dari komunitas Atsuki, pecinta Jepang dari semua genre. Kami disini diminta oleh Pak Arifin, pemilik kedai sushi story mengisi acara stan origami dan costplay.”
            “Saya mewakili Atsuki meminta maaf atas ketidaknyamanan ini. Saya mohon Bapak mau memaafkan mereka” kata Pak Arifin, pemilik kedai sushi story di Galeria angkat bicara.
            “Sudahlah. Lupakan saja. Masalah ini tidak perlu diperpanjang. Lagipula, saya sudah ketinggalan rapat” sahut Pak Anwar mengalah, lalu berbalik pergi menuju Pak Arifin.
            “Bagaimana dengan lukamu?” tanya Yadi berjongkok melihat seberapa parah luka yang dialami Tintin.
            “Sebaiknya kita bawa Tintin ke rumah sakit” usul Bima cepat.
            Buru-buru, Tintin mengibaskan tangan begitu melihat wajah teman-teman komunitas Atsuki yang terlihat panik sambil berkata, “Hanya luka ringan. Sebentar lagi pasti sembuh. Jangan khawatir.”
            “Jangan biarkan mereka membuka stan. Batalkan semua kesepakatan kalian.”
            “Tapi, Pak. Mereka…” sahut Pak Arifin menimpali.
            Belum sempat Pak Arifin menyelesaikan kalimatnya, Pak Anwar menukas dengan nada mengancam, “Apa konsekuensinya jika kamu menentang saya?.”
            “Maaf, Pak. Saya akan mengusir mereka” sahut Pak Arifin cepat.
            “Maafkan saya. Saya terpaksa harus mengusir kalian. Sebaiknya kalian segera pergi sebelum Pak Anwar berubah pikiran” kata Pak Arifin menyesal kepada teman-teman komunitas Atsuki sambil berbisik.
            Tanpa mengindahkan perkataan Pak Arifin, Kak Kira segera menghampiri Pak Anwar, “Pak, tolong jangan usir kami. Tolong berikan kami kesempatan untuk membuka stan origami dan costplay di sini.”
            “Apa kalian tidak mendengar perkataanku?” balas Pak Anwar tajam.
            “Maaf Pak, tapi kami harus membuka stan. Kami sudah mempersiapkan semua ini dari awal” sahut Yadi tegas berusaha meletakkan dan mulai menata barang-barang diikuti teman-teman yang lain.
            “Cepat, panggilkan satpam” teriak Pak Anwar kepada Pak Arifin.
            Tapi, terlambat. Teman-teman komunitas Atsuki sudah lebih dulu selesai membuka stan, tanpa mempedulikan Pak Anwar yang masih menggerutu.
            Melihat hal ini, Pak Arifin terpaksa turun tangan sambil mendekati Pak Anwar dan berkata, “Pak, saya mohon berikan mereka kesempatan untuk membuka stan di sini. Saya yakin mereka tidak akan mengecewakan Bapak dan memberikan kesan baik karena saya sudah mengenal reputasi mereka selama ini.”
            Dan, benar saja. Dalam waktu setengah jam, sebagian besar pengunjung mulai berkerumun dan terhanyut oleh suasana yang dibuat Atsuki. Pak Anwar akhirnya membiarkan kami membuka stan begitu melihat usaha Atsuki yang membara dan banyak pengunjung yang antusias ikut menyaksikan kegiatan mereka.
            “Kamu benar. Atsuki berhasil menarik perhatian pengunjung. Kamu tidak salah bekerja sama dengan mereka” kata Pak Anwar kepada Pak Arifin senang sambil tersenyum.
            Sekitar pukul empat sore, teman-teman Atsuki mulai berkemas dan membersihkan tempat stan bertepatan dengan waktu jam buka Galeria telah berakhir. Namun, sebelum berpamitan, tiba-tiba Yadi mendekati Pak Anwar dan Pak Arifin dengan menarik tangan mereka menuju kami yang sedang bersiap-siap berfoto bersama dengan pengunjung. “Ayo, Pak. Kita berfoto bersama untuk kenang-kenangan” kata Yadi tersenyum, tanpa mempedulikan tatapan bingung Pak Anwar dan Pak Arifin. Meskipun enggan, Pak Anwar dan Pak Arifin akhirnya menampilkan beberapa gaya ketika lampu kamera menyala.
            “Sebelumnya, saya minta maaf mengenai sikap Bapak kepada kalian tadi. Bapak sungguh menyesal. Ternyata benar apa yang dikatakan Pak Arifin, kalian bisa menunjukkan usaha dan hasil yang maksimal dan tidak mengecewakan. Terima kasih telah meramaikan suasana di Galeria. Lain waktu, datanglah lagi kemari” kata Pak Anwar tersenyum sambil mengulurkan tangannya.
            Yadi yang menjadi penanggung jawab dalam acara itu, membalas uluran tangan Pak Anwar sambil berkata, “Tentu saja, Pak. Kami akan datang kemari lagi. Seharusnya kami yang berterima kasih karena Bapak telah memberikan kesempatan dan kepercayaan bagi kami untuk membuka stan origami dan costplay di sini. Saya mewakili komunitas Atsuki juga meminta maaf mengenai sikap kami yang kurang sopan tadi.” Lalu, diikuti oleh teman-teman yang lain bersalaman dengan Pak Anwar.
            “Bagaimana dengan keadaan teman kalian yang tadi terluka?” tanya Pak Anwar khawatir.
            Buru-buru, Tintin menjawab sambil menyunggingkan senyum untuk meyakinkan Pak Anwar, “Tidak apa-apa, Pak. Hanya luka kecil. Sebentar lagi pasti sembuh.”
            “Bagaimana pun juga lukamu harus diobati. Sebentar, saya akan ambilkan obat dulu” sahut Pak Anwar.
            “Tidak perlu repot-repot, Pak. Lagipula, saya tadi juga salah, kurang fokus melihat jalan dan menyebabkan Bapak ketinggalan rapat” lanjut Tintin lagi sebelum Pak Anwar pergi.
            “Kamu tidak perlu meminta maaf. Tunggu sebentar di situ” balas Pak Anwar, lalu berlari-lari kecil mengambil obat.
            Tergesa-gesa, Pak Anwar menghampiri Tintin dengan obat di tangannya beberapa menit kemudian dan mengoleskan di siku kaki Tintin perlahan. Meskipun terasa perih, ia tidak mengeluh.
            “Terima kasih, Pak” kata Tintin begitu Pak Anwar selesai mengoleskan obat di siku kakinya.
            Pak Anwar membalasnya dengan anggukan kepala.
            “Baiklah, Pak. Kalau begitu, kami permisi dulu. Hari sudah sore” kata Yadi kembali menjabat tangan Pak Anwar dan Pak Toni, diikuti oleh teman-teman yang lain.
            “Terima kasih atas partisipasi kalian di Galeria.”